Kamis, 24 Februari 2011

BELAJAR KE PAK MIN SI TUKANG BUNGA

Suatu saat saya membeli bunga di Pasar Bunga di Surabaya. Yang saya cari adalah bunga yang cocok ditanam di berem (pinggir jalan) depan rumah dan mendapatkan bunga setinggi sekitar 2 meter dengan bunga berwarna merah. Sebagai orang yang tidak punya ilmu tentang tanaman, saya mengagumi bungan tersebut. Batangnya kokoh dengan diameter sekitar 12 cm, cabang yang sangat banyak dan bunga merah menyala hampir di semua pucuk cabang.

Beberapa bulan berikutnya saya kaget mendapati adanya “cabang baru” di pokok batang. Daun pada “cabang baru” tersebut berbeda dengan cabang yang lain. Ketika saya cermati, daun pada “cabang baru” tersebut mirip daun jarak (jarak yang biasanya untuk pagar di kampung). Karena penasaran saya ke Pasar Bunga menemui penjual bunga yang dulu saya membeli. Saya kagum mendapatkan jawaban Bapak Penjual Bunga yang bernama Pak Min dengan usia sekitar 50 tahun tersebut.

Ternyata bunga yang saya beli tersebut merupakan hasil “kotak-katiknya”. Batangnya dari pohon jarak kemudian “ditempel/disambungkan” cabang dari bungan tertentu. Pak Min menjelaskan bahwa pohon jarak adalah yang terbaik sebagai pokok, karena mudah “ditempeli/disambung” dengan berbagai jenis bunga dan juga jarak dapat hidup dengan air minimal ataupun banyak. Pak Min bercerita banyak bagaimana melakukan “kotak-katik” untuk mendapatkan “bunga terbaik”.

Pak Min yang protolan SD dan sudah lama melakukan “kotak-kotik” bunga. Dia sendiri yang memberi istilah kotak-katik (dengan bahasa Jawa “utak-utik”). Bagaimana dia menemukan pohon jarak yang akhirnya dipilih sebagai “batang induk” dari berbagai bunga? Ternyata dia sengaja mencari pohon yang mudah hidup dengan air minimal atau air banyak dan mudah disambung dengan bermacam-macam bunga. Menurutnya tidak kurang dari 5 jenis pohon yang dicoba dan dikotak-katik, yang akhirnya menemukan pohon jarak yang terbaik.

Mendengarkan cerita Pak Min yang antusias, saya teringat cerita tentang Pak Mukibat si penemu ketela mukibat sampai Thomas Afla Edison yang melakukan “eksperimen” panjang sebelum menghasilkan temuan yang fenomenal sesuai zamannya. Kita memerlukan Pak Min-Pak Min lainnya untuk menemukan bunga yang indah, tanaman pangan yang hebat serta temuan-temuan yang mendukung kemajuan bangsa ini. Jika Pak Min yang tidak tamat SD mampu menemukan “inovasi pohon jarak”, bagaimana pendidikan kita mampu melahirkan innovator yang tentunya jauh lebih hebat dibanding Pak Min.

Bagaimana pendidikan mampu menumbuhkan rasa keingintahuan dan kemauan/keberanian eksperimen dalam berbagai bidang. Tampaknya kita perlu meninjau kembali pola pendidikan kita. Kita tidak boleh hanya terpaku pada ujian nasional yang tentu tidak mungkin mengukur rasa ingin tahu dan kemampuan bereksperimen. Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR), Lomba Karya Inovasi (LKI) dan sejenisnya perlu ditumbukan secara terencana serta diikuti persiapan pembinaan di level sekolah maupun daerah. Akan sangat baik, jika setiap matapelajaran memberikan dukungan dalam penumbuhan karya inovasi dan karya ilmian remaja tersebut.

Hasil dalam LKIR dan LKI tersebut perlu diperhitungkan sebagai prestasi belajar siswa, termasuk ketika yang berangkutan melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi. Perlu dicari formula untuk memperhitungan hasil LKIR dan LKI dalam penerimaan siswa baru di SMP, SMA/SMK/MA dan penerimaan mahasiswa ke perguruan tinggi serta penerimaan karyawan baru di berbagai instansi. Dengan begitu sekolah akan terdorong untuk melakukan pembinaan kegiatan-kegiatan siswa yang terkait dengan pengembangan inovasi dan penelitian. Semoga

Selasa, 22 Februari 2011

MASIH PERLUKAH PEMISAHAN PENDIDIKAN FORMAL, NON FORMAL DAN INFORMAL?

John Seely Brown yang memberi kata pengatar buku Rethinking Education in the Age of Technology, tulisan Allan Collins dan Richard Halverson (Teachers College Press, 2009) menyatakan: “I am not saying that this kind of learning will replace schooling, but it does allow new forms of both formal and informal learning to emerge around the edges of formal schooling”. Ungkapan tersebut ternyata merupakan rangkuman dan bahkan salah satu point penting dari buku tersebut. Dan bagi kita yang menekuni dunia pendidikan, ungkapan tersebut perlu direnungkan, karena gejalanya juga kita rasakan di Indonesia.

Dengan mengambil contoh di Amerika Serikat, buku tersebut membeberkan fenomena yang sangat menarik. Jamal dari Bermuda yang sangat tertarik saat mengikuti matapelajaran Computer Science di sekolah menengah dan kemudian membaca beberapa buku tentang web design dan berkorespondensi dengan beberapa pengarang via internet. Selesai mengikuti matapelajaran tersebut, Jamal merasa sudah memiliki kemampuan merancang web, kemudian memulai bisnis Web Design dan berhasil.

Contoh lain yang ditunjukkan adalah dari Seymour Papert terhadap cucunya yang berusia 3 tahun yang senang dinosaurus. Orangtuanya membelikan banyak video tentang dinosaurus dan ternyata anak tersebut sungat tahu banyak tentang dinosaurus ketimbang kakeknya, walau dia belum dapat membaca. Masih banyak contoh lain dan sebenarnya juga banyak fenomena seperti itu di Indonesia dan bahkan di sekitar kita.

Apa inti dari fenomena itu? Sekolah bukan satu-satunya tempat untuk belajar. Orang dapat belajar di banyak tempat di luar sekolah. Misalnya melalui kursus, seminar, membaca buku, internet, belajar secara informal kepada orang lain dan sebagainya.

Saya pernah bertanya kepada beberapa teman yang bekerja di perusahaan, pengusaha dan kantor pemerintah: “Berapa persen matapelajaran atau matakuliah dulu cocok dengan apa yang dikerjakan saat ini?”. Hampir tidak ada yang menjawab lebih dari 50%, walaupun profesi mereka berbeda-beda. Lantas ketika “dari mana didapat bekal untuk menangani pekerjaan sekarang ini?”. Jawabannya yang muncul “ya belajar sendiri dan bertanya kepada orang yang lebih ahli”. Artinya, mereka itu mendapatkan pengetahuan dan kemampuan tambahan di luar sekolah.

Nah, bagaimanakan di masa depan? Apakah di era teknologi informasi fenomena tersebut akan berlanjut? Akan semakin kuat atau melemah? Di era teknologi digital seperti sekarang ini, informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Internet kini merupakan salah satu sumber informasi yang nyaris tidak terbatas. Kata anak muda sekarang, pengin tahu sesuatu? Tanya saja ke Google yang mampu memberikan sangat banyak, kadang-kadang ribuan sumber informasi yang sedang kita cari.

Dari internet kita juga dengan mudah mendapatkan panduan untuk mengerjakan sesuatu. Jika kucing kita sakit, kita dapat memperoleh petunjuk untuk mengetahuan sakitnya apa dan apa obatnya dan kemana mendapatkan obat tersebut. Jika ingin pergi ke suatu tempat, kita dapat memperoleh panduan beberapa alternative jalur yang dilewati dan kendaraan umum yang digunakan. Sepertinya internet dapat menjadi sumber informasi dalam berbagai hal. Dan, semakin canggih teknologi diduga jenis dan kedalaman informasi seperti itu juga akan semakin baik.

Nah, jika informasi dapat diperoleh dengan mudah di luar sekolah, apakah sekolah masih diperlukan? Saya yakin, sekolah tetap diperlukan karena sekolah bukan sekedar tempat mencari informasi. Sekolah adalah tempat anak memperoleh pendidikan secara utuh. Namun, ke depan persekolahan harus melakukan perubahan mendasar. Pemisahan kelembagaan antara pendidikan formal, non formal dan informal harus ditinjau kembali. Perlu dipikirkan pola pendidikan yang lebih luwes yang dapat memberi “pintu integrasi” antara ketiga jalur pendidikan tersebut. Pengetahuan dan kompetensi yang diperoleh di pendidikan informal dan non formal seharusnya dapat “diakui” pada jalur pendidikan formal. Siswa di sekolah (pendidikan formal) perlu diberi peluang untuk mengambil “sebagian kurikulum” melalui jalur pendidikan non formal atau informal. Tentu dengan bukti sudah menguasai kompetensi yang ditentukan.