Kamis, 29 November 2012

BELAJAR DARI JEPANG: DARI MANA DIMULAI?





Tanggal 14 sampai dengan 20 Nopember 2012 saya berkesempatan ke Jepang, untuk dua acara: (1) mengikuti rapat rektor PTN Indonesia dengan rektor perguruan tinggi di Jepang, dan (2) mendampingi tim muhibah seni mahasiswa Unesa ke beberapa perguruan tinggi di Jepang.  Pada saat kosong, saya meluangkan waktu mengunjungi beberapa kuil yang saat ini difungsikan sebagai obyek wosata  dan Disneyland di Tokyo.

Tentang keindahan musim gugur di Jepang yang colorful tidak perlu saya ceritakan.  Yang pasti daun pepohonan berwarna-warni, hijau, kuning dan coklat, laksana bunga yang indah.  Keindahan kuil juga tidak perlu saya ceritakan.  Yang pasti, kuil-kuil bersih dan terawat dengan baik. Yang ingin saya berbagi cerita dengan pembaca adalah perilaku pengunjung kuil dan Disneyland.

Pengunjung Disneyland dan kuil-kuil di Jepang berjumlah ribuan. Dari wajahnya, saya yakin sebagian besar mereka tulis lokal, yaitu orang Jepang.  Apalagi ketika mendengar mereka berbicara dengan temannya, saya lebih yakin lagi.  Memang ada orang asing, orang “bule”, orang Asia Tenggara dan turis dari negara lain, tetapi jumlahnya sangat sedikit.   Tampaknya wisata telah menjadi kebiasaan orang Jepang.  Tidak hanya di hari libur, di hari kerja juga banyak turis lokal yang mengunjungi Disneyland dan kuil.  Banyak pengunjung kuil yang melakukan “ritual ibadah”, tetapi lebih banyak yang tidak.  Berarti sebagian besar betul-betul turis.

Disneyland maupun kuil-kuil di Jepang sangat bersih.  Walaupun ada ribuan pengunjung hampir tidak ada sampah.  Sungguh mengagumkan dan menimbulkan tanda tanya bagaimana itu dapat terjadi.  Saya mengamati dengan cermat.  Tempat sampah juga tidak terlalu banyak.  Petugas kebersihan dengan seragam putih-putih memang selalu keliling, tetapi hampir tidak mendapatkan sampah.  Yang banyak dipungut adalah daun-daun yang gugur.

Apakah tidak ada pengunjung yang merokok atau makan kue sehingga tidak ada sampah yang dibuang?  Ternyata banyak juga turis yang makan kue-kue, minum maupun makan es krim.  Lantas kemana sampahnya?  Saya mencoba mengamati dengan cermat.  Ternyata mereka memasukkan pembungkus roti/kue yang dimakan ke dalam tas atau saku dan baru membuang setelah menemukan tempat sampah. 

Yang sangat membuat saya kagum, adalah pemandangan ketika menonton parade di Disneyland.  Waktu itu sekitar jam 14an.  Parade tentang isi Disneyland di seluruh dunia.  Pengunjung berada di tepi jalan akan dilalui parade.  Diatur, yang paling depan duduk dengan alas kertas atau plastik yang mereka bawa.  Yang di belakang berdiri.  Mereka yang cacat (umumnya berkursi roda) diberi tempat khusus. Saya berdiri di belakang dan di depan saya sekelompok ibu-ibu yang mengajak anak-anaknya.  Nah, waktu itu di depan saya ada anak yang sedang makan semacap sop merah dengan tempat gelas plastik.  Tampaknya cara anak itu memegang gelas belum bagus, sehingga tumpah sedikit.  Apa yang dilakukan ibunya?  Ibunya mengambil tisu dan membersihkan sop yang tumpak ke jalan, kemudian memasukkan tisu bekas tersebut ke dalam tas.  Bukan main, saya terbengong-bengong melihatnya.  Bukan karena ibu anak itu cantik (dan memang cantik seperti tipologi ibu muda Jepang), tetapi kok mau-maunya mengelap jalan hanya ada tumpahan sop merah yang juga tidak seberapa.

Bagaimana dengan para perokok?  Orang Jepang yang merokok selalu di tempat untuk merokok. Saya tidak menumpai orang merokok di tempat umum.  Yang sangat menarik, mereka berdiri mengitari tabung tempat abu dan putung rokok, sehingga mudah memasukkan puntung maupun abu rokok.  Bahkan banyak orang merokok yang membawa portable tray dan memasukan abu maupun puntung rokoknya ke dalam portable trey tersebut dan memasukkan ke dalam saku.  Saya juga melihat ada orang yang menggunakan bungkus rokok untuk menampung abu dan puntung rokok, kemudian dimasukkan ke dalam saku.  Sungguh mengagumkan ketaatan orang Jepang untuk mengikuti aturan.

Dari pengamatan tersebut, saya menjadi faham mengapa Disneyland dan kuil-kuil di Jepang begitu bersih.   Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana orang Jepang begitu pada aturan, termasuk menjaga kebersihan.  Saya menanyakan kepada teman yang kebetulan lama tinggal i Jepang.  Ternyata kebersihan telah menjadi budaya masyarakat.  Orang Jepang berpendapat, jika ada orang membuang sampah tidak pada tempatnya berarti menyurun orang lain memungut sampah tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.  Orang Jepang menganggap orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya adalah orang yang tidak tahu diri.

Ketika di Disneyland saya menjumpai orang antre panjang, sehingga saya mencoba mencari tahu mereka antre apa.  Bahwa orang Jepang disiplin dalam antre sudah banyak yang tahu.  Namun yang saya amati tersebut, orang antre untuk foto di dekat pohon natal.  Pada saat itu memang ada pohon natal yang sangat besar dengan berbagai hiasan. Tampaknya banyak orang yang ingin foto di pohon natal dengan hiasan warna-warni itu.  Dan mereka rela antre dengan tertib sehingga masing-masing orang dapat berfoto tanpa terganggu orang lain?  Apa ada yang mengatur ternyata tidak ada.  Saya mencoba menungui tempat itu. Ternyata pada awalnya  ada orang yang berfoto, kemudian ada orang lain yang juga ingin foto di tempat sama.  Karena mereka terbiasa antre, terjadilah antrean.  Sekali lagi sungguh hebat.

Antrean serupa ternyata juga saya jumpai ketika pengunjung kuil ingin minum air dari sumber yang diyakini mengandung tuah kesehatan, kekayaan dan kebahagian bagi yang minum.  Pengunjung rela antre panjang untuk dapat giliran minum.  Hebatnya yang antre tertib termasuk anak kecil-kecil yang juga ingin minum air tersebut.

Rasanya itu merupakan pelajaran berharga bagi kita.  Kita perlu belajar bagaimana Jepang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat, termasuk anak-anak dapat mengikuti aturan dan menjaga kebersihan begitu tertib.   Pertanyaannya, dari mana kita harus mulai?