Selasa, 30 April 2013

MENGAPA DOSEN MUDA HARUS STUDI KE LUAR NEGERI?


Beberapa hari ini saya disibukkan menjawab dan menjelaskan, mengapa dosen muda di Unesa didorong atau bahkan “dipaksa” untuk studi S2 atau S3 ke luar negeri.  Saya dapat menangkap kekecewaan beberapa dosen yang ingin studi S2/S3 di dalam negeri, tetapi saya minta ke luar negeri.  Alasan yang diajukan, biasanya anak masih kecil, bahasa Inggris belum cukup, tidak diijinkan keluarga dan sebagainya.

Pada awal-awal menjadi Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti, pada tahun 2007, saya terlibat diskusi intens untuk mewujudkan world class university (WCU), yang menjadi salah satu indikator kinera kunci (IKU) atau key performance indicator (KPI) Ditjen Dikti.  Saya mengajukan pemikiran, kalau ingin perguruan tinggi Indonesia menjadi WCU maka dosen yang harus didorong bertaraf internasional.  Bukan karena saya sebagai Direktur Ketenagaan yang mengurusi dosen, tetapi dosen adalah kunci utama maju-tidaknya perguruan tinggi.

Kalau gedung dan alat, begitu ada uang dapat segera dibangun atau dibeli.  Namun kalau dosen, walaupun ada uang untuk menyekolahkan atau mengirim untuk pelatihan, masih memerlukan waktu beberapa tahun.  Itupun belum tentu lulus semua.  Untuk memperoleh dosen bertaraf internasional, cara yang paling mudah adalah dengan menyekolahkan mereka untuk mengambil S2 atau S3 di perguruan yang bagus di negara maju.

Sebenarnya kurikulum perguruan tinggi di negara maju dan di negara berkembang, tidak berbeda jauh.  Yang berbeda adalah iklim akademik yang ditunjang oleh adanya dosen yang berkualitas, perpustakaan dan laboratorium.  Iklim akademik itulah yang kemudian membentuk lulusan dengan mutu bagus.  Kecuali itu, dengan menempuh pendidikan di universitas bagus di negara maju, dosen akan memiliki jejaring dengan para ilmuwan di berbagai negara.  Itulah yang sulit diperoleh jika para dosen kuliah di dalam negeri.

Bukan berarti dosen lulusan dalam negeri tidak berkualitas.  Namun sulit untuk membangun jejaring internasional.  Sekali lagi, bukan masalah kualitas, tetapi lebih karena “belum kenal”.  Di tambah lagi, dosen lulusan dalam negeri, banyak yang bahasa Inggris-nya “pas-pasan”, sehingga sulit berkomunikasi dengan dosen sebidang dari negara lain.  Belum lagi kebiasaan menulis artikel yang juga belum berkembang di sebagian besar perguruan tinggi dalam negeri.

Mengapa hanya dosen muda yang diharuskan?  Mengapa dosen yang senior diijinkkan untuk studi S2/S3 di dalam negeri?  Sebenarnya itu lebih terkait dengan iklim akademik di Unesa dan kampus Indonesia pada umumnya serta prinsip “mumpung belum terlanjur”. 

Sebagaimana diketahui, secara jujur harus dikaui bahwa sebagian besar universitas di Indonesia, termasuk Unesa, masih lebih tepat disebut teaching university dari pada research university.  Itu dapat diketahui dari proporsi pemanfaatkan waktu kerja dosen.  Mana yang lebih banyak waktunya di kampus, untuk memberi kuliah/membimbing mahasiswa atau melakukan riset.  Saya yakin, sebagina dosen lebih banyak menggunakan waktu di kampus untuk mengajar.  Kalau begitu perguruan tingginya lebih cocok disebut teaching university.

Karena aktivitasnya lebih banyak untuk memberi kuliah, maka iklim riset belum berkembang.  Kebiasaan dan pola pikir riset belum tumbuh dengan baik di kalangan dosen.  Nah, jika dosen yang sudah bertahun-tahun bekerja di iklim seperti itu, kemudian menempuh studi di luar negeri yang iklim akademiknya bernuansa riset akan kaget.  Belum lagi ditambahi dengan beban ekonomi yang konon semakin besar, kalau anak semakin besar.  Dan kemampuan bahasa Inggris yang juga tidak tumbuh, karena pergaluan sehari-hari terbatas dengan orang Indonesia.

Dosen muda yang baru lulus dari S2 diharapkan masih “fresh from the oven” dari studi pascasarjana yang tentunya banyak muatan riset dan iklim akademik sebagai komunitas mahasiswa S2.  Beban ekonominya juga belum seberat dosen senior.  Oleh karena itu “mumpung belum terlanjur terkontaminasi” dosen muda didorong untuk studi S3 di luar negeri.

Memang ada kendala bahasa, khususnya yang lulusan S2 di dalam negeri.  Untuk itu, universitas harus memberi falisitas untuk kursus bahasa Inggris dan dosen senior yang berpengalaman, dapat membantu mencari perguruan tinggi yang tepat, termasuk mencari calon promotor.

Di Surabaya ada perguruan tinggi yang pada tahun 1980an mengirimkan banyak dosen untuk S2/S3 di luar negeri.  Waktu itu, dosen yang tidak studi banyak mengeluh karena beban mengajarnya sangat banyak.  Kesempatan studi ke luar negeri terbuka luas, karena terlait dengan pinjaman luar negeri yang diterima perguruan tinggi tersebut.  Nah, saat ini perguruan tinggi itu menikmati keunggulan akademik. Jejaring internasionalnya juga berkembang baik, karena para dosen alumni berbagai negara itu, kemudian menjadi jembatannya.

Fenomena itu yang sebenarnya menjadi inspirasi, ketika saya mengajukan gagasan beasiswa luar negeri saat menjadi Direktur Ketenagaan.  Saat itu saya sampaikan, kalau setiap tahun Indonesia dapat mengirim 1.000 orang untuk studi S3 di berbagai negara maju dan itu berlangsung lima angkatan sejak tahun 2008, maka pada tahun 2012-2017 akan pulang 5.000 doktor baru dari perguruan tingggi ternama dan itu akan menggoyang iklim akademik perguruan tinggi di Indonesia.  Dan alhamdulilah, pada thun 2008 Indonesa dapat mengirim 1.100 dosen studi ke luar negeri.  Semoga Unesa dapat ikut menikmatinya.

Senin, 29 April 2013

SULIT MENCARI CALEG YANG BERKUALITAS


Koran Republika edisi Kamis 25 April memuat tulisan dengan judul “Caleg Bermutu Hanya 20 Persen”.  Tidak jelas dasar perhitungan sebagai dasar menyimpulkan hanya 20% caleg yang bermutu, dengan kata lain 80 % dari caleg tahun ini tidak bermutu.  Satu-satunya informasi yang disampaikan adalah banyaknya anggota DPR periode 2009-2014 yang saat ini mencalonkan lagi menjadi caleg.

Namun dalam tulisan tersebut dimuat pendapat Ahmad Mubarok, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, yang mengakui bahwa angka tersebut memang benar.  Dia memberi penjelasan mengapa sulit mencari caleg yang berkualitas.  Katanya, para caleg umumnya masih mengandalkan popularitas.  Pada caleg yang bermutu umumnya tidak punya uang.  Sedangkan yang bermutu dan punya uang, banyak yang tidak mau menjadi caleg.  Karena Ahmad Mubarok merupakan tokoh penting di Partai Demokrat, maka konformasi tersebut dapat dipercaya.  Paling tidak untuk intern Partai Demokrat. 

Membaca tulisan tersebut dan saya gandengkan dengan tulisan serta informasi lain, saya mencoba membuat semacam mind map, sebagai berikut.  Pertama, untuk dapat menjadi anggota DPR memerlukan biasa yang besar.  Saya pernah ngobrol dengan seorang teman yang kebetulan juga anggota DPR, katanya diperlukan biaya tidak kurang dari 1 M untuk menjadi anggota DPR.  Untuk apa saja mas, kok begitu besar?  Mungkin itu pertanyaan naïf, karena memang saya tidak tahu.

Sambil tertawa teman tadi menjelaskan, dana itu diperlukan mulai untuk memuluskan menjadi caleg (calon anggota DPR), kampanye, mememuhi permintaan sumbangan calon pemilih dan sebagainya.  Konon begitu ada nama muncul sebagai caleg untuk daerah tertentu, akan berdatangan proposal minta sumbangan untuk berbagai hal.  Dalam posisi semacam itu, si caleg seakan “mau tidak mau memberi sumbangan”, karena takut tidak dipilih.

Pada saat kampanye-pun, diperlukan dana untuk mengumpulkan orang dan bahkan memberi uang transport.  Konon ada orang yang membandingkan, uang transport yang diberikan oleh caleg satu dengan caleg lainnya.  Belum uang untuk operasional tim sukses yang konon juga sangat besar.  Intinya di saat kampanye caleg harus siap uang kontan dalam jumlah besar, karena setiap saat ada yang meminta.

Mendengar penjelasan itu, saya jadi berpikir pola transaksional sudah sangat kental dalam proses pemilu.  Semua dihitung sebagai “jual-beli” dan serba uang kontan.  Masyarakat juga semakin “pintar” dan berprinsip “toh kalau sudah jadi, belum tentu ingat dengan kita”.   “Toh tidak ada besanya apakah si-A atau si-B yang mewakilinya di DPR”.  “Kapan lagi rakyat mendapatkan sesuatu kalau bukan menggedor saat menjelang pemilu”.

Kedua, kalau begitu besar biaya untuk menjadi caleg maka memang hanya orang yang punya “modal” yang bisa mencalonkan diri.  Orang yang tidak punya modal, walaupun pandai dan punya minta menjadi caleg, tidak akan dapat masuk ke jalur itu.  Dalam hati saya bertanya: “orang-orang pandai dan idealis apakah punya uang sebesar itu ya?”  Keyakinan saya, jawabnya “tidak punya”.  Jadi betul ungkapan Pak Ahmad Mubarok, orang yang pandai dan idealis umumnya tidak punya modal sebesar itu dan akhirnya tidak dapat menjadi caleg.

Bagaimana orang-orang yang pandai dan sudah memiliki pekerjaan mapan, sehingga memiliki uang banyak?  Jangan-jangan ungkapan Pak Ahmad Mubarok itu betul, yaiu: “mereka yang pandai dan punya uang tidak mau menjadi caleg”.  Tentu banyak alasannya, mungkin sudah sibuk dengan pekerjaannya saat ini.  Atau menjadi DPR tidak menarik bagi orang idealis.  Atau berita yang cenderung negatif terhadap perilaku sebagian anggota DPR membuat

Merenungkan fenomena di atas, saya jadi teringat seloroh yang populer pada pertengahan tahun 1990-an.  Katanya antara “pandai”, “loyal” dan “jujur” sulit untuk bersatu dalam diri seseorang.  Orang yang pandai dan loyal, seringkali tidak jujur.  Orang yang pandai dan jujur, seringkali tidak loyal.  Orang yang loyal dan jujur, seringkali tidak pandai.

Apakah antara “pandai”, “kaya” dan “idealis” juga sulit bersatu dalam diri seorang caleg?  Artinya, caleg yang pandai dan kaya, seringkali tidak idealis.  Caleg yang pandai dan idealis, seringkali tdak kaya.  Caleg yang kaya dan idealis, seringkali tidak pandai.  Semoga itu hanya seloroh dan jauh dari kebenaran.

Minggu, 28 April 2013

BELAJAR KERENDAHAN HATI KEPADA PEJABAT UPSI


Seperti saya ceritakan terdahulu, tanggal 22-23 April 2013 saya mengikuti pembentukan Consortium of Asia Pacific Education Universities (CAPEU) di Kualalumpur.  Setelah selesai acara, saya ingin bertemu dengan pimpinan UPSI (Universiti Pendidikan Sultan Idris).  Toh pada hari kedua, acara dilaksanakan di kampus UPSI, sehingga tidak terlalu sulit mengatur perjalanan.  Oleh karena itu saya mohon bantuan Prof. Qismullah untuk mengatur pertemuan tersebut.  Kebetulan Prof. Qismulah adalah orang yang mengatur acara dan saya sudah lama kenal beliau.

Di sela-sela acara hari kedua, saya sempat berdekatan dengan Vice Chacellor UPSI, Prof. Dato Zakaria bin Kasa dan Prof. Qismullah, dan Dato mengusulkan pertemuan dilakukan hari itu juga, setelah sacara CAPEU selesai.  Nah, setelah acara selesai dan para tamu telah pulang, kami berempat menuju kantor Dato Zakaria.  Jarak antara tempat acara dengan kantor Dato lumayan jauh, walaupun keduanya dalam kampus.

Prof Dato Zakaria, saya dan Pak PR-4 dalam satu mobil, sedangkan Prof Zakaria di mobil lain.  Saya dan PR-4 tidak berani masuk, karena bingung dimana harus duduk. Kan, Dato Zakaria itu bangsawan dan budaya Malaysia kan “agak feodal”.  Ternyata Dato, minta saya dan Pak PR-4 duduk di belakang, sedangkan dia duduk di depan di samping sopir.  Kami berdua jadi kikuk.  Untungnya perjalan hanya sebentar.  Itulah pelajaran pertama yang kami dapat dari kerendahan hati pejabat UPSI.

Diskusi di ruang Dato Zakaria berjalan santai.  Dua topik yang saya ajukan terselesaikan dengan baik dan cepat.  Setelah itu tinggal ngobrol tentang berbagai hal.  Khususnya dengan pola manajemen di UPSI, yang bagi kami sangat khas.  Misalnya tentang posisi chancellor.  Seperti diketahui, universitas di Malaysia “meniru” pola Inggris.  Pimpinan tertinggi disebut chancellor, yang biasanya dijabat oleh raja atau keluarga kerajaan. Chacellor, sebenarnya lebih sebagai simbul, karena sehari-hari universitas dipimpin oleh vice chancellor.  Namun keputusan penting ditentukan oleh chancellor  dan upacara penting harus dipimpin oleh chancellor. Di UPSI chancellor dijabat oleh menantu Sultan Perak, karena Sultan, Permaisuri dan Putra Mahkota sudah menjadi cancellor di universitas lain.

Acara wisuda, yang di Malaysia disebut convocation, waktunya ditentukan oleh chancellor, karena dia harus hadir.  Minimal pada hari pertama kalau wisuda berlangsung beberapa hari. Itulah yang kasus menimpa Dr. Yoyok Susatyo, dosen Unesa yang menempuh S3 di UPSI. Pak Yoyok dinyatakan lulus tahun lalu.  Namun, karena kesibukan Chancellor sampai saat ini belum ada wisuda.  Direncanakan baru ada nanti bulan September 2013.  Itupun kalau Chancellor bisa.  Surat permohonan yang diajukan konon belum mendapat jawaban dari kantor Chancellor.

Setelah selesai diskusi dan ngobrol tentang berbagai hal, kami pamit untuk kembali ke hotel.  Ternyata Prof. Qismullah sudah memesankan hotel di dekat kampus untuk kami berdua.  Namun, karena kami sudah punya kamar di Kualalumpur, jadi kami mohon maaf tidak dapat menggunakan kamar hotel yang dipesankan Prof. Qismullah.  Itulah pelajaran kedua, kami dipesankan hotel, pada hal kami tidak memesan.  Pejabat UPSI memesankan, karena acara berlangsung sampai sore dan jarak kampus UPSI ke Kualalumpur sekitar 2 jam.

Pak Yoyok sudah mencarikan mobil untuk kami kembali ke Kualalumpur. Namun Prof. Qismullah dan Dekan Fakulti Pendidikan (Prof Noor Syah) sudah siap mengantarkan juga.  Kami memutuskan menggunakan mobil UPSI, untuk menutupi kekecewaan yang mungkin terjadi akibat kami tidak menggunakan hotel yang sudah dipesan.

Setelah beberapa saat mobil datang, ya ampun, ternyata mobil tersebut disopiri sendiri oleh Prof. Noor Syah (Dekan Fakulti Pendidikan) dan Prof. Qismullan duduk disampingnya.  Jadilah saya dan PR-4 seperti bos duduk di bekalang.  Saya sangat kikuk, tetapi mereka berdua mendesak kami masuk mobil untuk segera berangkat.  Dapat dibayangkan Dekan Fakulti Pendidikan UPSI mengantar kami berdua ke Kualalumpur dengan perjalanan sekitar 2 jam dengan jalan tol panjang.  Pelajaran ketiga, yang mencengangkan saya.

Kerendahan hati pejabat UPSI, mulai dari Vice Chancellor (Prof. Dato Zakaria bin Kasa), Dekan Fakulti Pendidikan (Prof Noor Syah) dan Prof. Qismullah, rasanya justru meningkatkan “derajat” mereka dimata saya.  Semoga kita dapat menirunya.

Kamis, 25 April 2013

SAYEMBARA MELUKIS RAJA


Tanggal 18-19 April saya menghadiri workshop yang diadakan oleh Insperktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di hotel Novotel Solo.  Topik workshop adalah Menuju Lembaga yang Bebas Korupsi.  Maksudnya mendiskusikan langkah-langkah untuk menjadi lembaga (universitas, LPMP, P4TK dsb) yang bebas dari korupsi.

Workshop dihadiri oleh pimpinan PTN, LPMP, P4TK, Lembaga Bahasa, Lembaga PAUDNI dan lainnya, khususnya yang berada di wilayah Sumatra dan Jawa.  Hadir memberi paparan pembicara dari Kementerian PAN dan RB, Bappenas, KPK, TII, Biro PIH dan pihak Inspektorat Jenderal sendiri.  Pada umumnya paparan sangat menarik dan memberi pemahaman baru terhadap beberapa kasus.

Setelah itu, peserta dibagi menjadi dua kelompok.  Masing-masing ditugasi mereview konsep “Langkah-langkah Menuju Lembaga Bebas dari Korupsi” yang disusun pada workshop tahun lalu. Konsep tersebut memiliki 15 tahapan/komponen.  Saya masuk ke kelompok A yang ditugasi membahas komponen/tahapan 1 s.d. 8. 

Saya tidak tahu  mengapa ditunjuk menjadi ketua kelompok dengan sekretaris Kepala LPMP Sumatra Barat (Prof. Jamaris Jamak).  Pada waktu proses penunjukkan/pemilihan saya berada di luar ruang, karena ada telepon penting yang harus saya terima.  Begitu masuk ruang sidang saya duduk di kursi paling belakang agar tidak mengganggu jalannya sidang.  Tiba-tiba teman dari Inspektorat Jenderal yang memandu awal sidang mengumumnya bahwa saya dipilih menjadi ketua kelompok.

Saya kaget, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, karena waktu proses penunjukkan/pemilihan saya di luar ruangan.  Ya, terpaksa dengan langkah gontai maju ke meja pimpinan.  Untung saya sudah mengena Prof. Jamaris Jamak, dosen UNP yang saat ini menjabat kepala LPMP Sumatra Barat.  Beliau yang menjelaskan apa tugas kami berdua sebagai ketua dan sekretaris kelompok.

Membaca dengan cepat draft yang harus kami review, saya tidak faham beberapa pengertian atau definisi dari istilah yang ada.  Oleh karena itu, saya mengusulkan kita menyamakan pengertian itu lebih dahulu, baru mulai bekerja.  Saya tidak yakin semua peserta juga faham.  Saya kawatir diskusi kita akan melingkar-lingkar karena adanya perbedaan pengertian terhadap beberapa istilah tersebut.  Peserta setuju.

Setelah itu saya menanyakan, siapa yang ikut pada waktu workshop tahun lalu yang tentunya sudah faham tentang beberapa istilah tersebut.  Beruntung ada beberapa peserta yang ikut di workshop tahun lalu dan ditambah penjelasan dari teman Inspektorat Jenderal, sehingga penyamaan persepsi terhadap beberapa istilah tersebut segera tercapai.

Setelah itu saya usulkan kelompok dibagi menjadi delapan sub-kelompok dan masing-masing sub-kelompok mengerjakan merivew satu komponen/langkah.  Saya ajukan alasan waktu bekerja sangat pendek, hanya sekitar satu jam.  Usul tersebut disetujui dan sub-kelompok dengan cepat dapat dibentuk.  Selanjutnya saya dan Prof. Jamaris berkeliling untuk mendorong setiap sub-kelompok memilih ketuanya. Terpilihlah para ketua sub-kelompok, misalnya sub-kelompok 1 diketuai Prof. Tian Belawati (Rektor UR), kelompok 5 diketuai Drs. Suparman, M.Hum (Kepala P4TK PKn dan IPS Malang), kelompok 8 diketuai Prof. Ibnu Hajar (Rektor Unimed).

Ketika sub kelompok mulai bekerja, saya dan Prof. Jamaris menyusun skenario untuk pengendalian kerja, termasuk mengatur laporan sub-kelompok.  Prof. Jamaris nyeletuk: “Pak Muchlas banyak akalnya”. “Semula saya mengira akan sulit memandu sidang”. “Sekarang kita tinggal memantau”.  Saya komentari sambil berseloroh: “Itu keuntungan menjadi pimpinan sidang, karena berhak memerintah anggota”.

Pada acara penutupan ternyata saya dapat tugas lagi, yaitu mewakili peserta menyampaikan kesan-kesan selama mengikuti workshop.  Tugas itu disampaikan dengan catatan di kertas pada saat acara penutupan akan dimulai.  Jadinya saya bingung apa yang harus saya sampaikan.  Saya juga tidak sempat minta masukan kepada teman-teman peserta lain.

Karena yang akan menutup Pak Irjen (Prof Haryono Umar) saya terpikir untuk menyampaikan “keluhan” tentang DIPA PTN yang sampai saat ini masih dibintang.  Tentu cara menyampaikannya harus santun.  Oleh karena itu, saya sampaikan dalam bentuk simbolik, kurang lebih sebagai berikut: 

Konon di jaman dulu ada seorang raja pendiri sebuah kerajaan.  Sebagai pendiri kerajaan , raja tersebut sekaligus juga panglima perang.  Dan pernah memimpin peperangan yang menyebabkan telinga sebelah kanannya hilang karena tertebas pedang musuh.  Intinya raja tersebut kehilangan telinga kanan.

Raja tersebut memiliki dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan.  Ketika usianya sudah mulai uzur, raja tersebut bermaksud untuk menyerahkan tahta kepada anak laki-lakinya.  Niat itu disampaikan saat makan bersama permaisuri dan kedua anaknya.  Mendengar maksud itu, kedua anaknya ingin rakyat tetap mengenang sang raja sebagai Raja Agung.  Oleh karena itu, ingin dibuat lukisan yang indah dan dipasang di ruang yang biasanya digunakan untuk raja menerima punggawa kerajaan dan menerima tamu agung.

Untuk itu dibuatlah sayembara untuk membuat lukisan raja.  Lukisan yang terbaik akan dipasang dan pelukisnya mendapat habiah besar.  Pelukis yang pertama ternyata dari UT dan lukisannya berupa raja dengan pakaian perang, memegang pedang dan tameng.  Dilukiskan raja tersebut hanya memiliki satu telinga, sebelah kiri saja.  Menerima lukisan tersebut, putera mahkota tersenyum, tetapi puteri raja marah.  Ia mengatakan pelukis dari UT telah menghina raja.  (Saya sebut UT, karena Prof Tian Belawati tampak serius sekali mendengarkan cerita).  Dia katakan, telinga kanan raja memang hilang tetapi itu karena perang dan bukan aslinya.  Apa kata rakyat dikemudian hari yang tidak mengetahui sejarah hilangnya telinga kanan raja.  Jangan-jangan rakyat di masa datang mengira raja memang cacat sejak lahir.  Intinya puteri raja marah dan pelukis dari UT tersebut dihukum karena dianggap menghina raja.

Setelah beberapa minggu, datanglah pelukis dari USU Medan (Saya sebut USU, karena rektornya baru masuk ruang sidang).   Pelukis dari USU menggambarkan raja sedang duduk di singgasana dengan pakaian kebesaran.  Telinganya digambarkan dua buah dan memakai sumping.  Melihat gambar tersebut, puteri raja tersenyum simpul.  Namun, putera mahkota kaget.  Setelah itu sang putera mahkota memanggil sang pelukis dan marah.  Dia takut dikira keluarga kerajaan sebagai pembohong, karena menyuruh pelukis untuk menggambar raja dengan telinga dua buah.  Dia takut, suatu saat kelak, masyarakat tidak tahu bahwa itu kehendak murni di pelukis dan mengira sbagai  “pesanan” keluarga kerajaan.  Karena dianggap menjerumuskan keluarga kerajaan dalam fitnah, pelukis dari USU itu dimasukkan penjara.

Agak lama tidak ada lagi pelukis yang datang menyerahkan lukisan.  Mungkin pelukis bingung, bagaimana cara melukis raja.  Dilukis dengan telinga dua buah salah. Dilukis dengan satu telinga juga salah.  Akhirnya datanglah pelikus dari Jember (karena rektor Universitas Jember duduk di barisan paling depan).  Pelukis tersebut menggambarkan raja sedang menengok ke kanan.  Tentu telinga yang tampak hanya telinga sebelah kiri.  Sedang telinga sebelah kanan yang tertebas pedang tidak tampak.  Dengan begitu, gambar tersebut jujur dan juga tidak membuat puteri raja terhina.

Peserta tertawa mendengar akhir cerita tersebut. Setelah itu, saya sampaikan: Pak Irjen, seperti itulah kira-kira posisi rektor PTN saat ini.  Anggaran PTN sampai saat ini masih dibintang, sehingga belum dapat dicairkan.  Sementara kuliah harus tetap jalan.  Penerima beasiswa, termasuk Bidik Misi, juga harus tetap kuliah.  Dari mana uang untuk memberli bahan praktikum dan untuk memberi beasiswa Bidik Misi?  Mau menalangi dengan uang PNBP takut disalahkan.  Namun jika tidak ditalangi, sangat mungkin mahasiswa Bidik Misi akan drop out karena tidak punya uang untuk makan dan kost.  Praktikum juga akan berhenti karena tidak ada bahan.

Mendengar keluhan itu pesera bertepuk tangan dan saya sengaja diam sejenak.  Saya tidak mengharapkan Pak Irjen memberi jawaban.  Yang saya harapkan (dan saya yakin juga diharapkan oleh peserta lain) adalah, pihak Inspektorat Jenderal tidak menyalahkan, jika ada PTN menalangi kebutuhan praktikum dan beasiswa Bidik Misi, agar perkuliahan tetap jalan dan mahasiswa Bidik Misi tidak kelaparan.  Semoga.

Senin, 22 April 2013

KKN MENGAJAR ANAK-ANAK TKI DI PERKEBUNAN SAWIT DI SABAH


Prof. Rusdi adalah dosen Universitas Negeri Padang yang saat ini menjadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI Indonesia di Kualalumpur.  Saya mengenal beliau sudah cukup lama, saat yang bersangkutan masih di Padang dan menjabat sebagai Dekan Fakultas Bahasa. Prof Rusdi adalah doktor Bahasa Inggris, ramah, berperawakan sedang dengan kulit coklat.

Ketika mendapat undangan ke Kualalumpur untuk ikut membentuk Konsorsium Universitas Pendidikan, saya agak bingung.  Mengapa Atdikbud menjadi penyelenggara pembentukan konsorsium universitas?  Memang konferensi untuk membentuk konsosium tersebut dilaksanakan dengan bekerjasama dengan Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia. Namun tidak lazim Kedutaan atau Atdikbud menjadi penyelenggara pembentukan sebuah konsorsium.

Pertanyaan tersebut baru terjawab ketika sidang pembahasan program kerja.  Pada waktu pembukaan dan Prof. Rusdi menyampaikan laporan, sama sekali tidak disinggung mengapa Atdikbud menyeponsori pembentukan konsorsium.  Hanya disebut pentingnya konsorsium untuk mengembangkan pendidikan. Apalagi pendidikan di negara-negara Asia Pasifik banyak yang belum maju.  Dengan adanya konsorsium, universitas dapat bekerjasama dan saling bertukar pengalaman bagaimana memajukan pendidikan di negaranta.

Pada akhir pembahasan program, Prof. Rusdi yang menjadi pimpinan sidang bersama Prof . Zakaria bin Kasa (Vice Chancellor UPSI) mengusulkan program pertama konsosium adalah KKN untuk mengajar anak-anak TKI di perkebunan sawit di Sabah.  Disitu saya mulai mendapat jawaban mengapa Atdibud menjadi sponsor pembentukan CAPEU (Consortium of Asia Pacific Education Universities).  Memang Prof. Rusdi tidak menjelaskan lebih jauh mengapa ide itu diajukan.  Dan saya faham karena itu terkait dengan etika kenegaraan, jangan sampai masalah yang agak “memalukan” bagi Indonesia itu diungkapkan dalam forum internasional.

Sambil mengikuti sidang sambil saya berpikir, bukankah saat ini sedang berjalan program dari Ditjen Pendidikan Dasar yaitu semacam guru kontrak disana.  Alumsi LPTK diundang untuk menjadi guru kontrak selama 2 tahun dengan gaji lumayan besar.  Nah, bagaimana mengandengkan ide KKN dengan guru kontrak tersebut?  Harus dicari cara agar ide KKN tidak “bergesekan” dengan program yang telah berjalan.  Pemikiran itu yang saya sampaikan kepada Prof. Rusdi setelah acara selesai, dengan kesepakatan untuk saling kerjasama mengembangkan konsep dan berkomunikasi melalui email.

Sejauh yang saya ketahui, memang sangat malang nasib anak-anak TKI yang berada di perkebunan sawit di Sabah Malaysia.  Orangtua mereka tinggal di dalam perkebunan sawit yang jauh dari perkotaan.  Mereka sudah tahunan tinggal disana dan bahkan ada yang lebih dari sepuluh tahun.  Mereka banyak yang tinggal sekeluarga, sehingga banyak anak-anak yang lahir disana. 

Malangnya, konon hukum di Malaysia tidak memberi peluang anak-anak TKI tersebut bersekolah di “sekolah setempat” karena bukan warga negara Malaysia.  Akhirnya anak-anak itu tidak dapat sekolah.  Mau pulang ke tanah air, pada umumnya keluarga sudah lama tinggal di perkebunan sawit tersebut.  Ekonomi mereka juga tidak terlalu baik untuk dapat mengirimkan anaknya pulang ke tanah air.  Bahkan banyak diantara mereka yang bermasalah dengan ijin tinggal, sehingga tidak bebas untuk keluar dari perkebunan.  Kalau informasi itu benar, berarti banyak diantara keluarga TKI tersebut yang menjadi semacam “tahanan kebun sawit”.   Artinya, mereka bisa bekerja dan mendapat upah di perkebunan sawit, .  tetapi mereka tidak dapat bebas keluar perkebunan, karena permasalahan ijin tinggal.

Mereka itu warga negara Indonesia, walaupun mungkin sudah tidak memiliki KTP yang berlaku saat ini.  Kita harus membantu negara untuk membantu mereka, sesuai dengan kemampuan dan keahlian kita masing-masing.  Dari sudut pandang ini, gagasan Prof. Rusdi sungguh mulia dan perlu didukung.

Ketika pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengirim guru kontrak untuk mengajar anak-anak tersebut, masalah ijin tinggal dan bekerja seringkali muncul.  Untuk mengatasi masalah itu, Prof. Rusdi mengajukan gagasan untuk mengirim mahasiswa LPTK Indonesia mengambil kuliah di perguruan tinggi di Malaysia.  Dan ketika berstatus mahasiswa universitas di Malaysia itu mereka melaksanakan KKN untuk mengajar anak-anak TKI yang kurang beruntung tinggal di perkebunan sawit itu. Dengan begitu, masalah ijin tinggal dan mengajar di perkebunan sawit dapat teratasi.  Sungguh gagasan cemerlang.  Mari kita bergandeng tangan membantu melaksanakan gagasan mulia tersebut.

Sabtu, 20 April 2013

RESPONS TERHADAP KASUS UN: APA YA HARUS BEGITU?


Tahun lalu saya mengeluhkan pemuatan foto pengawas Ujian Nasional (UN) yang mengantuk (mungkin tertidur). Beberapa wartawan beralasan, salah satu tugas pers adalah menyampaikan fakta dan informasi kepada masyarakat.  Saya faham, pertanyaannya apakah harus dengan cara seperti itu?  Apakah pelaksanaan tugas kewartawanan harus “mengorbankan” pihak lain?  Bukankah dengan termuatnya foto tersebut citra pengawas tersebut akan rusak?  Pada hal mungkin saja pengawas tersebut mengantuk karena sakit atau alasan lain yang dapat diterima.  Bagaimana kalau ada wartawan yang mengantuk atau tertidur ditengah-tengah tugas peliputan?  Bagaimana jika wartawan yang tertidur tersebut difoto dan dimuat di koran lain?  Pada hal mungkin wartawan tersebut mengantuk, karena semalam tidak tidur karena anaknya sakit.

Pertanyaan, argumen dan sindiran tersebut saya sampaikan pada saat ada diskusi dengan para wartawan di stasiun TV.  Kebetulan topik diskusi tentang UN dan banyak wartawan dari berbagai media cetak yang hadir.  Seperti biasanya masing-masing pihak memiliki argument.  Saya sedih, karena kesan saya pemuatan foto pengawas ngantuk/tertidur tersebut dianggap wajar oleh para wartawan.  Oleh karena itu, di akhir diskusi saya berseloroh: “saya khawatir prinsip bad news is a good news dianut oleh wartawan kita”.  Dan seperti biasanya, teman-teman wartawan menyambut ungkapan saya dengan tertawa, seakan meng-iya-kan.

Tahun ini UN jenjang SMA/SMK/MA tidak dapat berjalan serempak.  Ada 11 propinsi yang UN-nya diundur.  Menurut berita hal itu terjadi, karena percetakan yang mengerjakan soal untuk 11 propinsi tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas dengan tepat waktu.  Media cetak dan elektronik seakan dapat berita yang laku keras.  Saya mencoba menghitung, hampir semua media menayangkan sisi negative dar persitiwa tersebut.  Media ramai-ramai memuat sisi negative, baik fakta kejadian maupun komentar berbagai pihak.  Misalnya, Kemdikbud dianggap tidak profesional, adanya sekolah yang soalnya kurang, sekolah yang soalnya tertukar, dugaan kong-kalikong tender pencetakan soal UN dan sebagainya.  Hampir tidak ada media yang memuat bagaimana berbagai pihak berupaya mengatasi masalah tersebut.

Saya tidak dalam posisi membela pihak manapun.  Namun, bukankah kita sadar bahwa berita koran maupun TV memiliki pengaruh kuat kepada masyarakat, termasuk siswa.  Jika siswa SMA kelas 3 membaca atau menonton tayangan tersebut, sangat mungkin akan menimbulkan keraguan atau ketidakpercayaan terhadap UN. Juga mungkin timbul ketidak-sukaan terhadap UN.  Nah, jika keraguan/ketidakpercayaan/ketidaksukaan tersbut cukup kuat, akan berpengaruh terhadap sikap positif mereka saat mengerjakan UN.  Dan jika itu terjadi, justru anak-anak SMA/SMK/MA yang menjadi korban.  Jangan-jangan yang sedang ikut UN dan terkena dampak tersebut anaknya para wartawan.

Kita tahu bahwa media, cetak dan elektronik merupakan pembentuk opini publik yang sangat kuat.  Jika koran dan TV punya kecenderungan memuat berita-berita yang bersifat negative, saya kawatir akan membuat masyarakat kita selalu berpikir negative terhadap pihak lain.  Pada hal, pikiran negative (negative thinking)  justru akan membuat kita tidak produktif dan berpikir dan bekerja.  Pikiran negatif akan membuat kita mencari “siapa yang salah” dan tidak terdorong untuk mencari bagaimana untuk mengatasinya.

Sudah saatnya kita mencoba merenungkan.  Kita harus membuang jauh-jauh, kesenangan saat orang lain menderita.  Sudah saatnya kita mementingkan bagaimana kita membantu menyelesaikan masalah dan bukan memperburuk situasi.  Tentu saja dari bidang kerja dan keahlian kita masing-masing.  Sudah saatnya pertanyaan: “Mengapa itu terjadi?” tidak diteruskan dengan pertanyaan: “Siapa yang salah?”.  Tetapi diteruskan dengan pertanyaan: “Bagaimana masalah tersebut dapat diatasi?”.

Sekali lagi, saya tidak dalam posisi membela siapapun.  Tetapi mengajak kita berkontribusi dalam menyelesaikan masalah dan berkontribusi agar masyarakat berpikir dan berbuat produktif.  Bahwa ada yang tidak beres dalam pelaksanaan UN atau kejadian lainnya tentu tidak boleh dibiarkan.  Namun biarlah masalah itu diurus oleh pihak yang berkompeten dan dengan cara yang profesional.  Kita hindari agar kita tidak memperkeruh suasana. Semoga.

Selasa, 16 April 2013

BUKAN HUTAN KAMPUS, TETAPI HUTAN KOTA DI KAMPUS UNESA


Tanggal 12 April 2013 Unesa punya gawe besar, yaitu meresmikan hutan kota.  Peresmian dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur dengan menandatangani prasasti serta melepaskan balon.  Selain dihadiri oleh sivitas akademika Unesa dan Gubernur beserta ibu, acara tersebut juga dihadiri oleh Sekda Jawa Timur yang sekaligus merangkap Ketua IKA Unesa beserta ibu, Walikota Surabaya, wakil dari Polda Jawa Timur, wakil dari Kodam Brawijaya, Bank BTN, Bank BNI, pada asisten Sekda Jawa Timur, Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, serta masyarakat sekitar kampus. Acara sangat meriah dan didahului dengan jalan sehat keliling kampus.

Gagasan membuat hutan kota, dilandasi oleh pemikiran bahwa kota Surabaya sudah berkembang menjadi kota metropolitan yang dipenuhi dengan mal dan bangunan-bangunan lainnya.  Lalu lintas sangat padat dan cenderung macet pada jam-jam berangkat dan pulang kantor.  Juga masih banyak industri di beberapa daerah.  Dapat dibayangkan betapa pekatnya polusi di kota Surabaya.  Oleh karena itu diperlukan hutan kota yang dapat berperan sebagai paru-paru bagi kota Surabaya.

Tentu tidak mudah untuk mendapatkan lahan luas di tengah kota untuk dijadikan hutan.  Jika ada tentu tidak banyak atau bahkan tidak ada yang merelakan.  Apalagi instansi bisnis. Bukankah nilai ekonomi lahan di kota sangat tinggi.  Pengamatan saya tidak ada instansi pemerintah yang memiliki lahan cukup luas.  Kebun Binatang saja konon sudah diincar investor untuk diubah menjadi kawasan bisnis.  Kebut Bibit di kawasan Bratang konon juga diperebutkan antara Pemkot Surabaya dengan pihak swasta.  Kompleks Marinir di Gubeng juga sudah berubah menjadi mal besar.  Kawasan Adityawarman kini juga sudah menjadi mal.

Lahan kampus Unesa di Lidah luasnya 83 HA dan berada di daerah bisnis yang strategis serta perumahan mewah.  Surabaya Barat tampaknya akan menjadi daerah bisnis dan hunian yang luas.  Saya menduga pada saatnya akan menjadi daerah dengan lalu lintas sangat padat dan mungkin juga bising.  Oleh kaena itu kami memutuskan untuk mendedikasikan sebagian lahan untuk hutan.

Luas lahan untuk hutan sebesar 4,2 HA.  Lahan tersebut dibagi menjadi zona-zona yang masing-masing zona akan ditanami berbagai jenis tanaman.  Tanaman di hutan akan terdiri dari 210 jenis dengan ratuan varietas dengan jumlah pohon sebanyak 3.756 batang.  Diharapkan nanti akan menjadi hutan kota yang lengkap koleksi tanamannya. Permulaan penanaman hutan kota sebenarnya telah dimulai tahun lalu oleh Walikota Surabaya, Ibu Risma, yang menanam pohon bisbul atau mertego dan oleh Rektor Unesa yang menanam pohoh kenari.  Dua pohon tersebut kini sudah tumbuh bagus.

Hutan tersebut bukan hutan kampus, tetapi hutan kota di kampus.  Memang, lahan hutan tetap milik Unesa.  Tetapi fungsi hutan bukan semata-mata untuk kepentingan warga Unesa, tetapi untuk warga kota Surabaya. Hutan kota tersebut diharapkan memiliki tiga fungi sekaligus dan itu yang menjadi moto hutan kota di kampus Unesa, yaitu KOSERVASI, EDUKASI, REKREASI.   Hutan tersebut diharapkan menjadi tempat konservasi berbagai tanaman asli Indonesia, sekaligus sebagai paru-paru kota dan tempat penyimpanan air.  Oleh karena itu akan ditanam berbagai jenis tanaman asli Indonesia yang sudah mulai langka.  Misalnya pohon Pulai yang ditanam oleh Gubernur Jawa Timur, pohon bisbul atau mertego yang tahun lalu ditanam oleh Walikota Surabaya, pohon kenari yang tahu lalu ditanam oleh rektor Unesa.  Berbagai pohon langka sedang disiapkan seperti pohon rukem, mundu dan sebagainya.  Dinas Kehutanan Jawa Timur dan Dinas Pertanian Kota Surabaya menyatakan siap memasok berbagai tanaman langka.

Fungsi edukasi dimaksudkan agar hutan kota tersebut nanti menjadi tempat anak-anak seusia SD dan SMP belajar IPA-Biologi.  Mereka dapat melihat dan mempelajari secara langsung berbagai tumbuhan yang mungkin sulit jika hanya belajar dari gambar.  Akan dirancang semacam Lembar Kerja Siswa (LKS) yang diberikan kepada siswa yang mengunjungi hutan tersebut.  Melalui LKS tersebut siswa dipandu mempelajari berbagai tumbuhan.  LKS tersebut diharapkan dapat diintegrasikan dengan pelajaran IPA Biologi di sekolah.  Unesa akan sangat senang, jika dalam merancang LKS dapat bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan para guru.

Fungsi rekrisasi dimaksudkan untuk warga Unesa, khususnya mahasiswa, anak-anak sekolah dan masyarakat luas, dapat menggunakan hutan tersebut untuk tempat rekriasi.  Oleh karena itu, hutan akan dilengkapi dengan danau kecil, lahan terbuka untuk aktivitas anak-anak dan sebagainya.  Mahasiswa dapat santai bercengkerama di tempat terbuka di hutan tersebut.  Akan dipasang WIFI sehingga mahasiswa juga dapat belajar dan mengakses internet di area hutan.

Disain hutan dibuat menyerupai pohon bakau.  Jika dilihat dari udara akan tampak pohon bakau dengan akar-akar yang kokoh, serta dahan dan rantingnya.  Pohon, akar, dahan dan ranting tersebut sebenarnya jalan-jalan utama, berupa jalan paving  dan jalan setapak dalam hutan yang berupa blok-blok beton.  Sedangkan rimbunnya daun bakau digambarkan dengan tanaman di hutan.

Ketika memberi laporan, saya berkelakar bahwa konon harga tanah di sekitar kampus Unesa Lidah 10 juta/m2.  Berarti dengan membangun hutan seluas 4,2 HA Unesa mendedikasikan lahan seharga 420 Milyar untuk kota Surabaya.  Semoga pihak lain terdorong untuk berperan serta mengembangkan hutan kota tersebut.

Minggu, 14 April 2013

DEFI BAGUS SATRIYO


Seperti saya ceritakan terdahulu, di hari pertama saya bersama dengan tim monev datang ke Desa Bulude Kecamatan Essang.  Sampai di lokasi (rumah tokoh masyarakat, sekaligus Ketua Komite Sekolah) disambut oleh Komandan Koramil, Kepala Desa Bulude dan Bulude Selatan, Kepala SMP Satu Atap Negeri 1 Essang di Bulude, Kepala Negeri 3 Essang di Mamahan, Kepala SDK Nazari Bulude, para siswa SD dan SMP serta warga sekitar.

Sungguh diluar dugaan. Walaupun kami datang sudah gelap (sekitar pukul 18.30an), tetapi mereka menunggu.  Halaman Pak Ketua Komite Sekolah dipenuhi para undangan, termasuk anak-anak SD dan SMP yang memakai seragam.  Halaman rumah dipasangi terop lengkap dengan janur.  Jadi mirip dengan orang punya hajat.  Ada upacara penyambutan secara adat, dengan bahasa daerah, sehingga diterjemahkan.  Artinya kurang lebih ucapan selamat datang.

Acara diisi dengan sambutan dan hiburan berupa tarian dan paduan suara anak-anak SD dan SMP.  Dan tentu saja sambutan tuan rumah dan tim monev.   Sungguh menarik, anak-anak itu sudah sejak pukul 15an menunggu dan tetap bersemangat saat menari.  Anak-anak SD menari tempurung yang diiringi lagu daerah yang dinyanyikan oleh gurunya.  Sangat khas.  Ketua Komite yang mewakili masyarakat menyampaikan “baru kali ini Bulude didatangi pejabat dari luar Talaud”.

Selesai acara “resmi” kami semua, tim monev dan semua yang hadir menikmati hidangan makan malam.  Konon makanan tersebut dimasak oleh masyarakat sekitar secara gotong royong.  Masakannya khas daerah dan dipenuhi oleh sea food.  Ada lobster besar-besar yang banyak di Talaud, ada ketam kenari yang sangat khas, berbagai jenis ikan laut, dan sayur-sayuran khas Talaud. 

Setelah selesai makan malam, kami minta waktu untuk ketemu dengan peserta SM3T.  Maksudnya untuk menerima laporan, apa yang sudah dilaksanakan dan apa masalah yang dihadapi, agar kami dapat membantu memecahkan.  Secara umum tidak ada masalah yang berat.   Seperti biasa, masalah utama adalah kekurangan guru sehingga peserta SM3T seringkali harus mengajar rangkap matapelajaran dan juga rangkap kelas untuk SD.  Kemampuan anak-anak SD dan SMP juga sangat “terbatas”, sehingga peserta yang mengajar di SMP takut bagaimana nanti anak-anaknya menghadapi Ujian Nasional.

Sambil mendengarkan peserta menyampaikan laporan, saya mencoba mengamati raut muka mereka.  Umumnya cerah dan tampak gembira.  Oleh karena itu, di sela-sela laporan saya menyela: “Kok sepertinya sudah para kerasan ya.  Apa lagi sudah pada bisa bahasa daerah”.  Dan serempak, mereka menyatakan kerasan.  Mungkin, karena masyarakatnya sangat ramah, terbuka dan ekonomi masyarakat baik, sehingga tidak ada hambatan yang terkait dengan makan, tempat tinggal dan interaksi mereka denga para guru serta masyarakat sekitar sekolah.

Tiba paga giliran Defi Bagus Satriyo, laporan yang disampaikan agak berbeda.  Alumni FIK ini bertanya bagaimana dapat membantu anak-anak Talaud yang memiliki prestasi bagus, agar dapat sekolah “keluar” Talaud.  Menurut dia, ada beberapa anak yang prestasinya bagus.  Anak-anak itu tidak akan berkembang maksimal kalau tetap sekolah di sekitar Bulude.  Defi ingin anak-anak tersebut dapat bersekolah di Jawa.  Namun, dia belum tahu caranya membawa anak-anak itu ke Jawa.  Bagaimana cara pindah dan mungkin terbayang siapa yang akan membiayai.

Saya terharu bercampur bangga mendapat pertanyaan itu.  Pertanyaan itu menunjukkan kepekaan Defi untuk membantu anak-anak Talaud yang berprestasi.  Dan jika anak-anak pandai yang dimaksud Defi memang ingin melanjutkan ke sekolah yang tinggi, maka ada indikator “sepasang” harapan saya terhadap program SM3T mulai tampak hasilnya.  Melalui SM3T saya berharap, di satu sisi, peserta yang nantinya menjadi guru mengenal Indonesia tidak hanya Jawa.  Banyak daerah lain yang keadaannya belum sebaik Jawa.  Namun di daerah itu pasti ada “mutiara” berupa anak-anak cerdas yang perlu pembinaan.  Saya yakin di kemudian hari, diantara peserta SM3T ada yang menjadi kepala sekolah, kepala dinas pendidikan kabupaten atau propinsi, bahkan akan menjadi bupati atau menteri.  Moga-moga setelah menjadi pejabat, mereka ingat daerah tempat mereka melaksanakan SM3T dan tetap ingin membantu.

Disisi lain, kehadiran peserta SM3T dapat menjadi “jendela” bagi anak-anak SD/MI, SMP/MTs dan SMK/SMK/MA setempat untuk melihat “dunia lain”.  Dunia yang lebih menjanjikan.  Melalui interaksi dengan peserta SM3T, diharapkan pada anak-anak setempat muncul keinginan untuk sekolah sampai keluar daerahnya.  Diharapkan dari anak-anak setempat muncul keinginan untuk kuliah di pergutuan tinggi dan paling tidak menjadi “orang-orang seperti peserta SM3T”.

Nah, pertanyaan Defi merupakan indikator kepedulian peserta SM3T untuk membantu anak-anak setempat.  Jika ternyata anak-anak setempat juga ingin sekolah ke Jawa, berarti “jendela” SM3T juga telah berfungsi.  Program SM3T telah menjadi wahana untuk mempercepat kemajuan SDM di Indonesia, khususnya bagi daerah tertinggal.

Merespons pertanyaan Defi, saya sampaikan bahwa peluang itu sangat banyak.  Di Jawa banyak sekolah yang mau menerima anak-anak pandai dari daerah.  Bahkan banyak yang mau memberikan beasiswa dan asrama.  Saya memberi contoh beberapa nama sekolah.  Memang pada umumnya sekolah swasta yang memiliki misi membantu masyarakat kurang mampu. Namun umumnya sekolah swasta yang bermutu bagus.  Oleh karena itu saya sampaikan kepada Defi dan peserta lainnya, tolong bertemu dengan anak tersebut, orangtuanya dan juga guru di sekolah setempat untuk merundingkannya. Jika mereka setuju dan bertekat kuat, kita siap membantu.  Semoga banyak Defi-Defi yang lain, sehingga tidak hanya menjadi “jendela” tetapi menjadi katalisator kesuksesan anak-anak cerdas dari daerah SM3T.  

Sabtu, 13 April 2013

TALAUD: DILUAR DUGAAN


Tahun 2013 ini Universitas Negeri Surabaya melaksanakan program SM3T (Sarjana Mengajar di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal) di empat kabupaten, yaitu Kab. Sumba Timur, Kab. Aceh Singkil, Kab. Talaud dan Kab. Maluku Barat Daya.  Berarti ada tambahan tiga kabupaten dibanding tahun lalu, yang hanya satu kabupaten, yaitu Kab. Sumba Timur.

Pada saat mengantar peserta, saya tidak dapat ikut karena ada acara lain yang tidak dapat saya tinggalkan.  Oleh karena itu, ketika Bu Lutfi (Prof Lutfiah Nurlaela) menawari ikut monitoring dan evaluasi, saya segera menyanggupi.  Melihat lokasi dan jadwal yang disodorkan, saya memilih pergi ke Kab. Talaud.  Pilihan itu karena saya belum pernah ke Talaud dan jadwalnya pas saya agak longgar.

Sebelum berangkat saya bertanya kepada Bu Lutfi, apa yang harus saya bawa.  Apakah saya harus membawa sepatu kets dan sebagainya?  Bu Lutfi menjawab, perlu membawa sepatu kets dan jaket.  Mendapat jawaban itu, saya membayangkan kondisi Kab. Talaud mirip dengan Kab. Sumba Timur, sehingga saya harus membawa sepatu kets dan jaket.  Apalagi saya dapat informasi bahwa di Kab. Talaud saya nanti akan naik rakit, karena ada sungai yang belum ada jembatannya.  Sementara sekolah yang akan dikunjungi berada di seberang sungai tersebut.

Saya membayangkan kondisi Kab. Talaud gersang, jalan-jalan tidak baik, kampung kumuh, kondisi ekonomi masyarakat rendah dan sekolah-sekolah tampak kumuh dan sebagainya.  Oleh karena itu, sejak di Surabaya saya menyiapkan diri menghadapi kondisi tersebut. Termasuk menyiapkan berbagai hal yang terkait untuk menguatkan motivasi pengabdian peserta SM3T.

Namun, begitu menginjakkan kaki di bandara dan dijemput Ibu Susan (Kasi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga/Dikpora), saya menyadari dugaan saya tersebut jauh dari kebenaran.  Jalan menuju kantor Dinas Pendidikan cukup mulus, rumah-rumah tertata rapid an lahan di kiri dan kanan jalan tampak hijau.  Memang jumlah kendaraan tidak banyak dan kalah banyak dibanding Sumba Timur.  Tetapi alam tampak lebih subur.

Hari itu juga kami (saya, Bu Lutfi, Bu Trisakti, Pak Sulaiman dan P Yoyok) langsung bergerak menuju tempat kami sudah di tunggu peserta SM3T.  Tempatnya di Desa Bulude Selatan.  Kami mulai bergerak dari kantor Dinas Dikpora sekitar pukul 13.30.  Jarak yang cukup jauh, jalan yang rusak parah di bagian pedalaman dan kondisi hari itu hujan, menyebabkan perjalanan lambat dan baru sampai di tujuan sekitar pukul 18.30.

Selama perjalanan saya menyaksikan kanan-kiri jalan dipenuhi kebun kelapa, kebuh cengkih dan kebun pala.  Memang kebun-kebun tersebut tampak masih tradisional dan kurang terawat secara baik.  Misalnya pohon-pohon kelapa banyak yang sudah tua dan tidak tampak peremajaan.  Demikian pula kondisi kebun pala dan kebun cengkih.

Namun pedesaan tampak bersih, banyak sekali bunga ditanam rapi di halaman rumah dan tepi jalan.  Jenis bunga yang paling banyak adalah bunga soka, yang do Surabaya termasuk bunga yang mahal. Halaman rumah ditanami tanaman sayur-sayuran dan tanaman bumbu untuk memasak.  Sekolah tampak bersih, halaman sekolah tertata rapi dengan tanaman bunga di sana-sini.  Kondisi gedung sekolah juga cukup baik, jauh lebih baik dibanding daerah lain, termasuk di pula Jawa.

Masyarakat Talaud ternyata sangat ramah dan memiliki budaya gotong royong yang masih cukup kuat.  Saya dapat informasi, makanan yang disajikan kepada kami dimasak oleh masyarakat sekitar sekolah.  Jika ada tamu ke sebuah keluarga, sudah biasa keluarga di sekitarnya  ikut membantu menyambut dan memberikan hidangan.  Saat saya melintas ada sekelompok orang yang sedang membangun rumah.  Ternyata pola gotong royong masih diterapkan untuk membangun rumah dan juga untuk memisahkan cengkeh dari tangkainya saat panen.

Saya juga melihat banyak antene parabola di rumah penduduk.  Konon hampir setiap rumah memiliki TV dan kultas.  Bahkan beberapa rumah memiliki freezer untuk menyimpan ikan hasil tangkapan.  Oleh karena itu saya meyakini kondisi sosial ekonomi masyarakat Talaud sangat baik.  Sayang, ketika bertanya berapa PAD Kab. Talaud saya tidak mendapatkan jawaban yang jelas.

Dua hari menjelalah Kab Talaud untuk mengunjungi banyak sekolah di Kab. Talaud, dalam benak saya berkecamuk pikiran dan pertanyaan.  Pertama, bagaimana situasi pedesaan tertata sangat rapi dan bersih.  Walaupun jalan banyak yang rusak berat, tetapi pedesaan tertata rapi dengan tanaman bunga di pinggir jalan dan halaman rumah.  Lahan di sekitar rumah penduduk tampak tertanami bunga, buah-buahan seperti jeruk, rambutan, mangga dan sebagainya.  Juga banyak tanaman sayuran dan empon-empon.  Konon itu dampak dari lomba desa yang setiap tahun dilakukan.  Saya masih penasaran, rasanya ada faktor lain yang membuat keadaan desa seperti itu.

Kedua, sekolah-sekolah tampak bersih dan tertata rapi.  Ruang kelas tampak bersih, kamar kecil bersih dan halaman sekolah ditanami banyak bunga.  Rasanya kondisi sekolah-sekolah di Kab. Talaud lebih baik dari sekolah-sekolah di daerah lain, termasuk di Jawa.  Beberapa guru menyatakan hubungan sekolah dengan masyarakat sekitar sangat baik, sehingga masyarakat banyak membantu sekolah.  Termasuk ketika kami datang, Kepala Desa dan warga sekitar ikut menyambut dan ikut menyediakan makanan.

Ketiga, jalan rusak berat. Yang baik hanya di sekitar ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan Beo.  Banyak jembatan yang utus atau sungai yang belum ada jembatannya.  Pada hal kebun kelapa, kebuh cengkih dan kebun pala tersebar di selurih daerah.  Hasil tangkapan ikan juga sangat banyak.  Banyak “gunungan” buah kelapa di tepi jalan dan banyak yang keluar tunasnya.  Mungkin terlalu lama menunggu angkutan. Terpaksa hasil kebun tersebut dipikul atau diangkut dengan gerobak sampai jalan yang dapat dilalui truk.  Sangat mungkin biaya angkut jadi sangat mahal.  Hasil tangkapan ikan juga hanya untuk konsumsi lokal.

Ke empat, teknologi pertanian dan pengolahan hasil pertanian dan perikanan tampaknya belum menyentuh Kab. Talaud.  Pola tanam perkebunan kelapa, pala dan cengkih masih tampak tradisional dan tidak tampak ada peremajaan.  Kebun sepertinya tidak terpelihara dengan baik.  Melihat tingginya pohon kelapa yang mencapai lebih 30 meter dan pohon cengkih yang sudah 25 meter-an, semestinya sudah dimulai peremajaan.  Lokasi pohon kelapa yang “berserakan” menunjukkan itu tanaman lama yang belum diatur. 

Kelima, kondisi sarana-prasarana sekolah tampak sangat baik.  Namun jumlah guru sangat kurang.   SMP Negeri dan SMP Satu Atap yang saya kunjungi sangat kekurangan guru.  Ada SMP Negeri yang tidak memiliki guru bidang studi tertentu, misalnya IPA dan Bahasa Inggris.  Juga ada SD Negeri yang gurunya hanya dua orang termasuk kepala sekolah.  Banyak sekolah yang mengangkat guru honorer yang rata-rata tamatan SMA.

Dari kelima catatan tersebut, dapat dihipotesiskan bahwa Kab. Talaud memiliki modal kuat tetapi belum diolah dengan baik.  Kebun kelapa, cengkih dan pala serta ikan laut merupakan sumberdaya alam yang sangat besar.    Hanya saja, keduanya belum diolah dengan sentuhan teknologi yang memadai.  Dukungan prasarana ekonomi juga belum memadai.  Budaya masyarakat juga sangat baik.  Hanya saja, pendidikan belum ditangani dengan baik.  Jika pendidikan di Kab. Talaud maju, saya yakin akan mengubah pola pikir dalam berkebun maupun [ara nelayan.  Semoga menjadi pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait.

Sabtu, 06 April 2013

KHAWATIR MENGHADAPI UN


Akhir-akhir ini demam menghadapi Ujian Nasional (UN) tampak mewabah. Dalam dua minggu ini, saya sudah mengisi lima  kali acara yang terkait dengan UN.  Dua kali diundang saat acara do’a bersama dan tiga kali diminta untuk memberi motivasi.  Rasanya saya kok seperti menjadi “dukun” bagi mereka yang risau menghadapi UN.

Saat bertemu dengan para kepala untuk memberi motivasi, saya menayangkan foto siswa yang sedang mengerjakan UN, guru yang sedang mengajar dan orangtua siswa yang mengantar anaknya mendaftar sekolah.  Saya tanyakan kepada para guru, siapa diantara tiga orang tersebut (siswa, guru dan orangtua) yang paling takut dan khawatir menghadapi UN?  Hampir serempak mereka menjawab: “guru”.  Ketika saya tanyakan, setelah guru siapa yang juga khawatir?  Mereka menjawab: “orangtua”.

Mendengar jawaban itu saya lantas ingat keluhan Rektor ITS (Prof Triyogi Yuwono) yang tahun ini salah satu putranya akan ikut UN SMA.  Beliau sangat risau, karena putranya tidak begitu rajin belajar.  Beliau bercerita, ketika ditegur putranya menjawab dengan ringan: “Kenapa sih, kok ribut amat, wong UN gitu saja kok”.   Saya menduga peristiwa seperti itu, banyak terjadi pada keluarga lainnya.  Orangtua begitu khawatir dan meminta putranya lebih rajin belajar.  Sementara sang putra menganggap UN itu ringan dan belajar yang dilakukan selama ini sudah cukup.

Mengapa fenomena tersebut terjadi?  Untuk memudahkan memahami, berikut ini analoginya. Saat melaju, sopir dengan tenangnya mengemudikan mobil.  Namun seringkali justru penumpang yang khawatir?  Kenapa?  Karena sopir tahu pasti apa yang dilakukan dengan berbagai pertimbangannya.  Sementara penumpang yang tidak faham mengapa itu terjadi, sehingga takut.  Mirip itu, guru dan orangtua khawatir karena tidak faham apa yang telah dan akan dilakukan siswa untuk menghadapi UN.  Sementara siswanya sendiri tenang-tenang, karena faham apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi UN.

Tentu ada siswa yang ceroboh menghadapi UN.  Siswa seperti itu tidak belajar dengan baik, tetapi tetap tenang-tenang saja.  Mirip itu, juga ada sopir yang kurang terampil dan bahkan “ugal-ugalan”.  Sopir seperti itu akan mengemudikan mobil se-enaknya tanpa memperhatikan keselamatan penumpang.   Namun, saya yakin jumlah siswa yang ceroboh dan sopir yang ugal-ugalan tersebut tidak terlalu banyak.  Jadi guru dan orangtua yang khawatir, bukan hanya yang siswanya kurang persiapan.  Guru dan orangtua yang anaknya rajin belajarpun ikut khawatir.  Mirip penumpang bis, yang walaupun sopirnya ahli seringkali tetap khawatir.

Saya dapat memahami kekhawatiran guru dan orangtua seperti digambarkan di atas.  Namun sebaiknya tidak berlebihan, yang justru berpengaruh negatif terhadap psikologis siswa.  Kekhawatiran yang berlebihan, kadang-kadang menjadi “ketidakpercayaan” guru terhadap siswa dan “ketidakpercayaan”  kepada anaknya. 

Untuk menghadapi UN atau ujian dalam bentuk apapun, diperlukan dua bekal pokok.  Pertama, penguasaan materi UN.  Belajar yang rajin dan latihan mengerjakan soal-soal adalah bagian dari memperkuat penguasaan materi UN.  Kedua, kemantapan psikologis menghadapi UN.  Dengan bekal kepercayaan diri yang kuat/mantap, siswa akan dapat mengerjakan UN dengan tenang.  Sebaliknya, jika kepercayaan diri tidak mantap seringkali siswa akan “grogi” dalam mengerjakan UN. Akibatnya siswa tidak dapat mengerjakan UN dengan baik.

Kekhawatiran guru dan orangtua yang berlebihan, apalagi kemudian diperlihatkan secara menyolok kepada siswa, dapat menurunkan kepercayaan diri si siswa.  Dan jika itu terjadi, justru menimbulkan dampak negatif bagi siswa yang telah bekerja keras menyiapkan diri.  Oleh karena itu, khawatir boleh tetapi jangan berlebihan.  Dan sebaiknya guru dan orangtua tidak menampakkan kekhawatiran itu kepada siswa atau anaknya.  Berilah dukungan psikologis, agar siswa/anak melangkah dengan mantap memasuki ruang UN. Semoga.