Minggu, 29 September 2013

OENARDI DAN PELATIHAN WBI

Pak Oenardi Lawanto adalah dosen Department of Engineering Education Utah State University dan berasal dari Surabaya.  Saya kenal P Oenardi sekitar dua tahun lalu, dikenalkan oleh Dekan Fasilkom UI, Pak Chan Basarudin.  Lewat perkenalan itulah mulai dijalin hubungan kerjasama antara Unesa dengan Utah State University (USU).  Seperti saya ceritakan yang lalu, tanggal 25 September MoU sudah ditandatangani dan skenario kerjasama sudah disusun. 

Kini saya ingin bercerita tentang Pak Oenardi.  Tentu serba sedikit karena itu baru yang saya miliki.  Orang Surabaya yang menjadi dosen senior di USU.  Dan dari rapat di Departemen Engineering Education dia termasuk yang sangat dipercaya. Cerita yang serba sedikit ini saya harap bermanfaat bagi anak muda yang sedang mencari peta jalan hidupnya.

Pak Oenardi adalah keturunan Tionghoa dan asli Surabaya.  Orangtuanya tinggal di Darmo Permai.  Sampai SMA di Surabaya.  Seingat saya, dia lulusan SMA Dapena di Jalan Sumatra.  Setelah itu melanjutkan kuliah di Iowa State University dan mengambil jurusan Electrical Engineering.  Selesai kuliah, kembali ke Surabaya dan mengajar di Ubaya selama 15 tahun.

Ketika menjadi dosen Ubaya itulah Pak Oenardi mengenal “pendidikan sebagai bidang ilmu”.  Awalnya dia mengikuti workshop yang dilaksanakan oleh World Bank Institute (WBI)  tentang pembelajaran di perguruan tinggi.  Pola workshopnya sangat unik.  Sebelum berangkat workshop peserta diminta mengidentifikasi problema yang dihadapi ketika memberi kuliah.  Ada format tertentu yang harus diikuti dalam melakukan identifikasi masalah.  Tahap ini disebut Siklus 1.

Setelah itu peserta dipanggil untuk mengikuti Siklus 2 di Bangkok.  Ingat saya waktunya 1 minggu.  Selama itu peserta dipandu untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi dan mencari solusi mengatasinya.  Mungkin menerapkan authentic problem based learning.  Peserta yang lebih banyak aktif dan instruktur lebih banyak sebagai fasilitator.  Teori hanya dibahas sebagai back up ketika membahas mengapa masalah itu terjadi dan mengapa solusi itu yang diajukan.

Di akhir Siklus 2, peserta diminta untuk menyusun action plan untuk menerapkan pemecahan masalah yang dihasilkan selama diskusi.  Masalah yang diidentifikasi pada Siklus 1, solusi yang diajukan dan dibahas selama Siklus 2 dan action plan yang diajukan harus nyambung menjadi satu rangkaian dengan logika yang jelas.  Action plan itu nanti harus mendapat persetujuan oleh rektor atau pimpinan lembaga dimana peserta bekerja. 

Selesai itu workshop masuk ke Siklus 3, yaitu pelaksanaan action plan.  Begitu kembali ke tempat bekerja langkah pertama peserta harus mendapatkan tanda tangan bukti persetujuan pimpinan terhadap action plan tadi.  Tampaknya itu menjadi syarat peserta dapat berlanjut ke Siklus 3.  Tanpa itu, peserta tidak dapat melaksanakan action plan yang telah dibuat .

Ketika melaksanakan action plan, peserta diminta untuk berbagai pengalaman antara satu dengan lainnya.  Juga diharapkan saling memberi masukan terhadap permasalahan yang timbul ketika action plan dijalankan.  Instruktur selalu memantau jalannya Siklus 3 dan memberikan panduan agar dapat berjalan baik. Dibuat mail list sebagai wahana komunikasi antar peserta dan juga dengan instruktur.  Juga web untuk memuat perkembangan action plan yang telah dibuat.  Dengan cara itu, pelaksanakan action plan dapat dipantau oleh instruktur, didiskusikan antar peserta dan juga dengan instruktur. 

Di akhir Siklus 3, peserta diminta untuk membuat laporan dan akan dibahas nanti pada Siklus 4.  Pada Siklus 4 semua peserta kembali berkumpul untuk mendikusikan pelaksanaan action plan dengan berbagai aspeknya.  Dalam Siklus 4, peserta didorong untuk berbagi pengalaman dan berbagai gagasan untuk menemukan cara yang terbaik.

Di akhir Siklus 4, peserta kembali diminta membuat action plan untuk mensosialisasikan pola pembelajaran yang dikembangkan dalam Siklus 3.  Dengan catatan, tahapan Siklus 1-4 diterapkan namun dalam wilayah universitas. 

Setelah peserta pulang, action plan dimintakan persetujuan rektor.  Dan setelah itu dilaksanakan.  Tahap ini disebut Siklus 5 sebagai siklus terakhir.  Dalam pelaksanaan Siklus 5 pola komuniasi pada Siklus 3 tetap dilaksanakan.

Selesai mengikuti workshop yang mencakup 5 siklus itulah Pak Oenardi merasakan pentingnya “ilmu pendidikan” sebagai bekal mengajar.  Menurut Pak Oenardi, dosen yang tidak memiliki bekal itu seringkali mengajar “sekenanya” dan cenderung menganggap mahasiswa sebagai obyek.  Itulah yang mendorong Pak Oenardi mendalami bidang pendidikan dan kemudian mengambil S3 bidang Engineering Education di Illinois University di Urbana Champaign dan sekarang menjadi salah satu dosen senior bidang itu di USU.

Dari cerita yang saya dapat, penelitian Pak Oenardi dan kawan-kawannya juga berkisar pada bagaimana cara pembelajaran yang terbaik bagi mahasiswa Tehnik.  Bahkan diarahkan untuk mengatasi kesulitan belajar mahasiswa College of Engineering tingkat awal yang umumnya banyak masalah.  Oleh karena itu disamping memberi kuliah di Departemen Engineering Education, dosen-dosen diwajibkan mengajar kelas awal di bidang Engineering.  Maksudnya biar mengetahui apa problem nyata yang terjadi.

Dari cerita Pak Oenardi, paling tidak ada dua pelajaran.  Pertama, dosen yang baik memerlukan bekal kemampuan mengajar yang cukup.  Pak Oenardi yang lulusan S2 Iowa University merasa tidak cukup mengajar, karena tidak memiliki bekal tentang kependidikan.  Setelah mengikuti workshop WBI perasaan itu tambah menguat dan akhirnya memutuskan menempuh S3 dalam Engineering Education.

Kedua, pelatihan yang baik ternyata mampu membuat peserta merasakan manfaat yang besar.  Problem based learning merupakan salah satu pola yang bagus bagi pelatihan bagi orang-orang yang menekuni pekerjaannya. Dengan pola itu peserta merasa mampu memecahkan masalah yang dihadapi.  Saling tukar pengalaman ternyata sangat membantu peserta dalam menjalani problem based learning.    


Semoga pengalaman Pak Oenardi memberi inspirasi bagi orang yang menekuti bidang Pendidikan Teknologi dan Kejuruan di Indonesia.  Semoga kita menjadi orang yang pandai bersyukur karena telah menempuh bidang yang ternyata penting.

Sabtu, 28 September 2013

KUNCINYA LAW ENFORCEMENT

Seperti saya ceritakan yang lalu, kami diservis oleh Utah State University (USU) dengan diajak ke Yellow Stone untuk melihat Geyser.  Lokasinya di negara bagian Wyoming.  Perjalanan dari kampus USU Logan ke Yellow Stone sekitar 5 jam.  Karena cuaca sudah mulai salju, maka diatur agar dapat sampai di Yellow Stone sebelum jam 12.  Oleh karena itu rombongan berangkat dari Logan sekitar pukul 16 dan menginap di Jackson Hole, kota kecil antara Logan dan Yellow Stone.

Rombongan terdiri dari Pak Oenardi (dosen USU asal Surabaya), Bu Oenardi (biasa dipanggil Bu Naniek), Pak Kirt (bule-dosen USU), Pak Ketut Budayasa, Pak Harsono, Bu Masitoh dan saya.  Yang menjadi sopir Pak Oenardi dan saya diminta duduk di sebelahnya.  Di kursi tengah Bu Oenardi dan Bu Masitoh. Di kursi belakang Pak Ketut, Pak Harsono dan Pak Kirt.  Saya tawarkan agar Pak Kirt duduk di depan, karena kakinya panjang.  Saya akan di belakang sambil tidur.  Namun Pak Kirt menolak jadi akhirnya saya duduk di samping sopir.

Ketika mobil melaju di highway tiba-tiba Bue Oenardi nyeletuk kira-kira: “Awas ada polisi sembunyi. Apa tidak over speed?”.   Saya menimpali “lho disini polisi juga suka sembunyi?”.  Ternyata di Utah, polisi juga sering sembunyi.  Kalau ada yang melanggar aturan akan dikejar dan dihentikan. Dan orang tidak dapat menghindar, karena semua terekam oleh camera yanga da dimana-mana. Kata Pak Oenardi, jangan coba-coba menyuap polisi di Amerika Serikat.  Urusannya jadi panjang.  Bisa jadi disamping melanggar akan dituntut karena berusaha menyuap petugas.

Berangkat dari peristiwa kecil tadi terjadilah diskusi tentang bagaimana law enforcement ditegakkan di Amerika Serikat.  Tidak hanya di negara bagian Utah tetapi juga di daerah lainnya. Pelanggaran terhadap aturan akan ditindak tegas.  Tidak ada ampun, kecuali ada alasan yang kuat.  Dan dendanya sangat besar.  Merokok di tempat dilarang merokok dendanya 200 dolar atau sekitar 2 juta.  Pernah ada orang Indonesia meninggalkan anaknya yang masih kecil sendirian di rumah.  Menurut undang-undang Amerika Serikat, orang tua dilarang meninggalkan anaknya sendirian, jika usianya dibawah 12 tahun.  Orang tua tersebut dipanggil polisi dan anaknya diambil paksa oleh negara.  Dianggap orang tersebut tidak bertanggung jawab.  Baru setelah dijelaskan bahwa dia orang Indonesia dan baru tiba di Amerika Serikat dan belum tahu aturan itu, kemudian diampuni.

Kalau dilihat aturannya , sebenarnya sebagian besar ada di Indonesia.  Misalnya, tanda STOP di beberapa bagian jalan.  Di Indonesia juga ada. Biasanya di dekat lintasan rel kereta api.  Tanda itu berarti pengemudi harus stop dulu, melihat kiri-kanan, jika aman baru jalan.  Bukan jalan pelan-pelan sambil lihat kiri-kanan kalau tidak aman baru stop.  Di Amerika, jika ada tanda itu dan mobil tidak berhenti akan didenda.  Parkir di tempat yang salah akan didenda.

Mengapa hal itu dapat terjadi?  Mengapa orang begitu menaati aturan?  Mengapa petugas tidak mau disuap?  Apakah begitu baik kesadaran hukum?  Apakah ada sistem yang memaksa orang Amerika berlaku seperti itu?  Tampaknya kedua faktor itu berjalan saling meguatkan.  Sistem memaksa orang Amerika mematuhi hukum.  Dan orang Amerika juga memiliki kesadaran untuk melaksanakannya.  Namun penerapan hukum yang kuat yang menjadi kuncinya.

Jika ada orang melanggar lalu lintas dan dihentikan oleh polisi, maka polisi akan menunjukkan rekaman kamera apa pelanggaran yang dilakukan.  Sebelum meminta pengemudi keluar dari mobil, melalui komputer di mobilnya, polisi akan mencari data siapa pemilik mobil tersebut.  Ketika pengemudi sudah keluar, polisi juga segera mencari data siapa pengemudi tersebut.  Dan semua peristiwa itu, termasuk dialog antara polisi dan pengemudi yang ditangkap terekam oleh kamera yang ada di mobil polisi.  Jadi orang tidak dapat berbuat “aneh-aneh” karena semua terekam dan data itu langsung masuk ke server kepolisian.

Ketika menuju ke Yallow Stone, kami melintasi hutan pinus.  Tampak pohon pinus yang mati dan bahkan tumbang.  Mengapa tidak diambil orang?  Pada hal di Utah banyak rumah terbuat dari kayu pinus.  Di sepanjang jalan saya juga melihat banyak orang mincing di pinggir hutan.  Dan katanya untuk memancing orang harus membeli ijin.  Ketika tiba di Yellow Stone, pengunjung melihat geyser dari jalan terbuat dari papan.  Mengapa pengunjung tidak ada yang turun dari jalan tersebut dan mendekat ke geyser?

Contoh di atas menjadi bahan diskusi dalam perjalanan pulang dari Yellow Stone.  Dari penjelasan Pak Oenardi dan Pak Kirt dapat disimpulkan bahwa sekali lagi penegakan hukum (law enforcement) yang menjadi kuncinya.  Orang memancing dan tidak memiliki ijin akan didenda besar.  Mengambil kayu di hutan akan didenda jauh lebih tinggi dari harga kayu.  Orang yang memiliki kayu dan tidak dapat menunjukkan bukti dari mana kayu diperoleh akan diusut.   Orang mempunyai harta dan tidak dapat menjelaskan dari mana harta itu diperoleh akan dianggap barang tidak sah dan dapat dirampas.

Sungguh menarik.  Lalu lintas menjadi tertib karena tidak ada orang melanggar.  Jalan-jalan jadi bersih, karena tidak ada orang membuang sampah sembarangan.  Orang memarkir mobil di jalanan, karena tidak takut dicuri orang.  Antrean juga tertib dan tidak ada orang menyerobot.  Penghuni hotel selalu membuang sisa makanan  ketika sarapan pagi. Demikian pula saat kita makan di fast food. Semoga kita menjadi pebelajar yang baik dalam membangun peradaban. 

Kamis, 26 September 2013

BELAJAR MANAJEMEN WAKTU DI UTAH STATE UNIVERSTY

Tanggal 25 September 2013 saya bersama Prof Ketut Budayasa, Prof Siti Masitoh dan Dr. Suharsono berkunjung ke Utah State University (USU) di Logan.  Tujuan utama adalah MoU dengan President USU yang dijadwalkan pukul 11 waktu setempat.   Kami datang di Logan< lokasi USU,  tanggal 24 September 2013 sekitar pukul 19.30 dan mengingap di hotel kampus.

Sebelumnya kami sudah diberi agenda acara selama di USU yang menurut saya sangat padat.   Pukul 8.15 dijemput dari hotel, 9.00-10.30 rapat dengan Departemen Engineering Education, 10.45-11.15 menandatangani Mou dengan President USU, 11.30-12.30 rapat dengan Global Engagement Office, 12.30-13.45 makan siang, 14.00-15.00 rapat dengan College of Education.  Pukul 3.30 kami sudah harus siap untuk pergi ke Jackson Hole, untuk “diservis” melihat Yellow Stone yang konon sangat indah. Dalam hati saya bertanya, apakah betul jadwal yang begitu ketat dapat dengan baik?  Apakah rapat yang hanya 1,5 jam itu mencapai hasil yang diinginkan?

Betul juga, pukul 8.10 Pak Oenardi, dosen USU asal Surabaya, sudah sampai di hotel.  Untunglah kami sudah selesai sarapan, sehingga langsung berangkat.  Berjalan kaki dibawah hujan rintik-rintik.  Karena masih ada waktu sekitar 10 menit, kami sempatkan melihat perpustakaan yang kebetulan berlokasi di dekat tempat rapat dengan Departemen Engineering Education.

Tepat pukul 9, rapat dimulai di Departemen Engineering Education dan diikuti oleh 10 orang.  6 orang dari USU dan 4 orang dari Unesa.  Yang menarik 6 orang dari USU yang “bule” hanya 2 orang, 1 orang berasal dari Indonesia, 1 orang berasal dari China, 1 orang dari Amerika Latin.

Rapat berjalan sangat efisien.  Dalam waktu kurang dari 90 menit, dapat disepakati antara lain, pihak USU memberikan trik bagaimana agar dosen Unesa dapat diterima di S3 di USU, USU dan Unesa akan menyusun road map riset dalam bidang Engineerinf Education dengan melibatkan pihak lain yang tertarik. USU akan mencarikan beasiswa bagi dosen Unesa yang diterima di USU tetapi tidak memperoleh beasiswa Dikti, USU dan Unesa akan menyiapkan skenario agar ada beberapa orang yang dapat program SAME.

Selesai rapat kami segera berjalan menuju kantor President USU, ditengah hujan yang cukup lebat.  Begitu datang, Shelly Hermandez dari Global Engagement sudah siap di tempat.  Setelah kami duduk sebentar president USU, Prof Stan L. Albrecht, keluar menyambut dan acara dimulai.   Yang mengagetkan President USU menyebut nama kami satu persatu dan bahkan tahu kalau kami akan ke Yellow Stone.  Orangnya sangat ramah. Ketika saya beri cindera mata dan saya jelaskan arti lambang ikan sura dan buaya, dia ketawa dan berkomentar kira-kira: “I will keep in my mind and out this souvenir in my room”.

Acara MoU berjalan lancar dan selesai tepat waktu.  Tiga puluh menit ternyata cukup, termasuk saling memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang Unesa.  Termasuk juga obrolan tentang Indonesia vs Bali.  Bahkan Prof Albrecht mengatakan putra salah satu stafnya berkerja sebagai sheff di sebuah hotel di Bali.  Dia juga tahu tentang beasiswa Dikti dan menanyakan berapa orang yang ke Amerika Serikat, ke Australia, ke Eropa dan sebagainya. Dia juga berkomentar, banyak yang memilih ke Belanda karena historical background.  Saya numpangi joke “or maybe it’s very easy to get Indonesian food there”.

Selesai acara MoU dengan president USU, kami segera berjalan ke kantor Global Engagement.  Lagi-lagi dalam situasi hujan, sehingga harus memakai payung.  Disana kami mendapat penjelasan tentang apa saja cakupan kerja Global Engagement .  Yang menjelaskan Shelly Henmandez, karena Merry Hubart sedang tidak ditempat.  Sendirian Shelly melayani kami, mulai membuatkan teh, menjelaskan cakupan kerja sampai menjemput dan mengantar kami.

Rapat dengan  College of Education bahwa dapat dimulai lebih awal, kira-kira pukul 13.50.  Marrha Dever, Associate Dean, menjelaskan berbagai program di College of Education.  Saya senang sekali dengan keterbukaan USU untuk bekerjasama dengan PAUD dan PGSD Unesa.  Jujur, setelah MIPA, Bahasa, dan PTK punya partner, kini Unesa harus kerja keras mencarikan partner MP, TEP, PGSD, PAUD dan Olahraga.  Kemampuan bahasa Inggris staf pengajar perlu segera didongkrak untuk memuluskan upaya tersebut.

Pak Ketut meyakini, Unesa dapat mengirim 2 dosen untuk menempuh S3 PAUD di USU.  Saya yakin jika ikut terlasana akan menjadi “jembatan” kerjasama lebih lanjut.  Mirip dengan upaya Unesa mengirim FT menempuh S3 di bidang Engineering Education di USU.  Jadi pengiriman dosen menempuh S2 atau S3 dan juga mengikuti program SAME bukan sekedar untuk diri pribadi yang bersangkutan, tetapi untuk menjalin kerjasama internasional.

Apa yang dapat dipelajari dari serangkaian acara di USU.  Paling tidak, dua hal.  Pertama, persiapan yang baik.  Semua acara disiapkan dengan rapi.  Tempat, peserta, kelengkapan acara dan sebagainya disiapkan dengan baik.  Termasuk peserta sudah membaca atau mengetahui apa yang akan dibahas dan dengan siapa pembahasan dilakukan.

Kedua, semua peserta memegang jadwal waktu dengan baik.  Datang tepat waktu dan tampak sekali menyelesaikan acara tepat waktu.  Dengan pola itu rapat berjalan sangat efisien dan tidak bertele-tele.  Tetap ada basa-basi, misalnya menyakan perjalanan.  Tetap ada perkenalan, baik individu atau lembaga.  Namun semua serba singkat dan langsung menukik ke acara inti.  Waktu 24 jam sehari semalam yang dikarunikan Sang Khaliq tampak digunakan sebaik-baiknya.  Bukankah itu salah satu bentu syukur ke Sang Pemberi Waktu?  Semoga kita menjadi pebelajar yang baik.

Rabu, 25 September 2013

BERPIKIR BESAR

Senin tanggal 23 September 2013 adalah hari paling longgar selama saya di Amerika Serikat.  Karena acara MoA dengan NIU diajukan pada hari Minggu sore, maka praktis Senin tidak ada acara yang terjadwal.  Satu-satunya acara adalah berkunjung ke Konsulat Jenderal RI di Chicago.  Mas Jepri Edi, diplomat muda di Konjen Chicago sangat baik hati.  Minggu mengantar ke NIU DeKalb dan Senin pagi menjemput kami untuk ke Konjen.

Konsul Jenderal di Chicago, Pak Andriasa Supandy, sangat baik.  Masih muda, tampan, sudah menduduki posisi konsul jenderal.  Kabarnya dia juga pernah di rumah tangga kepresidenan.  Saya menduga dia orang “pilihan” sehingga  sangat mungkin kariernya akan cemerlang. Pak Konjen menjelaskan potensi negara-negara bagian Mid West.  Katanya sangat mungkin tempe yang kita makan di Indonesia, kedelenya dari daerah Mid West.  Mid West memang terkenal lumbung jagung dan kedele.  Kantor pusat Mc Donald juga di Chicago.  Jadi setiap makan Mc-D berarti kita menyumbang kepada Chicago.  Kantor pusat Buing juga di Chicago.

Selesai acara kami segera minta diri.  Disamping takut mengganggu waktu Pak Konjen, juga ingin melihat-lihat kota Chicago.  Di lift kami bertemu dengan Pak Dodi, staf KJRI yang kemarin mengantar ke NIU DeKalb.  Ternyata beliau ditugasi KJRI Chicago untuk mengantar kami sight seeing.  Baik sekali KJRI, hari minggu mengantar kami ke DeKalb dan senin mengantar keliling kota.

Jadilah kami keliling kota Chicago, melihat Millennium Park dan taman lainnya dan mendengar bahwa kota Chicago pernah terbakar habis tahun 1920an lantar “dibongkar total dan dirombak” menjadi tata kota yang bagus serta makan siang di Chinese town.  Menurut saya penataan kota Chicago sangat bagus.  Jalan tertata baik, taman berada di berbagai lokasi.  Chinese town penuh dengan restoran China dengan berbagai ornamennya.  Bahkan juga ad taman kecil yang dipenuhi dengan patung dan simbul-simbul China.

Sambil berjalan saya bepikir siapa yang merancang kota Chicago?  Siapa yang merancang Millennium Park?  Siapa yang merancang Chinese town?  Siapa yang merancang Buckingham Fountain?  Siapa yang merancang jogging track sepanjang danau Michigan?  Siapa yang merancang wisata arsitektur dengan menyusuri sungai di kota Chicago?

Memikirkan itu, saya jadi teringat Pak Ciputra dengan Taman Ancol dan Citra Land-nya. Ingat Pak Habibie dengan Batam dan IPTN-nya. Ingat Suramadu yang digagas oleh almarhum Pak Mochamad Noer (mantan Gubernur Jawa Timur). Ingat Anies Baswedan dengan Indonesia Mengajar-nya. Ingat Pak Nuh dengan beasiswa Bidik Misi-nya. Ingat dr. Soetomo dkk yang mendirikan Boedi Oetomo sebagai cikal-bakal gerakan Indonesia Merdeka. Ingat WR Soepratman dengan lagu Indonesia Raya-nya. Ingat Kadie Baradja dkk dengan YDSF-nya.  Ingat dr Jose Rizal yang mendirikan MER-C, dsb. dsb.

Bagaimana orang-orang tersebut berani dan mampu berpikir besar yang melampaui jamannya.  Lebih dari itu mereka itu kemudian berani melangkah untuk mewujudkannya.  Memang ada yang sukses dalam mewujudkan gagasannya, namun juga ada yang gagasannta terwujud setelah yang bersangkutan meninggal.  Pikiran besar yang bersangkutan kemudian ditindaklanjuti generasi berikutnya. Dan menjadi kenyataan setelah yang bersangkutan wafat.  Bukanlah Vygotsky sudah meninggal ketika teori zone of proximal development populer.

Saya tidak tahu pasti, namun dugaan saya dr Soetomo sudah wafat ketika Indonesia Merdeka pada tanggal 17Agustus 1945.  IPTN dan Batam memang tidak sukses saat ini, tetapi saya yakin pada saatnya akan diteruskan orang lain dan di saat itu orang akan sadar betapa besar dan bagusnya pikiran Pak Habibie tentang IPTN dan Batam.  YDSF memang mulai kecil, tetapi sekarang menjadi penghimpun dana amal yang besar dan terpercaya, sekaligus penyalur bagi yang memerlukan.  Saya tidak faham bagaimana WR Soepratman mampu dan berani mengarang lagu Indonesia Raya di zaman penjajahan.  Anis Baswedan mampu menerobos kebuntuan penyediaan guru hebat bagi daerah terpencil.

Saya juga tidak dapat membayangkan bagaimana Pak Ciputra menemukan ide mengubah Ancol yang konon dulu pantai kumuh menjadi pantai wisata seperti sekarang ini.  Saya juga tidak dapat membayangkan bagaiamana Pak Noer mempunyai ide membuat jembatan yang menghubungkan Surabaya dengan Madura.  Saya juga tidak tahu, Pak Nuh menemukan ide bagaimana mengentas kemiskinan secara elegan dengan beasiswa Bisik Misi.

Kesimpulan saya mereka itu mampu dan berani berpikir besar.  Tidak sekedar memikirkan dan berdebat hal-hal kecil.  Meminjam pikiran Charles Handy, mereka itu mampu menembus teori kue donat terbalik.  Tidak terjebak pada hal-hal yang peripheral dan mampu masuk ke hal-hal yang substansial. Semoga kita dapat belajar dari tokoh-tokoh itu.

Selasa, 24 September 2013

DOUBLE DEGREE S2 BHS INGGRIS UNESA NIU

Desember 2011, setelah mengikuti Higher Education Summit di Washington, saya dan beberapa teman dari Universitas Negeri Makasar (UNM) mampir ke NIU (Northern Illinois University) di DeKalb.  Sebenarnya tujuan awal saya ke OSU (Uhio State University) di Columbus dan OU (Ohio University) di Athens.  Di OSU bertemu dengan Sue Decho untuk diskusi tentang kelanjutan Usintec, sedangkan di OU untuk mematangkan proposal kerjasama penelitian yang disusun bersama.

Kebetulan Prof Arismunandar (Rektor UNM) yang semula ingin ke NIU untuk mematangkan pengiriman mahasiswa S2 Adminitrasi Publik ikut ke OSU dan OU, sehingga saya juga ikut ke NIU.  Jadilah kami pergi bersama-sama, baik ke OSU, OU maupun NIU.  Saya tertarik ke NIU DeKalb memang belum kesana dan Pak Aris ingin ikut ke Athens karena saya beritahu kampusnya sangat bagus di daerah pegunungan.  NIU sangat menarik karena beberapa tokoh Indonesia lulusan situ, misalnya Anies Baswedan, Andi Malarangeng dan Ryas Rasyid.

Untuk ke DeKalb, pesawat mendarat di Chicago.  Kami dijemput oleh Jim Collins, dosen NIU yang sudah sering ke Indonesia.  Perjalanan Chicago-DeKalb dengan mobil sekitar 1,5 jam.  Dalam perjalanan, sambil mendengarkan cerita Pak Jim Collins, saya berpikir apa yang dapat didiskusikan di NIU.  Kebetulan Pak Jim Collins adalah ahli sosiologi bahasa, sehingga ceritanya lebih banyak tentang bahasa dan budaya di Indonesia yang pernah dia teliti.  Cerita itu mengilhami untuk menggali peluang double degree dalam bidang bahasa.  Malam harinya, ketika menginap di hotel kampus, ide tersebut kami diskusikan.  Teman-teman UNM mendukung, karena selama ini baru mengirim mahasiswa yang sifatnya non credit.

Besuk paginya, sebelum acara resmi dimulai, kami diskusikan itu dengan pihak NIU.  Seingat saya waktu itu yang banyak berperan adalah Terry Borg, Dean School of Education dan Deborah, provost di NIU.  Gayung bersambut dan disepakati untuk ditindaklanjuti dengan saling komuniasi via email.  Untuk memperlancar, Unesa dan UNM mengundang Pak Jim Collins ke Indonesia untuk memberi kuliah, sekaligus membantu menuntaskan konsep double degree dalam S2 Bahasa Inggris.

Setelah mengalami perjalan panjang dan berliku, akhir MOU kami tanda tangani dan MoA siap ditandatangani oleh Direktur Pascasarjana Unesa, Direktur Pascasarjana UNM dan pihak NIU.  Itulah yang membuat saya, Prof Ketut Budayasa (Direktur Pascasarjana), Prof Masitoh (Asdir 2) dan Dr. Suharsono (Kaprodi S2 Bahasa) ke NIU.  Saya menggunakan kesempatan waktu setelah selesai mengikuti acara USAID di Boston dan Washington, sehingga hemat waktu dan biaya. Oleh karena itu dipilih waktunya tanggal 22 September 2013.  Aneh harinya Minggu, karena itu hari yang sama-sama bisa.

Sebelum acara dimulai, Terry Borg mendekati saya dengan wajah yang serius.  Dia mengatakan, kira-kira: “we need to talk since Dikti does not agree with our financial scenario”.  Dia menjelaskan bahwa pada draft MoA dibuat scenario pembayaran tuition fee langsung dari Dikti ke NIU.  Dengan cara itu, program dianggap paket sehingga lebih murah.  Namun Dikti tidak setuju, karena beasiswa harus ditransfer ke mahasiswa dan baru mahasiswa membayar ke NIU.  Menurut aturan NIU, kalau seperti itu mahasiswa dianggap individual dan bukan paket, sehingga tuition fee menjadi lebih mahal.

Sebagai mantan direktur, saya faham mengapa Dikti seperti itu.  Dana beasiswa itu merupakan bantuan sosial, sehingga menurut aturan keuangan harus diberikan langsung kepada si penerima.  Tidak boleh diberikan kepada lembaga, kecuali lembaga swasta. Maslaahnya Unesa dan UNM adalah PTN, sehingga tidak dapat menerima dana seperti itu. Saya sering mengatakan, “uang itu punya logika sendiri”.  Kasihan Terry Borg, sepertinya sangat bingung dengan pendapat Dikti.  Maklum, orang asing tentu tidak faham tentang mekanisme keuangan di Indonesia. 

Merspons kerisauan Terry, saya menanyakan kira-kira: “Let us find out another way. If the tuition fee paid by university, let say paid by Unesa dan UNM, is it considered as a group and get a flat?”.  Dia menjawab kira-kira: “I think so, but I don’t have the authority with that matter. I consult to Deborah”.  Jadi ada jalan keluar kan?  Sambil kelakar saya katakana: “There is always a way when we do a little bit smarter.”  Dia pun ketawa.

Akhirnya MoA ditandatangani dalam upacara singkat tetapi formal.  Kini tugas PPs Unesa dan PPs UNM menyiapkan diri melaksanakan MoA itu.  Apalagi James Cohen dan Mayra Daniel, 2 dosen NIU sangat ingin ke Indonesia, ketika pogram ini dimulai.  Double degree S2 Bahasa Inggris, dengan 14 bulan di Unesa atau UNM dan 10 bulan di NIU akan mendapatkan dua gelar master.  Satu langkah kerjasama real dengan univesitas di Amerika Serikat, setelah sebelumnya punya dengan Utrecht University Belanda dan Curtin University Asutralia.  Semoga mendorong kita semua untuk lebih maju.

Senin, 23 September 2013

DINO PATTI DJALAL

Saat ini Dino Patti Djalal adalah duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat.  Sebelum ini yang bersangkutan menjadi juru bicara presiden SBY untuk urusan luar negeri. Saya baru pertama bertemu di KBRI Washington pada Jum’at 20 September 2013.  Informasi awal, beliau sedang di Jakarta sehingga tidak dapat bertemu.  Namun ternyata sudah datang di Washington, sehingga
kami dapat bertemu walaupun hanya sekitar 30 menit.

Karena kami semua tahu bahwa Pak Dino menjadi salah satu peserta Konvensi Partai Demokrat, maka saat bertemu dia banyak digoda dan ditanya soal itu.  Namun sepertinya dia enggan menjawab, karena sedang di Washington.  Beliau malah mengatakan pendidikan dan inovasi harus menjadi fokus utama presiden 2014-2019, siapapun orangnya.  Sepertinya dia ingin menyampaikan, itulah visinya sebagai peserta Konvensi dan berharap digunakan oleh siapapun yang terpilih menjadi presiden tahun depan.

Walaupun baru pertama bertemu, saya sudah dapat banyak cerita tentang dia dan baca bukunya tentang pak SBY yang ditulis saat dia menjadi juru bicara presiden.  Misalnya waktu masih sekolah di Amerika, dia mau menjadi pencuci piring di KBRI, walaupun ayahnya sebagai Wakil Duta Besar disitu.  Juga bagaimana awalnya dia dipilih menjadi juru bicara presiden.  Konon Pak SBY terkesan, ketika sebagai diplomat mendampingi Pak SBY saat berkunjung ke Amerika Serikat.

Saya lupa judul buku yang saya sebut tadi.  Dan bukunya juga sudah saya berikat teman lain, biar dibaca.  Seingat saya bukunya kecil dan sampulnya berwarna coklat.  Membaca buku itu, kesan saya Pak Dino ingin menjadi juru presiden yang baik.  Informasi sekitar Pak SBY dan pemerintahannya dijelaskan dengan alur yang runtut dan bahasa yang mudah difahami.  Tampaknya dia ingin menjaga obyektivitas, walaupun tentu memilih tema-tema yang banyak sisi positifnya.  Wajar, kan memang itu tugas juru bicara.  Tugasnya menyampaikan informasi yang tentu saja dipilih yang punya dampak positif.

Apa yang mengesakan dari Pak Dino Patti Djalal?   Pertama, muda, tampan, pandai dengan karier cemerlang.  Dengan usia 48 tahun sudah menjadi duta besar, yang konon merupakan karir puncak diplomat.  Mungkin ada yang mengatakan, itu karena ayahnya diplomat senior yang dapat membantu dia saat memulai karir.  Mungkin ada benarnya .  Namun kalau dia tidak pandai tentu tidak akan sampai puncak karir di usia semua itu.  Apalagi duta besar di Amerika Serikat yang konon “Dubes Kelas A”.  Juga tidak akan dipilih Pak SBY sebagai juru bicara urusan luar negeri, kalau tidak pandai.

Kedua, penuh optimisme.  Selama 30 menit Pak Dino sepertinya ingin meyakinkan semua pihak bahwa masa depan Indonesia cerah.  Pada kartu namanya juga dituliskan “betapa besarnya Indonesia”.  Misalnya “world largest (stable & multiethnic) democracy, emerging economy of the 21st century, southeast asia’s largest country and economy”.  Ketika menjelaskan tentang diaspora, dia sangat bangga dengan banyaknya orang Indonesia yang sukses di luar negeri.  Katanya rata-rata pendapatan orang Indonesia yang tinggal di Amerika lebih tinggi dibanding orang Amerika Serikat sendiri.  Sepertinya dia ingin mengatakan bahwa orang Indonesia tidak kalah dengan orang Amerika Serikat jika mendapat kesempatan.  Dan jika mereka itu dapat dirangkul, akan memberikan manfaat besar bagi bangsa Indonesia.

Ketiga, berorientasi ke jauh depan dengan pola sinergi.  Pikiran yang disampaikan dalam waktu pendek (sekitar 15 menit) menunjukkan kalau Pak Dino tidak mau terjebak pikiran masa lalu dan terjebak dengan pola kotak-kotak.  Dia memberi contoh, bagaimana Vietnam yang dulu berperang sekian lama dengan Amerika Serikat, sekarang justru aktif untuk saling bekerjasama.  Dia menunjukkan walaupun dalam hal tertentu antara China dan Amerika Serikat memiliki perbedaan, tetapi keduanya berusaha bekerjasama.  Biarlah masa lalu menjadi bagian dari sejarah.  Kita harus belajar dari sejarah itu, untuk tidak mengulang bagian yang tidak baik dan mengembangkan bagian yang baik.

Mencoba mencermati Dino Patti Djalal, membuat saya teringat tokoh muda lainnya.  Anies Baswedan yang penuh dengan gagasan cemerlang, antara lain Indonesia mengajar.  Sandiaga Uno yang berhasil memanfaatkan keterpurukan akibat kehilangan pekerjaan di era krisis dan keluar menjadi pengusaha muda sukses.  Gumilar, mantan rektor UI yang penuh ambisi untuk membangun universitasnya.  Dan masih banyak lagi, tokoh muda yang ahli di bidangnya dan penuh dedikasi untuk memajukan bangsa Indonesia.

Saya juga teringat menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan Indonesia.  Bung Karno saat berjuang bersama teman-temannya memerdekaan Indonesia berusia muda dibawah 50 tahun.  Saya tidak tahu pasti berapa usia Bung Hatta, Syahrir dan tokoh-tokoh lain.  Namun rasanya juga muda.

Kalau boleh memberi catatan kecil, kadang-kadang tokoh muda terlalu “terbang diangkasa”.  Saya teringat, suatu saat ada rombongan anak-anak muda brilian yang mengurus asosiasi nano teknologi.  Sungguh membangakan, mereka muda belia tetapi sebagian besar doktor lulusan perguruan tinggi ternama di negara maju.  Saat itu mereka bercerita apa yang dia kerjakan saat studi di luar negeri dan ingin lakukan ketika kembali ke tanah air.  Semuanya terkait dengan gagasan “besar” dengan teknologi modern.

Kebetulan salah seorang dari mereka berasal dari Pasuruan.  Ketika mereka selesai menyampaikan gagasan besarnya, saya bertanya apa yang dapat dibantukan kepada para pembuat onderdil mobil “tembakan” di Bangil dan Waru Sidoarjo.   Mereka itu membuat berbagai komponen mobil dengan teknologi sederhana.  Harganya sangat murah dan tentu mutunya juga rendah.  Apakah nano teknologi dapat membantu mereka?

Sepertinya mereka agak kaget.  Namun kemudian muncul gagasan yang menurut saya sangat bagus.  Pertanyaan yang saya ajukan tampaknya merangsang anak-anak muda itu mencari cara memecahkan masalah keseharian saudara-saudaranya di kampung halaman.  Mendengar itu, dengan sangat gembira saya katakana: “Bukankah sebaik-baik orang adalah yang memberikan manfaat kepada sekitar.”  Dan menurut Drew Boyd dan Jacog Goldengerg (2013) untuk memecahkan masalah tidak selalu harus out of the box.  Berpikir inside the box artinya memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita untuk memecahkan masalah yang kita hadapi.  Bukankah tugas kehidupan adalah memecahkan masalah secara kreatif tetapi dengan penuh kearifan.

Dahlan Iksan mungkin dapat menjadi inspirasi bagaimana berpikir memecahkan masalah secara kreatif.  Selalu ada ide untuk memecahkan masalah yang selama  ini “buntu”.  Teman-teman di Dompet Du’afa juga dapat menjadi contoh bagaimana memecahkan masalah nasib kaum papa dengan mendayagunakan potensi masyarakat. Pak Nuh dengan gagasan beasiswa Bidik Misi juga dapat menjadi contoh terbosan dari arah yang lain.  Pak De Karwo dengan gagasan Jamkrida juga merupakan contoh bagaimana memecahkan masalah kesulitan pedagang kecil mendapatkan kredit perbankan. 

Semoga tokoh-tokoh muda yang saat ini telah muncul di permukaan maupun yang belum muncul tetap konsisten berjuang membangun bangsa.  Mereka yang lebih muda, yang saat ini masih menjadi mahasiswa diharapkan banyak belajar dari mereka.  Indonesia memerlukan pemikian dan vitalitas kerja mereka untuk memasuki era kesejagatan.  Beberapa orang yang saya sebutkan tadi (dan tentu masih banyak yang lain) dapat menjadi inspirator. Semoga.

Minggu, 22 September 2013

KELEMAHAN KITA PADA IMPLEMENTASI

Setelah lima hari mengikuti serangkaian kegiatan di Boston dan Washington, serta mendengarkan berbagai kuliah/ceramah, mengunjungi sekolah dan kampus, saya menyimpulkan bahwa kelemahan kita lebih pada tataran implementasi.  Dalam tataran teori dan konsep rasanya kita sudah bagus. Hampir semua yang saya dengar dan saya lihat, kita sudah faham atau paling tidak sudah pernah mendengar teorinya.  Bahkan sudah pernah menerapkan tetapi kurang sungguh-sungguh atau tidak konsistem, sehingga tidak maksimal hasilnya.  Itulah simpulan yang saya sampaikan ketika diminta mewakili kelompok menyampaikan kesan dan rencana ke depan di kantor EDC (Education Development Centre) tanggal 20 sore hari.

Sebelum menyampaikan simpulan itu di forum, saya berbisik ke teman yang duduk di sebelah tentang joke tentang “ngomong dan berkerja”.  Ada pertanyaan, orang mana yang ngomongnya banyak dan bekerjanya juga keras.  Konon itu orang Amerika, banyak ngomong tetapi juga pekerja keras.  Orang mana yang ngomongnya sedikit tetapi kerjanya banyak.  Konon itu orang Jepang.  Sedikit bicara tetapi banyak kerja.  Orang mana yang ngomongnya banyak tetapi kerjanya sedikit.  Konon itu orang Arab.  Lha kalau orang Indonesia bagaimana?  Kalau kita, yang diomongkan dan yang dikerjakan berbeda.  Tentu itu hanya joke yang sensitif dan tidak benar adanya.  Namun maksud saya jangan sampai kita benar-benar seperti itu.  Pandai ngomong tetapi tidak pandai melaksanakan apa yang kita omongkan. Bukankah satunya perkataan dan perbuatan itu penting.

Mari kita cermati beberapa inovasi yang dilakukan di Amerika Serikat dan kita sebenarnya sudah tahu itu.  Pertama, konsep student centered dan perubahan paradigma dari teaching ke learning.  Kita sudah mengenal konsep ini bersamaan proyek CBSA tahun 1970an.  Pembelajaran dengan CBSA seakan mati ketika proyeknya selesai.  Tidak hanya diseminasinya yang berhenti, sekolah yang semula menerapkan itu seakan kembali ke pola semua guru ceramah.

Tahun 2006 kita mengembangkan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan prinsip dasar, sekolah dapat menyesuaikan materi ajar dan cara belajar-mengajar agar sesuai dengan kondisi sekolah/siswa.  Konsep dasar yang digunakan sebagai dasar adalah perubahan paradigma pembelajaran dari teaching ke learning.  Sayangnya KTSP diterapkan dengan pola pembelajaran ceramah.

Konsep inilah yang sekarang diterapkan secara konsisten di 3 sekolah yang saya kunjungi (Columbkille School, Natick High School dan Eagle View Elementary School).  Siswa didorong untuk belajar dan berpikir.  Guru sebagai fasilitator dan lebih banyak mengajukan pertanyaan yang sifatnya membangkitkan siswa untuk berpikir dan berpendapat.  Misalnya, kepada anak kelas 2 diajukan pertanyaan “What will you do, if other child says will you be my friend?”, “Do you agree with this statement?”

Kedua, istilah keterampilan proses (process skills) sudah kita kenal sejak lama.  Ingat saya sudah digunakan pada Kurikulum 1974 atau 1984.  Konsep ini mengajarkan dalam pembelajaran, proses adalah sangat penting.  Hasil itu nomor dua.  Yang penting belajar bagaimana belajar (learning how to learn).   Saya yakin, sebagian besar guru kita, apalagi yang lulus kuliah sesudah tahun 1990an pasti mengenal istilah itu dengan baik.  Namun sayang, sepanjang yang tahu sebagian besar sekolah kita (termasuk Lab School milik LPTK) masih saja berorientasi kepada hasil (produk).

Nah, pola ini yang dianggap sebuah inovasi di 3 sekolah yang saya kunjungi.  Misalnya saya melihat di kelas 7 Columbkille School, anak didorong untuk membuat grafik hubungan antara lagu Justien Baber dengan jumlah kucing yang muncul ketika lagu itu diputar.  Demikian juga yang dilaksanakan di Eagle View Elementary School dalam mengajarkan anak membaca.  Siswa boleh membaca apa saja, tetapi dapat menyimpulkan apa isi yang dibaca.

Ketiga, pergeseran dari low order ke higher order thinking.  Sejak awal tahun 200an konsep ini marak dibicarakan dan kemudian dituangkan pada Kurikulum 2004.  Oleh karena itu, ranah penerapan, analisis, sintensis (menggunakan istilah Bloom) didorong untuk diutamakan.  Namun sayangnya, sampai saat ini belum banyak sekolah yang menerapkan.  Akibatnya, analisis Unesa terhadap hasil UN SMA 2009, 2010, 2011 soal-soal yang sifatnya analisis selalu “jelek” hasilnya.  Demikian pula soal ujian masuk PTN untuk IPA Terpadu yang menggunakan level analisis-sintesis sangat jarang anak yang betul jawabannya.

Ternyata di SD kelas awal, baik di Columbkille School maupun Eagle View School, pola itu sudah dimulai.  Anak diminta membaca dan membuat catatan “what are you confused” dan “what your inner voice”, pada dasarnya penerapan konsep tersebut. Anak didorong untuk berpikir sampai pada tahap analisis untuk dapat mengajukan pendapat atau kritikan.  Tentu disesuaikan dengan levelnya.

Ke-empat, pengembangan profesional guru.  Indonesia sudah punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) untuk guru TK dan SD.  Konsepnya dalam MGMP dan KKG itu guru belajar bersama, saling bertukar pengalaman untuk mengembangkan profesionalitasnya.  Dan itulah yang sebenarnya diterapkan dalam PLC (Professional Learning Community) di sekolah-sekolah di Amerika Serikat.  Di Natick High School, setiap hari guru ikut PLC selama 45 menit.  Sayangnya MGMP dan KKG kita seakan lumpuh.  Kalau toh ada kegiatan, seringkali untuk menyusun RPP secara bersama yang kemudian saling meng-copy.


The devil is in the implementation.  Istilah yang dulu sering digunakan oleh Pak Wardiman Djojonegoro (mantan Mendikbud) mungkin cocok refleksi diri kita semua.  Kita tidak boleh hanya menyalahkan guru.  Kita harus mencari tahu mengapa guru dan sekolah kita seperti itu.  Jika itu dapat ditemukan, maka perubahan dapat dimulai dengan langkah yang lebih tepat.  Semoga.

BELAJAR KE EAGLE VIEW ELEMENTARY SCHOOL

Jum’at tanggal 20 September 2013 saya beserta rombongan diajak ke Eagle View Elementary School.  Pada awalnya saya agak malas.  Tempatnya agak jauh dan saya hari itu ingin ke KBRI, untuk melapor kepada Atase Pendidikan (Dr. Hary Winarso) tentang rencana saya MoU dengan NIU (Northern Illinois University) dan USU (Utah State University) minggu depan.   Tentu sambil sholat Jum’at dan yang tidak kalah “penting” ikut makan makanan Indonesia di KBRI.

Namun ternyata setelah ke Eagle View School rombongan akan ke KBRI juga.  Jadi akhirnya saya putuskan ikut, siapa tahu apa sesuatu yang menarik.  Eagle View Elementary School terletak di Fairfax County Virginia, kira-kira 1 jam perjalanan dengan mobil dari Georgetown Suites, hotel tempat saya menginap.  Fairfax terkenal sebagai daerah yang banyak penduduknya “non putih” dan konon banyak orang Vietnam yang tinggal di situ.  Pak Steve Anzelone, wakil president EDC, mengatakan banyak anak Vietnam yang masuk TK dengan tidak memiliki bahasa Inggris, tetapi ketika lulus SD menjadi juara.

Dan betul saat tiba di sekolah itu, kami disambut dan diajak diskusi oleh para guru.  Wakil kepala sekolahnya berkulit hitam.  Satu orang guru seperti berdarah Asia, kulitnya kuning dan rambutnya hitam.  Dua kelas yang sempat kami kunjungi, kelas 2 dan kelas 5 siswa “warna-warni”.  Di kelas 2, hanya ada 3 siswa yang “putih”.  Lainnya seperti India, China/Vietnam dan hitam.  Tentu itu hanya dugaan saya yang tidak pandai menebak asal usul orang.  Di kelas 5 kondisinya juga tidak jauh berbeda.  Artinya anak kulit putih jauh lebih sedikit dibanding yang non putih.  Jadi penjelasan Pak Steve terbukti.

Ketika mendengarkan penjelasan wakil kepala sekolah dan guru serta melihat kelas, saya sungguh mendapat pelajaran berharga.  Jadi tidak rugi saya ikut ke Eagle View Elementary School, walaupun harus naik bis selama sekitar 1 jam.  Mereka menjelaskan bahwa yang ingin dicapai sekolah itu adalah mengembangkan kompetensi anak sebagai critical thinker, creative thinker, problem solver dan behave properly.  Dan itu dikaitkan the real world agar menjadi life skills.   Tugas guru bukan menyuapi anak dengan pengetahuan tetapi sebagai master of facilitator.

Penjelasan tersebut tidak aneh, walaupun relatif baru.  Buku-buku semacam The Global Achievement Gap oleh Tony Wager, The 21st Century Skills oleh Bernie Trilling dan How Asia Can Shape the World oleh Jorgen Moller sudah menjelaskan itu panjang lebar.  Namun yang ingin saya tahu bagaimana itu dapat diterapkan di TK dan SD.  Oleh karena itu ketika penjelasan guru begitu panjang, saya menyela: “Excuse me, do we have opportunity to visit class?”.  Dan dijawab: “Sure, but we have to wait until the class start in the next ten minutes”.   Ternyata memang sudah dirancang kami akan diajak melihat beberapa kelas.

Sambil menunggu waktu, saya pura-pura ke kamar kecil tetapi sebenarnya ingin melihat macam-macam yang dipajang di dinding lorong sekolah.  Seperti biasanya sekolah di negara maju (dan juga beberapa TK dan SD di Indonesia) dinding dipajangi karya siswa.  Ada 3 pajangan yang menarik.  Pertama, tayangan yang sepertinya untuk pendidikan karakter.   Ditulis di kertas buffalo kuning dengan judul “SOS Walkways” dengan gambar tiga burung yang sedang berjalan beriringan.  Tulisan dibawahnya berbunyi:  SELF: walk safely, takes shortest route. OTHERS: watch, walk and whisper.  SORROUNDINGS: stay to the right, keep it clean, stop at stop signs.  Ada lagi yang berbunyi: SELF: do you best, be on task, be honest, be responsible, make healthy choices. OTHERS: care for and help others, be a peace and keeper, respond to quiet signal, be courteous. SURROUNDINGS: keep it clean, respect the earth, care for your share.  Cara yang bagus untuk secara terus menerus mengingatkan anak-anak bagaimana sebaiknya perilaku kita.

Kedua, sedertan pajangan yang ditulis siswa.  Ditengahnya ada tulisan di kertas biru berbunyi: OUR HOPES and DREAMS.  Di sekitarnya ada tempelan kertas folio dengan tulisan print out komputer: I hope …………………………..  Titik-titik itu sepertinya diisi oleh siswa dengan tulisan tangan dan diberi gambar.  Isinya macam-macam.  Sepertinya siswa didorong mengisi apa saja, sesuai dengan harapannya.

Ketiga, peta dunia yang diberi judul: WHERE IN THE WORLD ARE YOU. Kemudian ada foto siswa diberi nama dan diberi benang yang dihubungkan dengan lokasi tertentu di peta dunia.  Ada yang dikaitkan dengan Amerika Serikat, negara di Eropa, negara di Asia dan sebagainya.  Sepertinya siswa didorong untuk menyadari dari mana asalnya.

Contoh yang menarik, bagaimana pendidikan karakter dapat dimulai sejak dini.  Anak didorong untuk punya cita-cita (hopes and dreams) dan berani mengutarakan. Kata mereka setiap awal tahun siswa diminta untuk menulis harapan itu untuk 1 tahun ke depan.  Siswa didorong menyadari asal-usulnya tanpa rasa malu atau rendah diri. Siswa didorong untuk memegang perilaku yang seharusnya dilakukan, untuk diri sendiri, untuk teman dan untuk lingkungan.  Rasanya saya mendapat pelajaran yang sangat berharga.  Dan itu lebih mendorong saya untuk melihat proses pembelajaran di kelas.

Ketika mengunjungi kelas 5 siswa sedang membaca dan di mejanya ada selembar kertas yang dibagi menjadi dua kolom. Di bagia atas kolom kiri ada tulisan WHAT ARE YOU CONFUSED  dan untuk kolom kanan tertulis kalimat WHAT IS YOUR INNER VOICE.   Saya amati apa yang dilakukan siswa.  Ternyata setelah membaca mengisi kolom tersebut.  Apa yang dia masing bingung atau belum faham ditulis di kolom kiri dan apa yang komentar/kritik/dukungan ditulis pada kolom kanan.

Setelah selesai atau mungkin waktunya habis, siswa berkumpul duduk di karpet dan gurunya duduk di kursi di depan.  Ada dua orang guru lain, yang ternyata merupakan guru “khusus” yang bertugas membantu anak berkebutuhan khusus.  Misalnya slow learner dan yang belum pandai membaca. 

Apa yang dikerjakan?  Ternyata guru menayangkan lembar demi lembar dari bacaan di smart board.  Dan siswa diminta mengajukan apa yang belum difahami (what are you confused?) dan apa komentar/kritik (what is your inner voice).  Hampir semua anak mengangkat tangan setiap guru menanyakan.  Dan guru menanggapinya dengan bagus.  Jadi apa yang ditulis di kertas folio tadi diajukan secara lesan waktu itu.    Sunggguh contoh bagus, bagaimana mengembangkan critical thinking.

Ketika saya masuk di kelas 2, siswa sedang duduk di karpet dan guru memandu pelajaran.  Siswa ditanya bagaimana mendapatkan teman (how to get friends).  Dan bagaimana kalau ada orang lain yang mengajak berteman.  Anak kelas 2 tentu masih berusia sekitar 7-8 tahun.  Jawabannya macam-macam.  Namun tampak sekali guru mendorong anak-anak untuk mencari cara mendapatkan teman yang cocok. Mungkin itu bagian dari creative thinking.  Juga bagaimana kalau ada orang yang belum dikenal tetapi mengajar berteman.  Bagaimana kalau anak sebenarnya tidak senang.  Sepertinya kemampuan problem solving yang sedang dipupuk.

Di dinding kelas 2 juga ada pajangan yang tampak seperti buatan siswa.   Dalam kertas folio itu tertulis kalimat I AGREE BECAUSE…………  I DISAGREE BECAUSE…………  Saya tidak tahu bagaimana pelaksanaan pengsian titik-titik itu.  Namun dari tulisan yang ada saya menduga siswa diberi suatu contoh pendapat atau ungkapan dan diminta mengajukan pendapat setuju atau tidak setuju dan harus diberi penjelasan mengapa setuju atau tidak setuju.

Saya tidak sempat menanyakan apa kemampuan yang ingin dikembangkan dengan isian tersebut.  Namun saya meyakini itu untuk mengembangkan kemampaun berpikir tingkat tinggi (high order thinking).  Untuk mengerjakan isian tersebut, menutut Bloom anak harus berpikir sampai tahap evaluasi.

Melihat apa yang terjadi di Eagle View Elementary School jadi jadi tercenung.  Ternyata kita dapat mengembangkan kemampun berpikir tinggi, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif dan memecahkan masalah pada anak-anak SD bahkan TK.  Saya jadi teringat apa yang saya lihat di kelas TK di Columbkille School di Boston.  Guru musik TK membawa gitar dan biola.  Anak diminta menunjuk apa yang sama dan apa yang beda.  Bukankah itu mengembangkan kemapuan analisis untuk anak kecil. Semoga kita dapat belajar dari pengalaman tersebut.

Sabtu, 21 September 2013

PENGALAMAN PRESENTASI DI USAID WASHINGTON

Ketika tiba di Boston setelah menempuh perjalanan selama 36 jam, saya bertemu dengan Ibu Mimy Santika, Education Specialist USAID Jakarta.  Bu Mimy memberitahu bahwa USAID meminta saya presentasi ketika berkunjung ke kantor pusatnya di Washington tanggal 19 September 2013.   Topik yang diminta Roles of Higher Education Institutions in Indonesia.   Saya  kaget dan bertanya mengapa USAID meminta itu.  Bu Mimy menjelaskan USAID sudah tahu pengalaman yang saya miliki, sehingga meminta hal itu.  Setengah merengek Bu Mimy meminta saya bersedia.

Setelah menimbang sejenak, akhirnya saya menerima permintaan tersebut.  Waktunya sangat pendek, sehingga saya harus mempersiapkan bahan ditengah-tengah acara yang sudah tersusun rapi selama di Boston.  Topik yang diminta sangat luas, maka dalam waktu singkat saya harus menentukan topik yang lebih spesifik, mencari bahan serta data pendukungnya.  Setelah satu malam memikirkan dan mencari data yang telah ada di lap top, saya menentukan topik “Preparing Future Teacher”.

Topik tersebut saya pilih dengan alasan: 1) berpengaruh langsung kepada Pendidikan Dasar yang selama ini banyak ditangani oleh USAID, 2) bidang yang langsung terkait dengan LPTK yang beberapa rektornya diundang ke kantor pusat USAID di Washington, dan 3) sebagian besar datanya sudah ada di laptop saya dan yang belum ada mudah dicari via internet.  Alasan lain yang lebih pribadi, saya merasa Indonesia perlu mengembangkan model PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang dapat menjamin mutu guru dan dapat dilaksanakan secara efisien.

Selama menyiapkan bahan berupa power point, saya berpikir bagaimana meyakinkan USAID untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan PPG yang baik.  Sepanjang yang saya tahu, PPG merupakan “barang baru” bagi Indonesia.  Di Inggris ada PGCE (Post Graduate Certificate on Education), di Australia ada DipEd (Diploma on Education), di Amerika Serikat ada beberapa ada beberapamodel, misalnya Credential dan MAT (Master at Teaching).  Namun di negara maju tampaknya penyiapan guru mengarah kepada jenjang S2.  Kita perlu mempelajari berbagai model tersebut sebagai bahan banding untuk menyusun PPG yang paling cocok bagi Indonesia.

Kamis pagi-pagi saya menyiapkan segalanya.  Agak grogi juga.  Memang saya sudah sering presentasi di luar negeri.  Namun biasanya di forum seminar atau di universitas.  Ini di kantor pemerintah Amerika Serikat, bagian dari Departemen Luar Negeri-nya.  Oleh karena itu saya upayakan sebaik mungkin, termasuk pakaian.  Selama 3 hari di Boston saya berpakaian tidak formal, pakai baju tanpa dasi dan ditutup sweater (ikut-ikut gaya orang bule).  Kamis pagi sengaja saya pakai full dress, dengan kemeja putih berdasi merah dan jas coklat.  Saya pikir ini acara resmi dan di kantor pemerintah Amerika Serikat.

Pukul 10an kami sampai di kantor USAID.  Dan betul dugaan saya.  Kantornya megah dengan penjagaan berlapir.  Kami harus melewati 2 kali X ray dan satu kali menunjukkan kartu identitas.  Saking groginya, saya lupa membawa paspor.  Untung sdh punya foto halaman depannya di HP.  Jadi yang saya tunjukkan ke petugas KPT + foto paspor di HP.  Saya agak takut, karena nama sana di KTP dan paspor berbeda.  Biasa, nama di paspor harus 3 kata, sehingga ditambah dengan nama ayah.  Alhamdulillah, lancar.  Sepertinya di komputer petugas sudah ada nama saya sebagai orang yang diundang presentasi pukul 11.

Dalam ruangan ada sekitar 30 orang dan sebagian besar berpakaian full dress.  Dalam hati saya bersyukur memakai jas.  Pertemuan diawali dengan penjelasan singkat tentang program-program USAID.  Mereka menyampaikan secara bergilir sesuai bidang tugasnya masing-masing. Dan betul ternyata ada pejabat yang menyebut nama saya, ketika menjelaskan program beasiswa.  Pejabat tersebut namanya Matthew (saya lupa nama lengkapnya) menyebut “Dr. Samani who created Dikti-Fullbright Scholarship program…..” .  Ketika saya mengangkat tangan, Matthew berkomentar: “I am very happy to meet you sir”.  Jadi mereka tahu saya, karena merancang program itu bersama Mike McCoy dari Aminef.

Di ruangan tidak ada komputer.  Yang ada hanya key board di atas meja.  Juga tidak ada LCD, tetapi semua presenter sebelum saya menayangkan power point di smart board.  Bu Mimy meminta file saya, katanya untuk diemail ke server tertentu.  Oh, ternyata USAID tidak mau menerima flash disk tetapi file diemail ke severnya.  Saat saya akan mulai presentasi, Matthew yang tadi memperkenalkan saya, mencari file presentasi saya dari email yang masuk.  Dan dia membantu saya mengoperasikan power point saya presentasi.  Dalam hati saya berkata, sejak kapan bule pejabat pemerintah Amerika mau menjadi operator presentasi saya. GR juga rasanya.

Akhirnya saya benar-benar presentasi di depan bule-bule USAID dan orang Indonesia yang ikut rombongan.   Alhamdulillah lancar, walaupun di awal saya agak grogi.  Sebagai pengantar dan ice breaker, saya katakan kira-kira “Two years ago I was invited by DBE-2 to give a short speech. On that occasion I said that’s good USAID help teachers to improve their teaching learning process at schools.  But if we don’t put attention to universities which produce teachers, then every year we will get thousands new teachers who need to be trained.…….” Maksud saya agar USAID juga membantu LPTK dan tidak hanya sekolah-sekolah saja.  Dan kalimat setengah kelakar itu membuat saya menjadi lebih percaya diri ngomong di depan bule-bule pejabat USAID di Washington.

Selama presentasi, saya mencoba meyakinkan pentingnya Indonesia memiliki model PPG (dalam bahasa Inggris saya sebut Professional Teacher Training). Saya juga menjelaskan bahwa 3 tahu lalu, telah ada diskusi panjang tentang itu bersama teman-teman dari Bank Dunia, yang diwakili oleh Mai Chu Chang, Richard dan Susi Iskandar.  Saat itu disepakati membuat program yang diberi nama RESPOND (Revitalisasi Sistem Pendidikan Guru di Indonesia, versi bahasa Inggrinya Revitalizing Indonesia Teacher Education).  Jika USAID tertarik, saya siap melacak kembali dokumen program tersebut.

Saya tidak tahu, apakah USAID tertarik dengan usulan saya.  Yang saya terima hanya ucapan selamat yang biasa diucapkan bule: “Congratulation, you presented an inspiring idea”.  Dan mengikuti gara bule, saya katakan: “Thanks, please feel free to contact me if you need more information.”  Semoga saja USAID tertarik dengan gagasan yang saja ajukan, demi pengembangan PPG sebagai pintu menghasilkan guru yang baik di masa depan.

Jumat, 20 September 2013

MIT AHLI DALAM TEKOLOGI PEMBELAJARAN?

Sudah lama saya ingin berkunjung ke MIT, khususnya ke Sloan School of Management.  Mungkin saya terobsesi untuk menyaksikan seperti apa tempat kerja Peter Senge, pengarang buku The Fifth dan School That Learn yang sangat terkenal itu.    The Fifth merupakan buku induk yang memuat konsep secara umum, sedangkan School That Learn membahas aplikasi konsep sistem yang diterapkan dalam bidang pendidikan.  Saya menganjurkan siapa yang ingin memahami sekolah atau universitas sebagai sebuah sistem, membaca dua buku tersebut.

Rabu 19 September 2013 keinginan tersebut terlaksana.   Saya bersama beberapa rektor LPTK berkunjung ke Sloan School of Management. Gedungnya sangat bagus dan terletak di pinggir sungai besar.  Walaupun tidak terlalu besar dan juga tidak mewah, tetapi kesan teknologi sangat kental.  Misalnya pengaturan lampu dan perangkat pembelajaran di ruang workshop.  Waktu ruangan  agak silau akibat sinar matahari yang masuk, ada layar tipis yang diturunkan.  Tetap terang tetapi tidak silau.

Waktu masuk ke gedung tersebut saya berjalan bersama Prof Suparno, rektor UM.   Saya katakan slogan UM “learning university” mungkin mengadop pikiran Peter Senge.  Menurut Peter Senge, team learning merupakan salah satu komponen penting dalam melakukan perubahan.  Artinya semua orang dalam organisasi harus belajar secara bersama.  Pak Parno membenarkan.  Semoga UM sukses menerapkan konsep tersebut.

Walaupun tidak bertemu dengan Peter Senge, saya sangat puas mendengarkan kuliah singkat dari  Prof. Vijay Kumar, Direktur Educational Innovation and Technology dan Prof Richard Larson, tokoh di BLOSSOMS (Blended Learning Open Source Science or Math Studies).  Vijay Kumar yang asli India itu menjelaskan berbagai inovasi untuk memudahkan mahasiswa memahami perkuliahan dan membantu dosen mengelola pembelajaran.

Salah satu yang dijelakan adalah inovasi yang disebut dengan MOOC (Massive Open Online Course).  Dalam inovasi tersebut kuliah dilakukan secara online.  Siapapun dapat ikut kuliah dan tidak perlu membayar.  Tentu tidak dapat ikut ujian, karena bukan mahasiswa yang resmi terdaftar.  Jadi semacam sit in dalam kuliah tradisional.  Menurut pengalaman Vijay, mahasiswa yang ikut MOOC kemudian membentuk kelompok-kelompok untuk mendiskusikan lebih lanjut materi kuliah.  Dan dari diskusi-diskusi itulah justru mahasiswa belajar.  Jujur saya belum pernah membuka MOOC, mungkin polanya seperti pembelajaran di NHS yang lebih merangsang siswa/mahasiswa memecahkan masalah dan bukan sekedar menyampaikan informasi.

Inovasi lain yang dijelaskan Vijay Kumar adalah I-Lab.   Saya belum benar-benar memahami seperti apa I-Lab.  Namun dari apa yang dijelaskan Vijay, mahasiswa dapat melakukan “praktikum jarak jauh”.  Artinya dengan pola online, mahasiswa dapat mengoperasional peralatan Lab.  Kata Vijay I-Lab bukan Virtual Lab yang hanya berupa simulasi.  I-Lab mahasiswa benar-benar praktikum dan peralatan lan yang dioperasikan benar-benar ada dan berjalan.  Hanya saja dioperasikan jarak jauh.

Jujur saya sulit membayangkan.   Yang dapat saya bayangkan seperti ahli NASA yang mengoperasikan robot di ruang angkasa atau di permukaan bulan.  Robotnya benar-benar ada dan dapat dioperasikan dari jarak jauh.  Ahli NASA mengoperasikan robot dari ruang kendali di Amerikan Serikat. Saya masih penasaran, bagaimana risikonya.  Yang praktikum mahasiswa sehingga peluang untuk salah tentu cukup tinggi.  Apalagi jika tidak didampingi oleh dosen.  Sayang waktu Vijay sangat singkat, sehingga hal itu tidak sempat saya tanyakan.

Kuliah singkat Prof Richard Larson tentang BLOOSOMMS.  Melaui inovasi itu dosen, mahasiswa, guru mengembangkan “potongan pembelajaran” menjadi sebuah film yang dapat diputar melalui video.  Bahan tersebut kemudian digunakan sebagai “pengantar” oleh guru untuk membahas suatu pokok bahasan/topik tertentu.  Dan selanjutnya guru membahas bersama siswa.

Richard sempat menunjukkan BLOOSSOMS yang dibuat oleh dosen UTM Malaysia tentang sistem pengaturan dalam komputer.  Tayangan dimulai dengan pesta perkawinan di Malaysia yang heboh dengan tamu sangat banyak.  Kemudian dosen mengatakan “betapa ruwetnya layanan makan pada pesta tersebut jika sistem kerja pelayan tidak diatur dengan baik”.  “Itulah gambaran sistem pengaturan dalam program komputer”.  Contoh lain dibuat oleh mahasiswa Pakistan untuk pengantar materi probabilitas dengan menunjukkan tebakan dibalik tiga pintu.  DUa pintu berisi kambing dan satu pintu berisi mobil.  Bagaimana cara menebak pintu yang dibelakangnya mobil.

Sungguh menarik.  Bukan isi atau substansi kuliah yang digarap oleh tim Prof Vijay Kumar dan Prof Richard Larson, tetapi bagaimana memanfaatkan teknologi untuk membantu pembelajaran.  Bukankah itu yang sering disebut CAI (Computer as Aid of Instruction).  Saya sering mendengar itu dari teman-teman yang menekuni bidang Teknologi Pembelajaran (TEP).  Yang membuat kaget, teman-teman ahli TEP masih berkutat dengan hal-hal lain, tahu-tahu MIT sudah menemukan inovasi itu dan sudah bekerjasama dengan banyak negara.  Dalam benak saya muncul pertanyaan “apakah MIT masuk ke bidang keahlian Teknologi Pembelajaran”.

Mengapa pertanyaan itu muncul dan mengganggu benak saya?  Peter Senge yang bidang keahliannya Industrial Management menyusun buku School That Learn yang menjadi referensi pokok mereka yang mempelajari Manajemen Pendidikan.  Jangan-jangan apa yang dilakukan oleh Vijay Kumar dan Richard Larsen ditulis dan menjadi referensi pokok bagi mereka yang mendalami Teknologi Pembelajaran.  Pada hal mereka berdua sebenarnya bukan doktor TEP.    

Setelah itu saya membayangkan inovasi Vijay, baik MOOC dan I-Lab mungkin dapat diarahkan menjadi “Shared Resources Universities”.  Beberapa universitas dapat membentuk konsorsium.  Masing-masing universitas mengembangkan bahan ajar sesuai dengan potensi dan sumber yang dimiliki.  Nanti mahasiswa dari universitas lain dapat mengikuti kuliah resmi termasuk ujian.  Dengan begitu mahasiswa dapat memilih kuliah dari dosen yang “hebat” walaupun yang bersangkutan mengajar di universitas lain.

BLOOSSOMS juga dapat diarahkah agar setiap sekolah/universitas  membuat paket-paket yang dikuasai dan kemudian saling dibagi dengan sekolag/universitas lain.  Dengan begitu biaya operasional sekolah/universitas dapat lebih murah dan siswa/mahasiswa mendapatkan bahan ajar yang bagus.  Jika kurikulum dapat disepakati.  Atau paling tidak topik-topik pokok beserta kompetensi yang harus dicapai siswa/mahasiswa, maka pancingan atau pengantar kuliah dapat dibuat.  Dan antara universitas dapat berbagi, sesuai dengan ahli dan sarana yang dimiliki. Kita dapat mengunduh bahan-bahan yang sudah dikembangkan oleh BLOOSSOMS.  Toh semua terbuka dan gratis.  Semoga.

Kamis, 19 September 2013

PELAJARAN DARI NATICK HIGH SCHOOL

Natick High School (NHS) adalah SMA Negeri di Natick suatu daerah pinggiran kota Boston Massachusetts.  Saya sangat senang mendapatkan kesempatan berkunjung ke NHS, karena merupakan sekolah model di Boston.  Gedungnya sangat megah dan baru dua tahun selesai dibangun.   Sarananya sangat lengkap dan beorientasi kepada teknologi maju, sehingga didukung dengan lab robotik , lab komputer, lab sains, juga perpustakaan yang lengkap.  

Sekolah juga memiliki lapangan olahraga indoor yang sangat megah, dengan trak lari, lapangan untuk basket, baseball  dan alat-alat gym yang lengkap.  Di luar gedung terdapat empat buah lapangan tenis yang sangat bagus.  Saya tidak ingin menguraikan apa-apa yang terkait dengan sarana, karena “terlalu hebat” untuk ditiru. Bagi yang tertarik dapat melacak keterangan lebih lanjut tentang NHS di www.natickps.org.Yang saya bagi pengalaman adalah hal-hal yang terkait dengan layanan dan pembelajaran.

Karena sekolah negeri, maka pada dasarnya NHS bebas biaya.  Artinya siswa tidak perlu membayar.  Semua ditanggung pemerintah yang tentunya berasal dari pajak.  Juga ada dukungan dari masyarakat secara sukarela.  NHS juga tidak boleh menolak jika ada anak yang tinggal di Natick yang mendaftar.  Termasuk anak-anak orang “luar” tetapi tinggal di Natick, misalnya mahasiswa S3 dari luar negeri yang tinggal di Natick.  Namun, jika orang tua si anak tinggal di luar Natick, maka harus melamar dan membayar.  Bayarnyapun sangat mahal.  Infomasi yang saya dapat siswa internasional (dari luar Amerika Serikat) harus membayar 37.000 dolar (setara dengan 370 juta rupiah?) per tahun.

Di samping membayar siswa dari luar Natick, baik luar daerah Natick maupun luar Amerika Serikat juga harus mengikuti serangkaian seleksi.  Informasi yang saya terima, seleksi sangat ketat dan baru akan diterima kalau calon siswa memang memiliki potensi yang hebat.  Misalnya Natick menerima siswa dari China, karena dia pianis yang hebat. Juga ada siswa dari luar Natick yang kemampuan hebat dalam robotik.  Kesan saya, NHS menerima siswa dari luar untuk mendongkrak prestasi sekolah.

Ketika berkeliling melihat proses belajar mengajar di kelas saya menjumpai hal-hal yang sangat menarik. Seperti umumnya pola pembelajaran di sekolah-sekolah di Amerika, aktivitas guru lebih banyak “memancing” siswa untuk berpikir dan mencari jawaban dari soal atau pertanyaan atau fenomena yang diajukan guru.  Jarang sekali guru memberikan informasi secara langsung. Guru mengajukan suatu kejadian atau fenomena dan meminta siswa mencari jawaban atau penjelasan mengapa itu terjadi. 

Menurut saya itulah yang sebenarnya disebut dengan keterampilan proses yang di Indonesia sudah disebut sejak Kurikulum 1975, tetapi belum terlaksana dengan baik.  Yang dipentingkan bukan produk (misalnya siswa faham tentang suatu konsep), tetapi siswa terlatih bagaimana “menemukan” konsep tersebut.   Prof Mohamad Nur (guru besar emeritus Unesa) sering menyebut siswa belajar seperti ilmuwan bekerja atau ketika ilmuwan menemukan suatu konsep atau teori.

Dalam kurikulum NHS ada matapelajaran yang diberi kode AP yang artinya Advance Program (program lanjutan).  Saya mendapatkan contoh tes matematika untuk anak K-12 (setingkat dengan SMA Kelas 12) yang termasuk matapelajaran dengan kode AP.  Saya sungguh kaget, karena mirip apa yang dipelajari oleh mahasiswa Teknik akhir sementer satu atau bahkan semester dua.  Memang pelajaran itu hanya diikuti oleh siswa yang memang berminat, tetapi levelnya sungguh cukup tinggi.

Ketika Kurikulum 2013 ada program peminatan, saya pikir model AP yang diterapkan di NHS dapat menjadi salah satu bahan banding.  Agar kita tahu apa plus-minusnya dan apa konskwensi yang ditanggung sekolah yang menerapkan.  Misalnya, saya menduga anak pandai akan tertarik mengambil jalur peminatan.  Konskwensinya dia akan menghabiskan banyak waktu pada matapelajaran itu (karena disenangi) dan mungkin “agak melupakan” matapelajaran lain.

Yang juga sangat menarik adalah NHS punya pembinaan profesional guru yang disebut PLC (Professional Learning Community).  Miri KKG atau MGMP di Indonesia, tetapi levelnya sekolah.  Di samping itu NHS punya guru yang ditunjuk sebagai master teacher.  Tugasnya memantau tugas guru lain dan membibing guru se mata pelajaran dalam melaksanaan PLC.  Setiap hari, guru mapel sejenis atau serumpun bertemu selama 45 menit untuk membahas pengalaman mengajar hari itu.  Hasilnya direkan sebagai bagian dari portofolio guru.

Sungguh menarik, kita “meninggalkan” KKG dan MGMP, tetapi NHS justru melaksanakannya secara konsisten.  Dan menurut para guru manfaatnya sangat baik.  Sebuah pelajaran menarik. Saat ini para guru mendapat tunjangan profesi. Konon nanti akan ada Evaluasi Kinerja Guru dan guru yang tidak bagus kinerjanya akan dihentikan tunjanan profesinya.  MGMP/KKG/PLC mungkin dapat dijadikan wahana pembinaan guru dan dijalankan secara konsisten.

Karena sekarang jaman teknologi cyber, mungkin ketika guru melaksanakan PLC/KKG/MGMP dapat mengundang pakar yang diperlukan untuk membantu.  Tentu tidak setiap pertemuan.  Juga tidak harus dalam bentuk tatap muka. Dapat saja dilakukan melalui teleconference atau dengan fasilitas internet yang tersedia.  Semoga.

Rabu, 18 September 2013

PENDULUM SENTRALISASI DESENTRALISASI

Tanggal 16 September saya berkunjung ke Harvard Graduate School of Education dan mengikuti workshop dengan pembicara utama Professor Paul Reville.  Dia merupakan orang dibalik reformasi pendidikan di negara bagian Massachusetts  dan baru saja berhenti  sebagai Menteri Pendidikan negara bagian tersebut.   

Massachusetts adalah negara bagian dengan mutu pendidikan terbaik di Amerika Serikat.  Bahkan menurut artikel Kenneth Chang yang dimuat di The New York Time tanggal 2 September 2013, hasil TIMSS dalam bidang Sains Massachusetts menduduki ranking dua setelah Singapore, sedangkan untuk Matematika menempati ranking enam, setelah Korea Selatan, Singapore, Taiwan, Hong Kong dan Jepang.

Topik yang dibahas juga tentang Key Issues and Promising Approaches in Education Reform.  Penyelenggaranya Graduate School of Education Harvard University yang seakan menjadi jaminan mutu workshop.  Pembicara utama juga tokoh yang banyak dikagumi orang di banyak belahan dunia.  Topiknya juga sangat menarik.  Itulah sebabnya saya tidak ingin ketinggalan, mencari tempat duduk yang strategis dan menyiapkan pertanyaan dan tanggapan yang mungkin berguna untuk diterapkan di tanah air.

Dan benar, presentasi Paul Reville sangat menarik.   Intinya Amerika Serikat sedang bergeser menuju sentralisasi pendidikan dan negara bagian Massachusetts merupakan cikal bakalnya.  Sejak tahun 1993, Massashusetts memulai reformasi pendidikan itu.  Idenya didorong oleh kesadaran bahwa iptek telah berkembang dengan pesat dan itu berpengaruh kuat dengan industri, pola kerja dan kehidupan keseharian.  Pekerjaan kasar (blue color) sudah semakin hilang dan digantikan otomatisasi.  Pekerjaan semakin mengarah kepada knowledge based.  Jika anak muda tidak disiapkan, maka industri akan kesulitan mendapatkan tenaga kerja dan bukan tidak mungkin dimasuki tenaga kerja dari negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan sebagainya.

Mobilitas orang juga sangat tinggi, sehingga akan sulit jika setiap negara bagian atau bahkan daerah menerapkan sistem pendidikan yan berbeda seperti sekarang ini.  Sangat riskan dan tidak bijak, jika anak muda yang kebetulan tinggal di negara bagian “A” mendapatkan pendidikan yang berbeda dengan temannya yanh tinggal di negara bagian “B”.  Mereka akan kesulitan jika akam melanjutkan atau bekerja di negara bagian lain yang memiliki pendidikan yang berbeda.

Oleh karena itu dimuculkan Common Core Standards (CCS) untuk pendidikan.   Sangat mirip dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang diterapkan di Indonesia.  Kemudian diikuti standar untuk setiap matapelajaran.  Mirip dengan Kompetensi Dasar (KD) pada kita. Sampai saat ini hanya lima negara bagian yang belum mengadopsi CCS tersebut, sementara empat puluh lima negara bagian lainnya telah mengadopsi.  Dalam hati saya mengatakan “kalau itu sih, Indonesia sudah punya lebih dahulu”/

Untuk Massachusetts, penerapan CCS tersebut diikuti dengan MCAS (Massachusetts Comprehensive Assessment System) dan evaluasi kinerja guru.  MCAS mirip dengan UN di Indonesia.  Namun MCAS tidak diwajibkan kepada setiap sekolah, tetapi secara sampel atau sekolah juga dapat mengajukan diri sebagai volunteer.  Dalam praktek banyak sekolah atau siswa yang mengikuti MCAS karena diperlukan ketika mereka akan melanjutkan ke perguruan tinggi.  Sekali lagi dalam hati saya berkata, kami punya UN.  Hanya kalau UN wajib diikuti semua siswa, kalau MCAS tidak wajib.

Selesai mengikuti workshop, saya merenung.  Pendidikan di Indonesia yang semula sentralisasi sekarang menjadi desentralisasi.  Bahkan UN dan kurikulum ditentang banyak orang, karena dianggap menyeragamkan sekolah dan siswa yang kondisinya berbeda-beda.  Sebaliknya, pendidikan di Amerika Serikat yang selama ini sangat desentralistik justru bergerak ke sentralisasi.   Walaupun tidak ada kurikulum nasional atau bahkan kurikulum negara bagian, tetapi ada CCS.   Sekolah mengembangkan kurikulum masing-masing, tetapi berpedoman pada CCS.   Mirip KTSP di Indonesia.  Juga ada MCAS untuk mengecek ketercapaian CCS.

Lebih dari itu di negara bagian Massachusetts, dilakukan evaluasi kinerja guru secara ketat.  Maksudnya untuk memastikan guru mengajar dengan baik dan siswa mencapai CCS.  Mirip ketuntasan yang diberlakukan di Indonesia.  Bedanya evaluasi terhadap guru dilakukan dan jika guru tidak dapat menunjukkan kinerja dengan standar minimal, kontraknya tidak akan diperpanjang.


Dalam renungan saya tertingat buku McGinn & Welsh (1999) dengan judul Deceentralization of Education: Why, When, What and How. Menurut McGinn & Welsh, sentralisasi-desentralisasi seakan mirip pendulum yang selalu berayun mengikuti situasi dan mencari posisi yang tepat sesuai dengan situasinya. Semoga menjadi pelajaran buat kita semua.