Senin, 28 Oktober 2013

The Shanghai Secret

Published: October 22, 2013 342 Comments

(Kutipan dari artikel di the new York Times, tgl 22 Oktober 2013: Mungkin ada baiknya untuk dibaca) 
SHANGHAI — Whenever I visit China, I am struck by the sharply divergent predictions of its future one hears. Lately, a number of global investors have been “shorting” China, betting that someday soon its powerful economic engine will sputter, as the real estate boom here turns to a bust. Frankly, if I were shorting China today, it would not be because of the real estate bubble, but because of the pollution bubble that is increasingly enveloping some of its biggest cities. Optimists take another view: that, buckle in, China is just getting started, and that what we’re now about to see is the payoff from China’s 30 years of investment in infrastructure and education. I’m not a gambler, so I’ll just watch this from the sidelines. But if you’re looking for evidence as to why the optimistic bet isn’t totally crazy, you might want to visit a Shanghai elementary school.

I’ve traveled here with Wendy Kopp, the founder of Teach for America, and the leaders of theTeach for All programs modeled on Teach for America that are operating in 32 countries. We’re visiting some of the highest- and lowest-performing schools in China to try to uncover The Secret — how is it that Shanghai’s public secondary schools topped the world charts in the 2009 PISA (Program for International Student Assessment) exams that measure the ability of 15-year-olds in 65 countries to apply what they’ve learned in math, science and reading.
After visiting Shanghai’s Qiangwei Primary School, with 754 students — grades one through five — and 59 teachers, I think I found The Secret:
There is no secret.
When you sit in on a class here and meet with the principal and teachers, what you find is a relentless focus on all the basics that we know make for high-performing schools but that are difficult to pull off consistently across an entire school system. These are: a deep commitment to teacher training, peer-to-peer learning and constant professional development, a deep involvement of parents in their children’s learning, an insistence by the school’s leadership on the highest standards and a culture that prizes education and respects teachers.
Shanghai’s secret is simply its ability to execute more of these fundamentals in more of its schools more of the time. Take teacher development. Shen Jun, Qiangwei’s principal, who has overseen its transformation in a decade from a low-performing to a high-performing school — even though 40 percent of her students are children of poorly educated migrant workers — says her teachers spend about 70 percent of each week teaching and 30 percent developing teaching skills and lesson planning. That is far higher than in a typical American school.
Teng Jiao, 26, an English teacher here, said school begins at 8:35 a.m. and runs to 4:30 p.m., during which he typically teaches three 35-minute lessons. I sat in on one third-grade English class. The English lesson was meticulously planned, with no time wasted. The rest of his day, he said, is spent on lesson planning, training online or with his team, having other teachers watch his class and tell him how to improve and observing the classrooms of master teachers.
“You see so many teaching techniques that you can apply to your own classroom,” he remarks. Education experts will tell you that of all the things that go into improving a school, nothing — not class size, not technology, not length of the school day — pays off more than giving teachers the time for peer review and constructive feedback, exposure to the best teaching and time to deepen their knowledge of what they’re teaching.
Teng said his job also includes “parent training.” Parents come to the school three to five times a semester to develop computer skills so they can better help their kids with homework and follow lessons online. Christina Bao, 29, who also teaches English, said she tries to chat either by phone or online with the parents of each student two or three times a week to keep them abreast of their child’s progress. “I will talk to them about what the students are doing at school.” She then alluded matter-of-factly to a big cultural difference here, “I tell them not to beat them if they are not doing well.”
In 2003, Shanghai had a very “average” school system, said Andreas Schleicher, who runs the PISA exams. “A decade later, it’s leading the world and has dramatically decreased variability between schools.” He, too, attributes this to the fact that, while in America a majority of a teacher’s time in school is spent teaching, in China’s best schools, a big chunk is spent learning from peers and personal development. As a result, he said, in places like Shanghai, “the system is good at attracting average people and getting enormous productivity out of them,” while also, “getting the best teachers in front of the most difficult classrooms.”

China still has many mediocre schools that need fixing. But the good news is that in just doing the things that American and Chinese educators know work — but doing them systematically and relentlessly — Shanghai has in a decade lifted some of its schools to the global heights in reading, science and math skills. Oh, and Shen Jun, the principal, wanted me to know: “This is just the start.”

Selasa, 22 Oktober 2013

TANTANGAN PENDIDIKAN DI ERA CYBER

Hari ini, 23 Oktober 2013 saya diundang oleh Universitas Airlangga untuk menjadi keynote speaker dalam forum Guru-guru Bloger.  Saya senang karena merupakan kesempatan baik bagi saya untuk berbagi kerisauan.  Mumpung ketemu orang-orang “dunia maya” yang saya yakin selalu haus informasi dan tahu bagaimana caranya mencari informasi itu.  Saya ingin berbagai kerisauan tentang bagaimana seharusnya dunia pendidikan menata diri di era cyber.   

Sudah agak lama saya merenungkan perubahan apa yang akan terjadi terhadap pendidikan ketika era cyber telah datang.  Dalam beberapa kali kesempatan saya menyampaikan “kalau kita ingin tahu berapa penduduk Kota Surabaya, kemana kita mencari?”.  Dulu mungkin di Buku Surabaya Dalam Angka.  Atau di Buku Pelajaran Geografi.  Sekarang lebih cepat buka Google dan ketik kata “jumlah penduduk Surabaya”.  Keluarlah data itu dan bahkan dengan uraiannya.  Hal yang sama, kalau kita ingin tahu hal lain.  Misalnya kita dapat obat dari dokter.  Sebut saja namanya “X”.  Ketik nama obat itu di Google, akan keluar banyak informasi.  Paling tidak keluar Wikipedia yaitu semacam ensklopedia pada masa lalu.  Intinya saat ini segala macam informasi tersedia di internet.

Beberapa perguruan tinggi besar, misalnya MIT sudah mengunggah semua materi kuliah di web-nya.  Semua orang dapat melihat dan mengunduh dengan gratis.  Tentu tidak dapat melakukan interaksi dengan dosen dan juga tidak dapat mengikuti ujian. Kecuali mahasiswa yang terdaftar disana.  Bahkan MIT juga mengembangkan BLOSSOMS (Blended Learning Open Source Science or Math Studies).  Bahannya dikembangkan bersama dengan orang dari berbagai penjuru dunia.  Dan hasilnya dapat dinduh oleh siapa saja tanpa membayar.  E-book saat ini juga sudah mewabah.  Harganya jauh lebih murah.  Bahkan banyak “orang dermawan” yang mengunggah e-book dan semua orangdapat mengunduhnya secara gratis.

Kalau sudah seperti itu, maka lantas apa tugas guru?  Sampai saat ini pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh guru adalah menerangkan suatu teori, konsep dan fenomena. Kalau penjelasan semacam itu sudah tersedia di internet lantas apa yang harus dikerjakan oleh guru dan dosen? Membantu menjelaskan karena siswa/mahasiswa tidak dapat belajar sendiri?  Tanpa penjelasan guru/dosen, siswa/mahasiswa tidak dapat memahami?  Apa itu betul?  Apa itu berlaku untuk siswa SD, SMP, SMA. Mahasiswa S1, S2 dan S3?

Mungkin pola pembelajaran akan mengalami perubahan fundamental dalam waktu mendatang.  Mungkin tugas guru adalah mendampingi dan memandu siswa dalam belajar.  Bukan memberikan informasi, karena informasi sudah ada di internet.  Bukan menerangkan, karena wikipedian sudah menerangkan itu.  Pekerjaan guru/dosen adalah “mengatur situasi belajar”, agar siswa/mahasiswa memperlajari informasi yang diperoleh.  Untuk apa?  Apakah sekedar biar faham?  Atau untuk cadangan pengetahuan?  Itulah hal kedua yang perlu kita renungkan bersama.  Sebenarnya untuk apa anak sekolah atau kuliah?  Apakah sekedar untuk memperoleh kumpulan pengetahuan?

Dua pertanyaan terakhir sering saya ajukan kalau saya mendapat kesempatan ketemu guru atau orang tua siswa.  Umumnya mereka menjawab, tidak.  Akan bersekolah atau kuliah untuk mencari bekal hidup agar besuk dapat sukses.  Nah, pertanyaan apa bekal agar anak-anak dapat sukses di era cyber.  Itulah yang perlu didiskusikan.

Sekrang muncul istilah The 21st Centry Skills.  Kira-kita kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi era Abad Ke-21.  Salah satu buku yang dapat dibaca karangan Bernie Triling dan Charles Fadel dengan judul 21st Century Skills: Learning for Life in Our Time.  Melalui serangkaian riset  dua orang itu mengajukan tiga kemampuan yang diperlukan di abad 21, yaitu: learning and innovation skills, media and technology skills, dan life and career skills.  Kita tidak harus menerima gagasan mereka.  Yang penting kita mencari yang tepat untuk kondisi Indonesia.

Hal lain yang ingin saya ajukan untuk menambah semangat “mencari”, adalah: (1) gap antara pencari kerja dan pencari karyawan, dan (2) makin renggangnya hubungan antara latar belakang pendidikan dengan profesi yang ditekuni orang.  Setiap hari Sabtu koran memuat begitu banyak lowongan pekerjaan.  Di lain pihak, jika ada job fair ribuan anak muda antre mencari pekerjaan.  Apa yang terjadi?  Yang mencari karyawan susah mendapatkan, yang mencari pekerjaan sudah mendapatkan.  Seakan ada ketidak cocokan antara yang dicari oleh perubahaan dan yang melamar pekerjaan.

Dimasa lalu, orang yang masuk Fakultas Hukum hampir pasti menjadi hakim, jaksa dan pengacara.  Orang yang masuk IKIP hampir pasti menjadi guru.  Orang yang masuk Teknik Sipil, hampir pasti bekerja di PU, menjadi konsultan bangunan atau bekerja diperusahaan kontraktor.  Saat ini hubungan seperti itu semakin longgar.  Banyak lulusan IKIP bekerja di perusahaan, menjadi pedagang bahkan menjadi politisi.  Dan sebagainya.

Mari kita kaji apa yang harus ditata agar pendidikan sesuai dengan era cyber.  Semoga fenomena koran hari Sabtu dan antrean di jobfair tidak terus berlangsung.  Semoga kita menjadi pebelajar yang baik.

Senin, 21 Oktober 2013

BERTANDANG KE MASYARAKAT BAJO

Saat tiba di Wangi-wangi, rombongan peserta pertemuan CRISU dan CUPT ditawari dua pilihan, mengunjungi masyarakat Bajo atau berwisata diving.   Karena tidak membawa perlengkapan renang dan juga ingin melihat Bajo yang sudah sering mendengar, saya memilih mengunjungi masyarakat Bajo.  Jim Collins dari NIU sering bercerita tentang Suku Bajo, karena pernah melakukan penelitian tentang suku itu.  Masak, banyak bule yang tahu dan orang Indonesia malah belum tahu.

Dari apa yang pernah saya baca, Suku Bajo tinggal “di laut”.  Pada awalnya mereka nomaden. Mereka tinggal di atas perahu.  Berikutnya mereka membuat rumah di pantai, dengan ditopang oleh tiang-tiang yang menancap di air.  Antara satu rumah dengan rumah lainnya dihubungkan dengan jalan dari kayu yang juga ditopang oleh tiang-tiang dari kayu.  Jadi mirip perkampungan tetapi semua dia atas air.

Mereka pelaut ulung.  Pak Ilham dari Universitas Hassanudin bercerita bahwa orang Bajo dapat menyelam sampai 15 menit tanpa peralatan apa-apa. Orang Bajo dapat menangkat ikan dengan tangan saat menyelam tersebut.  Konon kalau ada bayi lahir akan diceburkan ke laut.  Jika dapat bertahan, mereka diyakini bagian dari Suku Bajo, sedangkan jika tidak mampu bertahan, diyakini bukan bagian Suku Bajo dan dibiarkan meninggal.  Saya sendiri belum tahu praktek semacam itu.

Dari cerita yang saya dapat, mereka itu menganggap masyarakat lain sebagai “orang darat” yang suka merusak laut.  Mereka meyakini yang betul adalah pola kehidupan seperti yang mereka jalankan.   Itulah sebabnya ketika pemerintah berusaha mensosialisasikan program agar mereka tinggal di daratan ditolak.  Yang berjalan adalah membuatkan jalan penghubung antara rumah-rumah mereka.  Jika sebelumnya penghubung tersebut berupa kayu yang ditopang tiang-tiang, sekarang “jalan tanah” seperti jalan didaerah lain.

Dengan bekal pengetahuan itu saya ikut rombongan mengunjungi Suku Bajo di Wangi-wangi.  Begitu tiba di lokasi saya menjumpai situasi yang berbeda dengan yang saya bayangkan.  Perkampungan Bajo di Wangi-wangi sudah mirip perkampungan nelayan di Jawa.  Halaman rumah mereka sudah berupa lahan tanah yang bersambung dengan jalan.  Beberapa rumah juga sudah tembok bahkan ada rumah bertingkat.  Juga banyak rumah yang berdiri diatas tanah.  Mungkin pada awalnya berdiri di atas air, tetapi kemudian diurug sehingga yang tampak rumah tersebut berdiri di atas lahan tanah biasa.  Yang masih berupa “air” adalah antara rumah dan rumah lainnya.  Itupun sudah ada beberapa yang diurug juga.

Saya juga menjumpai anak-anak muda sedang berspeda motor, bermain badminton, bermain depak takraw dan bahkan ada beberapa anak muda yang sedang memakai “seragam pesepak bola”.  Ternyata mereka anggota klub sepak bola setempat.  Perilaku anak-anak remaja tidak ubahnya dengan masyarakat pada umumnya.  Juga ada beberapa rumah yang memiliki parabola.  Lagu-lagu yang terdengar dari radio atau tape atau TV juga lagu-lagu pop layaknya yang disukai anak mudah di tempat lain. Yang tampak masih beda adalah ibu-ibu yang menggunakan bedak putih tebal, seperti di kampung saya pada tahun 1970an. 

Melihat situasi tersebut saya bertanya kapan “pengurugan” itu dilakukan.  Konon sekitar akhir tahun 1990an awal tahun 2000an.  Saya lantas bertanya apa di lokasi tersebut ada sekolah.  Ternyata ada dan juga da masjid dan saya sempat sholat magrib di sana.   Saya bertanya lagi, anak-anak Suku Bajo apa perkerjaannya.  Pak Ilham agar ragu-ragu menjawab.  Konon yang tidak sekolah bekerja sebagai nelayan, tetapi yang sudah sekolah belum tahu bekerja apa.

Dari pengamatan, informasi Pak Ilham dan obrolan singkat dengan beberapa remaja di lokasi tersebut, saya menduga “budaya Bajo” akan segera hilang.  Anak-anak remaja yang masih memiliki kenangan masa kecil sebagai “anak Bajo” tinggal di “permukiman Bajo” sebelum ada pengurugan-pun tampaknya sudah terpengaruh kuat oleh “budaya orang darat”.  Main sepak bola, maik badminton, main sepak takraw, naik motor dan sebagainya.   Lokasi tempat tinggal saat ini juga sudah mirip kampung nelayan dibanding kampung air.

Kalau anak-anak remaja tersebut pada saatnya menikah dan punya anak.  Maka anak-anak mereka sudah tidak punya kenangan sebagai “anak Bajo”, tidak punya kenangan lahir di pemukiman air ala Bajo.  Yang dia alami adalah situasi seperti anak-anak nelayan pada umumnya.  Dengan begitu saya menduga budaya Bajo akan “hilang” dalam dua generasi lagi.

Jika budaya Bajo ingin dipertahankan, saya usulkan ada daerah yang dibuat sebagai konservasi.  Perkampungan dipertahan seperti semula.  Yang dilakukan adalah memberikan fasiltias pendukung, misalnya air bersih, sekolah, puskesmas dan sebagainya.  Namun semua dibuat “diatas air”.   Semoga para pakar dan pihak yang terkait dengan masalah budaya dapat memikirkan dengan lebih arif.

Sabtu, 19 Oktober 2013

BELAJAR KE KELOMPOK KAULUMA

Tanggal 17-19 Oktober 2013 saya mengikuti pertemuan CRISU (Council of Rectors of Indonesian State Universities) dan CUPT (Council of University Presidents of Thailand) di Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara.  Tanggal 19 rombongan diajak berwisata ke Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi.  Saya memutuskan untuk ikut, walaupun sudah dapat informasi kalau wisata tidak sampai kedaerah wisata bawah laut di Wakatobi. 

Wisata bawah laut yang dikabarkan indah itu terletak di Pulai Kaledupa, sementara kami hanya sampai Pulau Wangi-wangi.  Dari Pulau Wangi-wangi ke Pulau Kaledupa masih harus naik speed boat selama 2-3 jam.  Dan wisata bawah laut di Kaledupa itu “dikelola” oleh orang asing sejak Kabupaten Wakatobi belum terbentuk. Konon orang Swiss.  Sudah ada lapangan terbang kecil khusus untuk wisatawan.  Namun tidak semua orang boleh masuk ke pulau tersebut. Alhasil orang lokalpun tidak mudah untuk masuk ke daerah itu.

Nama Wakatobi sendiri sebenarnya merupakan gabungan nama empat pulau “besar” yang ada di sana, yaitu Pulau Wangi-wangi (WA), Pulai Kaledupa (KA), Pulau Tomia (TO) dan Pulau Binongko (BI).  Pulau Wangi-wangi adalah tempat pemerintahan Kabupaten Wakatobi dan memang merupakan salah satu dari empat pulau yang lokasinya terdekat dengan daratan Sulawesi. 

Rombongan mendarat di Bandara Matahora di Pulau Wangi-wangi sekitar pukul 12.45.  Disambut oleh Bupati Wakatobi, Pak HUGUA. Kami transit di ruangan VIP dan disuguhi teh manis, air mineral dan beberapa makanan kecil.  Setelah itu diajak ke penginapan berupa sebuah resort di tepi pantai.  Diberi makan siang sambil istirahat sebentar.

Setelah selesai makan siang Rektor Universitas Halu Oleo, Prof Usman Rianse,  dan Pak Bupati Wakatobi mengumumkan bahwa rombongan akan diajak menanam pohon bersama Kelompok Kauluma.  Kami semua ikut karena penasaran apa yang dimaksud dengan menanam pohon bersama yang sebenarnya tidak tercantum dalam agenda acara.

Dengan bermobil kami menuju lokasi yang letaknya masuk ke lahan berisi tumbuhan mirip semak-semak. Pulau Wang-wangi memang berbatuan dan yang tumbh berupa semak-semak. Setelah mobil berhenti, kami diajak berjalan kaki masuk ke tengah-tengah ladang yang banyak diisi tumbuhan semak-semak dengan beberapa pohon jambu mente.  Kami melewati lahan yang ada papan kecil-kecil yang bertuliskan nama orang dan dipasang pada tiang kecil.  Prof Weri, Rektor Universitas Andalas, bertanya apakah itu makam?

Setelah itu kami sampai di tempat acara.  Disitu ada terop sederhana dan dibawahnya ada kursi plastik.  Kami semua dipersilahan duduk dan disuguhi pisang rebus dan pisang goreng.  Upacara dimulai dengan semacam penjelasan apa itu Kauluma.  Penjelasan disampaikan oleh Pimpinan Kelompok Kauluma yang saya tidak ingat namanya.   Disampaikan dalam bahasa daerah dan diterjemahkan oleh seorang anak muda.

Dari penjelasan itu, saya menangkap sesuatu yang luhur.  Kauluma adalah bahasa daerah yang artinya tempat naungan.   Kelompok itu muncul diawali oleh kesadaran masyarakat akan panasnya Pulau Wangi-wangi akibat semakin berkurangnya hutan dan pepohonan.  Pada tahun 2008, tujuh orang dari Desa Longa memulai inisiatif menanam pohon untuk menyelamatkan hutan dan daerah setempat.   Untuk itu mereka membentuk kelompok yang diberi nama Kauluma.  Kegiatan dimulai dengan menamil lahan keluarga seluas sekitar 10 HA.

Inisiatif tersebut disambut baik oleh masyarakat, sehingga terus berkembang.  Pemerintah Kabupaten juga mendukung inisiatif tersebut, sehingga memfasitasi kerjasama Kelompok Kauluma dengan berbagai organisasi.   Akhirnya banyak tamu, dari universitas (kebetulan Bupati Wakatobi teman akrab Rektor UHO), Kementerian Kehutanan, tamu dari Jepang dan masih banyak yang lain, yang ikut menanam pohon.  Rombongan CRISU dan CUPT termasuk yang juga difaslitasi UHO dan Bupati Wakatobi untuk ikut membantu Kelompok Kauluma.

Setelah mendapat penjelasan, semua peserta diajak menanam pohon.  Pada setiap lubang sudah tersedia bibit pohon yang akan ditanam.  Juga ada papan nama yang dipakukan di tiang kecil.  Jadi yang tadi dikira makam, ternyata nama penanam pohon di sebelahnya.  Kami semua menanam pohon.  Setelah itu memberi uang 100 ribu rupiah untuk “ongkos” memelihara sampai pohon tersebut hidup.

Apa yang dapat dipelajari dari Kelompok Kauluma tersebut?   Pertama, adanya kesadaran masyarakat bahwa menanam pohon merupakan langkah penting dan perlu segera dilakukan untuk merehabilitasi hutan dan menurunkan suhu daerah tersebut.  Walaupun saya tidak memiliki data, dengan melihat kondisi daerah tersebut, saya menduga tingkat pendidikan warga belum terlalu baik.  Akses informasi juga belum terlalu baik.  Jadi kalau di masyarakat muncul kesadaran tersebut, menurut saya merupakan prestasi yang harus diapresiasi tinggi.

Kedua, kesadaran itu tidak berhenti sebagai wacana, tetapi dilaksanakan dengan konsisten.  Tujuh orang yang memulai terus melakukan dengan istiqomah.  Konon pada awalnya mereka tidak mau dipublikasi sebagai orang yang merintis.  Mereka tidak memerlukan penghargaan.  Mereka tidak ingin ditonjolkan sebagai perintis lingkungan.  Mereka juga menanam di lahan sendiri tetapi didedikasikan untuk desa.

Ketiga, pemerintah Kabupaten Wakatobi berhasil “memasarkan” kegiatan tersebut, sehingga banyak pihak yang tahu dan akhirnya membantu.   Kalau hanya dilakukan oleh masyarakat setempat yang keadaan ekonominya sangat terbatas, tentu rehabilitasi hutan tersebut memerlukan waktu yang sangat lama.  Namun dengan banyak pihak yang membantu, diharapkan program tersebut segera terwujud dan berdampak signifikan terhadap perbaikan lingkungan.   Kita perlu belajar kepada Kelompk Kauluma.

Senin, 14 Oktober 2013

TAMPYAS HUJAN

Jawa Pos tanggal 14 Oktober 2013 memuat tulisan Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN, berjudul Mereka Tidak Basah di Kolam Oli.  Melalui tulisan itu, sepertinya Pak Hahlan Iskan ingin meyakinkan bahwa tidak semua pejabat seperti Pak Akil Muchtar yang tersangkut korupsi.  Masih banyak pejabat lain yang bersih.  Masih banyak pejabat yang memegang “posisi basah” tetapi tidak korupsi.  Ibarat mereka berada di kolam oli, tetapi tidak basah.  Pak Dahlan menyebut Mahfud MD sebagai salah satu contoh nyata.  Katanya masih banyak Mahfud-Mahfud yang lain di negeri ini.

Catatan singkat berikut ini dimaksudkan untuk melengkapi tulisan Pak Dahlan tersebut.  Sekitar tahun 2006, anak sulung saya mengajak diskusi agak serius.  Dia lulusan Belanda dan saat itu bekerja di perusahaan swasta di Jakarta.  Dia bertanya, apakah boleh mengundang pejabat dari daerh untuk ke Jakarta.  Saya bertanya untuk keperlukan apa?  Dijawab, sekedar ramah tamah untuk tahu program apa saja yang ada di kabupaten mereka.  Saya bertanya apa mereka mau?  Mengapa tidak datang saja ke kabupaten yang dimaksud?  Dijawab, nanti tiket ke Jakarta pp dan akomodasi selama di Jakarta dibiayai oleh perusahaan.

Diskusi itu berjalan agak lama dan melebar kemana-mana, walaupun tetap di sekitar upaya mendapatkan proyek. Termasuk cerita bagaimana perusahaan lain melakukan pendekatan dengan pihak-pihak tertentu.  Akhirnya saja memberi nasehat kira-kira sebagai berikut.  Ketika terjadi hujan, orang itu dapat basah kuyup karena di halaman dan tanpa payung.  Dapat pula benar-benar kering, karena di dalam rumah.  Namun juga dapat kena tampyas, karena berdiri di tritisan rumah.  Memang tidak kena hujan secara langsung, tetapi tetap basah karena kena cipratan air tritisan.  Metaphora itu saya sampaikan dengan catatan “kamu sudah dewasa, sarjana dan sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang kurang baik”.

Diskusi berhenti tanpa simpulan apa-apa.  Namun selang sekitar sebulan, anak saya datang lagi dan minta ijin apakah boleh kembali ke Eropa.  Dia mengeluh “kok semua serba abu-abu, tidak jelas mana yang putih dan mana yang hitam”.   Banyak argument yang diajukan.  Akhirnya saya menyatakan silahkan nak.  Yang penting kamu tetap orang Indonesia, dimanapun berada dan berkarya tetap membantu pengembangan negara tercinta.

Beberapa pakar menyatakan bahwa korupsi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu niat dan keinginan yang bersangkutan untuk korupsi, peluang yang tersedia lebar dan merangsang orang untuk melakukan korupsi, dan tidak adanya pengawasan yang baik sehingga membuat orang mudah melakukan korupsi.

Memang ada orang yang punya niat korupsi, sehingga dengan segala cara mencari peluang untuk melakukannya.  Namun niat itu ternyata punya latar belakang beragam.  Konon ada orang yang semula “orang baik-baik”.  Namun ketika memegang jabatan tertentu dan jabatan itu ternyata mengharuskan dia untuk mencari dana guna memutar roga organisasi.  Nah, akhirnya timbul niat untuk memanfaatkan jabatannya untuk korupsi.

Tentu kita dapat mengatakan berarti “predikat orang baik” bagi dia sebenarnya belum teruji.  Buktinya ketika memegang jabatan dia tidak mampu mengendalikan dirinya untuk tidak korupsi.  Kalau menggunakan istilah Pak Nuh, Mendikbud, orang dapat dikatakan “bersih” kalau sudah diuji dengan memegang jabatan dan ternyata tidak menggunakan untuk korupsi.  Jadi “menjadikan” orang yang mampu menaham diri terhadap godaan sebesar apapun dan dari arah manapun merupakan langkah yang harus diupayakan.

Seorang teman mengatakan tata administrasi keuangan kita seringkali membuat orang untuk korupsi.  Misalnya besarnya uang lumpsum perjalanan dinas yang tidak cocok dengan kondisi nyata di lapangan.  Biaya makan tidak dapat terdukung oleh uang lumpsum.  Akhirnya banyak yang “mengakali” agar cukup.  Bukan untuk mencari “kelebihan” tetapi agar cukup dan yang bepergian tidak nambah uang pribadi.  Dan konon mengakali seperti itu dapat dikategorikan korupsi.

Tampaknya diperlukan penyempurnaan tata administrasi agar tidak mendorong orang untuk korupsi.   Tata adminstrasi yang membuat semua pelaksana kegiatan dapat mengerjakan tugas dengan baik.  Tidak perlu mendapatkan lebihan tetapi juga tidak boleh terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk melaksanakan tugas tersebut.

Pengawasan tampaknya juga sangat menentukan.  Namun sebaiknya sistem pengawasan yang harus diciptakan dan bukan pengawasan by accident.  Seingat saya pernah ada gagasan pembuktian terbalik.  Jadi setiap orang wajib dapat menjelaskan setiap harta miliknya dari mana asal usulnya.

Saya teringat suatu kejadian sekian tahun lalu.  Anak saya yang sedang kulaih nyambi bekerja di Eropa minta kiriman uang untuk “kerja praktek” dilaksanakan di negara lainnya.  Setelah saya kirimi, ternyata dinyata ditanya oleh petugas, dari mana tambahan uang di rekeningnya.  Jika itu hasil kerja, apakah sudah membayar pajak.  Jadi sistem di negara itu sedemikian rapi, sehingga setiap tambahan uang di rekening seseorang terpantau.  Dan jika ada tambahan yang tidak jelas asalnya, pemilik rekening ditanya dan harus dapat menjelaskan. 

Semoga kita dapat membekali para pemegang amanah dengan integritas tinggi, sehingga tidak tergoda untuk korupsi.  Semoga tata administrasi keuangan kita semakin baik, sehingga membuat pelaksana kegiatan dapat bekerja dengan baik tanpa harus mengakali.  Semoga kita segera memiliki sistem pengawasan yang dapat mengetahui setiap perubahan kepemilikan para aparat negara.

MENYIAPKAN DIRI MENYONGSONG ERA PASIFIK

Tanggal 13 dqn 14 Oktober 2013 Unesa melaksanakan Wisuda ke 78.  Jumlah wisudawan lebih dari 2.100 orang dan lulusan S2 dan S3 lebih dari 200 orang.  Oleh karena itu, saya menyiapkan sambutan yang agak khusus.  Intinya saya mengajak para wisudawan untuk menyiapkan diri menyongsong Era Pasific. Berikut ini cuplikannya.

Banyak ahli yang meyakini saat ini kita sedang pergeseran dari era Atlantik ke era Pasifik.  Kalau di masa lalu negara-negara di sekitar lautan Atlantik yang menjadi senter dunia.  Pusatnya di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara.  Secara perlahan tetapi pasti dominasi negara-negara tersebut akan segera berakhir.  Perannya digantikan oleh negara-negara di sekitar Lautan Pasifik dan Asia akan menjadi motor penggerak utamanya.  Itulah yang disebut Era Pasifik dengan pusatnya di Asia.

Jorgen Moller dalam bukunya How Asia Can Shape The World (2011) secara jelas menggambarkan pegeseran tersebut.  Moller juga menyebut secara spesifik bahwa Indonesia akan menjadi salam satu pemain penting di era itu.  Namun jauh-jauh Moller mengingatkan pentingnya pendidikan untuk mewujudkan impian itu.  Peringatan itu dimuat dalam satu Bab Khusus dengan judul Aces or Duds (Kartu As atau Kartu Mati).  Ibarat bermain domino, pada pergeseran tersebut pendidikan dapat menjadi katu AS untuk memenangkan pertandingan, atau sebaliknya menjadi kartu MATI yang justru menjadi beban yang merepotkan.  Kita semua, khususnya para wisudawan harus mampu menunjukkan bahwa para doktor, sarjana dan ahli madya alumni Unesa siap menjadi KARTU AS dala  proses pergeseran tersebut.

Untuk itu apa yang diuraikan oleh Dave Ramsey dalam buku ENTRELEADERSHIP (2011) sangat cocok untuk diterapkan.  Beberapa catatan Ramsey yang menurut saya cocok untuk mereka yang baru diwisuda antara lain apa yang dia sebut dengan (1) START WITH A DREAM END WITH A GOAL, (2) FLAVOR YOUR DAY WITH STEAKE SAUCE, dan (3) NO MAGIC, NO MISTERY

Ramsey menjelaskan, orang muda harus berani bercita-cita tinggi.  Namun sesudah mencanangkan cita-cita, harus memikirkan dan dapat menemukan apa syarat untuk mencapai cita-cita itu.  Dan bagaimana tahapan untuk memenuhi persyaratan tersebut.  Setelah itu harus berani mulai melangkah dan bekerja keras untuk memenuhi persyaratan dan pada akhirnya menggapai cita-cita itu.

Dalam Flavor Your Day with Steake Sauce, Ramsey menjelaskan kita harus mampu membedakan masalah menjadi empat kategori, yaitu (a) penting dan mendesak, (b) penting tetapi tidak mendesak, (3) tidak penting walupun mendesak, dan (4) tidak penting dan tidak mendesak.  Berdasarkan kategori itu kita harus pandai membagi enersi kita, agar sampai terkuras untuk mengerjakan sesuatu yang tidak penting walupun mendesak.  Sebaliknya  jangan sampai kita tidak berani melangkah menangani sesuatu yang penting dan mendesak.  Walapun itu penuh tantangan.  Kita tidak boleh lari tantangan.  Setiap tantangan harus kita hadapi dan kita pecahkan dengan baik.  Bukankah ada kata bijak bahwa nahkota yang hebat adalah yang terbiasa mengarungi lautan yang ganas.  Tantangan akan menempa kita menjadi orang yang hebat.

Kalau menggunakan istilah Charles Handy yang mempekenalkan teori kue donat terbalik (inverted dounaght theory), jangan sampai kita terjebak memperdebatkan sesuatu yang tidak penting, yang peripheral dan justru melupakan yang pokok, yang inti.  Dalam bahasa lain, jangan sampai kita berbedat dan bahkan bersengketa untuk hal-hal yang carangan, yang kecil-kecil dan justru melupakan persamaann yang besar-besar dan wajib.  Jangan kita melupkan yang wajib dan justru mengejar yang sunah dan bahkan mubah.

Ramsey juga dapat menjelaskan dengan baik bahwa hampir tidak ada misteri dalam tahapan mencapai cita-cita.  Semua dapat dirancang dengan baik.  Tidak ada magik, semua dapat dijelaskan bagaimana tahapan mencapai cita-cita yang telah dipancangkan.  Jika tahapan dan persyaratan telah ditemukan, maka kita harus mulai bekerja keras untuk melakukannya.

Kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas rasanya cocok untuk melengkapi uraian Ramsey tersebut.  Di era teknologi sekarang keras saja tidak cukup.  Oleh karena itu harus disertai kerja cerdas untuk menemukan cara kerja dan efektif dan efisien.  Kadang-kadang ada kelakar “you do not need to work so hard, what you need is to work a little bit smarter”.   Walau terkesan menyederhanakan, kelakar itu ada gunakan untuk direnungkan.

Kerja ikhlas diperlukan, agar kita dapat menikmati apa yang kita kerjakan.  Kita dapat memastikan dan meyakini bahwa apa yang kita kerjakan merupakan bagian dari ibadah.  Bukankah Tuhan memastikan bahwa “Tiada aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”.  Dan bekerja dengan baik untuk tujuan mulia, insya Allah bagian dari ibadah.

Wisudawan yang saya banggakan.  Kita sedang memasuki era kompetisi yang semakin ketat.  Kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah dan kreativitas menjadi kunci keberhasilan dalam era tersebut.  Kini banyak sekolah di negara maju yang mencanangkan lulusan dengan ungkapan “be critical thinker, be problem solver and be creative”.   Artinya, sekolah itu ingin menghasilkan lulusan yang punya kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah dan kreatif.   Saya ingin menambahkan jadilah orang yang mampu memecahkan masalah dengan kreatif tetapi juga arif.

Untuk mendukung pengembangan kreativitas, apa yang dijelaskan oleh Boyd dan Goldenberg (2013) dalam bukunya INSIDE THE BOX tampaknya cocok untuk dibaca.  Mereka telah melakukan riset panjang dan menyimpulkan bahwa untuk menjadi kreatif tidak selalu harus berpikir out of the box.  Mereka menemukan banyak temuan kreatif yang berasal dari berpikir inside the box, yaitu SUBTRACTION, DIVISION, MULTIPLICATION, TASK UNIFICATION dan ATTRIBUTE DEPENDECY.            Pola tiket pesawat murah (low cost carrier) yang domotori oleh Air Asia  adalah inovasi yang menggunakan pola substraction, yaitu mengurangi beberapa fungsi yang tidak penting dan mendesak agar lebih efisien dan akhirnya murah.   Remote control untuk TV dan AC adalah inovasi berdasarkan prinsip division, yaitu memisahkan TV dan AC dengan alat pengontrolnya, sehingga lebih nyaman pemakainnya.   Inovasi speda beroda tiga adalah contoh sederhana penerapan prinisp  mulptiplication, yaitu membuat roda tambahan untuk fungsi lainnya.  Task punggung (back pack) adalah contoh inovasi dengan prinsip task unification.  Otomatis AC dan wipers mobil yang dapat menyesuaikan dengan suhu dan hujan adalah contoh inovasi dengan prinsip attribute dependency.

Yang sangat menarik Boyd dan Goldenberg membuktikan bahwa kreativitas dalam diajarkan dan dikembangkan dengan pola yang mereka sebut dengan SYSTEMATIC INVENTIVE THINKING. Dan setiap orang, baik secara mandiri maupun melalui pelatihan dapat mengembangan daya kreativitas tersebut.  Saya menyarankan wisudawan membaca buku baru tersebut.

Terakhir saya ingin berpesan bahwa SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH YANG MEMBERI MANFAAT KEPADA LINGKUNGANNYA.   Jadilah orang memberi manfaat kepada siapa saja dan apa saja, dimanapun kita berada.  Jadilah orang yang dikenang orang lain bukan karena kita pandai atau kita kaya, tetapi karena kita memberi manfaat.

Selamat memasuki kehidupan, selamat berjuang, selamat menyongsong hari depan, selamat mengabdi kepada nusa bangsa.  Saya mendo’akan Anda semua sukses.

Sabtu, 12 Oktober 2013

YUDI LATIF DAN KISAH KARAKTER

Saya mulai mengenal Yudi Latif secara pribadi tahun 2009.  Namun sebelumnya saya sudah membaca tulisannya di koran, terutama resonansi di Republika.  Itulah sebabnya ketika saya ditugasi untuk “mengomandani” pengembangan Pendidikan Karakter di Depdiknas (sekarang Kemdikbud) saya mengajak Mas Yudi Latif untuk bergabung.  Orangnya cerdas, berpengetahuan luas dan idealis. Berpartner dengan Zaim Uchrowi (Direktur Pusbuk), mereka bertandem memberi masukan yang sangat signifikan dalam menyusun konsep Pendidikan Karakter.

Ketika saya pulang Unesa dan mahasiswa mengadakan seminar, Mas Yudi Latif kita undang.  Mahasiswa senang karena mendapatkan pembicara muda, cerdas dan bepengetahuan luas.  Di usia 49 tahun Mas Yudi Latif telah berkriprah luas di dunia pemikiran.  Dia alumni Gontor, S1 bidang Komunikasi Unpad dan S2+S3 Bidang Sosiologi Politik Australian National University.  Kualitas intelektual dan kepeduliannya dengan masalah kebangsaan tidak usah diragukan. Dalam tulisan di koran biasanya dia disebut sebagai pemikir masalah keagamaan dan kenegaraan.

Lama tidak ketemu, tahu-tahu Yudi Latif menerbitkan buku yang sangat fenomenal berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila.  Buku setebal 665 halaman dengan pengantar 20 orang dari berbagai kalangan itu seakan menunjukkan “kelas” Yudi Latif.  Seingat saya buku itu dibedah di beberapa tempat.  Almarhum Taufiq Kemas seperti “kesengsen” dengan pemikiran Yudi Latif, sehingga menyempatkan diri untuk ikut hadir dan memfasilitasi bedah buku tersebut.  Konon buku itu dijadikan buku teks wajib di beberapa perguruan tinggi.  Saya yang bidangnya jauh dari kandungan buku itu, tertarik ikut membeli dan membaca.

Membaca buku itu, saya merenung berapa lama dia menulis.  Bagaimana dia mencari sumber.  Siapa saja yang diajak diskusi dalam proses penyusunannya.  Konon Yudi Latif perlu waktu dua tahun menulis buku itu.  Lama mencari sumbernya tidak dapat dipastikan,karena dihimpun sedikit demi sedikit dan sambil berjalan.  Yang jelas perlu waktu sangat lama.  Saya sendiri sulit membayangkan, bagaimana dapat memperoleh sumber koran, naskah pidato, notulen rapat, artikel majalah pada masa sebelum kemerdekaan.  Tetapi itulah salah satu kelebihan Yudi Latif.  Beridialismen tinggi, tekun dan pantang menyerah dalam melakukan sesuatu.

Tanpa sengaja tanggal 8 Oktober 2013 sore saya ketemu Mas Yudi di bandara Cengkareng.  Setelah saling menyapa dan bertanya tentang kabar kesehatan, saya bertanya “sekarang sedang menulis buku apa mas?”.   Dia menjawab sedang menulis buku kisah orang-orang Indonesia yang berkaraker hebat.  Menurut dia, sebenarnya banyak orang Indonesia yang dapat menjadi teladan karakter.  Hanya saja tidak ada yang menulis atau menceritakan.  Yang ditulis di koran dan diberitakan di TV, pada umumnya yang negatif.  Seakan-akan Indonesia tidak memiliki teladan untuk pendidikan karakter.

Dia lantas menjelaskan mengapa para rosul, misalnya Ibrahim, Musa dan Muhammad, juga diteladani oleh masyarakat pada zaman sekarang, karena perilakunya dikisahkan oleh para da’i atau buku-buku.  Orang sekarang tidak pernah ketemu dengan para rosul tetapi memahami perilaku agungnya dari kisah-kisah yang dibaca atau dijelaskan para guru agama dan da’i.

Untuk penyusunan buku itu, Yudi Latif membaca ratusan biografi, mencari bahan dari seluruh pelosok negeri.  Dia mendapatkan ratusan kisah orang (saya lebih senang menyebut tokoh karakter) dari berbagai profesi, dari berbagai agama dan dari berbagai suku.  Menurut dia, Indonesia memiliki segudang teladan orang berkarakter mulia.  Hanya saja belum ada yang menuliskan secara utuh sehingga menjadi bacaan masyarakat.

Saya terhenyak dan bertambah kagum kepada anak mudah bernama Yudi Latif.  Dia sangat peka terhadap kebutuhan negara ini.  Ketika banyak warga bangsa yang “agak lupa” dengan Pancasila, dia menerbitkan buku tentang “kehebatan” Pancasila.  Ketika kita sedang bingung bagaimana melaksanakan Pendidikan Karakter, dia menulis buku tentang kisah-kisah orang berkarakter. 

Ditengah-tengah kami ngobrol, muncul Bu Unifah Rosyidi, Kepala Pusat Pengembangan Pendidik di BPSDM Kemdiknas.   Gayung bersambut, karena Bu Unifah memerlukan referensi atau bahan bacaan untuk pelatihan guru.  Dan apa yang sedang ditulis Mas Yudi Latif rasanya sangat cocok untuk guru PPKn, guru Sejarah, guru Agama dan guru bidang lain yang mengajarkan Pendidikan Karakter.

Ketika gayung mulai bersambut saya menyarankan bahasa buku itu “diturunkan” agar tidak terlaku akademik seperti buku Negara Paripurna.  Secara berkelakar, saya katakana kalau buku Negara Paripurna untuk pembaca yang paripurna, sedangkan buku yang sedang ditulis itu untuk dibaca anak-anak SD dan SMP.  Syukur kalau ada foto atau gambar tokoh yang dikisahkan.  Semoga buku itu mempermudah guru dalam melaksanakan Pendidikan Karakter.  Dan semoga kita dapat belajar pada kegigihan Mas Yudi Latif.

Kamis, 10 Oktober 2013

PAK IMAN SUPRAYOGO

Beberapa hari lalu saya diskusi dengan beberapa pimpinan Unesa tentang rencana mengadakan out bond bagi pimpinan universitas, fakultas, jurusan dan staf administrasi mulai kepada biro sampai kepala sub bagian.  Tujuan pokoknya untuk memperkuat kebersamaan dan menyamakan langkah dalam mengembangkan Unesa.  Inginnya dalam acara itu dapat mengundang “tokoh” untuk memberikan pencerahan bagaimana bekerja yang baik. Bagaimana membuat terobosan.  Bagaimana bekerja tidak sekedar rutinitas mencari penghasilan.  Bagaimana bekerja dapat dijadikan pintu ibadah.

Semula ingin mengundang Mas Misbahul Huda.  Pengusaha muda dengan segudang jabatan di Grup Jawa Pos.  Harapannya Mas Huda dapat berbagi pengalaman bagaimana berangkat dari aktivis kampus (yg konon  di era Orde Baru sempat diincar petugas keamanan), kemudian dapat mentransformasikan idealismenya menjadi motor pengggerak pengembangan anak-anak perusahaan Jawa Pos.  Mulai membangunan percetakan kuno menjadi sangat modern, membanguan pabrik kertas dan terakhir membangu power plant. Di luar sebagai direktur beberapa anak perusahaan Jawa Pos, Mas Huda aktif di berbagai kegiatan sosial.  Terakhir saya mendapat informasi sedang merintis sebuah pesantren modern.

Bagi yang pernah berinteraksi dengan dia atau membaca bukunya “Orang Desa itu Militan” akan dapat menangkap betapa semangat juang Mas Huda.  Bagaimana kemampuan dia membagi waktu.  Dan tentu orang cerdas.  Dia ingin betul kuliah di perguruan tinggi ternama.  Namun orangtuanya (guru ngaji di Takeran Magetan) tidak dapat membiayai untuk les.  Dia harus belajar sendiri dari soal-soal tes masuk Perintis I. Ketika kuliah di UGM “harus puasa Senin-Kamis” agar uang kiriman cukup.  Aktif ikut pengajian dan organisasi mahasiswa, bahkan sempat menjadi mentor dan penceramah.  Namun lulus dari Jurusan Elektro UGM dalam waktu tercepat dengan predikat cum laude.  Tentu kita dapat membayangkan “kualitas Mas Huda”.

Sayang sekali ternyata pada tanggal yang sudah dirancang Mas Huda akan ke India.  Pada hal semua beliau menyatakan siap.  Namun mendadak ada tugas perusahaan yang tidak dapat digantikan orang lain.  Kami jadi bingung, siapa penggantinya.  Kami berunding dengan tetap mensyaratkan orang yang sudah teruji berhasil mengembangkan organisasi dengan banyak terobosan.  Tidak harus pengusaha.  Dapat saja pejabat pemerintahan atau aktivis organisasi sosial.

Setelah cukup lama mencari, ketemulah nama Prof. Dr. Imam Suprayogo.  Beliau baru saja selesai menjabat Rektor UIN Malik Ibrahim Malang.  Orang yang berhasil mengembangkan STAIN Malang yang merupakan “anak” IAIN Sunan Ampel Surabaya menjadi UIN Malik Ibrahim.  Induknya masih bersatus IAIN tetapi anaknya “disulap” P Imam menjadi UIN.  P Imam menyulap kampus STAIN yang rungsep menjadi kampus yang cukup megah.

Karena teman-teman setuju mengudang Prof Imam Suprayogo, saya segera menilpun beliau.  Ternyata beliau sedang di Makah, naik haji.  Saya kaget juga, karena”kok bisa ya”.  Ketika saya tanya, dengan bercanda P Imam menjelaskan.  Mau naik haji itu mudah.  Jangan minta urutan ke Kemenag, nanti lama.  Saya datang saja ke Kedubes Arab Saudi di Jakarta.  Karena sudah kenal malah ditawari apa tidak pengin naik haji.  Urusan mudah dan tidak mengurangi jatah orang Indonesia.

Itulah Pak Imam Suprayogo yang sangat pandai mencari jalan terobosan.  Tidak melanggar aturan, tidak mengganggu hak orang lain, tetapi tujuan sampai.  Beliau sering menggunakan metaphora, rektor harus boleh menggunakan mobil dan tidak selalu naik kereta api.  Maksudnya, kalau kereta api itu jalannya pasti dan diantur oleh orang lain yaitu petugas stasiun.  Semua sudah baku dan kereta api tidak boleh mencari jalan lain.  Kalau mobil, harus tetap lewat jalan raya tetapi dapat mencari jalan terobosan sekiranya jalan yang biasa dilewati macet.

Maknanya, rektor yang diberi peluang atau memiliki ruang gerak untuk berinovasi yang mungkin saja tidak tepat seperti peraturan yang selama ini digunakan.  Tetap harus sesuai dengan aturan dasar, tetapi diberi kemungkinan untuk mencari jalan yang lebih cepat, lebiih efektif, lebif efisien dan sebagainya.  Yang penting tidak melanggar aturan dasar.

Berbekal prinsip itulah Pak Imam melakukan berbagai terobosan untuk mengembangkan STAIN menjadi UIN Malik Ibrahim Malang.  Beliau mampu membina hubungan baik dengan IDB dan beberapa negara di Timur Tengah.  Presiden IDB dan BJ Habibie bahkan pernah hadir ke UIN Malang.  UIN juga mampu menjalin kerjasama dengan berbagai negara, sehingga punya banyak mahasiswa asing.  Kabarnya UIN Malang sudah mendapatkan hibah Tanah yang sangat luas oleh Pemkot Batu dan Pemkab Malang, untuk membuka program studi tertentu yang cocok.  Memang lahan tersebut jauh di pedesaan, tetapi menurut Pak Imam kalau membuka program studi seperti Pertanian harus di daerah pedesaan.  Dengan begitu akan dapat melahirkan sarjana yang siap bertani dan mencari kerja di kota.

Saya  belajar banyak ke Pak Imam, khususnya ketika merintis bantuan IDB.  Pak Imam pula yang memperkenalkan saya dengan P Makhlani, perwakilan IDB di Jakarta.  Dan berkat itulah akhirnya Unesa mendapatkan bantuan dari IDB.  Semoga kita dapat belajar kepada tokoh senior dan tulus seperti Prof. Dr. Imam Suprayogo dan tokoh muda seperti Mas Huda.

Rabu, 09 Oktober 2013

KEPERCAYAAN ITU “NOMOR SATU”

Senin tanggal 7 Oktober 2013 saya mengikuti acara Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Timur.  Dalam acara itu Ketua BNSP Jakarta, Dr. Adjat Daradjat MSi menyampaikan presentasi tentang  kompetensi tenaga kerja dan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh BNSP.  Saat itu ada peserta yang bertanya, negara mana yang sudah mengakui sertifikat hasil Uji Kompetensi BNSP.  Dan apakah boleh perusahaan menambahkan syarat di luar sertifikat ketika menerima karyawan.

Tampaknya Pak Adjat tidak bergitu yakin untuk menjawab pertanyaan tersebut.  Beliau menjawab bahwa sertifikasi itu bersifat lokal dan setiap negara berhak menentukan kompetensi yang dipersyaratkan.  Sertifikat yang dikeluarkan oleh BNSP sudah diakui oleh negara-negara Asean dan beberapa negara lainnya.  Namun memang perusahaan dapat menambahkan syarat di luar sertifikat.  Jadi dapat saja, pemegang sertifikat tidak diterima karena tidak memenuhi syarat tambahan yang ditetapkan oleh perusahaan.

Yang menarik, Dr. Adjat Daradjat menyampaikan orang Indonesia pada dasarnya sangat pandai dan terampil.  Banyak mereka bekerja di luar negeri, misalnya di Timur Tengah.  Karena belum memiliki sertifikat kompetesi atau kesulitan menggunakan sertifikat yang diperoleh dari BNSP, banyak dari mereka yang ikut uji kompetensi di Singapura atau Malaysia.  Akhirnya mereka bekerja di Timur Tengah dengan menggunakan sertifikat dari Singapura atau Malaysia.

Di akhir presentasi, Dr. Adjat Daradjat berpesan agar siapapun yang melakukan sertifikasi kompetensi harus dilakukan secara profesional, sehingga sertifikat yang dihasilkan kredibel.  Pesan itu diulang-ulang.  Sepertinya P Adjat kawatir kalau sertifikasi kompetensi tidak dilakukan dengan profesional, sehingga sertifikat yang dihasilkan diragukan.

Mendengar pesan atau lebih cocok disebut peringatan itu, saya teringat dengan ETS (Education Testing Service) dengan TOEFL-nya.  TOEFL digunakan dan dipercaya oleh banyak negara.  Banyak perguruan tinggi menggunakan TOEFL sebagai dasar menerima mahasiswa baru.  Setahu saya program master di banyak negara mensyaratkan skor TOEFL 550-575.  Begitu seseorang mendapatkan skor yang dipersyaratkan, tidak lagi dipertanyakan kemampuan bahasa Inggrisnya.

Sepertinya skor TOEFL merupakan garansi kemampuan bahasa Inggris yang bersangkutan.  Bahkan ada yang berpendapat di dalam TOEFL terkandung logika, sehingga skor TOEFL juga menggambarkan potensi akademik yang bersangkutan.  Itulah sebabnya  banyak perguruan tinggi tidak memberikan syarat lain di luar TOEFL.  Seakan-akan skor TOEFL menjadi garansi kemampuan bahasa Inggris seseorang.

Saya membayangkan bagaimana caranya BNSP memiliki kredibilitas seperti ETS.  Mungkinkah sertifikat kompetensi yang dikeluarkan BNSP dipercaya banyak pihak, seperti TOEFL.  Bagaimana caranya perusahaan tidak perlu lagi melakukan tes sendiri dan cukup menggunakan sertifikat BNSP sebagai dasar penerimaan karyawan.

Sepulang dari acara tersebut saya merenung.  Kapan dan bagaimana kita (Indonesia) memiliki tes yang hasilnya kredibel sehingga dipercaya banyak pihak.  Saya jadi teringat ketika mengolah data SNMPTN dengan menggunakan data nilai rapor.  Sebagian besar pendaftar memiliki nilai rapor hampir sempurna (8 atau 9 atau 10).  Pada hal kami tahu “kualitas” sekolah tersebut.  Akhirnya kami bingung dan “melupakan” skor rapor tersebut.  Kami lebih percaya pada IPK alumni sekolah yang bersangkutan yang sedang kuliah di Unesa.  Ditambah ranking calon.  Jadi calon harus bersaing dengan sesama teman dari sekolahnya. 

Saya juga teringat ketika Pascasarjana Unesa menerima pendafatran mahasiswa baru dan pendaftar melampirkan rekomendasi dari mantan dosen atau atasannya.  Hampir semua rekomendasi itu isinya sangat baik.  Semua rekomendasi menyebutkan si calon memiliki kemampuan akademik sangat baik, kesungguhan kerja sangat baik, dan sangat mungkin dapat menyelesaikan studinya dengan baik.  Akhirnya rekomendasi seperti tidak bergitu diperhatikan toh isinya sama.  Dalam istilah lain, rekomendasi itu tidak kredibel.

Mungkin itu yang menyebabkan Dr Adjat Daradjat memperingatkan.  Jangat sampai sertifikat BNSP bernasib sama dengan rapor anak-anak SMA/SMK yang mendaftar SNMPTN dan rekomendasi pendaftar ke Pascasarjana.  Jangan sampai tenaga kerja Indonesia yang mencari sertifikat kompetensi di Malaysia dan Singapura karena sertifikat BNSP tidak dipercaya di negara lain.

Ada baiknya BNSP belajar ke lembaga testing yang kredibel.  Saya tidak tahu pasti lembaga mana itu di Indonesia.   Saya pernah mendengar tes TPA yang dilakukan oleh Bappenas sangat terpercaya.  Beberapa Lembaga Psikologi juga dipercaya banyak pihak.  Namun kalau ingin mendapat kerpercayaan secara internasional, BNSP dapat belajar ke ETS dan lembaga penyelenggara tes lain yang juga sangat terpercaya.  Misalnya ILETS, GRE dan GMAT.

Yang pernah saya dengan ETS tidak mau menyelenggarakan pelatihan, karena kawatir terjadi konflik kepentingan.  ETS fokus dengan pengembangan tes dan menjaga agar hasilnya benar-benar kredibel.   Pengalaman menunjukkan kepercayaan itu tidak mudah didapat.  Perlu waktu panjang untuk membuktikan sebagai orang atau lembaga yang terpecaya.  Namun kepercayaan itu sangat mudah luntur.  Begitu orang atau lembaga berbuat tidak jujur. Kepercayaan terhadapnya akan segera luntur.  Semoga kita menjadi pebelajar yang baik.

Minggu, 06 Oktober 2013

AKIL, RUDI, LHI DAN ZAMAN EDAN

Melihat TV dan membaca koran tentang Ketua MK, Akil Mochtar yang ditangkap KPK saya tercenung lama.  Apalagi ketika diketahui di ruang kerjanya ditemukan ganja dan ekstasi.  Saya terus ingat Rudi Rubiandini (RR), ketua SKK Migas yang juga ditangkap dengan dugaan korupsi.  Sebelum itu Lutfi Hasan Ishaq (LHI), saat itu Presiden PKS juga ditangkap KPK dengan masalah yang sama.

Sebagai seorang guru, saya tidak begitu faham tentang bagaimana KPK dapat melakukan operasi tangkap tangan suap.  Biarlah itu menjadi salah satu kecanggihan KPK untuk dalam memberantas korupsi.  Yang terus mengganggu pikiran saya, mengapa mereka itu korupsi.

LHI adalah presiden PKS yang kata banyak orang merupakan partai dakwah.  Beliau sendiri seorang ulama.  Mengapa sampai korupsi?  RR adalah profesor dan dosen teladan ITB.  Seorang ahli perminyakan yang ketika awal-awal terjadi semburan lumpur Lapindo, banyak menyampaikan pendapat kepakarannya. Mengapa dia korupsi?  AM adalah doktor Ilmu Hukum, Ketua lembaga pengadilan “khusus” yang berwewenang menyatakan apakah undang-undang saha atu tidak.  Pasti AM faham larangan menerima suap, mengapa tetap melakukan?

Mengapa orang-orang hebat itu terjerat korupsi?  Dua diantaranya doktor, bahkan yang seorang profesor. Satu lagi da’i dan presiden “partai dakwah”.  Saya membayangkan ketiganya orang yang punya kemampuan hebat dan tentu punya idealism tinggi.  Kalau tidak, mana mungkin dipercaya mengemban jabatan seperti itu.

Sekali lagi, mengapa mereka korupsi?  Apakah penghasilannya belum mencukupi kebutuhan hidupnya? Jawa Pos memuat infomasi penghasilan mereka,  Menurut saya sudah sangat cukup. Apakah godaan begitu tinggi, sehingga ketiganya tidak mampu lagi menjadi idealism?   Saya jadi teringat “peringatan” Ronggowarsito yang sangat terkenal dengan judul Zaman Edan.  Ijinkan saya mengutipnya secara utuh termasuk terjemahan yang saya ambil di Wikipedia.

amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.

(menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).

Rasanya peringatan Ronggowarsito itu tepat.  Saya mulai membayangkan pola kehidupan sekarang yang “serba wah” dan sangat materialistik.  Kata orang itu disebut hedonis.  Kesenjangan hiduo juga sangat lebar.  Saya teringat beberapa tahun lalu  diundang “lembaga asing” makan siang di suatu tempat di Jakarta.  Karena sudah makan, saya hanya memesan minum dan disodori daftar menu minuman.  Saya memesan jus jambu dan saya lirik harganya 150 rb.  Kalau makan berapa ya?  Saya membayangkan berapa biaya yang dikeluarkan kalau orang sering maka di tempat seperti itu.

Saya pernah membaca koran saat ada pameran mobil mewah di Jakarta, konon yang memesan sangat banyak.  Pada hal harganya milyaran rupiah.  Dan konon di rumah pengusaha yang menyuap AK terdapat beberapa mobil mewah dengan harga milyaran rupiah.  Koran juga pernah memuat ada pengacara yang memberi hadiah ulang tahun anaknya sebuah mobil Ferari.  Kata orang di tempat parkir Gedung DPR juga banyak mobil mewah.

Saya membayangkan RR, LHI dan AM sering berhubungan dengan para konglomerat yang mobilnya mewah, rumahnya mewah, memakai arloji yang mewah, makan di tempat yang mahal dan sebagainya.  Jangan-jangan terus tergoda dan berguman: “edan-lha dia saja yang tanggungjawabnya tidak seberat saya punya………..apa saya………….” Kalau menggunakan istilah Ronggowarsito “kalau tidak ikut gila, tidak kebagian……..”

Semoga kita dapat belajar dari peristiwa itu dan tetap berpegang pada nasehat Ronggowarsito: “sebahagia-bahagianya orang yang lupa tetap lebih bahagia orang yang ingat dan waspada”.  Bahagia itu letaknya bukan di harta tetapi di hati.  Orang tidak akan pernah puas dalam harta, “seandainya sudah memiliki emas sebesar gunung Uhudpun akan minta gunung emas berikutnya”.  Pengendalian diri menjadi kunci.  Semoga Sang Khaliq membimbing setiap langkah kita.

Di samping itu para pengatur negara perlu memikirkan bagaimana caranya agar kemewahan hidup tidak menggoda para pejabat negara.  Bagaimana agar terjadi pemerataan lebih mengedepan, sehingga kesenjangan tidak terlalu lebar.

Jumat, 04 Oktober 2013

PAK SUWARSONO DAN MESIN FAX KPK

Tanggal 2 Oktober 2013 saya diundang untuk hadir di acara Semiloka Pencegahan Korupsi yang dilaksanakan oleh Pemprop Jatim berkerjasama dengan KPK.  Tempatnya di gedung Grahadi Surabaya.  Perjalanan Semiloka yang seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa.  Dibuka oleh Sekda Propinsi Jatim, diteruskan sambutan dari BPKP Jakarta dan KPK. Presentasi dari BPKP Jatim tentang hasil pemeriksaan di Jatim diteruskan dengan tanggapan oleh beberapa instansi dan Walikota Surabaya.

Yang justru menarik adalah sambutan yang disampaikan oleh Pak Suwarsono, Penasehat KPK.  Tampak ringan-ringan saja, tetapi justru menyentak dan menyentuh.  Misalnya, beliau cerita suatu saat bertanya kepada sekretarisnya berapa nomor fax di kantor.  Sekretarisnya ganti bertanya untuk apa bertanya nomor fax.  Dijawab kalau keluarganya di Jogya akan mengirim fax tiket untuk pulang.  Pak Warsono kaget, ketika sekretarisnya minta membatalkan niat itu.  Fax kantor untuk keperluan dinas dan tidak boleh digunakan untuk keperluan pribadi.  Walaupun hanya 1 lembar.

Cerita kedua, beliau ke kantor baik ojek.  Rumah P Warsono di Jogya dan di Jakarta kos. Karena jarak dari rumah ke kantor dekat, maka naik ojek dan hanya sekitar 5 menit.  Bisanya di tengah jalan berhenti, untuk membeli makan dan dibungkus untuk sarapan di kantor.  Walaupun kedudukannya sebagai penasehat KPK, tetapi ke kantor naik ojek dan beli makan yang dibungkus untuk sarapan di kantor. 

Cerita ketiga, saat bertugas ke Bandung dan diantar dengan mobil dinas pulang-pergi.  Saat pulang, P Warsono diantar sampai kantor dan setelah itu pulang dari kantor naik ojek atau jalan kaki.  Kenapa mobil tidak mengantar sampai tempat kos?  Karena dari kantor ke tempat kos itu urusan pribadi, jadi tidak boleh menggunakan mobil dinas.

Cerita ke empat, ketika beliau bertugas ke Purwokerto.  Beliau sudah tahu kalau tidak boleh mampir pulang ke Jogya, karena itu hari kerja dan biaya ke Purwokerto dibiayai oleh kantor.  OLeh karena itu Pak Warsono bertanya kepada stafnya bolehkah Bu Warsono nyusul ke Purwokerto.  Jawaban stafnya tidak boleh, karena hotel tempat menginap itu dibiayai oleh kantor untuk Pak Warsono yang sedang dinas.

Mendengar cerita itu, Kyai Abdussomad Buchori, Ketua MUI Jatim yang duduk di sebelah saya  nyeletuk.  Itulah sama dengan yang dicontohkan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz.  Suatu saat pintu ruangan Khalifah Umar diketuk dan ternyata yang datang anaknya.  Khalifah bertanya, anaknya datang untuk keperluan negara atau keluarga.  Anaknya menjawab untuk keperluan keluarga.  Maka lampu dii ruang kerja Khalifah dimatikan, karena minyak lampu itu dari negara.  Dan urusan keluarga tidak boleh menggunakan biaya negara.

Walaupun disampaikan secara santai dan tentang hal-hal yang tampak sederhana, cerita tersebut rasanya menyentak.  Saya sulit membayangkan dapat memisahkan secara tegas, mana urusan kantor mana urusan pribadi dan keluarga seperti itu.  Mobil tidak boleh mampir mengantar ke rumah yang jaraknya hanya 5 menit dari kantor.  Tidak boleh ada orang lain yang ikut menempati kamar hotel, walaupun itu Bu Warsono.  Fax 1 lembarpun tidak boleh, pada hal itu untuk tiket pulang ke Jogya.

Memang saya pernah mendengar orang yang sudah menerapkan pola seperti itu, yaitu Prof Mahmud Zaki.  Ketika beliau menjadi Rektor ITS, kalau bekerja sampai sore dan yang dikerjakan adalah urusan pribadi, maka AC ruangan dimatikan.  Konon Ibu Zaki tidak boleh naik mobil dinas, sehingga pernah jatuh dari angkot. 

Apa yang dilakukan oleh Prof Mahmud Zaki (atas kehendak sendiri dan mungkin diilhami oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis) ternyata dapat dijadikan kode etik di KPK.  Sungguh kebijakan bagus yang patut diberi penghargaan.  Walaupun saya yakin tidak mudah menerapkan.  Dan juga tidak mudah bagi pejabat dan karyawan KPK untuk melaksanakannya.

Kami sudah tahu kalau “orang KPK” tidak mau disuguhi, tidak mau dijemput atau diantar saat datang ke suatu instansi.  Unesa beberapa kali mengundang dan mendapat tamu dari KPK.  Abdullah Hehamahuwa (saat itu sebagai Penasehat KPK) pernah hadir dalam acara pembukaan PKKMB.  Mas Dedi dan Mas Rian dari KPK juga beberapa kali ke Unesa dalam kaitan Pendidikan Anti Korupsi bagi mahasiswa baru.  Namun informasi Pak Suwarsono tetap saja menyentak.

Ada teman komentar, KPK dapat menerapkan itu karena gajinya besar.  Saya setuju untuk dapat menerapkan kebijakan seperti itu, gaji harus cukup.  Namun gaji cukup belum tentu dapat menerapkan.  Jagi gaji cukup merupakan syarat perlu tetapi belum merupakan syarat cukup.  Syarat cukup-nya adalah tekat yang kuat.  Semoga kode etik KPK menjadi teladan bagi kita semua.

Kamis, 03 Oktober 2013

56 JAM ATAU 41 JAM?

Kali ini saya harus menempuh perjalanan sangat panjang untuk pulang kampung.  Setelah mengikuti serangkaian kegiatan selama 2 minggu di Amerika Serikat, saya pulang dari Los Angeles ke Surabaya, melalui Chicago, Doha dan Jakarta.  Pesawat American Airlines yang saya tumpangi take off dari bandara El Segundo (LAX) Los Angeles Sabtu pukul 10.30 pagi.  Disambung dengan Qatar Airways untuk Chicago-Doha-Jakarta.  Dilanjutkan dengan Garuda untuk Jakarta Surabaya.  Saya tiba di bandara Juanda Surabaya Senin pukul 18.30.

Saya mencoba menghitung berapa lama perjalanan yang saya tempuh?  Dan saya bingung.  Sabtu pukul 10.30 sampai dengan Senin pukul 10.30 sudah 48 jam. Senin pukul 10.30 sampai dengan 18.30 adalah 8 jam.  Jadi saya menempuh perjalanan 56 jam.  Apa betul ya?  Kok lama sekali.   Saya coba membuka 3 tiket pesawat, American Airlines, Qatar Airways dan Garuda, kemudian menghitung waktu penerbangan dan transitnya.  LAX-Chicago sekitar 4 jam.  Transit di bandara O’Hare Chicago selama 4 jam. Chicago-Doha sekitar 14 jam. Transit di Doha 6,5 jam. Doha-Jakarta sekitar 8,5 jam.  Transit di Jakarta 3 jam.  Jakarta-Surabaya sekitar 1 jam.  Kalau dijumlah 41 jam. 

Mana yang benar ya? Ternyata itu karena perbedaan waktu.  Waktu di Los Angeles berbeda 15 jam dengan Surabaya.  Waktu di Los Angeles -8 GMT, sedangkan waktu di Surabaya +7 GMT.  Jadi waktu di Surabaya itu 15 jam mendahului Los Angeles.  Ini kesepakatan yang digunakan. Jadi Sabtu pukul 10.30 saat pesawat saya take off dari bandara LAX, di Surabaya  pukul 1.30 Minggu dini hari.  Kok bisa ya?  Karena Los Angeles dan Surabaya berada pada lokasi perbedaan waktu yang dibatasi garis perbedaan waktu.  Jadi kesimpulannya, perjalanan yang saya tempuh 41 jam.  Namun seakan-akan 56 jam, karena perbedaan waktu antara Los Angeles dan Surabaya 15 jam.

Perjalanan panjang dan beberapa kali transit memberi kesempatan saya untuk mengamati perilaku penumpang.  Pesawat American Airlines dari LAX ke Chicago, penumpangnya relatif homogen.  Hampir semua orang Barat atau orang yang tinggal di Amerika Serikat.  Dapat dimaklumi karena itu merupakan penerbangan domestik.  Perilaku penumpang seperti orang Amerika pada umumnya.  Antre rapi sesuai dengan grupnya masing-masing.  Selama penerbangan pada umumnya membaca dan baru berdiri setelah pesawat berhenti dan lampu tanda sabuk pengaman padam.

Pesawat Qatar Airways dari Chicago ke Doha, penumpangnya didominasi orang Timur Tengah dan orang Asia Selatan.  Terus terang, saya tidak dapat membedakan orang Qatar, Saudi, Yaman dan sebagainya.  Saya hanya menyebut mereka orang Timur Tengah. Penumpang yang duduk di sebelah saya, saya kira orang Yaman ternyata orang Qatar.  Saya juga tidak membedakan orang India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka. Saya menyebut mereka orang Asia Selatan.

Saat boarding di Chicago penumpang “berjubel” karena mereka tidak antre.  Saya dan teman-teman yang termasuk grup 3 tidak dapat masuk ketika grup 3 dipanggil.  Akhirnya saya minta jalan dengan mengucapkan “excuse me” , demikian pula penumpang lain.  Tampaknya penumpang pesawat Qatar Airways Chicago-Doha yang didominasi oleh orang Timur Tengah dan Asia Selatan, belum memiliki budaya antre.

Ternyata penumpang asal Timur Tengah dan Asia Selatan itu turun di Doha dan tidak ikut penerbangan ke Jakarta.  Mungkin ada yang memang bertujuan Timur Tengah atau ada yang ganti pesawat ke tujuan lain.  Pesawat Qatar Airways  Doha – Jakarta didominasi penumpang orang Indonesia.  Pada umumnya para wanita yang bekerja di Timur Tengah atau yang biasa disebut TKW. 

Sungguh membanggakan, ketika boarding mereka antre dengan barisan yang baik.  Jauh lebih baik dibanding penumpang yang boarding di Chicago.  Hanya saja, tampaknya banyak yang belum biasa mencari tempat duduk. Jadi banyak yang sudah masuk dalam pesawat tetapi binggung mencari tempat duduk.  Untunglah, pramugari sangat baik dan sabar membantu.

Kebetulan saya duduk bersebelahan dengan TKW asal Subang.  Saya ngobrol macam-macam.  Yang juga membuat saya bangga adalah, niat dia untuk menabung dan pada saatnya akan membuat usaha di kampungnya.  Saya juga sangat senang karena dia sudah terbiasa mengirimkan uangnya lewat bank.  Jadi tidak lagi dibawa sebagai uang tunai.

Saat pesawat tiba di bandara Cengkareng, tampaknya penumpang tidak sabar menunggu.  Ketika pesawat masih berjalan pelan, penumpang pada berdiri dan bahkan ada yang akan mengambil barang yang ada di kompartemen atas.  Untunglah pramugari segera mengambil langkah dengan meminta penumpang duduk kembali dan menutup kompartemen yang terlanjur terbuka.

Saat singgah di bandara Doha selama 6,5 jam saya mencoba mengamati pekerja di bandara.  Dari pengamatan itu saya dapat menduga pelayan toko atau restoran pada umumnya orang Filipina.  Petugas pembersih bandara umumnya orang Bangladesh.  Saya tidak menjumpai orang Indonesia yang bekerja di bandara. Dimanakan orang Indonesia?

BELAJAR DARI SOPIR WISATA DI LA

Kami punya waktu kosong setengah hari di Los Angeles (LA).  Karena baru pertama kali ke LA tentu saya ingin sekedar melihat-lihat kota.  Sayangnya belum punya kenalan yang akrab, sehingga tidak ada yang “mentraktir” seperti di Chicago dan Utah.  Oleh karena itu, saya usulkan kepada teman-teman untuk ikut rombongan tour saja.  Teman-teman setuju dan akhirnya ikut tour bernama VIP Tour. 

Karena waktunya pendek kami memilih obyek wisatanya keliling kota LA.  Ternyata perserta diajak ke Farmer Market, tempat orang menjual sovenir dan food court dengan berbagai jenis makanan.  Kemudian diajak ke Hollywood Boulevard, dimana banyak orang berpakaian meniru film.  Misalnya berpakaian seperti Batman, Spiderman dan sebagainya.  Pedestrian sepanjang jalan itu ada seperti ubin besar yang diberi nama aktor/aktris terkenal.  Misalnya Michael Jackson, Bruce Lee, Madona dan sebagainya.  Juga ada tempat dimana orang dapat melihat dari kejauhan tulisan Hollywood di sebuah bukit.  Biasanya orang berfoto dengan latar belakang tulisan itu di kejauhan.  Setelah itu peserta diajak berkeliling daerah Beverly Hill yang sangat terkenal itu.

Menurut saya obyek wisatanya tidak begitu menarik.  Kota LA rasanya tidak seindah dan serapi Chicago, Boston dan Washington. Bahkan kalah dibanding kota kecil seperti Logan (lokasi USU), DeKalb (lokasi NIU), Columbus (lokasi OSU) dan Athens (lokasi OU).  Obyek wisata yang dikunjungi juga tidak seindah yang sering kita lihat di film.  Kota LA malahan terkesan mirip kota industri yang hiruk pikuk dan semua orang tampak tergesa-gesa.

Yang justru menarik untuk dipelajari adalah sopir bus wisata kami.  Orangnya berkulit hitam. Rambutnya dipotong plontos dan memakai topi.  Berkaca mata hitam.  Bercelama jin biru dengan baju kotak-kotak.  Usianya kira-kita 30 tahunan dan sangat ramah. Gayanya kocak dan tampak sekali menguasai daerah yang dikunjungi.

Begitu semua penumpang naik dan bus mulai berjalan dia bercerita melalui mikropon.  Ternyata dia sopir sekaligus sebagai guide.  Kemudian dia menanyakan asal peserta satu persatu.  Ada yang menjawab dari London, dari England, dari Irak, dari Austria, dari Florida, dari Trinidad.  Dan tentu kami menjawab dari Indonesia.

Sepertinya itu dia catat dan hafalkan dengan nomor kursinya.  Berikutnya dia memanggil peserta dengan negara atau daerah asal.  Misalnya saat peserta selesai makan atau belanja atau jalan-jalan di Farmer Market, dia mengecek dan mengatakan kira-kira: “we are waiting Trinidad”.  Ketika pulangnya mobil kena macet dan sulit mengantar kami ke depan hotel, dia bilang: “Indonesia, would you mind I stop here then you walk a little bit. Your hotel is behind this building.”

Orangnya lucu dan banyak berkelakar.  Kadang-kadang menyanyi menirukan lagu film atau penyanyi tertentu.   Setelah selesai menanyakan asal negara/daerah asal peserta, sambil bercanda dia mengatakan kira-kira: “Well guys, I forgot to introduce my self.  My first name is Mondy, my last name is……….(saya lupa). That why I love Monday. Please call Monday”.

Sepanjang perjalanan, dia menjelaskan daerah yang dikunjugi sambil menyopir.  Dia menjelaskan secara detail, misalnya rumah ini pernah dimiliki ayau dihuni si A, B dan C.  Bintang film D, E dan F pernah tinggal di hotel ini.  Di Farmer Market anda dapat menemui makanan daerag K, L dan M.  Ditoko itu ada barang-barang P, Q, dan R dengan harga murah.  Pantai itu sangat indah dan panjangnya ….. miles.  Highway ini kalau terus akan menuju X, Y, Z dan bahkan sampai ke Florida.  Dan sebagainya.

Apa pelajaran yang dapat dipetik dari sopir wisata tersebut?   Pertama, dia sopir dan guide yang sangat profesional.  Mengemudinya enak dan sering menanyakan apa terlalu cepat atau kurang cepat.   Saat berhenti di suatu obyek wisata , dia selalu menawarkan berapa lama dan jam berapa peserta harus kembali ke bis.  Dia selalu mengingatkan agar kembali tepat waktu, karena masih banyak obyek lain yang akan dikunjungi.  Dia faham betul tentang obyek wisata yang dikunjungi, sehingga semua pertanyaan peserta dapat dijelaskan dengan baik. 


Kedua, penggabungan dua tugas (sebagai sopir dan guide) tampaknya menjadi model efisiensi yang dipersiapkan dengan baik.  Penggabungan itu tentu membuat biaya operasional perusahaan menjadi lebih efisien.  Namun tampak sekali kalau dipersiapkan dengan baik.  Buktinya sopir tersebut sekaligus merupakan guide yang baik.  Bahkan dia pula yang mengatur penumpang masuk mobil.  Dia faham bagaimana mengatur tempat duduk agar dapat melihat keluar dengan leluasa.  Dia juga tahu berapa kecepatan mobil agar peserta dapat menikmati pemandangan.  Dia juga menguasai obyke wisata dengan.  Saya yakin itu dipersiapkan dengan  baikoleh perusahaan.  Semoga.