Rabu, 25 Desember 2013

SEPEREMPAT PENDUDUK BUMI BERBAHASA MANDARIN

Untuk kedua kalinya, 7-8 Desember 2013 saya mengikuti Confucius Institute Conference di Beijing.   Sebenarnya agak enggan berangkat, karena banyak kegiatan di kampus.  Namun Pak Ali Mustofa, Direktur Pusat Bahasa Mandarin, mendesak saya perlu hadir karena harus menyampaikan country report mewakili Indonesia.  Untung acaranya hari Sabtu dan Minggu, sehingga tidak terlalu lama meninggalkan kantor.

Menjelang pembukaan saya menyadari bertapa banyaknya peserta konferensi.  Saya tidak tahu jumlah pastinya, tetapi dari daftar pada buku panduan pesertanya 1.720 orang. Dari Asia 172 orang, Eropa 244 orang, Amerika 288 orang, Afrika 60 orang, Oceania 40 orang, diplomat China di negara lain 64 orang dan lainnya dari China sendiri.  Dilihat asal negara, dari Asia hadir wakil dari 33 negara, dari Eropa 35 negara, dari Amerika 16 negara, dari Afrika 27 negara, dari Oceania 3 negara.  Jadi total jenderal 115 negara terwakili dalam konferensi tersebut.  Bukan main.  Saya belum pernah tahu ada konferensi akademik yang dihadiri sekian banyak negara dam sekian banyak peserta.

Sambil berjalan menuju ruangan saya berbincang dengan Pak Ashahari dari Universitas Malaya.  Kami mendiskusikan berapa jumlah penduduk bumi yang berbahasa Mandari.  Kalau yang berada di daratan China saja 1,3 milyar.  Ditambah warga China atau keturuan China di seluruh dunia, ditambah lagi non-China yang mampu berbahasa Mandarin.  Konon mendekati angka 2 milyar.

Nah, kalau penduduk bumi sekitar 7,4 milyar berarti seperempat penduduk bumi ternyata berbahasa Mandarin.  Bukan main.  Saya yakin melebihi orang yang berbahasa Inggris.  Dan kalau pengembangan Confuciun Institute berkembang baik, yang berarti semakin banyak orang mampu berbahasa Madarin, jumlah tersebut dipastikan akan terus naik.

Apa artinya itu semua?  Pengaruh China akan sangat kuat.  Bahasa adalah bagian dari budaya.  Bahasa dan budaya adalah “pintu” untuk memahami orang atau bangsa lain.  Orang yang berbahasa Mandarin pasti terpengaruh budaya China.  Walaupun mereka bukan asli China.  Jika saat ini banyak orang meyakini China akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, gambaran di atas menambah simpulan bahwa China akan merupakan kekuatan budaya terbesar di dunia.

Saya juga membayangkan berapa biaya yang dikeluarkan oleh China untuk menyelenggarakan acara tersebut.  Pada hal itu acara rutin setiap tahun.  Ditambah lagi juga ada acara serupa untuk setiap regional, misalnya Asia yang juga diadakan setiap tahun.  Ditambah lagi China membantu membiayai setiap Confucius Institut (CI) di semua negara. 

Saya tidak tahu pasti berapa jumlah CI di seluruh dunia.   Peserta dari luar China 804 orang.  Jika diasusmikan setiap universitas/CI diwakili 2-3 orang , jumlah CI kira-kira 350 buah.  Jika setiap CI dapat bantuan 1,5 milyar setiap tahun, berarti China mengeluarkan bantuan sekitar 500 milyar rupiah setiap tahun.  Ditambah biaya untuk konferensi internasional dan regional, sangat mungkin mencapai 3 trilyun setiap tahun.

Apa tujuan itu semua?  Tentu hanya pada pemimpin China yang faham.  Namun pasti ada tujuan yang menguntungkan China.  Mungkinkah itu sebagai bentuk soft diplomacy?   Bukankah negara besar seperti Amerika juga melakukan soft diplomacy dengan memberi beasiswa anak-anak briliyan dari berbagai negara?  Mengundang dan memberi pelatihan kepada tokoh muda dan pejabatan dari berbagai negara?

Jika dugaan itu betul, tampaknya China sedang menyiapkan diri sebagai pengambil tongkat estafet super power.  Jika jumlah penduduk China begitu besar, ekonomi China begitu kuat, cadangan devisa begitu besar dan kini melalui CI sedang menggalang simpati dunia, bukan tidak mungkin era “super power China” akan segera datang.  Apalagi ekonomi Uni Eropa sedang berantakan.  Amerika juga sedang dilanda masalah.

Lantas apa yang dapat dipelajari?  Bukankah Indonesia juga memiliki penduduk yang cukup besar, dan nomor empat di dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat?  Bukankah ramalan McKinsey Global Institute ekonomi Indonesia akan menduduki peringkat ke 7 di dunia pada tahun 2030?   Saya tidak berpretensi sebagai ahli dan memang tidak tahu jawabannya.  Namun ada baiknya para ahli dan kita semua memikirkan itu.  Kita tidak boleh tenggelam dalam rutinitas.  Kata orang, masa depan tergantung apa yang kita pikirkan dan kita lakukan saat ini.  Semoga.

Rabu, 04 Desember 2013

MENULIS ITU MENATA NALAR

Beberapa hari yang lalu, sambil menyopir saya mendengarkan radio Suara Surabaya.  Waktu itu ada ungkapan “menulis itu dapat menjadi media pengungkapan pikiran  yang mungkin tidak mudah diungkapan melalui lesan”.    Saya setuju dengan ungkapan itu, karena saya juga sering melakukan.  Biasanya saya masukkan di blog.  Hal-hal yang kita sungkan menyampaikan secara lesan dapat dengan nyaman kita tuangkan dalam tulisan.  Tentu tetap menunjung tinggi etika penulisan.

Saya juga ingin menambahkan pemikiran yang ditulis memiliki jangkauan yang jauh lebih luas dibanding yang disampaikan secara lesan.  Mengapa?  Karena tulisan dapat dibaca banyak orang.  Di era cyber, sekali tulisan masuk ke dunia maya, pembacanya menjadi tak terbatas.  Apalagi sekarang beberapa mesin pencari (searching engine), seperti Google menyediakan fasilitas terjemahan, sehingga naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia dapat dengan mudah diperoleh terjemahannya dalam bahasa Inggris atau bahasa lain.

Oleh karena itu saya mendukung gagasan untuk mengembangkan budaya literasi.  Harus jujur diakui bahwa membaca dan menulis belum menjadi kebiasaan keseharian orang Indonesia.  Konon budaya kita adalah budaya tutur.  Pada saat naik kereta, menunggu kereta, dan menunggu antrean, biasanya kita ngobrol dengan sebelah.  Bahkan banyak orang yang memberi ceramah, tetapi tanpa menggunakan naskah.  Sudah saatnya budaya tutur dilengkapi dengan budaya baca dan tulis.  Dan pendidikan literasi merupakan wahana cocok untuk mengembangkannya.

Budaya tulis dan baca tampaknya juga memegang peran dalam penyebaran gagasan.  Mengapa pemikiran orang Barat banyak mempengaruhi kita, salah satunya karena pemikiran mereka ditulis.  Sementara pemikiran kita banyak yang tersimpan menjadi cerita lesanyang ditularkan secara turun temurun.  Sebagai contoh, taksonomi Bloom yang banyak dikutip oleh ahli pendidikan di Indonesia ditulis pada tahun 1956.  Konsep itu sama tepat dengan yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara pada Konggres Taman Siswa Pertama  pada tahun 1930.  Jadi 26 tahun lebih dahulu dibanding tulisan Bloom.   Jangan-jangan Bloom “meniru” Ki Hajar Dewantara.  Atau mungkin karena, pemikiran Ki Hajar tidak ditulis dan disebarluaskan, seakan-akan konsep Bloom lebih diketahui oleh pendidik di Indonesia.

Sekian tahun lalu saya mendapat tugas untuk membaca naskah beberapa teman dosen di Unesa.   Karena sifatnya rahasia, maka halaman yang berisi nama penulis dihilangkan.   Saya berkelakar, walaupun tanpa nama saya dapat mengenali tulisan siapa yang saya baca.  Beberapa teman juga menyampaikan hal serupa.  Artinya, kita dapat mengenali tulisan seseorang yang sering kit abaca tulisannya. 

Saya ingat betul, ada senior di Unesa yang tulisannya sangat runtut.  Kalimatnya pendek-pendek dan sangat cermat menggunakan titik-koma.  Ada senior lain yang kalau membuat naskah, kalimatnya panjang-panjang.  Kadang-kadang satu kalimat terdiri dari 10 baris ketikan.  Ada teman yang tulisannya sangat mudah dimengerti.  Ada juga teman yang tulisannya sangat sulit difahami.  Tampaknya setiap orang memiliki pola tulisan yang khas.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa tulisan menggambarkan pola pikir penulisnya.   Pengalaman saya membimbing mahasiswa dalam menyusun skripsi, tesis dan disertasi mendukung pendapat tersebut.  Biasanya mahasiswa yang nalarnya tertata, tulisannya juga runtut.  Sementara mahasiswa yang masih rancu nalarnya, tulisannya juga sudah difahami.  Mahasiswa jenis kedua ini memerlukan waktu untuk menata nalar dan latihan menulis yang runtut tampaknya membantu yang bersangkutan menata nalar berpikirnya.


Itulah alasan kedua saya mendukung ide pendidikan literasi.  Dengan belajar menulis diharapkan kita dapat mengasah nalar agar menjadi lebih runtut dan logis.  Dengan belajar menulis kita menghidupkan budaya baca-tulis.  Dengan belajar menukis kita dapat menuangkan gagasan yang dapat dibaca banyak orang.  Semoga.

Senin, 02 Desember 2013

ANALISIS PENDIDIKAN WAPRES

Di hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne, Wapres Boediono mengakui bahwa pendidikan di Indonesia tertinggal (Kompas 16 Nopember 20013).  Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar ketertinggalan.  Indonesia kekurangan guru bermutu sedangkan guru bermutu yang ada tidak terdistribusi dengan baik, fasilitas pendidikan sangat kurang khususnya di daerah yang jauh dari kota, serta isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan standar.

Kalau dicermati, analisis Wapres akhirnya terfokus kepada guru. Isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan standar karena gurunya kurang bagus.   Apapun kebijakan mutu pendidikan, pada akhirnya guru yang melaksanakan di lapangan.  Jadi wajar kalau  mantan Perdana Meteri China Li Lanqing (2003) menyatakan semua pejabat pemerintah, apapun tingkatannya harus menghormati guru.

Analisis Wapres sejalan dengan simpulan Thomas Friedman terhadap kemajuan pendidikan di Shanghai.  Menurut Friedman, rahasia peningkatkan mutu pendidikan di Shanghai terletak pada: a deep commitment to teacher training, peer-to-peer learning and constant professional development, a deep involvement of parents in their children’s learning, an insistence by the school’s leadership on the highest standards and a culture that prizes education and respects teachers (The New York Times, 22 October 2013).

Untuk mendapatkan guru bermutu tentu diperlukan calon yang pandai, proses pendidikan di LPTK harus bermutu dan pembinaan yang bagus setelah mereka mengajar.  Studi Wang dkk (2003) berjudul Preparing Teachers Around the World mengonfirmasi argumen tersebut. Belanda, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Singapura adalah negara yang dinilai bagus dalam menyiapkan calon guru dan juga membinanya setelah bekerja di sekolah.  Dan ternyata pendidikan di negara-negara tersebut bermutu baik.

Kesesuaian dengan kajian Friedman dan Wang dkk, menunjukkan bahwa analisis Wapres tersebut valid.  Pertanyaannya, bagaimana langkah untuk menggunakan analisis itu untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita.

Data SNMPTN dua tahun terakhir memberikan harapan untuk memperoleh calon guru yang bagus.  69,4% pendaftar SBMPTN 2013 ingin menjadi guru dan masuk ke LPTK.  Dengan peminat yang banyak, seleksi menjadi ketat dan akhirnya mendapat calon mahasiswa yang bagus. 

Jika mahasiswa baru pandai-pandai, pertanyaan berikutnya apakah proses pendidikan di LPTK cukup bagus.  Belum ada studi yang menggambarkan kualitas pendidikan di LPTK.  Yang pasti mutu LPTK sangat bervariasi.  Dan yang mencemaskan, ketika  minat menjadi guru naik, jumlah LPTK juga naik tajam.  Tahun 2008 jumlahnya sekitar 270an, kini sudah mencapai 415 buah dengan mahasiswa mahasiswa sekitar 1,2 juta orang, dengan lulusan sekitar 250.000 orang per tahun.  Peningkatan jumlah LPTK tersebut sangat mengkawatirkan, karena menyebabkab mutu pendidikan tidak terjaga.   

Pendidikan di LPTK sebenarnya semi kedinasan, karena lulusannya dipersiapkan menjadi guru.  Jika kebutuhan guru setiap tahun hanya sekitar 70.000 orang, sudah saatnya dilakukan pengaturan agar jumlah LPTK dan jumlah mahasiswanya dikendalikan.   Sekaligus diberdayakan agar mampu menghasilkan guru yang bermutu. 

UU Guru dan Dosen, yang mewajibkan guru berpendidikan S1 plus pendidikan profesi (PPG), dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian jumlah LPTK.  Hanya LPTK yang memenuhi syarat tertentu yang boleh membuka PPG dan jumlah mahasiswanya juga ditentukan.  Lebih baik kalau mahasiswa PPG diberikan dinas, sebagaimana diamanatkan pasal 23 ayat (1) UU Guru dan Dosen.  Pola pendidikan guru di China yang merekrut calon dari berbagai daerah, diasramakan dan diberi beasiswa merupakan contoh baik bagi Indonesia.  Diambil dari daerah dan diberi beasiswa akan memudahkan penempatan mereka setelah lulus.  Dengan diasrama proses pendidikan dapat dilakukan 24 jam, sehingga efektif untuk pembinaan karakter.

Distribusi guru merupakan masalah yang pelik. Secara agregat jumlah guru kita sangat cukup.  Rasio guru kita lebih baik dibanding Singapura dan Thailand, namun banyak sekolah di pedesaan yang kekurangan guru (Jalal, 2010).  Guru baru enggan ke daerah terpencil, sedangkan guru yang sudah ada di daerah cenderung ingin pindah ke kota.

Tahun 1999 pernah ada program redistribusi guru dengan batuan Bank Pembangunan Asia.  Namun program tersebut tidak berhasil, karena kepindahan guru ke sekolah di pedesaan dimaknai sebagai hukuman.  Oleh karena itu, diperlukan pola karier guru yang mengaitkan perpindahan mengajar di daerah terpencil merupakan bagian dari pembinaan karier. 

Ketidaksesuaikan isi dan metoda pembelajaran tampak juga terkait dengan pembinaan profesionalisme guru.  Secara jujur harus diakui kita belum punya pola yang mapan.  Di negara maju, guru wajib mengikuti pelatihan setiap tahun.  Mereka juga punya Professional Learning Community (PLC) sebagai wahana berdiskusi tentang problem-problem yang dihadapi.

Kita punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang mirip dengan PLC.  Hanya saja kegiatan MGMP dan KKG bisanya hanya untuk menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).  Pada hal PLC dan MGMP dan KKG merupakan wahana bagus bagi guru untuk berbagai pengalaman dan gagasan.  Bahkan juga wahana untuk mendatangkan ahli untuk memberikan pencerahan. 

Kita juga pernah punya sanggar MGMP dan KKG yang dikembangkan melalui proyek Bank Dunia.  Sayang sanggar tersebut sekarang tidak ada lagi.  MGMP, KKG dan sanggar tersebut perlu diaktifkan kembali.  Dengan teknologi modern,  kegiatan MGMP/KKG/sanggar tersebut dapat dihubungkan dengan Pusat Sumber Belajar (PSB) di universitas, sehingga dapat saling berbagi pengalaman dan keahlian.  Apalagi sekarang guru sudah mendapatkan tunjangan profesi yang didalamnya ada bagian dana untuk pengembangan profesionalime.