Selasa, 11 Februari 2014

EGOISME ORANG TUA BERTAMENG CINTA

Abdul Kadir Baraja
Yasir Abdul Rahman

Mencintai si buah hati merupakan fitrah bagi orang tua sejak dari jaman azali. Setiap orang tua, terutama ibu, akan mencurahkan jiwa raganya untuk membuat anaknya sehat dan sukses hidupnya. Mereka sangat bahagia saat anaknya senang, dan sedih jika anaknya terlihat murung. Semua hidupnya dipertaruhkan untuk kebahagiaan anaknya, bahkan saat anaknya sudah bersanding dengan teman hidupnya.
            Orang tua bahkan tidak pernah ingin kebahagiaan hilang dari diri anaknya, karena kehilangan kebahagiaan anak berarti   kehilangan kebahagiaan mereka juga.  Sebenarnya tidak ada yang salah hingga titik ini. Namun apakah  kebahagiaan yang diperjuangkannya benar-benar kebahagiaan untuk anak atau  ambisi  orang tua semata?  Mari kita   bedah bersama sepotong fragmen kehidupan di sekeliling kita yang mengindikasikan adanya paradoks (baca: ketidaksesuaian) cinta orang tua.
Ibu Frita mempuanyai ambisi yang sangat besar untuk anak perempuannya, Cory. Dia ingin agar anaknya bisa kuliah di fakultas kedokteran. Di matanya fakultas selain kedokteran berbeda “maqam”, sehingga tidak afdal dan dirinya akan dianggap kurang sukses mendidik bila anaknya tidak diterima di fakultas favorit tersebut. Kedokteran juga dipersepsinya menjamin kesejahteraan anaknya secara materi.
Bimbingan Belajar terbaik di kotanya pun dipilih untuk mengantar Cory meraih tujuan. “Belajar mandiri” telah hilang dari kamus Ibu Frita. Cory tidak perlu harus merasa kesulitan saat dihadapkan pada pekerjaan rumah, karena telah ada problem solver di sampingnya hampir setiap hari.   Cory tidak berkesempatan untuk  belajar bagaimana menjadi seorang pembelajar. Dia terbiasa langsung mengkonsumsi “ikan”, dan tidak pernah bersusah-payah ”mengail” untuk mendapatkan ikan. Nyaris serba instan, seperti yang dimakannya.
Bakat seni anaknya juga tidak dilewatkannya untuk diasah lewat serangkaian les menyanyi dan musik yang diidamkannya, agar Cory bisa tampil di depan publik memupuk kepercayaan diri, sekaligus mengangkat “harga diri” orang tuanya. Saat anaknya mengeluh capek, maka semua jurus motivasi dikeluarkannya agar anaknya bertahan. Tidak lupa janji berlibur ke tempat wisata terbaik akan ditawarkan untuk menguatkannya.   Alhasil, Ibu Frita terobsesi agar anaknya sejajar dengan anak-anak hebat.
 Jadilah Cory menjadi anak mamah yang selalu sibuk di kamar. Kamar jauh lebih disukainya dibanding bergaul dengan teman-temannya.  Bersosialisasi dengan teman sebaya ini sudah lama dibatasinya, mengingat padatnya jadwal kegiatan.
            Pola kebiasaan hidup Cory tidak lepas dari “grand design” yang telah ditetapkan orang tuanya untuknya, sehingga pertanyaan mendasar yang layak diajukan ialah: rencana besar yang dibuat orang tua Cory sebenarnya untuk siapa? Benarkah semuanya untuk kesuksesan hidup dan kebahagiaan sang anak? Benarkah saat anak sukses secara akademik berarti menjamin sukses dalam menjalani hidup di kemudian hari?              
             Ibu Frita memandang ketrampilan akademis merupakan hal yang terpenting dalam hidup. Ini tidak mengherankan, karena sangat mudah untuk membaca parameter keberhasilannya, dan kenyataan dalam dunia kerja hal ini selalu menjadi tolok ukur terpenting dalam rekrutmen pegawai. Indeks prestasi yang tinggi ditambah dengan segepok sertifikat ketrampilan tambahan akan menjadi tambahan bobot dalam seleksi.
            Sejujurnya, pola pendidikan yang tidak seimbang semacam ini tidak akan memberikan hasil manusiawi dan alamiah. Banyak pemerhati anak yang perihatin karena semakin banyak saja orang tua yang mengalami “rabun jauh” dalam menatap masa depan anak. Bekal akhlak, soft skill dan life skill semakin hari semakin terpinggirkan. Padahal banyak contoh kasus anak dengan intelegensia berkategori sedang jauh lebih sukses menjadi “orang” karena bekal ketiga unsur tersebut. Namun anehnya, banyak orang tua memilih “mendandani” anaknya dengan ketrampilan akademis. Inikah kebutuhan anaknya, atau gengsi orang tuanya?
            Mari kita kembali kepada kisah Ibu Frita dan anak perempuannya, Cory. Ibu Frita dididik orang tuanya dalam budaya disiplin yang kuat. Ibu Frita sejak kecil terbiasa membantu orang tuanya bekerja, sehingga tanpa disuruh  Ibu Frita turun melakukannya. Keterbatasan ekonomi orang tuanya tidak memungkinkan untuk mempekerjakan seorang pembantu, sehingga  dia juga membantu Ibunya  mengurus adik bayinya. Bahkan sering dia pergi ke pasar berbelanja karena sang ibu sangat sibuk.
Frita muda setiap hari membawa kue buatan ibunya untuk dijual di “kantin” sekolah.  Jadi suasana bekerja keras merupakan menu hariannya, dan berkomunikasi dengan banyak kalangan sangat tidak asing baginya. Dia sejak muda telah sanggup membaca denyut nadi masyarakat dengan segala dinamikanya.
            Sayangnya, Ibu Frita yang kenyang makan asam garam “madrasah kehidupan” ternyata kurang jeli menilai perubahan jaman. Dia berpikir, kesusahan dan hidup “keras” adalah bagian dari masa lalunya yang tidak boleh terjadi pada anaknya. Semua yang dibutuhkan anaknya disiapkannya. Jika anak butuh sesuatu cukup memanggil (baca: berteriak)  nama “inem”, maka semuanya ada di depan mata.
 Segala macam ilmu sopan santun yang ditanamkan orang tua kepada Ibu Frita, seakan telah kadaluarsa. Segala bekal “pelatihan” yang menyebabkan Ibu Frita dan suami sukses seakan tidak lagi penting di era Cory. Kalau anak banyak bekerja, maka dikhawatirkan anak akan kehilangan waktu untuk mensejajarkan dirinya dengan sebayanya untuk berprestasi.
Apa yang terjadi kemudian? Meski Cory tumbuh menjadi anak yang pandai, namun sekadar untuk berbicara dan berperilaku santun  teramat sangat sulit baginya. Apalagi setiap hari dia menyantap hiburan  televisi yang menayangkan kehidupan metropolitan (a la barat). Kepekaan sosialnya teramat miskin. Cory  hanya “sanggup” berinteraksi dengan yang se-aspirasi secara sosial.  
Akhirnya Cory mengalami “perpanjangan” masa anak-anak, yaitu masa dimana manusia belum layak diberi beban dan tanggung jawab. Saat usianya beranjak dewasa, Cory belum menunjukkan tanda-tanda mampu hidup bermasyarakat. Pada titik seperti ini anak mulai mencari pasangan, karena secara seksual dia mulai memasuki masa kematangan. Saat butuh penyaluran hasrat biologis, maka dia tidak terbiasa dengan aturan masyarakat sehingga terjadilah “bencana”. Dan tiba-tiba semua terrasa serba terlambat. Tanpa disadari Cory telah melukai dirinya, keluarganya dan masyarakat dengan aib. Janin yang terlanjur tersemai di rahimnya dikemudian hari begitu lahir harus sudah menanggung aib orang tuanya.
            Model pendidikan rumah yang semakin bebas dan misleading seperti kehidupan pada keluarga Ibu Frita, anehnya tidak merisaukan banyak orang. Kejanggalan cara bertutur, bersikap dan berperilaku anak gampang ditoleransi.  Orangtua sebagai bagian dari generasi sukses di perkotaan lebih fokus untuk meniti karir, dibanding membimbing anaknya meniti masa dewasa secara ilmiah dan alamiah.  
Orang tua juga mulai banyak menghindari “berbenturan” dengan anaknya,   karena khawatir mengusik ketenangan dan kenyamanannya. Orang tua yang semakin sedikit saat ketemunya dengan anak tak ingin kecewa melihat anaknya marah atau “ngambek” karena ditegur. Kalau terjadi hukuman edukatif kepada anak di sekolah bahkan orang tua semacam ini tidak segan-segan akan “melabrak” sang guru
            Pola edukasi “perintah dan larangan” yang diintroduksi oleh Islam semakin ditinggalkan karena dianggap sudah “ketinggalan”. Penanaman prinsip-prinsip kehidupan secara langsung,  sebagaimana Luqman Al-Hakim menyemai ke dada anknya tak berjalan, karena semuanya sudah “dititipkan” kepada guru di sekolah. Baik dan buruknya anak semuanya menjadi beban sekolah. Orang tua lupa bahwa selain mendidik di rumah, mereka juga turut bertanggung jawab “merawat”dan mengawal penanaman nila kebajikan di sekolah, bukan melepaskannya. Jika orang tua tidak memahami ilmu mendidik, maka orang tua seharusnya ikut belajar untuk memberi penguatan di rumah dan bukan sebaliknya.
            Masyarakat Jepang dan banyak negara maju  lainnya selalu mengajari anak bagaimana bersikap dan berperilaku sosial yang sehat. Oleh karena itu budaya mengantri, mengutamakan orang tua dan  wanita hamil di tempat-tempat umum merupakan hal yang lumrah sampai saat ini! Namun, kecakapan sosial semacam ini justru semakin tercabut dari akar budaya bangsa kita. Misalnya, merusak fasilitas umum dan tidak bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri malah menjadi fenomena yang sangat lumrah. Apakah bersikap apatis dan bahkan anti-sosial tidak perlu kita cemaskan?  Apakah orang tua bisa membebaskan diri dari “keterbelakangan” ini dan bagaimana dengan nasib    generasi muda Islam di masa yang akan datang? Mari kita merenung dan bertindak untuk kepentingan anak kita. Dunia dan akhirat mereka adalah dunia dan akhirat kita. Wallahu a’lam.

Catatan: Tulisan ini dari email penulis dan dimuat di blok dengan seijin penulis.

Minggu, 02 Februari 2014

GENERIC SKILLS SEBAGAI RUH, SPECIFIC SKILLS SEBAGAI WADAG

Sudah beberapa kali saya gagal untuk ke Pondok Pesantren Al Fitrah di Kendiding Lor Surabaya.  Gagal karena waktunya tidak cocok.  Saya ingin pas  ke Al Fitrah ada Pak Wawan Setiawan, kawan lama yang sekarang menjadi salah satu pembinanya.   Karena saya belum pernah ke Al Fitrah, jika ada Pak Wawan maka saya tidak kikuk bagaimana menyesusikan diri.

Saya tahu Ponpes Al Fitrah adalah ponpes salafiah besar yang didirikan oleh almarhum Kyai Asrori.  Salah seorang tokoh Tariqoh di Indonesia.   Saya menjadi lebih tertarik ke Al Fitrah, setelah mendapat cerita Mas Pratama, mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Unesa.  Akhirnya saya dapat datang ke Al Fitrah pada Jum’at tanggal 31 Januari 2014, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek
 
Di Al Fitrah saya diminta menyampaikan pemikiran tentang Tantangan Pondok Pesantren Menghadapi Era Bonus Demografi 2020-2030.  Saya agak terkejutm tetapi bangga.  Pondok salafiah tetapi peduli dengan tantangan era tekonolgi.  Sebelum mulai saya minta ijin untuk mengganti kata “Tantangan” menjadi “Peluang” dalam topik tersebut.  Mengapa?   Karena menurut saya pondok pesantren memiliki peluang tinggi di era bonus demografi.

Forum diskusi tersebut hanya  diikuti oleh sekitar 30 orang dan semuanya dari pengurus dan pengajar pondok.  Jadi forum kecil, sehingga diskusi menjadi gayeng.  Apalagi semua peserta adalah”orang” pondok yang tentu secara psikologis ingin mengembangkan pondoknya.  Hanya saja waktunya sangat pendek, sekitar 1,5 jam, karena sebelum acara dimulai ada sholat jenasah di masjid pondok.

Salah satu pokok bahasan yang saya sampaikan adalah hasil survai Bank Dunia Tahun 2010 yang dikutip oleh  Wapres Boediono saat pidato di Australia.  Isinya sebagai berikut: “the skills of Indonesian secondary school leavers do not match the expectations of employers, due to their inadequate generic skills”.  Sebenarnya temuan survai Bank Dunia itu, jauh-jauh hari sudah disinyalir oleh banyak pakar.  Tony Wagner (2008) dalam bukunya yang berjudul The Global Achivement Gap sudah menjelaskannya panjang lebar.  Trilling dan Fadel juga menjelaskan hal serupa dalam bukungan the 21st Century Skills.

Mengapa saya mengajukan hasil survai Bank Dunia tersebut sebagai salah satu bahasan utama?  Karena saya yakin itulah trend ke depan.   Ketika kemajuan ilmu dan teknologi semakin pesat, pola kerja dan keterampilan kerja akan sangat cepat berubah.  Globalisasi telah masuk ke semua belahan bumi, sehingga orang bekerja bersama-sama bangsa lain. Dengan situasi seperti itu, setiap orang harus mampu bekerjasama dalam tim, memiliki integritas tinggi, harus mampu berpikir logis dan kritis, harus mampu memecahkan masalah, harus memiliki kelincahan dan sekaligus adaptasi dengan situasi dan sebagainya.  

Beberapa tahun lalu, saya dengan beberapa teman penah diminta JICA untuk untuk melakukan studi pelacakan (tracer study), terhadap lulusan politeknik.  Setelah mendatangi banyak perusahaan yang memperkerjakan lulusan Politeknik, kami menemukan hal yang sangat menarik.  Untuk aspek keterampilan (specific skills), hampir tidak akan komplain.  Yang dianggap kurang adalah kebiasaan mencatat pekerjaan, kemampuan komunikasi dan bekerjasama, dan kemampuan memimpin tim.  Bukankah ini juga sejalan dengan temuan Bank Dunia?

Menutut saya kekuatan pondok pesantren justru terletak mengembangkan generic skills.  Pondok pesantren salafiah seperti Al Fitrah tentu tidak memberikan bekal specific  skills, misalnya kompetensi khusus sebagai pengacara, sebagai insinyur, sebagai dokter dan sebagainya.  Kalau toh ada mungkin sebagai da’i.  Namun yang jelas, selama menyantri para santri akan digembleng generic skills-nya.   Selama di pondok, santri akan mendapat gemblengan dan pembiasaan tentang berkomunikasi, bekerja sama, berintegritas, berpikir logis dan kritis dan sebagainya.

Sejauh pengetahuan saya, hampir tidak ada alumni (boleh disebut lulusan?) pondok pesantren yang melamar pekerjaan.  Mungkin karena mereka tidak memiliki ijasah dan memang pada umumnya orang mondok (belajar di pondok) tidak mengharapkan mendapat ijasah.  Dengan bekal kemampuan yang diterima selama mondok (dan juga dari sumber lainnya), kemudian pada alumni bekerja sesuai dengan minatnya.

Oleh karena itu pada umumnya alumni pondok pesantren memiliki jiwa kemandirian yang kuat. Rasa percaya diri dan keyakinan akan bimbingan Sang Pencipta menjadi bekal utama dalam bekerja dan mengarungi kehidupan.  Mereka yakin, dengan mengamalkan prinsip-prinsip Islam dan kehidupan, maka Sang Pencipta akan membimbing langkah menuju sukses.  Sering kita dengar ungkapan sederhana, “bekerja apa saja asalkan halal dan dikerjakan dengan baik hasilnya akan barokah”.  “Semua ini bumi Allah, sehingga kita dapat bekerja dimana saja”.

Memang banyak alumni pondok pesantren yang kemudian menjadi pegawai atau karyawan. Namun pada umumnya itu terjadi pondok pesantren yang sudah memiliki lembaga pendidikan formal, seperti MI, MTs, MA dan sebagainya.  Jadi bukan lagi pondok salafiah seperti Al Fitrah.  Atau orang yang disamping mondok juga menempuh pendidikan formal.

Dalam sesi tanya jawab, semua peserta yang meberikan respons setuju dengan pemikiran yang saya ajukan.  Pertanyaannya bagaimana menumbuhkan generic skills itu secara baik.  Bagaimana cara menggabungkan antara generic skills dan specific skills.  Di satu sisi ada keinginan pengasuh pondok untuk juga memberikan specific skills yang cocok dengan dunia kerja (marketable skills) agar lulusannya mudah mendapatkan kerja atau memulai usaha.  Namun di sisi lain, pengasuh juga setuju pentingnya generic skills.

Saya tidak memiliki pengalaman mondok, sehingga saya tidak berani memberikan solusi yang pasti.  Yang saya ajukan adalah analogi dari apa yang saya ketahui dan apa yang pernah saya lakukan.  Memang tidak perlu ada pelajaran atau pokok bahasan kerja keras, kerja sama, kreativitas dan sebagainya. Namun ketika kuliah mahasiswa harus didorong kerja keras, memecahkan masalah secara kreatif dan diberi pengalaman untuk kerjasama.  Misalnya mengerjakan tugas bersama-sama.  Misalnya dalam setiap saat kepada mahasiswa diberi tugas yang “memaksa” dia bekerja keras.  Jika semua dosen melakukan itu, maka kerja keras dan bekerja sama akan menjadi kebiasaan sehari-hari.  Dan jika pada saatnya dijelaskan bahwa kerja keras dan bekerjasama itu penting, maka itu akan menjadi proses pembudayaan.

Trilling dan Fadel dalam buku The 21st Century Skills menceritakan dialog antara delegasi China dengan Direktur Napa New Tech Hogh School, sebuah sekolah inovatif di Northern California.  Delegasi China bertanya bagaimana atau pada kurikulum bagian mana, sekolah itu mengajarkan kreativitas dan inovasi.  Jawaban yang didapat kurang lebih: “It is not in our curriculum guide”. “It is more in the air we breathe or maybe the water we drink, the history of our country-Thomas Edison, Henry Ford, Benjamin Franklin, it is I our business culture, our entrepreneurs, our willingness to try new ideas, the tinkering and inventing in our garages, the challenge of tackling tough problems and the excitement of creating something new, in being rewarded for our new ideas, taking risks, failing and trying again”.

Saya menggunakan istilah budaya sekolah.  Jadi generic skills pada siswa atau santri diharapkan tumbuh karena sehari-hari mereka hidup dalam komunitas yang jujur, kerja keras, berpikir kritis, memecahkan masalah secara arif dan kreatif dan sebagainya.  Jadi generic skills itu sebagai ruh kehidupan.  Apapaun kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan itulah yang menjadi ruh dan nilai-nilai yang mengilhaminya.  Generic skills sebagai ruh sedangkan pekerjaan real (penerapan specific skills) sebagai wadahnya.  Semoga.