Senin, 27 Oktober 2014

JOKO TINGKIR GAK SEKOLAH DADI RATU



Sekitar tahun 1998, awal menjadi konsultan Bank Dunia SSEP-2 saya tinggal dengan beberapa teman.  Beberapa yang kenal baik antara lain Pak Ibrahim Bafadal (sekarang Direktur Pembinaan SD), Pak Ismet Basuki (sekarang Asdir 1 Pascasarjana Unesa) dan Pak Adurrahman Asyari (dosen UM). Walaupun bekerjanya berbeda-beda, kebetulan kami tinggal satu rumah di Kompleks Patal Senayan.

Diantara teman-teman yang akrab itu hanya Pak Asyari yang belum S3, sehingga seringkali beliau mengutarakan keinginannya segera menempuh S3.  Konon sebenarnya beliau sudah akan menempuh S3 beberapa tahun sebelum itu.  Namun beliau harus berangkat ke Amerika Serikat untuk mengambil S2 (yang kedua) untuk bidang ke-SD-an melalui proyek PGSD.  Setelah pulang dari Amerika, tampaknya beliau terlalu sibuk sehingga belum sempat mengambil S3.

Ketika beliau mengeluhkan hal itu, saya berkelakar “Joko Tingkir nggak sekolah dari ratu” (Joko Tingkir tidak pernah sekolah tetapi menjadi raja).  Sampai sekarang kalau penghuni Patal Senayan ketemu, kelakar itu masih sering diungkap kembali.  Biasanya untuk pengingat kalau kita pernah akrab dalam suka duka hidup diperantauan.  Bahkan, ketika mendengar Pak Asyari menempuh S3 saya kirim sms “kok Joko Tingkir sekolah, mengko malah gak iso dadi ratu” (Kok Joko Tingkir sekarang sekolah, nanti malah tidak dapat menjadi raja).  Beliaupun membalas kelakar itu dan jadilah cengkerama asyik, walaupun via sms.

Tentu kelakar tersebut tidak dimaksudkan agar orang tidak perlu sekolah atau kuliah untuk menjadi sukses.  Yang dimaksudkan adalah sekolah atau kuliah itu cara memperoleh kemampuan yang diperlukan untuk dapat sukses di kehidupan.  Sekolah atau kuliah akan membuang waktu jika sekedar mengikuti pelajaran tanpa mengetahui makna dan penerapannya dalan kehidupan. Apalagi jika sekolah atau kuliah sekedar untuk mendapatkan ijasah.

Ketika menulis buku “Pendidikan Bermakna” yang diterbitkan oleh SIC, saya mendapat beberapa komentar yang mempertanyakan seakan-akan buku itu menganjurkan orang tidak bersekolah.  Memang buku itu membahas bagaimana seharusnya pendidikan yang dapat membekali anak-anak kemampuan untuk kehidupan (life skills).  Life skills tidak dimaknai secara sempit tentang keterampilan manual, tetapi kecakapan hidup secara utuh.  Buku itu diawali dengan pertanyaan “untuk apa anak harus sekolah?”, yang membedah fenomena pendidikan yang tidak relevan dengan filosofi dasar, yaitu pendidikan untuk membantu anak didik mempersiapkan diri agar sukses di kemudian hari.

Ketika membaca salah satu menteri di Kabinet Kerja Presiden Jokowi hanya tamatn SMP, tetapi menjadi pengusaha sukses, saya jadi teringat kelakar “Joko Tingkir nggak sekolah dari ratu”.  Juga buku saya “Pendidikan Bermakna” yang memberi ilustrasi teman SMP saya yang sukses walaupun tidak pernah kuliah. Bahkan ketika saya ke Surabaya untuk kuliah, dia berkelakar “Kuliaho sing apik, nek wis lulus mreneo tak wenehi gaweyan” (Kuliahlah yang bagus, nanti kalau sudah selesai kesinilah saya beri pekerjaan).

Menurut berita di koran, Bu Susi Pudjiastuti drop out SMA kelas 2, jadi secara formal lulusan SMP.  Namun berkat kegigihannya dan saya yakin juga cerdas, beliau dapat membangun bisnis yang hebat.  Jika dimaknai bahwa belajar itu berlangsung sepanjang hayat dan bekerja itu juga proses belajar, saya yakin beliau telah belajar banyak selama bekerja.  Jika kita mengikuti konep KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) mungkin saja kemampuan Bu Susi untuk bidang beliau geluti sudah setara dengan S1 atau bahkan lebih.  Terus terang saya tidak mengenal Bu Susi, hanya seingat saya pernah diulas oleh Jawa Pos sekian tahun lalu sebagai orang yang sukse berwirausaha dengan awal berdagang ikan dari Sukabumi ke Jakarta.

Memang harus dicatat, kalau mengurus kementerian tidak sama dengan berwirausaha.  Banyak kaitan birokrasi yang tidak sederhana di pemerintahan yang mungkin tidak dibayangkan oleh para pengusaha.  Namun dengan bekal pengalaman panjang Bu Susi tentu dapat belajar cepat.  Bukankah salah satu kunci sekolah atau kuliah itu learning how to learn.  Belajar dan berlatih bagaimana belajar cepat untuk mengadapi tantangan kehidupan.  B Susi memang tidak pernah kuliah, tetapi siapa tahu dengan pengalaman usaha yang panjang, secara otodidak beliau telah menemukan cara belajar cepat .  Termasuk belajar cepat menangani birokrasi yang banyak “tetek bengeknya”.

Kita do’akan beliau sukses membangun dunia perikanan dan kelautan, yang merupakan kekayan besar di negara tercinta.  Kita menunggu kiprak beliau dan pada saatnya sejarah akan mencatat perjalanan beliau yang bermetamorfosa dan pengusaha ke jajaran birokrasi.  Semoga.

Minggu, 26 Oktober 2014

ANIS, INDONESIA MENGAJAR DAN GURU



Kabinet Kerja telah diumumkan oleh Presiden Jokowi dan Anis Basweda ditunjuk sebagai Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah.   Saya yakin masyarakat sudah mengenal Mas Anis (begitu biasa dipanggil), karena lulusan UGM dan NIU Amerika Serikat itu merupakan tokoh populer di negeri ini.  Gagasannya, Indonesia Mengajar (IM) dikenal luas oleh kalangan pendidik.  Kalau tidak salah, beliau cucu AR Baswedan, salah satu tokoh kemerdekaan Indonesia.

Secara pribadi saya kenal dengan beliau, tetapi tidak terlalu akrab.  Seingat saya, pertama kali bertemu saat beliau awal-awal menggagas program IM.  Kami ketemu dan saya mengagumi gagasan itu.  Kekaguman saya terletak pada latar belakang programnya.  Menurut beliau, yang akan ikut program IM adalah anak-anak cerdas dan aktivis.  Pokoknya anak-anak muda yang hebat, yang nantinya pada saatnya akan menjadi orang penting di profesinya.   Setelah selesai mengikuti program IM, diharapkan mereka justru tidak bekerja sebagai guru.  Diharapkan mereka berkarier di bidang lain, sesuai dengan minatnya.

Salah satu tujuan IM adalah menjadi jendela dunia bagi anak-anak di daerah terpencil.  Kedatangan peserta IM diharapkan membuka mata dan pikiran anak-anak di daerah terpencil bahwa ada “dunia lain” ada kesempatan untuk menjadi lebih hebat.  Dengan interaksi dengan anak hebat peserta IM, diharapkan anak muda di daerah tersebut memiliki keinginan untuk maju.

Seingat saya, waktu ketemu itu saya menambahkan, peserta IM juga mendapatkan “jendela kemanusiaan”.  Maksudnya, selama tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat daerah terpencil, diharapkan peserta IM dapat memeti kearifan lokal yang seringkali sangat baik.  Mereka diharapkan selalu ingat daerah itu dan pada saatnya menjadi orang penting ingat kalau masih banyak saudara kita yang kondisinya seperti di tempat mereka melasanakan IM.

Program IM telah diadopsi oleh pemerintah dengan nama SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Tepencil dan Tertinggal).  Tentu dengan sedikit perubahan, yaitu membantu sekolah-sekolah yang kekurangan guru.  Saya pernah mengunjungi peserta SM3T di Kab Sumba Timur dan Kab Talaud.  Sambutan masyarakat terhadap program SM3T sangat bagus dan hampir semua pihak meminta program tersebut diteruskan, karena mengisi kekurangan guru di daerah terpencil.

Seingat saya, Mas Anis pernah datang ke Unesa dua kali.  Sekali dalam acara dengan mahasiswa dan sekali dalam acara wisuda.  Saat memberi orasi ilmiah di acara wisuda, saya mencatat dua butir penting dari pidatonya.  Pertama, mendorong optimismen masyarakat, khususnya generasi muda.  Beliau mengajar para wisudawan optimis menatap masa depan.  Dengan optimisme kita akan memiliki semangat dan langkah pasti menggapai masa depan.

Kedua, beliau mengajak menjadikan pendidikan sebagai sebuah gerakan.  Dengan demikian seluruh komponen masyarakat tergerak untuk ikut beperan serta.  Jika selama ini urusan pendidikan seakan-akan hanya merupakan tugas Kemdikbud dengan jajaranya, melalui gerakan diharapkan semua pihak, termasuk para profesional dan dunia industri juga terdorong untuk berperan serta.

Melaui tulisan ini, saya berharap Mas Anis sebagai Menteri yang mengurusi Pendidikan Dasar memperhatikan secara sunggug-sungguh faktor guru.  Saya yakin beliau faham tentang pentingnya guru dalam proses pendidikan.  Saya juga yakin beliau tahu kalau banyak sekolah di daerah yang kekurangan guru.  Pengalaman melaksanakan SM3T, saya menjumpai banyak SD yang hanya memiliki satu atau dua orang guru.  Itupun seringkali meninggalkan sekolah, karena sebagai kepala sekolah sering ada rapat di kecamatan atau kabupaten.  Pada hal tanpa adanya guru yang cukup dan dengan kualitas yang baik, kita tidak dapat berharap banyak untuk kemajuan pendidikan.

Pada hal, UU No. 13/2005, pasal 24  mengamanatkan Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah.  Dan Pemerintah provinsi/kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan.  Nah, kalau ada sekolah yang kekurangan guru, berarti pemeritah pusat/propinsi/kab/kota belum memenuhi amanat tersebut.

Selamat bekerja Mas Anis, semoga pendidikan di Indonesia semakin maju.

Sabtu, 25 Oktober 2014

JANGAN TERLALU TINGGI HARAPAN



Sangat bukan ahli politik dan bukan politisi, sehingga tentu tidak punya kemampuan untuk melakukan telaah terhadap situasi politik.  Namun melihat dan mendengar komentar dan tanggapan terhadap terpilihnya Jokowi dan JK sebagai presiden dan wakil presiden, mendorong saya untuk nimbrung memberi komentar.  Tentu tidak dari sudut pandang politik, tetapi dari sudut pandang pendidikan.  Bukankah belajar itu berlangsung sepanjanh hayat, sehingga Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK sudah sedang belajar.

Saya merasa masyarakat atau sebagian dari masyarakat memiliki harapan yang terlalu tinggi (over expected) kepada beliau berdua.  Saya percaya kalau beliau berdua orang hebat dan dipilih rakyat secara langsung.  Pak Jokowi sudah pernah menjadi walikota Solo dan Gubernur DKI.  Pak JK sudah pernah menjadi menteri dan wapres.  Dengan demikian kedua beliau, disamping punya kemampuan hebat, memiliki aksepbilitas bagus, juga sudah punya pengalaman memegang jabatan birokrasi.  Dengan demikian wajar jika kita semua berharap, pemeritahan beliau segera “berlari” karena tidak perlu waktu lama untuk adaptasi.

Namun jika kita terlalu tinggi harapan, saya kawatir mudah kecewa.  Kita punya pengalaman cukup dalam pergantian pemerintahan, baik di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.  Kekecewaan akibat terlalu tinggi harapan sudah sering kita jumpai.  Dan celakanya kalau kekecewaan seperti itu tidak segera “terobati” seringkali berubah 180 derjat menjadi caci maki.  Repotnya, semenjak era reformasi ini caci maki seperti itu sering diumbar di media dan memancing pro dan kontra yang memperkeruh suasana.

Fenomena seperti itu banyak terjadi dalam bidang pendidikan.  Karena bapak-ibunya orang pandai atau orang terpandang, semua pihak berharap anaknya juga hebat dan masuk ke sekolah top markotop.  Kalau ternyata tidak, kemudian gurunya sering berguman (mudah-mudahan tidak mengolokan) kok tidak seperti orangtuanya. Orangtuannya juga sering mengeluh dan bahkan marah karena anaknya tidak sesuai denga harapan.

Yang sedikit saya fahami, ukuran kepuasan masyarakat terhadap suatu pemerintahan dilihat dari hal-hal yang tangible (kasat mata) di masyarakat.  Misalnya harga-harga bahan pokok, keamanan, ketersediaan lapangan kerja dan sebagainya.  Pada hal kita tahu, besar atau kecil hal-hal tersebut juga terkait dengan situasi global yang tentu di luar kendali pemerintahan kita.

Belum lagi faktor sosial politik ditambah media yang seringkali sulit dimengerti oleh orang awam seperti saya ini.  Hiruk pikuk politik membuat situasi menjadi “bising” saya duga sedikit banyak juga menyedot perhatian pemerintah, sehingga tidak dapat mencurahkan 100% enersinya untuk mengurus hajat orang banyak.  Apalagi seringkali media terkesan “memanas-manasi” dengan dalih memberikan informasi secara terbuka.  Konon ada prinsip di media “bad news is a good news”, sehingga media terkesan mengeksploitasi berita-berita negatif ketimbang berita positf.

Oleh karena itu, dari kacamata pendidikan sebaiknya kita sabar menunggu Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK menjalankan pemerintahannya.  Tidak usah terlalu tinggi harapan, karena beliau juga manusia biasa yang disamping punya kehebatan juga punya kekurangan.   Problem yang dihadapi pemerintahan beliatu juga tidak kalah rumit dibanding yang dihadapi oleh Pak SBY dan Pak Boediono.

Jika menggunakan analogi petani di kampung, anggap saja pergantian pemerintahan itu seperti “mendangir” tanaman. Saya tidak tahu istilah dalam bahasa Indonesia.  “Mendangir” adalah mencangkuli tanah di sekitar tanaman yang sedang mulai tumbuh.  Maksudnya untuk mematikan rumput dan gulma yang ada, sekaligus membuat tanah menjadi lebih gembur dan dapat menyerap unsur-unsur dari udara dan air saat tanaman diairi.  Sehabis didangir, biasanya tanaman sedikit layu, tetapi setelah beberapa lama kemudian tumbuh lebih baik dibanding sebelum didangir.

Namun harus diingat pertumbuhan jagung yang mengikuti pola jagung, tidak seperti gandum.  Pertumbuhan kedele yang seperti kedele, tidak seperti kacang tanah.  Maksudnya jangan berharap perkembangan pemerintahan Pak Jokowi dan Pak JK melejit seperti Amerika Serikat atau Jepang.  Nati kita kecewa berat.  Dari pada ribut, mari kita kerjakan tugas kita masing-masing dengan baik, semoga dapat berkontribusi, walaupun sangat kecil, kepada perkembangan negara dan bangsa tercinta. Dan itu sudah merupakan sumbangan kepada pemerintahan Pak Jokowi dan Pak JK.  Semoga.