Selasa, 20 Oktober 2015

Gawat Darurat Pendidikan, Terus Apa? Catatan Satu Tahun Kabinet Jokowi-JK



Tanggal 20 Oktober 2015 genap satu tahun Kabinet Joko Wi-JK melaksanakan tugasnya. Pada hal di awal kepemimpinannya Mendikbud menyampaikan paparan dengan judul Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Sepanjang yang saya ketahui, belum banyak gebrakan substatif dalam bidang pendidikan.   Mungkin saya kurang mencermati, namun menurut informasi media dua “gebrakan” adalah moratorium Kurikulum 2013 dan Guru Garis Depan. Tulisan ini dimaksudkan sebagai masukkan.

Menurut saya ada tiga masalah pendidikan yang mendesak untuk segera diselesaikan.  Pertama, masalah mutu guru yang kurang baik dan distribusinya yang sangat timpang.  Secara agregat nasional, jumlah guru kita sangat cukup dan bahkan lebih mewah dibanding negara tetangga kita, Singapura maupun Malaysia.  Yang menjadi masalah adalah distribusi yang sangat tidak merata.  Sekolah-sekolah di perkotaan banyak yang kelebihan guru, sementara sekolah-sekolah di pedesaan sangat kekurangan.  Pengalaman melaksanakan program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terpencil hampir tidak ada SD/SMP/SMA/SMK di daerah itu yang gurunya mencukupi.  Banyak SD yang hanya memiliki dua atau tiga orang guru, termasuk kepala sekolah.

Menurut studi kontribusi guru terhadap hasil belajar siswa lebih 50%.  Studi Mourshed dan Barber (2010) di Amerika Serikat menyebutkan kontribusi itu 53%.  Studi John Hattie (2008) di New Zeland menemukan kontribusi itu 58%, sedangkan studi Pujiastuti dkk (2012) di Indonesia kontribusi tersebut 54,5%.  Jadi jika setiap sekolah memiliki guru dengan jumlah yang cukup dan mutu yang baik, lebih separuh masalah pendidikan di sekolah itu telah tertangani.

Mutu seperti apa yang dapat kita harapkan jika sebuah SD dengan rombel hanya memiliki dua orang guru? Apalagi sekolah semacam itu berlokasi di daerah 3T, dimana fasilitas sekolah sangat minimal dan bahkan siswa tidak memiliki buku.  Mirip kondisi SD di kampung saya (pinggiran Ponorogo) pada akhir tahun 1950an.  Namun beruntung, saat itu kami memiliki guru yang hebat, sehingga pembelajaran tetap berjalan dengan baik.

Oleh karena itu upaya agar setiap sekolah memiliki guru yang cukup dengan mutu yang baik merupakan program yang harus segera dilaksanakan.  Apalagi itu merupakan amanah UU No. 14 Tahun 2005, pasal 24 yang menyatakan bahwa pemerintah/propinsi/kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik jumlah, kualifikasi akademik maupun kompetensi agar pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah dapat terjamin.

Kita sering mendengar bahwa mutu guru kita kurang baik. Namun harus kita fahami bahwa guru kita yang sekarang bekerja di sekolah-sekolah adalah mereka yang masuk menjadi guru ketika gengsi profesi guru tidak baik.  Akibatnya yang masuk LPTK dan menjadi guru pada umumnya mereka yang tidak diterima di perguruan tinggi bergengsi.  Namun semenjak guru mendapatkan tunjangan profesi minat menjadi guru meningkat tajam, sehingga LPTK mendapatkan calon-calon guru dengan mutu sangat baik.

Kita perlu memanfaatkan momen meningkatkan mutu calon guru untuk mengganti guru-guru kita di lapangan.  UU No. 14 Tahun 2005, pasal 23 ayat (1) mengamatkan agar pemerintah mengembangkan pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama.   Dengan ikatan dinas, kita dapat mengirim lulusan penerima ikatan dinas ke sekolah-sekolah di pedesaan yang kekurangan guru.  Berapa jumlah guru dan apa jenisnya tentu dapat dihitung, sehingga kita dapat menyiapkan program ikatan dinas dengan baik.

Kedua, kesenjangan mutu sekolah yang sangat mencolok. Ada sekolah yang mutunya sangat bagus dan biasanya terletak di kota atau bahkan daerah elit dengan siswa sebagian besar dari keluarga kaya.  Sementara itu, banyak sekolah dengan kualitas seadanya dan biasanya diisi oleh siswa dari keluarga kurang mampu.  Jika dalam bidang ekonomi ada istilah gini ratio yang menggambarkan kesenjangan si kaya dengan si miskin, dan tugas pemerintah adalah mengurangi kesenjangan itu.  Rasanya pemerintah juga bertugas mengurangi kesenjangan mutu pendidikan.

Bertolak dari itu, pemerintah perlu dengan sungguh-sungguh lebih memfokuskan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan pada sekolah-sekolah keluarga kurang mampu. Langkah ini diharapkan juga berkontribusi mengurangi kesejangan di bidang ekonomi, karena jika anak-anak keluarga kurang mampu mendapatkan pendidikan yang baik akan berpeluang mendapatkan pekerjaan yang baik dan pada saatnya memotong lingkaran kemiskinan keluaarganya.

BOS yang selama ini dibagi secara merata perlu dipertimbangkan lagi. Akan lebih bijak jika dana itu diberikan ke sekolah miskin, sementara sekolah kaya dapat menggali dana dari masyarakat dan sumber lainnya.  Demikian juga program dan anggaran pendidikan yang lainnya.  Dalam konteks ini keadilan tidak harus dimaknai kesamaan, tetapi kemanfaatan.  Anggaran yang belum terlalu besar akan lebih bermanfaat diberikan kepada yang lebih memerlukan.

Ketiga, dengan perkembangan iptek yang sangat pesat, banyak pakar yang meyakini bahwa sistem pendidikan yang saat ini berjalan sudah ketinggalan zaman.  Sebut saja, Tony Wagner (2008), Trilling & Fadel (2009), Moller (2012) dan Smith & Cohen (2014), semuanya menyatakan bahwa sistem pendidikan saat ini memang sudah sukses menyiapkan SDM di era industri tetapi dirasa tidak lagi cocok untuk era digital. 

Fenomena seperti itu sangat mungkin juga terjadi di Indonesia.  Jika kita amati koran hari Sabtu, selalu dipenuhi iklan perusahaan yang mencari karyawan baru.  Artinya tidak mudah mendapatkan karyawan yang cocok, sehingga harus memasang iklan.  Sementara itu, jika da job fair ribuan anak muda berdesak-desakan antre mencari pekerjaan.  Sepertinya ada yang tidak match.  Yang mencari karyawan baru kesulitan, tetapi yang mencari pekerjaan juga susah.  Jangan-jangan apa yang dihasilkan sekolah/universitas kita tidak lagi cocok dengan apa yang diperlukan dunia kerja.

Indonesia dengan penduduk 240 jutaan dan jumlah siswa SD/MI/SMP/MTs/SMK/SMA/SMK/ MA sekitar 50 juta terlalu riskan kalau hanya menunggu inovasi pakar dari negara lain.  Sudah saatnya Indonesia melakukan terobosan untuk mencari bentuk pendidikan yang cocok di era digital ini.  Sudah saatnya Indonesia mencari sendiri bentuk pendidikannya dan tidak sekedar mengimpor dari hasil inovasi negara lain.

Rabu, 07 Oktober 2015

JANGAN SELALU MENYALAHKAN GURU




Beberapa hari ini saya mendengar ungkapan topik “Titik Nol” di Radio Suara Surabaya yang sangat bagus.  Saya tidak ingat siapa yang menyampaikan, tetapi intinya menganalogkan nurani kita sebagai kacamata.  Jika kacamata kita kotor apa yang kita lihat menjadi buram.  Jika nurani kita tidak bersih pandangan kita terhadap orang lain atau apapun yang kita saksikan menjadi tidak baik.  Bahkan kita dapat menilai Sang Maha Pencipta tidak adil. Sebalinya jika katamata kita bersih dan jernih, apa yang kita lihat menjadi jelas dan terang.  Oleh karena itu, kita jangan selalu membersihkan benda yang kita lihat, tetapi cobalah membersihkan katamata yang kita pakai.  Artinya jangan selalu menyalahkan orang lain, tetapi menata nurani kita agar pandangan kita menjadi postif.

Ungkapan tersebut menjadi sangat relevan karena dalam beberapa kesempatan saya mendengar beberapa kawan selalu memandang guru kita dengan pandangan negatif. Ketikq pemerintah mengadakan UKG (uji kompetensi guru) dan hasilnya kurang baik, kita cenderung mengolok-olokan guru.  Ketika pemerintah mengadakan PKG (penilaian kinerja guru) dan konon tidak ada bedanya antara guru yang sudah bersertifikat dan mendapat tunjangan profesi dengan mereka yang belum mendapatkan, kita juga mengolokkan guru.  Bahkan mulai ada yang mengungkit UU nomer 14 Tahun 2005 yang mengatur adanya tunjangan profesi guru, dengan alasan toh walaupun sudah mendapat tunjangan profesi kinerjanya tidak meningkat.

Mari kita merenung dengan pikiran jernih seperti yang disampaikan dalam Titik Nol tersebut. Kalau kita cermati hasil UKA (uji kompetensi awal) yang tidak beda dengan UKG, tampak sekali semakin senior (semakin tambah usia) semakin rendah skor yang diperoleh guru.  Seakan-akan semakin lama para guru bekerja justru semakin rendah kompetensinya.  Apa sesederhana itu tafsirnya, sehingga kita memandang negatif kepada guru dengan mengatakan mereka tidak mau belajar?

Mari kita melihat dari kacamata yang berbeda. Pertama, pada akhir tahun 1970an Pemerintah membangun SD Inpres sangat banyak dalam upaya memberikan layanan pendidikan di pedesaan. Karena jumlah SD Inpres sangat banyak, terjadilah kekurangan guru baru, sehingga pemerintah melakukan program pendidikan khusus, yang disebut SPG-C (SPG Chusus) dengan input lulusan SLTP saat itu, yaitu SMP, SMEP, ST, SKKP.  Lamanya program 1 tahun dan begitu lulus langsung diangkat menjadi guru SD Inpres di pelosok desa, sambil menempuh program KPG (kursus pendidikan guru) selama dua tahun di sore hari.  Ijasah KPG disetarakan dengan ijasah SPG.

Mereka itulah yang saat ini menjadi guru SD senior.  Sayangnya saat itu pamor profesi guru tidak bagus, sehingga yang mendaftar ke SPG-C bukanlah lulusan SLTP yang baik.  Kebanyakan yang mendaftar adalah yang ingin segera bekerja dan atau yang tidak diterima di SMA/SMK.  Dengan demikian dapat kita bayangkan seperti apa kualitas guru SD senior lulusan SPG-C plus KPG.  Apalagi mereka bertugas di SD di pedesaan yang relatif sulit untuk melakukan updating pengetahuan.

Kedua, ketika menyelenggarakan PLPG cukup banyak guru SD yang mengatakan semenjak diagkat sekian tahun lalu, baru pertama kali ikut pelatihan ketika dipanggil PLPG.  Dapat dibayangkan, sudah lulusan SPG-C dan KPG, bertugas di pedesaan yang minim informasi dan belum pernah disentuh pelatihan.

Ketiga, ada teman yang mempertanyakan soal UKG dan UKA. Seberapa tinggi validitasnya?  Saya pernah membaca sekilas soal UKG dan UKA sepertti didasarkan pada kurikulum S1 saat ini.  Jadi UKG untuk guru SD didasarkan pada kurikulum S1 PGSD, degan asumsi guru harus menguasai materi dan metoda mengajar semua matapelajaran dan semua level kelas.  Apakah itu valid?  Saya membayangkan, guru senior di SD yang telah bertahun-tahun mengajar kelas 1 dan harus mengerjakan soal yang mungkin ada materi Matematika untuk kelas 6.  Guru senior di SD yang lulusan SPG-C dan KPG ditanyakan tentang teori kontruktivis.

Tulisan ini tidak bermaksud membela guru yang dianggap “malas mengembangkan diri”, pada hal sudah mendapatkan tunjangan profesi.  Tulisan ini semata-mata mengajak, kita untuk melihat dengan kacamata yang jernih, sehingga tidak selalu menyalahkan orang lain. Semoga.