Rabu, 01 Maret 2017

SEKALI LAGI TENTANG PERMEN RISTEK DIKTI NO 20/2017



Ketika awal Februasi lalu menulis tentang Permen Ristek Dikti nomor 20 Tahun 2017, saya tidak membayangkan akan seheboh ini jadinya.  Memang saya juga mempertanyakan apakah ketika menyusun permen itu, teman-teman di Ristek Dikti sudah memikirkan kondisi perguruan tinggi di Indonesia dan tidak sekedar membandingkan jumlah publikasi para dosen kita dengan rekannya di negara lain.  Bahkan saya juga mencantumkan kekurangseimbangan ketersediaan jurnal nasional terakreditasi dengan jumlah Lektor Kepala yang wajib memasukkan artikelnya ke jurnal itu.

Namun sekarang heboh bukan main.  Dari beberapa pimpinan perguruan tinggi yang saya temui, informasi heboh itu terjadi hampir di semua perguruan tinggi.  Ada yang mendukung, misalnya rekan dari ITS melalui artikel opini di Jawa Pos. Namun sangat banyak yang mempertanyakan rasionalnya.  Bahkan kemudian di viral muncul surat terbuka dari beberapa dosen PTN yang “menggugat” permen itu.  Terakhir muncul pernyataan dari Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Bahan Hukum (PTN-BH), yang intinya juga tidak setuju dengan permen itu.  Koran juga memuat komentar Komisi X DPR yang mempertanyakan Permen Ristek Dikti tersebut.

Secara pribadi saya memahami kerisaukan Menteri Ristek Dikti tentang rendahnya jumlah publikasi para dosen dan peneliti kita.  Bahkan hal itu sudah sering didiskusikan sejak tahun 2010 ketika Pak Djoko Santosa menjadi Dirjen Dikti.  Hanya saja, ibarat dokter diagnosa kita terhadap gejala rendahnya publikasi itu kurang komprehensif sehingga obat yang disodorkan juga kurang tepat.

Betulkah rendahnya publikasi itu karena dosen kita malas, sehingga harus dipaksa dengan ancaman pemotongan tunjangan profesi bagi lektor kepala dan pemotongan tunjangan kehormatan bagi guru besar?  Apakah kita menganut teori X dari McGregor yang menganggap semua orang itu malas, sehingga harus diawasi dan diancam?  Bukahkah para pejabat di Kem Ristek Dikti banyak yang berasal dari perguruan tinggi yang tentu faham kondisi perguruan tinggi kita?  Memang pada umumnya mereka itu berasal dari perguruan tinggi besar, namun bukankah sudah sering berkunjung ke perguruan tinggi “kecil”, sehingga dapat membayangkannya?

Saya ingin sedikit berbagi pengalaman saya berdiskusi dengan beberapa teman di ITB-Bremen University, ketika tahun lalu melaksanakan penelitian bersama selama 2 bulan di sana.  Teman dosen di Bremen yang beberapa kali tinggal di Indonesia mengatakan, iklim penelitian di Indonesia tidak tumbuh dengan baik, karena dosen harus sibuk mengajar, gajinya masih kecil dan sarana laboratorium yang sangat terbatas. Oleh karena itu, dia senang sekali ketika saya berkesempatan penelitian disana.

Mendapat ungkapan seperti itu saya hanya dapat manggut-manggut.  Mau membatah?  Dia tahu persis kondisi dosen kita, karena sudah beberapa kali ke Indonesia dan bahkan pernah hampir 1 tahun penuh menjadi dosen tamu.  Saya hanya dapat membayangkan bagaimana pontang-pantingnya dosen di perguruan tinggi yang sarana penelitiannya sangat terbatas, referensi terbatas dan dana penelitian juga terbatas harus menghasilkan publikasi di jurnal nasional atau bahkan jurnal internasional bereputasi. 

Bahwa akhir-akhir ini jumlah publikasi kita meningkat tajam memang betul, tetapi tidak serta merta itu dapat dijadikan dasar untuk “memaksa” dosen lektor kepala dan guru besar menghasilkan publikasi berkualitas.  Saya tidak punya data, dosen dari mana saja yang saat ini sudah menghasilkan publikasi di jurnal internasional bereputasi.  Namun saya menduga mereka itu, para dosen yang baru menyelesaikan S3 yang diwajibkan punya artikel di jurnal internasional dan dosen di perguruan tinggi yang memiliki sarana penelitian memadai.

Apakah biaya penelitian yang disediakan oleh Kem Ristekdikti dan perguruan tinggi setempat belum cukup?  Jujur saya tidak tahu pasti.  Namun kalau dihitung secara kasar, kita punya sekitar 5.000 guru besar dan sekitar 31.000 lektor kepala, jadi jumlah mereka yang mestinya melakukan penelitian dengan baik agar dapat menghasilkan artikel berkualitas ada 36.000 orang.  Jika setiap orang memerlukan dana 100 juta/tahun, maka diperlukan anggaran penelitian sebesar 36.000 x 100.000.000 = 3.600.000.000.000 atau 3,6 trilyun.  Betulkah kita punya anggaran itu?  Pada hal untuk bidang tertentu, dana 100 juta sering tidak cukup untuk penelitian yang bermutu baik.  Oleh karena saya memahami ketika Senat PTN-BH meminta pemerintah menyediakan anggaran penelitian cukup sebelum memaksa dosen menghasilkan publikasi bermutu.  Tentu disamping itu, sarana penelitian perlu mendapat perhatian serius.

Lantas, apakah tidak ada jalan untuk meningkatkan publikasi kita?  Tentu selalu ada jalan, namun “moto” Jawa Timur tampakya cocok untuk digunakan sebagai pegangan, yaitu “jer basuki mowo bea”.  Artinya untuk mencapai sesuatu yang baik memang perlu biaya.  Kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas memang penting, tetapi jika fasilitas baru minimal tentu sulit mendapatkan hasil yang sangat baik.  Konon di Surabaya sering digunakan ungkapan dalam bahasa Jawa “numpak becak satus njaluk slamet” (naik becak dengan ongkos seratus rupiah minta aman), itulah yang tergambar pada implementasi Permen Ristek Dikti no 20/2017.  Semoga kita bijak dalam menyikapinya.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Assalamu'alaikum Bapak Muchlas Samani.
Saya Adri Yasper, Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Andalas.
Saya sangat berterimakasi dengan informasi yang ada di Blog Bapak, dan saya sangat tertarik dengan Credit Earning, terutama di luar negri.
Saya Ingin tau bagaimana cara agar bisa Credit Earning di luar negri pak, kiranya bapak bisa memberikan informasi.
Wasslam

Muchlas Samani mengatakan...

Mudah mas, Mas Adri dapat bertanya ke Univ Andalas, perguruan tinggi mana yang diakui sbg tempat mengikuti credit earning. Misalnya univ A,B, C,......Z. Berikutnya dibuka web univ tersebut, mana yang membuka program unt international student, khususnya untuk non degre. Jika cocok, silahkan mulai melamar.
Semoga sukses ya.
wass