Minggu, 10 Maret 2024

TIMOR LOROSAE

 Tanggal 6 – 9 Maret 2023 saya mengikuti delegasi LAMDIK ke Timor Leste, untuk melakukan penandatangan MoU dengan ANAAA (AGENCIA NACIONAL PARA A AVALIACAO ACREDITACIO ACADEMICA), Lembaga Akreditasi Perguruan Tinggi milik Pemerintah Timor Leste. Jadi ANAAA  semacam BAN PT di Indonesia.  Kami berangkat dari Surabaya ke Denpasar tanggal 6 Maret sore hari dan terbang dari Denpasar ke Dili tanggal 7 Maret pagi. Tidak ada penerbangan langsung dari Surabaya ke Dili, jadi harus via Denpasar dan hanya ada dua penerbangan Denpasar Dili, dengan Citilink atau Aero Dili.  Kami memilih terbang dengan Citilink, sehingga dapat connecting flight.

Sebagai ketua delegasi saya menyiapkan pidato pendek, karena di rundown acara akan dihadiri Menteri Pendidikan Tinggi Timor Leste.  Ternyata Menteri Pendidikan Tinggi tidak dapat hadir, yang hadir President of Board of ANAAA (kalau tidak salah namanya Dr. Edmundo Viegas) dan Direktur Ekskutif ANAAA (Dr. Nilton Paiva Mau) serta dihadiri oleh utusan dari 19 perguruan tinggi di Timor Leste.  Saya sudah mendengar kalau keduanya pernah kuliah di Indonesia, tetapi kaget ketika memberi sambutan menggunaka bahasa Indonesia dan lancar. Akhirnya teks sambutan yang saya siapkan dengan bahasa Inggris tidak jadi saya gunakan dan saya menyambut dengan bahasa Indonesia.  Kan aneh, orang Timor Leste menyambut dengan bahasa Indonesia, terus orang Indonesia menyambut dengan bahasa Inggris.

Setelah acara penandatangan MoU selesai, diselingi break sebentar, dilanjutkan dengan penjelasan pola akreditasi dari LAMDIK beserta instrumennya.  Memang inti MoU, LAMDIK akan melakukan akreditasi kepada program studi Kependidikan di perguruan tinggi di Timor Leste, bekerjasama dengan ANAAA. Penjelasan disampaikan oleh Prof Joko Nurkamto dan Prof Yuni Sri Rahayu, dipandu oleh Prof Pratiwi, semua menggunakan bahasa Indonesia, walaupun ppt dibuat dengan bahasa Inggris.  Ketika ngobrol sambil makan siang, kami tahu bahwa hampir semua utusan universitas yang hadir pandai berbahasa Indonesia. Bahkan saya tidak mendengar mereka berbahasa Inggris.

Selesai makan siang, kami sholat Jum’at di masjid An-Nur yang berada di Kampung Alor, ditemani Atdikbud RI di Timpor Leste, Prof Ikhfan Haris, dosen Universitas Negeri Gorontalo yang juga sebagai asesor LAMDIK. Konon daerah tersebut dahulu dihuni oleh para nelayan dari Pulau Alor, sehingga disebut kampung Alor.  Masjid An-Nur cukup besar, walaupun tampak kurang terawat. Jama’ah cukup banyak, dan di sebelah masjid ada sekolah.  Yang menarik kotbah menggunakan bahasa Indonesia.  Jadi sangat mungkin sebagian besar jama’ah berbahasa Indonesia. 

Kalau orang dewasa itu mudah dimengerti, karena saat anak-anak Timor Leste masih merupakan bagian dari Indonesia.  Bagaimana dengan anak-anak?  Bukankah di sekolah menggunakan bahasa Tetun dan kuliah menggunakan campuran bahasa Tetun dan bahasa Portugis?  Menurut Pak Atdibud dan juga oleh staf hotel tempat kami menginap, banyak keluarga yang sehari-hari di rumah menggunakan bahasa Indonesia, karena orang tua mereka berbahasa Indonesia.  Apalagi chanel TV Indonesia, seperti RCTI, CNN, Indosiar, MetroTV dan TV One merupakan tototan sehari-hari orang Timor Leste.

Setelah sholat Jum’at kami mengunjungi Instituto Superior Cristal (ISC) yang merupakan salah satu perguruan tinggi yang akan diakreditasi oleh LAMDIK. Kami ditemui oleh Ketua Yayasan Cristal, Rektor, Wakil Rektor dan para Dekan serta Direktur Pascasarjana.  Sangat menarik Ketua Yayasan, Rektor, Wakil Rektor dan Direktur Pascasarjana semua lulusan Malang. Bahkan Wakil Rektor 1, baru wisuda di Univ Muhammadiyah Malang.  Jadi sambutan dan tanya jawab menggunakan bahasa Indonesia, bahkan saya sempat berkelakar “ternyata disini banyak KERA NGALAM”.

Setelah dari ISC, kami mengunjungi Universidate Oriental de Timor Lorosa’e (UNITAL). Sebenarnya UNITAL tidak termasuk perguruan tinggi yang akan diakreditasi oleh LAMDIK periode ini.  Tetapi karena Wakil Rektor I-nya lulusan Unesa, Dr. Antonio Guteres, dan saya sempat memberi kuliah kepada beliau menempuh S3 di Unesa. Sama dengan di ISC semua pimpinan pandai berbahasa Indonesia. Bahkan ada dua pimpinan yang orang Indonesia.

Ketika acara selesai, kami diantar pimpinan UNITAL ke halaman menunggu mobil jemputan.  Ketika itu saya bertanya apa arti kata “LOROSA’E”.  Mengapa saya bertanya, karena ada beberapa universitas yang menggunakan kata Lorosa’e dan bukan Timor Leste.  Ternyata Lorosa’e itu bahasa Tetun artinya Timor Timur. Timor Leste itu bahasa Portugis yang artinya juga Timor Timur.  Jadi ada yang menggunakan bahasa Tetun ada yang menggunakan bahasa Portugis untuk makna yang sama. 

Senin, 04 Maret 2024

APAKAH KITA MASIH MEMERLUKAN SEKOLAH?

Minggu 11 Februari 2024 saya bertemu dengan Drs. Alimudin, MSi, Deputi Bidang Sosial dan Budaya IKN (Ibu Kota Negara) di Jogyakarta.  Pertemuan dijembatasi oleh Dr. Santi Ambarukmi, M.Ed, Direktur Pembinaan Guru PAUD Kemdikbudristek.  Beberapa hari sebelumnya, Mbak Santi, begitu saya biasa memanggil, mengontak saya dan mengatakan Pak Alimudin ingin ketemu untuk diskusi tentang Peta Jalan Pendidikan di IKN.  Terdorong ingin tahu siapa beliau, saya coba Googling dan ketemu, bahwa beliau sebelumnya pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten PPPU (Penajam Pasir Utara).

Tanggal 11 Februari 2024 sore kami ketemu di Hotel Grand Mercure dan diikuti juga oleh beberapa orang, antara lain Pak Alimudin, Mbak Santi, Mbah Dian (Plt Karo Ortala Kemdikbud), Pak Suwito dan Pak Panggih. Dua terakhri adalah staf Pak Alimudian di IKN.  Di awal pertemuan, Pak Alimudin menjelaskan ingin punya Peta Jalan Pendidikan di IKN, yang berbeda dengan pendidikan selama ini.  Mengutip pengarahan presiden Jokowi, IKN harus menjadi model pendidikan yang cocok untuk masa depan. Regulasi di IKN memberi peluang luas untuk merancang persekolahan dan pendidikan tinggi yang berbeda dengan yang selama ini ada dan tidak harus mengikuti begitu saja regulasi Pemerintah Pusat.

Ketika diberi kesempatan berbicara, saya bertanya “Apakah IKN masih memerlukan sekolah?”.  Tampaknya beberapa teman yang hadir agak bingung dengan pertanyaan saya.  Bukankah kita sedang mencari bentuk pendidikan di IKN, artinya bagaimana pola pesekolahan dan pendidikan tinggi.  Kalau tidak ada sekolah, terus seperti apa?  Begitu dugaan saya, apa yang dipikirkan beberapa teman merespons pertanyaan saya.  Oleh karena itu saya mengatakan itu hanyalah pertanyaan untuk mendorong apakah pola pendidikan, dalam arti persekolahan dan pendidikan tinggi sekarang ini masih relevan dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Untuk memberikan gambaran yang saya mengutip ungkapan Charles  Handy (2009) yang mengatakan “We need totally new kind of schooling, which not about learning knowledge and facts. Those are necessary but that’s are very easy to get now.  The students must know what to do with all those knowledge and how to do it”.  Saya juga mengutip temuan Jim Clifton (2016) (chairman dari dari Gallup) yang mengatakan saat mencari karyawan baru Google (Perusahaan di bidang IT) dan EY (Perusahaan di bidang Keuangan) tidak menanyakan si calon lulusan mana dan bidangnya apa, tetapi bertanya punya kemampuan apa yang diyakini dapat ikut memajukan Google atau EY.  Clifton meyakini pola seperti itu akan diikuti oleh perusahaan lain, karena ke depan yang dipentingkan adalah kompetensi dan bukan ijasah.  Seperti juga disebutkan oleh Jorgen Muller (2012) dalam buku How Asia Can Shape the World, bahwa pendidikan ke depan tidak penting apa levelnya dan berapa lamanya, tetapi lulusannya bisa apa.

Seperti halnya ide de schooling society dari Ivan Illich, pertanyaan “apakah IKN masih memerlukan sekolah” itu untuk memancing seberapa kita berani mengubah pola sekolah dan universitas yang sekarang ini ada.  Sekolah dan universitas masih tetap diperlukan, tetapi sangat mungkin bukan yang seperti sekarang ini ada.  Jika MOOC (massive open online course) telah menjadi era baru dalam mengenal matakuliah dari berbagai universitas hebat di dunia, Coursera telah menjadi semacam Tokopedia tetapi yang ditawarkan matakuliah dari beberapa universitas ternama di dunia, apakah pola persekolahan termasuk pendidikan tinggi yang sekarang ini berjalan masih cock?  Bukankah anak muda dan bahkan orang dewasa akan belajar dari matakuliah (paket belajar) yang di MOOC atau yang ditawarkan oleh Coursera?

Sekitar 15 abad lalu, Ali bin Abi Thalib mengatakan “didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu”.  Seakan memperjelas ungkapan Ali bin Abi Thalib, Trilling dan Fadel mengatakan “Jika ingin merancang pendidikan, pikirkan seperti apa situasi dunia 20 tahun yang akan datang, saat anak sudah lulus dan terjun bekerja dan bermasyarakat. Berdasar itu, pikirkan kemampuan apa yang diperlukan untuk dapat sukses di masa itu. Kemampuan itulah yang harus dikembangkan melalui pendidikan”.   Pertanyaannya apakah pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi saat ini melakukan hal itu?  Artinya mengajarkan kemampuan yang yang diperlukan 20 tahun akan datang?  Dugaan saya tidak.

Saat ini isi pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi fragmented.  Siswa dan mahasiswa harus belajar matapelajaran/matakuliah secara terpisah, sesuai disiplin ilmunya.  Mereka tidak dipandu bagaimana mensintesakan berbagai bidang ilmu ilmu.  Ditambah lagi, seringkali guru dan dosen sangat membanggakan bidangnya, sehingga mendorong siswa/mahasiswa mendalami menekuni tanpa menggandengkan bidang lain.  Pada hal Garner (2011) telah mengatakan ke depan diperlukan perubahan mindset, dari disciplinary mind menjadi synthesizing mind, creative mind, respectful mind dan ethical mind.

Lantas seperti apa seharusnya persekolahan dan pendidikan tinggi ke depan?  Bukankah dengan perkembangan iptek yang sangat cepat dan bahkan seringkali discontinuous sangat sulit untuk memprediksi keadaan 20 tahun mendatang?  Karena sulit memprediksi keadaan 20 tahun mendatang, otomatis juga sulit memprediksi kemampuan yang diperlukan. Oleh karena itu, pendidikan harus menumbuhkembangkan kemampuan yang diyakini akan diperlukan dalam situasi apapun plus kemampuan dan kemauan untuk belajar cepat, beradapatsi dengan perkembangan baru.   Berarti pendidikan harus menekankan kepada capability dan life long learning. Pendidikan memberikan pondasi (basic skills) yang kokoh dan kemampuan belajar (learning to learn).   Semoga.

Sabtu, 02 Maret 2024

BERBAGI DAN MINTA MAAF

 Saya punya dua cucu yang sudah masuk TK sejak tahun 2022. Keduanya laki-laki.  Mereka tidak tinggal serumah, karena anak dari dua keluarga yang berbeda.  Rumah di kota yang lahannya sangat kecil, sehingga tidak punya tempat bermain yang leluasa.  Tinggal di perumahan yang pintu pagar selalu dikunci, sehingga anak-anak tidak bebas main di jalan atau main ke tetangga.

Semestinya mereka sudah masuk TK pada tahun 2021. Namun karena masa pandemi dan sekolah dilaksanakan secara online, kedua keluarga tersebut memutuskan menunda memasukkan ke KB atau TK dengan alasan di KB dan TK itu lebih banyak belajar sosialisasi dan pembiasaan ini dan itu.  Kalau online tentu tidak maksimal.  Jika nanti sekolah masuk beneran, orangtuanya takut anaknya ketularan covid. Apalagi anak seusia itu belum vaksin dan tentu tidak mudah kalau harus pakai masker, menjaga jarak dan sebagainya. 

Akhirnya mereka memutuskan “mendidik sendiri” dengan mencari berbagai referensi.  Karena harus belajar bersosialiasi dan masih takut ketemu dengan “orang luar”, ujung-ujungnya dua anak kecil itu sering dipertemukan di rumah saya, rumah kakeknya.  Saya akhirnya juga ikut mengamati dan membantu mengasuhnya.  Rumah kamipun seperti ruang belajar KB dan TK. Kursi dan perabotan dipinggirkan, barang-barang yang mudah pecah disembunyikan. Bola, balon, puzzle dari kayu dan berbagai permainan disediakan. Seringkali keduanya berlarian di halaman atau bahkan di jalan depan rumah.

Ibu dan kedua anak itu tampak sabar menemani mereka secara bergantian. Mengajari ini-itu, membiasakan ini-itu.  Pengalaman mereka ketika di TK tampaknya diterapkan, disamping dari bacaan.  Seringkali keduanya diputarkan video edukasi.  Tampaknya, dengan memutuskan menunda anak-anaknya ke KB/TK, kedua orangtuanya menyiapkan banyak hal.  Termasuk menyediakan alat bermain edukatif.

Saya yang mengamati jadi belajar banyak hal.  Ternyata berbagi (sharing) dan meminta maaf adalah dua hal yang paling tidak mudah ditumbuhkan.  Untuk mencuci tangan dan berdo’a sebelum makan, salinng membantu ketika mengerjakan sesuatu tampaknya lebih mudah.  Tetapi ketika harus berbagi mainan ternyata tidak mudah.  Kata “hayoo sharing” akhirnya menjadi teriakan yang paling sering terdengar dari ibunya. Sampai tulisan ini dibuat tampaknya kesadaran untuk sharing itu juga belum tumbuh maksimal.  Sudah mau sih, tetapi seringkali menunggu ibunya berteriak “hayoo sharing”.   Berbagi yang lebih mudah kalau membaca buku, lebih tepatnya melihat gambar cerita atau melihat video.  Tetapi untuk mainan tampaknya masih harus menunggu ibunya meminta berbagi.

Kami, kakek dan orangtua kedua anak itu sepakat anak-anak sejak diri harus dikenalkan bahwa ada barang-barang “milik bersama” yang penggunaannya harus berbagi. Istilah “milik bersama” penting ditumbuhkan sebagai bekal ketika dewasa agar tidak menggunakan fasilitas umum seenaknya. Agar mau memberi kesempatan orang lain juga menggunakan.  Agar saat menggunakan fasilitas umum selalu ingat juga ada orang lain yang menggunakan.  Saat pergi bersama, saya sering mengatakan kalau berkendara di jalan raya harus ingat bahwa ada orang lain yang juga berkendara, sehingga tidak boleh seenaknya. 

 Mengantri dapat menjadi salah satu contoh berperilaku “berbagi”.  Kita sering mengamati adanya orang yang menerobos saat yang lain mengantri. Itu sering terjadi di bandara, saat check in dan antri masuk pesawat.  Pada hal, orang naik pesawat tentunya cukup punya uang.  Artinya kekayaan dengan kesediaan untuk mengantri tidak selalu paralel.  Saya juga pernah melihat mobil bagus yang parkir di tempat penjemputan di bandara, sehingga menghalangi mobil lain.  Anak muda yang mobilnya terhalang menggerutu “kaya tapi nggak tahu aturan”.

Minta maaf ternyata juga tidak mudah untuk ditumbuhkan.  Pada hal, sudah sejak kecil keduanya dibiasakan saling merangkul ketika akan berpisah.  Biasanya ibunya meminta “hayoo big heart”.  Namun kalau membuat kesalahan, misalnya merebut mainan terus disuruh minta maaf sangat sulit. Biasanya harus berulang kali menyuruhnya.  Dan itu terjadi pada keduanya. Artinya kedua anak itu sulit untuk meminta maaf. Orangtua sering harus memaksa anaknya untuk meminta maaf saat merebut mainan saudaranya atau membuat kesalahan lain. Itu memerlukan kesabaran karena si anak lama sekali baru mau minta maaf.

Yang cukup menggembiarakan, kedua anak itu mudah untuk mengatakan terima kasih. Walapun harus diingatkan. Tetapi begitu diingatkan “bilang terima kasih dong”, biasanya langsung mengucapkan terima kasih. Biasanya mengucapkan terima kasih sambil nyengir.

Apakah kecenderungan sulit berbagi dan meminta maaf itu juga terjadi pada anak-anak kecil, jujur saya tidak tahu.  Apakah itu hanya terjadi pada cucu saya, saya juga tidak tahu. Pada hal, menurut saya “berbagai, minta maaf dan berterima kasih saat diberi sesuatu” merupakan tiga hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kita dapat menumbuhkan kebiasaan itu kepada anak-cucu kita.

Senin, 19 Februari 2024

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

 Kemarin sore saya ikut diskusi dengan beberapa teman, termasuk seorang teman dari NEASC, sebuah lembaga akreditasi di Amerika Serikat.  Sebenarnya topik diskusi tentang akreditasi sekolah oleh lembaga akreditasi luar negeri. Apakah sudah waktunya sekolah di Indonesia diakreditai oleh lembaga akreditasi dari luar negeri. Untuk tingkat perguruan tinggi, Kemendikbudristek mendorong agar universitas diakreditasi oleh lembaga akreditasi dari luar negeri.  Bahkan diberi bantuan biaya.  Mungkin maksudnya untuk mendorong perguruan tinggi meningkatkan mutu dan berani “keluar kendang”.  Namun untuk tingkat sekolah, seperti belum ada arah ke sana.  Semua sekolah diakreditasi oleh BAN PDM (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah) yang merupakan gabungan BAN S/M (BAN Sekolah/Madrasah) dan BAN Pendidikan Anak Usia Dini (BAN PAUD).  Pada hal sudah banyak sekolah “internasional” yang menggunakan kurikulur luar negeri, misalnya IB dan Cambridge. Bahkan sebelum dibubarkan karena landasan hukumnya di UU Sisdiknas dibatalkan, pemerintah merintis banyak RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).  Nah, setelah dibubarkan, banyak sekolah tersebut tetap melaksanakan pola pendidikannya dan berganti nama menjadi SPK (Sekolah dengan Perjanjian Kerjasama).

Ketika diskusi berlangsung, kemudian muncul bahasan Standar Nasional Pendidikan.  Pada awalnya teman dari Amerika itu bertanya, apakah Indonesia memiliki Standar Nasional Pendidikan, dan tentu kami yang dari Indonesia mengatakan “PUNYA” dan itu merupakan Permendikbud.  Jadi merupakan sebuah regulasi. Semua lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi harus mengikuti standar tersebut.  Bahasa kerennya, itu “standar minimal”, artinya boleh melebihi tetapi tidak boleh kurang dari itu.  Di kalangan sekolah, dikenal delapan standar pendidikan, yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi, Standar Proses, Standar Penilaian, STandar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana-Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Pengelolaan.  Untuk perguruan tinggi, dutambah Standar Penelitian dan Standar Pengabdian kepada Masyarakat.

Si Amerika kemudian bertanya, kira-kira “Kalau suatu perguruan tinggi diakreditasi oleh lembaga akreditasi dari luar Indonesia, standar mana yang digunakan?”.  Bukankah lembaga akreditasi lazimnya menggunakan standar tertentu, misalnya lembaga akreditasi dari negara-negara di Eropa, seperti ASIIN, AQAS menggunakan standar Eropa (European Standard).  Pada hal perguruan tinggi di Indonesia menggunakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia.  Apakah itu cocok?

Mencerna pertanyaan teman dari Amerika itu, saya jadi teringat pemahaman bahwa pendidikan itu pada dasarnya culture bound, siswa/mahasiswa berasal dari budaya tertentu dan nanti akan hidup dan bekerja di suatu masyarakat yang memiliki budaya tertentu pula.   Karena budaya satu daerah dengan daerah lainnya tidak tepat sama, maka konten maupun proses pembelajaran juga tidak harus tepat sama.  Saya juga teringat cerita Prof Usman Chatib Warsa, ketua LAM PT Kes bahwa WFME (World Federation of Medical Education) menyarankan agar akreditasi Prodi Kedokteran memasukan aspek budaya dalam instrumennya.  Saya juga teringat penjelasan Prof Willy Toisuta seorang tokoh pendidikan dan mantan rektor UKSW bahwa pendidikan di Papua banyak mengalami problem budaya, karena pola pendidikan yang diterapkan tidak sesuai dengan budaya masyarakat dimana para siswa berasal. Apa yang dibiasakan di sekolah dengan harapan menjadi budaya, berbeda dengan budaya di lingkungan rumah siswa.

Memang ada hal-hal yang sifat general, biasanya yang terkait dengan teori atau sains keras, seperti Matematika, Fisika dan sebagainya.  Tetapi yang terkait dengan bidang Sosial-Humaniora rasanya terkait erat dengan budaya setempat.  Bahkan penerapan dalam kehidupan dari sains keraspun juga terkait dengan budaya. Apalagi jika diingat bahwa pendidikan bukankah sekedar mempelajari ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi mengembangkan potensi siswa agar nantinya dapat menjadi manusia yang mandiri dan berperanserta dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.   Jadi tidak lepas dari apsek budaya.

Jadi bagaimana dengan sekolah/perguruan tinggi di Indonesia yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi dari negara lain?  Menurut saya, sebaiknya lembaga tersebut memiliki instrument khusus yang berbasis budaya Indonesia atau paling tidak memiliki suplemen untuk mengakomodari budaya Indonesia dan membuang hal-hal yang bersifat budaya negaranya. Tentu hal-hal yang sifatnya “core” sekolah/perguruan tinggi tetap digunakan. 

Rabu, 14 Februari 2024

ANTARA KONTEN DAN LEVEL BERPIKIR

Tanggal 1 Februari 2024, saya diundang oleh Prof Emil Salim untuk diskusi tentang pendidikan.  Hadir saat itu “tokoh-tokoh” pendidikan, antara lain Prof Fasli Jalal (mantan Wamendikbud), Prof Syawal Gultom (Mantan Dirjen GTK dan Rektor Unimed), Dr. Totok Suprayitno (mantan Ka Balitbangdikbud), Dr. Bahrul Hayat (mantan Sekjen Kemenag), Dr. Abdul Malik (mantan Sestama Kemenristek), Dr. Sudarno (tokoh Semeru Institute), dua orang dari BRIN, tiga orang dari Bank Dunia dan beberapa lagi yang saya tidak ingat.  Sekitar dua minggu sebelumnya, beliau sudah mengundang diskusi via daring.  Hari itu sebagai pendalaman apa yang dibahas saat diskusi secara daring.

Saya kagum dengan Prof Emil Salim, dengan usia hampir 94 tahun masih konsern dengan pendidikan anak bangsa.  Dengan usia itu beliau relatif sehat.  Walaupun menggunakan tongkat, berjalan masih tegak dan lancar.  Meskipun menggunakan alat bantu pendengaran tetapi masih dapat menangkap apa yang dibahas dalam diskusi dengan baik.  Pikirannya juga masih sangat tajam, mungkin lebih tajam dari saya.


Diskusi dimulai pukul 14.00 WIB dengan paparan Tim Bank Dunia yang menjelaskan “kemajuan” pendidikan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara.  Indonesia dianggap sukses meningkatkan angka partisipasi, artinya proporsi anak sekolah meningkat signifikan.  Tetapi Indonesia dianggap kurang berhasil meningkatkan mutu pendidikan. Dibanding negara lain, skor PISA anak-anak Indonesia tertinggal dengan negara tetangga.  Ketika terjadi pandemi covid-19 kemerosotan mutu belajar (learning losses) juga lebih besar dibanding rata-rata dunia.

Setelah Tim Bank Dunia pulang, Prof Emil Salim minta teman-teman tetap tinggal dan mendiskusikan dua hal. Pertama, mengapa mutu pendidikan kita tertinggal, paling tidak dilihat dari skor PISA.  Kedua, bagaimana pendidikan mengisi bonus demografi yang sekarang dialami, agar SDM muda berkualiasnya bagus, sehingga mampu mengisi kebutuhan pembangunan. Jangan sampai SDM muda tidak berkualitas dan malah menjadi beban negara.

Diskusi dipimpin oleh Prof Fasli Jalal dan setiap yang hadir diminta menyampaikan pemikirannya secara singkat, karena waktunya sangat singkat. Waktu diskusi lanjutan hanya sekitar 45 menit, karena diskusi harus berakhir pukut 17.00.  Saya dan Prof Syawal mendapat kesempatan di akhir, karena menurut Prof Fasli biar sekaligus dapat merespons gagasan teman-teman yang lain.

Merespons rendahnya skor PISA, saya menyampaikan karena pola pembelajaran kita kurang tepat dengan fokus ke konten dan kurang memperhatikan level berpikir.  Pada hal dengan bekal kemampuan berpikir yang baik atau dalam istilah sekarang berpikir tingkat tinggi, seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baru dan dapat mencerna (memahami) fenomena yang dihadapi.  Kalau menggunakan taksonomi Bloom, jika siswa mampu dan terbiasa berpikir analisis-sintesis, maka dia akan dapat mencerna dan memahami hal-hal baru yang belum dipelajari sebelumnya.  Itulah yang sekarang banyak dibicarakan agar anak-anak dilatih high order thinking (HOT).

Jika dicermati, soal-soal di PISA pada umumnya kontennya cukup sederhana dan terkait dengan kehidupan sehari-hari, tetapi menuntut kemampuan berpikir tinggi.  Biasanya menggunakan fenomena keseharian, dan peserta diminta menganalisinya.  Oleh karena itu wajar kalau anak-anak Indonesia tidak mampu menjawabnya dengan tepat, karena tidak terbiasa mengerjakan masalah seperti itu. Apa itu hanya untuk anak SD dan SMP kelas awal?  Ternyata tidak.  Prof Wasis bersama tim dari Unesa pernah menganalisis jawaban Ujian Nasional (UN) siswa SMA.  Hasilnya menunjukkan untuk soal yang berbasis hafalan dan penerapan rumus, umumnya siswa dapat mengerjakan. Namun pada soal yang sifatnya analisis-sintesis, misalnya memahami tabel dan kemudian mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari, banyak siswa yang gagal menjawabnya.

Memang mengajarkan atau lebih tepatnya mengembangkan kemampuan berpikir level tinggi memerlukan waktu lebih lama. Jika guru harus mengabiskan semua  materi ajar yang tercantum dalam kurikulum dan harus membimbingnya sampai kemampuan analisis-sintesis, mungkin waktunya tidak cukup.  Oleh karena itu kemudian guru mengambil pilihan, yang pentingnya materinya terselesaikan, walaupun kemampuan berpikir siswa tidak mencapai level analisis-sintesis.

Bagaimana praktik di negara maju?  Sepanjang yang saya tahu, di sana lebih mementingkan level berpikir daripada konten.  Argumentasinya, dengan kemampuan berpikir tinggi diyakini anak-anak akan mampu belajar secara mandiri untuk mempelajari hal-hal baru.  Memang pada awalnya pembelajaran, pembahasan materi berjalan lambat tetapi ketika siswa sudah mampu dan terbiasa berpikir analisisi-sintesis, pembelajaran dapat berjalan lebih cepat.

Berdasar kondisi tersebut, kita dihadapkan dua pilihan.  Konten materinya banyak, artinya siswa memperlajari banyak hal, tetapi kemampuan berpikirnya berada pada tingkat rendah. Atau materi yang dipelajari siswa tidak terlalu banyak, tetapi mereka mampu berpikit tingkat tinggi. Semoga kita punya pilihan yang tepat.

Senin, 12 Februari 2024

MENGAJAR VERSUS MENDIDIK

Tanggal 20 Desember 2023 di Jakarta, saya dengan beberapa teman dari LAMDIK bertemu dengan Prof. Sunaryo Kartadinata, duta besar RI untuk Uzbeckistan.  Kami ketemu dan diskusi dengan beliau bukan sebagai duta besar, tetapi dengan seorang profesor pendidikan yang sangat konsern dengan pendidikan guru. Saya mengenal beliau sudah sangat lama, bahkan pada tahun 2017 sama-sama memulai dengan serius mewujudkan berdirinya LAMDIK (Lembaga Akreditasi Mandiri Kependidikan), sebelum beliau berangkat bertugas sebagai Duta Besar RI di Uzbeckistan.

Dalam diskusi tersebut secara serius kami mendiskusikan arah pendidikan, khususnya proses pembelajaran yang menurut kami selama ini kurang tepat.  Yang banyak terjadi di sekolah adalah “pengajaran” dalam pengertian guru menyampaikan materi ajar, maksimal memandu siswa bagaimana memahami materi ajar sesuai matapelajaran yang diampunya.  Bahkan seorang teman yang hadir saat ini, guru menyampaikan materi ajar yang tercantum di buku paket.  Itu bukan salah, karena memang itulah yang dituntut kepada guru, yaitu siswa menguasai matapelajaran yang diajarkan.

Menurut Prof Sunaryo yang juga diamini dan difahami teman-teman yang hadir, pendidikan itu punya dua rujukan pokok. Pertama filosofi pendidikan, seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan itu upaya mengembangkan potensi anak (intelektualitas, karakter, fisik) secara terintegrasi sebagai bekal menjadi manusia yang sempurna.  Jadi tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan anak menjadi manusia yang sempurna, yang mampu mengatasi problem kehidupan yang dihadapi (mandiri/tidak tergantung orang lain) dan bahkan berperan aktif dalam kemajuan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.  Dengan demikian intelektualitas, karakter dan fisik (kebugaran dan keterampilan) itu adalah alat (tools), bukan tujuan. Kalau toh disebut tujuan hanyalah tujuan antara dan bukan tujuan akhir. Problem kita, seringkali kita dan para guru berhenti di tujuan antara, karena tidak menyadari adanya tujuan akhir tersebut.  Jika guru berhenti pada upaya agar siswa menguasai materi ajar, dan tidak memasalahkan apakah dia dapat menggunakannya untuk memecahkan problem kehidupan, maka itu baru sampai mengajar belum mendidik. Keterikatan dengan isi matapelajaran, seringkali membuat guru fokus kepada konten matapelajaran yang diampu dan lupa bahwa penguasaan matapelajaran tersebut adalah alat untuk memecahkan problem kehidupan. Nah, bagaimana menggunakan dalam kehidupan itu yang agaknya belum mendapat perhatian.

Kedua, pendidikan harus dimaknai sebagai implementasi pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.  Bangsa yang cerdas (secara intelektual, karakter, dan fisik) diharapkan dapat mewujudkan tujuan bernegara yang lain.  Jadi pendidikan merupakan modal untuk mewujudkan tujuan bernegara lainnya. Mungkin itu pula yang ada di benak Lee Kuan Yew (alm) pendiri Singapore yang di awal kemerdekaan mengatakan (for finally, just as a country is as good as its citizens, so its citizens are finally only as good as their teacher (pada akhirnya kemajuan suatu negara tergantung kepada penduduknya dan penduduknya tergantung kepada gurunya). Oleh karena itu salah satu standar kompetensi guru di Singapore yang tidak dimiliki oleh negara lain, adalah keharusan guru memahami filosofi kurikulum.  Mungkin dalam filosofi kurikulum Singapore ditekankan penumbuhkembangan sikap sebagai warganegara Singapore.

 

Lantas apa kaitannya dengan perbedaan mengajar dan mendidik?  Mengajar biasanya dimaknai membimbing siswa untuk menguasai materi ajar sesuai dengan tuntutan kurikulum. Tujuan akhir mengajar adalah penguasaan materi ajar.  Sedangkan tujuan akhir pendidikan, sebagaimana disebutkan di atas, secara filosofis adalah tumbuhnya manusia yang sempurna, yang dapat memecahkan masalah kehidupan dan menjadi bagian bangsa yang cerdas.

Sebenarnya dalam kurikulum ada SKL (Standar Kompetensi Lulusan) dan Standar Isi untuk setiap matapelajaran. Sayangnya keduanya seakan terpisah dan sangat sedikit kalau tidak boleh mengatakan tidak ada, guru yang membaca SKL kemudian mengaitkannya dengan materi pelajaran yang diampunya. Pada hal SKL itulah yang sedikit-banyak memandu guru melaksanakan pendidikan, karena di SKL itu dinyatakan kompetensi siswa saat lulus, yang mengacu kepada tujuan pendidikan nasional.

Jika direnungkan secara mendalam, dalam SKL itu terkandung makna integrasi semua matapelajaran untuk membentuk kompetensi lulusan. Sayangnya dalam kurikulum juga tidak ada bagian yang mengintegrasikan matapelajaran menjadi satu keutuhan (trans-disiplin) dan kemudian mengggunakan untuk memecahkan problem sehari-hari.  Problem based learning dan project based learning yang akhir-akhir ini digunakan juga masih berbasis matapelajaran secara terpisah.  Pada hal biasanya pemecahkan masalah dalam kehidupan selalu memerlukan trans-disiplin. Semoga.

Sabtu, 10 Februari 2024

MAJU KE MASA LAMPAU

 Judul di atas diambil dari istilah arah pendidikan yang diajukan oleh Hadir Bagir pada Marginalia Tempo Edisi 17 November – 3 Desember 2023, dengan judul Pendidikan Integral.  Pada artikel itu Haidar Bagir menyampaikan dengan kemajuan AI (artificial intelligence) diduga pada saatnya akan mampu memproduksi AI lain yang lebih dahsyat dan itu sangat berbahaya jika kemudian jatuh ke tangan yang mau menaklukkan bangsa-bangsa. Oleh karena itu Haidar Bagir mengajukan model pendidikan yang disebutkan “Pendidikan Integral” yang diyakini mampu mengembangkan kemampuan yang tidak dapat dilakukan oleh AI super canggih sekaligus.

Pendidikan Integral menerapkan prinsip pendidikan yang sebenarnya diterapkan di masa lampau, sehingga disebut “maju ke masa lampau”.  Konsep tersebut sangat mirip dengan konsep Life based learning yang diajukan oleh Staron (2011) dan Pendidikan Kecakapan Hidup yang dikembangkan oleh Kemdikbud (2003).  Artinya dalam pendidikan yang perlu menjadi penekanan adalah kemampuan memecahkan masalah kehidupan secara kreatif (solving problems creatively).  Dengan demikian kedudukan matapelajaran yang selama ini menjadi “sesuatu yang harus dikuasai” menjadi alat.  Hanya dipelajari jika diperlukan. 

Karena menekankan pada kreativitas maka imajinasi menjadi sangat penting untuk ditumbuhkembangkan.  Seperti yang disampaikan oleh Einstein “imagination is more powerful than knowledge”.  Memang pengalaman menunjukkan pemecahkan masalah atau temuan-temuan baru seringkali dimulai dari imajinasi, baru kemujian imajinasi itu yang dicoba dibuktikan baik secara “trial and error” atau diverifikasi secara akademik.

Untuk maksud di atas, Haidar Bagir mangusulkan agar pendidikan menumbuhkembangkan “daya luhur adi-indrawi dan suprarasional atau supralogis yang tidak dapat dilakukan oleh AI.  Mungkin yang dimaksudkan adi-indrawi akan sesuatu yang “belum dapat dilihat dan atau diukur dengan indra biasa”. Disebut dengan suprarasional atau supralogis karena tidak dapat difahami jika menggunakan logika yang saat ini ada, karena logika bisanya didasarkan apa-apa yang dapat diamani. Mungkin sejalan atau paing tidak dapat menerima konsep metafisika, yang mengatakan kebenaran tidak terbatas dari apa yang dapat diamati dan dibuktikan secara fisik.  Oleh karena itu Haidar Bagir mengatakan imajinasi yang dikembangkan bersifat spiritual-transendental atau intermediate-world.

Hal-hal yang terkait dengan supralogis dan spiritual-transendental akan sangat pribadi, yang sangat berbeda antara satu anak dengan lainnya.  Oleh karena itu pendidikan mengarah kepada individual teaching-learning dan kurikulum berdiferensiasi.  Di sekolah, walaupun dalam satu kelas, siswa dapat mempelajari hal-hal yang berbeda. Paling tidak, implementasi dan tingkatannya yang tidak sama.  Dengan demikian pembelajaran akan lebih mirip “warung padang” atau “warung tegal” bukan “warung soto” atau “warung rawon”.  Di warung padang dan warung tegal, pembeli memilih lauk sesuai yang diinginkan, tidak dipaksa menerima apa yang disuguhkan oleh penjual seperti warung soto dan warung rawon.  Jadi siswa dapat memilih apa yang dipelajari atau paling tidak apa yang dikerjakan, yang berbeda dengan temannya, walaupun tetap untuk matapelajaran yang sama.

Karena arahnya untuk menumbuhkembangkan kemampuan memecahkan masalah scara kreatif-imajinatif, maka pola pembelajaran pemecahan masalah (problem based learning) atau pembelajaran berbasis proyek (project based learning) yang dikaitkan dengan problem kehidupan sehari-hari (life based learning) sangat cocok.  Kepada siswa, dapat individual atau kelompok, diberikan masalah untuk dipecahkan dengan menggunakan “alat” teori/konsep matapelajaran tertentu.  Dapat juga menggunakan lintas matapelajaran, artinya pemecahkan masalah tersebut menggunakan lebih satu matapelajaran.  Toh pada dasarnya matapelajaran (disiplin ilmu) saling terkait. Dalam mengerjakan tugas tersebut, siswa didorong berpikir bebas dan bahkan dibolehkan berimajinasi yang di luar dari teori/konsep yang selama ini ada.  Jika alternatif terakhir yang dipilih, maka disamping ada matapelajaran seperti yang selama ini diterapkan, kurikulum memiliki proyek-proyek lintas matapelajaran yang harus dikerjakan oleh siswa.

Walaupun tampak sederhana, pemikiran tersebut memerlukan persiapan yang serius dan sebaiknya dilakukan melalui pilot proyek dan tidak langsung diterapkan secara masal. Mengapa? Karena memerlukan perubahan paradigma berpikir, bagi guru, perancang dan pemilik kebijakan pendidikan.  Semoga kita semua, khususnya yang merasa menangani pendidikan mau dan bisa berubah.