Minggu, 20 September 2020

BLENDED LEARNING AKAN MENJADI TREND DI ERA PASCA COVID

 Ketika memberikan paparan tentang pembelajaran di era pandemic covid-19, saya selalu mengatakan jangan-jangan covid-19 itu bagian dari Allah swt memberi pelajaran kepada kaum pendidik. Bukankah dalam bidang lain penggunaan teknologi digital (IT) telah kira rasakan.  Kita sudah hampir tidak pernah mengambil uang ke bank, karena lebih enak ke ATM. Bahkan akhir-akhir ini mengirim ke suadara atau membayar sesuatu kita menggunakan mobile banking. Ketika bepergian naik kereta kita membeli tiket online dan chek in di stasiun juga menggunakan mesin chek in.  Majalah, jurnal dan buku elektronik (e-magazine, e-journal, e-book) telah kita unduh dan kita baca.  Pertanyaannya, mengapa kita belum mencoba pembelajaran online (e-instruction)?

Setelah selama 6 bulan kita terpaksa melaksanakan pembelajaran onlie, tampaknya guru, dosen, siswa, mahasiswa juga mulai terbiasa.  Kita juga terpaksa melakukan rapat-rapat secara online. Bahwa banyak kendala dan banyak kekurangan kita harus mengakui. Namun kita juga harus mengakui ada beberapa manfaat yang kita petik dalam melaksanaan pembeajaran online dan rapat online selama enam bulan ini.

Tidak semua topik/kompetensi dapat dilaksanakan dengan pembelajaran online.  Ada yang bisa dengan mudah, ada yang bisa tetapi tidak mudah, dan ada yang rasanya tidak mungkin dilakukan secara online.  Teman-teman guru dan dosen tentu dapat merasakan itu.  Hal-hal yang terkait dengan aspek kognitif dan levelnya informatif, guru dapat memandu siswa mencariya di berbagai sumber online. Mbah google adalah salah satu “penunjuk jalannya”.  Namun ketika mulai melakukan analisis terhadap informasi tersebut, tampaknya pendampingan secara intensif sangat diperlukan.  Penerapan suatu rumus tampaknya juga memerlukan pendampingan.  Yang rasanya sulit untuk dilaksanakan secara onlie adalah yang terkait dengan skills. Yang sederhana dan tidak berbahaya masih bisa walaupun tidak mudah.  Namun jika gerakan atau keterampilan itu kompleks dan atau berbahaya akan sangat sulit, sehingga memerlukan pendampingan secara tatap muka.

Beberapa aspek karakter dan yang terkait dengan “rasa” memerlukan keteladanan sehingga interaksi secara fisikal diperlukan.  Memang bisa dicontohkan melalui video tetapi dalam tahap tertentu, keteladanan secara nyata sangat diperlukan.  Apalagi kita telah faham bahwa penumbuhkan karakter itu memerlukan waktu lama dan konsistensi dalam kehidupan keseharian.

Di sisi lain, pembelajaran online ternyata juga memberikan dampak positif. Siswa yang biasanya jarang bertanya ketika pembelajaran dilakukan secara tatap muka, tiba-tiba menjadi aktif bertanya dan menyampaikan pendapat.  Siswa menjadi terlatih mencari informasi.  Jika ketika tatap muka, guru cenderung memberikan informasi secara ceramah, saat pembelajaran online siswa terbiasa mencarinya dari sumber-sumber di dunia maya melalui internet.  Rapat secara online ternyata juga efetif, karena peserta dapat mengikuti dari mana saja.  Peserta rapat juga menjadi lebih aktif.  Bahkan akhir-akhir ini seminar online seakan mewabah dan banyak yang gratis.

Pertanyaannya, apakah ketika pandemic covid-19 dan sekolah telah “dibuka” kembali, apakah pembelajaran online akan hilang dan pola pembelajaran kembali seperti dulu?  Sebelum  mencoba melakukan analisis,  ijinkan saya bercerita dahulu.  Beberapa minggu lalu saya ketemu dan ngobrol dengan teman yang menekuni dunia marketing.  Beliau mengatakan nanti mall itu akan berubah fungsi.  Bukan tempat orang jual-beli, tetapi tempat orang jalan-jalan untuk mencuci mata dan sekaligus sebagai show room. Lantas, dimana jual-belinya?  Online.  Jadi orang ke mall untuk melihat barang, melihat harga dan jika perlu mencobanya. Tetapi tidak membeli. Setelah mengetahui barang yang dirasa cocok dan jalan-jalan juga sudah puas, akan pulang untuk membelinya secara online dari rumah.  Mengapa?  Karena harganya lebih murah.  Prediksi seperti itu juga sudah disadari oleh para pengusaha, sehingga disamping membuka gerai di mall mereka juga menyediakan layanan penjualan online.

Apa semua barang aman diberi secara online?  Ternyata tidak.  Kalau barang yang dibeli suatu produk yang standar, misalnya sepatu merk tertentu. Baju merk tertentu, katanya aman dibeli secara online.  Tetapi untuk barang-barang yang khas, misalnya baju batik, perhiasan sejenis emas yang tidak memiliki standar tertentu, pembelian sebaiknya dilakukan secara langsung.

Bagaimana dengan gofood?  Apakah rumah makan akan sepi setelah pandemic berakhi?  Menurut teman saya tadi, tidak.  Namun berubah.  Orang yang ke rumah makan atau warung adalah mereka yang ingin makan sambil santai bersama dengan teman-teman.  Di samping itu, makanan seringkali “berubah rasa” ketika dibawa pulang.  Oleh karena itu, rumah makan tidak akan banyak tergerus seperti gerai di mall yang menjual barang non makanan matang. Apa gofood atau sejenisnya akan berhenti?  Juga tidak.  Orang yang ingin makan karena lapar bukan ingin santai, apalagi malas keluar rumah atau keluar kantor, akan tetapi menggunakan gofood. Jadi keduanya akan tetap jalan.

Nah sekolah, bagaimana dengan proses pembelajaran?  Saya meyakini, walaupun nanti pandemic sudah berakhir, pembelajaran online akan tetap berjalan.  Tidak sendirian, tetapi berpadu dengan “pembelajaran tradisional”.  Itulah yan disebut blended learning, atau sederhananya campuran antara pembelajaran online dengan tatap muka.  Bukan berarti siswa tidak datang ke sekolah.  Bisa saja siswa berada di dalam kelas, tetapi mereka sedang mempelajari materi secara online.  Bukan berarti tidak ada guru.  Guru ada, tetapi fungsinya membantu jika siswa mengalami kesulitan. Bisa saja setelah beberapa saat siswa belajar online dilanjutkan latihan memecahkan masalah yang dilakukan secara interaktif langsung bersama guru.  Alias seperti yang dahulu dilakukan.

Nah yang sekarang perlu dipikirkan dan disiapkan adalah mana bagian yang dapat atau lebih efektif dilakukan secara online dan mana yang harus secara interaksi tatap muka dengan guru. Terkait dengan online atau tatap muka, mungkin aspek kognitif, afektif dan psikomotor memerlukan cara yang tidak tepat sama.  Mungkin juga level SD, SMP, SMA/SMK, dan perguruan tinggi juga memerlukan pendekatan yang berbeda.   Semua ini masih baru dan belum ada yang punya pengalaman.  Sebaiknya semua guru, dosen apalagi mereka yang ahli pembelajaran melakukan inovasi untuk menyongsong era baru, era blended learning. Semoga.