Minggu, 23 April 2023

SILN DI MAKKAH

SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) adalah “sekolah negeri” atau sekolah milik pemerintah yang berada di luar negeri untuk memberi kesempatan anak-anak Indonesia yang ikut orangtuanya tinggal di luar negeri.  Salah satunya di Makkah, sehingga dalam sehari-hari disebut SIM (Sekolah Indonesia Makkah).  Di Saudi Arabia ada tiga SILN yaitu SIM, SIJ (Sekolah Indonesia di Jeddah) dan SIR (Sekolah Indonesia di Riyadh).

Sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, saya berkesempatan melakukan akreditasi ke SIM dengan Pak Abdul Malik, khususnya untuk jenjang SMA.  Sebenarnya dua tahun lalu saya sudah pernah melakukan akreditasi ke SIM tetapi dilakukan secara daring, karena waktu itu sedang terjadi pandemi covid 19.  Tahun  lalu dijadwalkan lagi tetapi karena sesuatu hal tidak terlaksana dan baru tahun ini terlaksana.  Pelaksanaannya pada bulan Ramadhan, sehingga teman-teman berkomentar “pas sekali, karena dapat kesempatan umrah juga di bulan Ramadhan”.

Sebagaimana seharusnya, sebelum berangkat saya sudah membaca data-data tentang SIM, khususnya SMA.  Apalagi sudah melakukan akreditasi secara daring dua tahun lalu.  Namun begitu sampai di Makkah dan diskusi dengan para pimpinan sekolah, guru, siswa dan wali murid saya jadi sangat terkesan, karena SIM didirikan dengan penuh perjuangan.  Oleh karena itu, secara kelakar saya menyebut “seharusnya SIM ditambah huruf P di belakangnya, sehingga menjadi SIMP, kependekan dari Sekolah Indonesia Makkah Perjuangan”.

Mengapa demikian?  Ternyata SIM apa awalnya didirikan oleh komunitas masyarakat Indonesia yang tinggal di Makkah, dengan lembaga Ma’arif.  Bukan oleh Pemerintah Indonesia seperti SILN pada umumnya.  Pendirinya Ma’arif, tetapi secara organisasi bukan merupakan bagian dari Ma’arif yang ada di Indonesia.  Mungkin secara pribadi, para pengurus Ma’arif pendiri SIM tersebut juga warga NU, tetapi secara organisasi Ma’arif Makkah tersebut berdiri sendiri. Komunitas orang Indonesia yang merasa anak-anaknya harus sekolah, sementara tidak mudah untuk bersekolah di sekolah lokal, membuat mereka  bertekad mendirikan “sekolah Indonesia”/

Pak Sinsin, salah satu guru senior dan pendiri SIM menceritakan bagaimana perjuangan awal pendirian SIM.  Bahkan sempat “ditangkap” oleh pihak keamanan di Makkah karena dicurigai.  Dalam perkembangannya Ma’arif Makkah kerepotan mengurus SIM dan diserahkan kepada Pemerintah.  Oleh karena itu saat ini SIM menjadi “SILN” sebagaimana SILN SILN lainnya.

Berbeda dengan SILN di negara lain yang biasanya menjadi tempat sekolah anak-anak para diplomat atau ekspatriat Indonesia, SIM dan konon juga SIJ dan SIR merupakan tempat anak-anak TKI (tenaga kerja Indonesia) yang berkerja di Saudi Arabia.  Nah karena sebagian besar TKI bukankah tenaga profesional dengan gaji besar sebagaimana ekspatriat, maka SIM tidak dapat menggantungkan keuangan dari hanya sumbangan orangtua siswa.  Mungkin itu juga yang menyebabkan Ma’arif Makkah akhirnya menyerahkan SIM ke Pemerintah.

 Sebagai kota suci, di Makkah ada peraturan khusus yang sangat ketat, sehingga pengelolaan SIM tidak dapat dilakukan secara leluasa dan itulah tantangan Pemerintah Indonesia. Beberapa aturan yang harus dipecahkan antara lainL Pertama, di kota Makkah tidak boleh ada sekolah negeri dari negara lain. Oleh karena itu secara hukum Saudi Arabia, SIM merupakan “sekolah swasta” dan karena itu “dibawah pembinaan sekolah swasta lokal”.  Jadi SIM memiliki “induk” sekolah negeri lokal dan untuk itu harus membayar cukup besar kepada sekolah induknya. Selain itu sebagai sekolah swasta, SIM diawasi secara ketat oleh “Dinas Pendidikan setempat”.  Pada saat kami datang, SIM belum dapat melaksanakan pembelajaran luring karena baru menambah ruangan dan menurut inspeksi “Dinas Pendidikan setempat” beberapa ruang harus dicat kembali dahulu sebelum melaksanakan pembelajaran luring.  Siswa lak-laki dan perempuan juga harus dipisah, sehingga SIM memiliki “dua gedung”, walaupun “menempel” satu dengan lainnya. Guru laki2 tidak boleh mengajar siswa perempuan dan juga sebaliknya.

Karena diserahkan ke Pemerintah, maka di mata Pemerintah Indonesia SIM adalah SILN (sekolah negeri) sebagaimana SILN lainnya. Namun karena secara formal tidak boleh SILN di Makkah, maka SIM seakan-akan menjadi bagian dari SIJ.  Kepala sekolahnya juga dirangkap oleh kepala sekolah SIJ (Sutikno, SPd, MPd). Namun karena jarak Makkah-Jeddah cukup jauh, sehingga tidak mungkin Pak Sutikno bolak-balik Jeddah-Makkah, maka sehari-hari yang menjadi “kepala SIM” adalah Pak Mubarak, LC dan secara formal disebut wakil kepala sekolah senior, karena di bawah Pak Mubarak ada wakil kepala sekolah seperti lazimnya di Indonesia.  Jadi manajemen di SIM sangat khas. Sehari-hari dikelola secara otonom oleh manajemen dibawah kepemimpinan Pak Mubarak, secara hukum Saudi Arabia dibawah naungan sekolah lokal dan punya kepala sekolah dirangkap kepala sekolah induknya, dan secara hukum Indonesia merupakan bagian SIJ dan kepala sekolahnya dirangkap oleh kepala SIJ.

Akibat dari kebijakan Pemerintah Arab Saudi tersebut, sampai saat ini SIM tidak punya guru negeri sebagaimana SILN lainnya.  Memang saat ini ada dua orang tetapi status resminya guru SIJ yang diperbantukan di SIM.  Guru lainnya semua “guru tetap SIM” semacam “guru tetap Yayasan” di sekolah swasta di Indonesia.  Oleh karena itu, SIM memerlukan biaya operasional cukup besar untuk menggaji guru. Apalagi jumlah siswa per rombel kecil, akibat siswa laki-laki dan perempuan harus dipisah.

Kedua, di kota suci Makkah tidak diijinkan pemerintah negara lain memiliki properti.  Akibatnya sampai saat ini SIM tidak memilki gedung sendiri.  Gedung yang digunakan merupakan sewa dan sangat mungkin suatu saat tidak dapat diperpanjang.  Nah, gedung yang disewakan umumnya gedung yang dirancang untuk perumahan (apartmen), sehingga ukuran ruangannya kecil-kecil.  Untungnya jumlah setiap rombel di SIM sedikit, maksimal 11 orang, sehingga ruang dengan ukuran sekitar 4 x 4 m masih memadai untuk ruang kelas.

Gedung SIM yang saat ini digunakan tidak memiliki halaman, sedangkan aturan di Makkah siswa tidak boleh berada di luar sekolah.  Akibatnya siswa tidak memiliki lapangan untuk olahraga, upacara dan acara sejenisnya.  Semua kegiatan seperti itu terpaksa di lakukan di lantai basement yang tentu luasnya sangat terbatas.

Dua masalah pokok tersebut yang dicarikan jalan keluar, agar siswa di SIM dapat belajar secara optimal sebagaimana SILN di negara lain.  Saat bertemu dan berdiskusi dengan Duta Besar RI untuk Saudi Arabia, Sekjen Kemdikbud, Sekjen Kemlu dan Sekretaris Utama KemSesneg, kami sampaikan bahwa cara-cara tradisional (formal) tampaknya sulit dan harus dicari terobosan khusus.  Mengapa demikian?  Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, termasuk anak-anak Indonesia yang berada di Makkah.  Mereka pada umumnya berasal dari keluarga menengah ke bawah, sehingga tidak dapat mengatasinya secara individual. Oleh karena itu kehadiran negara menjadi tumpuan bagi mereka. Semoga.

Minggu, 09 April 2023

NAIK PESAWAT, BELI SATU TIKET DAPAT TIGA KURSI

Tanggal 2 April 2023 saya mendapat tugas ke Saudi Arabia untuk melakukan akreditasi Sekolah Indonesia Makkah (SIM).  Tiket penerbangan dibelikan oleh Koperasi yang ada di Kantor Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah (BAN S/M) Jakarta.  Saya bertugas bersama Pak Malik (Dr. Ir. Abdul Malik, MA).  Kami sepakat naik Garuda yang berangkat dari Jakarta pukul 00.30 tengah malam.  Jadi tanggal 1 April lewat 30 menit.

Mengapa memilih penerbangan itu?  Ya, alasan klasiknya nasionalisme biar dapat membantu “membesarkan” Garuda, sebuah maskapai BUMN yang “baru sakit” dan sampai sekarang belum pulih. Kedua, dengan berangkat tengah malam, pukul 05.45 sudah sampai Jeddah, dengan harapan hari itu yang kebetulan hari minggu dapat umrah, sebelum besuk paginya (Senin tgl 3 April 2023) mulai bertugas. Jadi ngiras-ngirus, ya bertugas tetapi juga dapat umrah.  Teman-teman berkomentar umrah gratis alias umrah dibayari negara.

Ketika sampai bandara dan ingin check in di counter Garuda, saya diberitahu petugasnya bahwa saya terbang dengan Saudi Arabia Air, joint operation dengan Garuda.  Kaget juga, karena saya tidak memperhatikan kode penerbangan pesawatnya.  Setelah saya melihat tiket ternyata betul, kode penerbangangannya 4 angka. Tidak 3 angka seperti Garuda.  Saya diantar oleh isteri dan anak-cucu (Bim-Lala-Freya dan Bragi) pindah ke counter Saudi Air.  Check in lancar dan saya datang awal, sehingga dapat giliran pertama. Saya bersama Gus Malik (begitu saya biasa memanggil Pak Malik), minta diberi kursi yang di lorong, agar mudah kalau perlu ke toilet.Juga kalau ada yang depannya longgar.  Alhamdulillah, dipenuhi petugas. Saya dapat kuri 54 D dan Gus Malik 54 E.

Saat biarding saya kurang perhatian, yang jelas sangat cepat.  Nah begitu pintu pesawat ditutup, pramugari mengumumkan bahwa pesawat kosong dan penumpang boleh pindah ke kursi lain.  Kesempatan baik. Saya segera pindah ke kursi 53 C, dengan harapan kursi 53 A dan 53 B tidak terisi, sehingga nanti bisa tidur selama penerbangan.  Alhamdulillah, kesampaian.  Saya dapat tidur selonjor dengan nyenyak di 3 kursi pesawat.  Coba tidak dapat seperti itu, tentu capai karena terbang selama sembilan jam non stop.

Juga ada yang menarik terbang dengan Saudi Air.  Pramugari dan pramugaranya orang Indonesia. Dari wajahnya hanya seorang pramugari yang mungkin orang Arab dan keturunan Arab, tetapi yang bersangkutan berbahasa Indonesia fasih layaknya orang Indonesia. Makanan yang disajikan dengan masakan Indonesia. Mungkin karena take off di Jakarta atau karena sebagian besar penumpangnya orang Indonesia.

Tanggal 8 April 2023 pukul 00.30 saya pulang dengan pesawat Garuda.  Saya pulang sendirian, karena Pak Malik ke Madinah dahulu sebelum balik ke Indonesia.  Saya cek di tiket tertulis kode penerbangan GA 983, berarti  pulang dengan pesawat Garuda.  Saya dapat info dari Pak Mubarak, kalau Garuda di terminal Haji beda dengan Saudi Air yang di terminal internasional.  Alhamdulillah Pak Mubarak (wakil kepala SIM) mengantarkan, karena menurut informasi di terminal Haji agak ruwet dan jarang ada taksi.  Apalagi menurut informasi teman yang visitasi ke Riyadh dan sudah pulang lebih dahulu pesawat Garuda penuh dengan jamaah umrah.

Saya datang ke terminal Haji sekitar pukul 21.30 dan kaget karena yang antri check in sangat panjang dan sebagaian besar jamaah umrah dengan koper besar-besar.  Saya punya GFF platinum dan dibantu pak Mubarak yang lancar berbahasa Arab, sehingga dapat chek di jalur khusus dan mendapat kursi nomor 22 D.

Ketika boarding kurang teratur karena jamaah tidak mau antre satu-satu. Jumlahnya juga sangat banyak. Saya tidak kaget karena sudah mengalami kejadian seperti itu ketika umrah.  Mungkin sebagian jamaah belum terbiasa naik pesawat, sehingga takut tidak kebagian tempat kalau dapat antrean di belakang.

Setelah semua masuk dan pintu pesawat menjelang ditutup, saya melihat kursi 22 A,B,C kosong. Demikian pula kuri 21 A,B,C, sehingga saya bertanya ke pramugara boleh saya pindah ke 22 C. Alhamdulillah boleh dan sampai pesawat mulai bergerak tidak ada penumpang yang pindah ke 22 A dan 22 B, sehingga akhirnya saya dapat tidur selonjor di atas 3 kursi pesawat, seperti berangkatnya.  Alhamdulillah.  Jadi tebang Jakarta-Jeddah pergi-pulang, saya dapat tidur nyenyak di atas 3 kursi.  Pada hal hanya memberi 1 kursi dan itupun kelas ekonomi.

Penerbangan berjalan lancar dan alhamdulillah landing di bandara Cengkareng pukul 14/06 WIB. Ketika membagi makanan setelah peswat terbang dengan stabil, pramugari mengumumkan makanan tersebut sebagai makan saur bagi yang berpuasa.  Pramugari juga mengumumkan saat insyak tiba dan saat waktunya sholat subuh dan dhuhur tiba.