Jumat, 31 Januari 2020

Catatan Umroh 1: Semoga Isi Bukan Bungkus


Selasa tanggal 12 Januari 2020 kemarin saya bersama isteri, kakak dan adik berangkat umroh bersama rombongan Safira.  Sesuai dengan panduan, jama’ah sudah harus berkumpul di Terminal 1 Bandara Juanda pukul 07.00 pagi.  Ketika tiba di bandara saya bingung ternyata ada beberapa rombongan dengan seragam yang berbeda-beda.  Minimal ada   empat rombongan jamaah umroh, kaena ada empat jenis seragam.  Yang saya tahu juga ada logo dan tulisan yang di tas yang dibawa ada rombongan Safira, rombongan Al Falah, rombongan Qiswah. Yang satunya lagi tidak terbaca.

Setelah dibriefing singkat dan mendapatkan identitas berupa kartu yang dikalungkan, kami-rombongan Safira diminta masuk ke ruang tunggu untuk sarapan pagi. Tampaknya lounge telah dibooking oleh Safira.  Buktinya hampir tidak ada tamu lain selain rombongan Safira yang konon berjumlah 140 orang. Dari sajian makanan tampaknya sudah dipesan sesuai dengan “harga”, sehingga tidak sebanyak seperti lazimnya di sebuah lounge bandara.  Sederhana, ada nasi soto, bubur kacang ijo, tahu petis, roti dan tentu saja kopi dan teh.  Cukup untuk sarapan pagi.

Sekitar jam 10, diumumkan agar jama’ah mulai pemeriksaan imigrasi karena pesawat akan take off  pukul 11.50. Saat masuk, pertama kali pemeriksaan dokumen oleh petugas kesehatan untuk memastikan apakan jama’ah sudah vaksin meningitis.  Setelah itu pemeriksaan imigrasi dan kemudian jama’ah dipersilahkan duduk di ruang tunggu, menunggu panggilan boarding.  Nah, saat itu saya tertegun.  Betapa banyaknya jama’ah umroh. Kami akan terbang langsung ke Madinah dengan Saudi Air dengan pesawat  Bouing 747 seri 400 dengan kapasitas 545 orang.  Dan ternyata setelah di pesawat saya lihat penuh. Tentu saya yang terbang di kelas ekonomi tidak dapat melihat penuh tidaknya di bagian bisnis.  Namun dengan kondisi seperti itu, saya yakin jumlah penumpang tidak kurang dari 530 orang, dengan asumsi kursi bisnis banyak yang kosong.  Pada hal semua yang ada di kelas ekonomi adalah jama’ah umroh. 


Sambil menunggu boarding saya terdorong mencari data berapa jumlah jama’ah umroh dari Indonesia per tahun.  Menurut data di Google, data tahun 2016 jumlah jama’ah umroh dari Indonesia 700.000 orang dan naik sekitar 10 % setiap tahun.  Kalau data tersebut benar, tahun 2020 akan mencapai 1 juta orang.  Teman saya bilang lebih dari itu, dan menurutnya bisa mencapai 1,5 juta orang.  Saya fikir juga masuk akal, karena saya yang setiap minggu terbang ke Jakarta melalui Terminal 2 Juanda, juga selalu ketemu jama’ah umroh yang mungkin menggunakan penerbangan lain.  Jadi betapa besar jama’ah umroh kita.

Biaya umroh memang tidak sama, tetapi tidak ada yang dibawah 22 juta untuk periode 10 hari dan bahkan ada yang mencapai 32 juta. Dengan demikian tentu hanya yang punya tabungan cukup yang dapat berangkat umroh.  Apa yang menyebabkan begitu banyak orang yang berumroh? Apakah ghiroh agama orang Islam naik, sehingga terdorong untuk umroh?  Atau tingkat ekonomi masyarakat muslim naik, sehingga mampu melaksanakan umroh?  Atau gabungan dari keduanya? Atau ada faktor lain?  Pertanyaan itu yang berkecamuk di benak saya sepanjang penerbangan Surabaya-Madinah.
Sebagai bangsa yang religius tentu fenomena itu sangat menggembirakan. Katakanlah ekonomi kita membaik, namun kalau ghiroh keagamaan tidak baik tentu orang tidak begitu mudah menggunakan uang 25 juta untuk umroh. Walaupun demikian, masih terbersit pertanyaan adakah unsur show off atau unsur mengikuti trend pada fenomena tersebut?  Semoga tidak.  Cak Nun (Ehma Ainun Najib) pernah berseloroh ada orang yang dalam ibadah lebih mementingkan bungkus dari isinya.  Dalam konteks fenomena umroh tersebut. Moga-moga jama’ah berangkat umroh bukan karena mengikuti trend, bukan karena ingin show off atau sejenis itu, tetapi benar-benar ingin ibadah.  Semoga didorong oleh isi dan bukan bungkus.

Mengapa saya mempertanyakan itu?  Bukankah itu berarti prasangka kurang baik?  Apakah itu tidak berarti meragukan ketulusan orang dalam beribadah? Semuanya betul.  Namun ada teman saya yang mengatakan ada orang yang keberagamaannya cenderung mengikuti trend dan baru sampai kulitnya.  Teman tadi memberikan contoh, banyak orang yang berpakaian muslim dan muslimah tetapi perilakunya masih dipertanyakan.  Mengapa?  Karena berpakaian muslim dan muslimah sekarang menjadi trend, bahkan konon iklan kosmetik yang membawa simbul Islam (halal) telah menjadi trend setter. Masih banyak contoh lain yang diberikan teman tadi.

Walaupun dapat memahami penjelasan teman tadi dan juga mempertanyakan fenomena banyaknya jama’ah umroh, saya memiliki harapan bahwa setelah melakukan ibadah di level kulitnya, pelan-pelan yang bersangkutan masuk ke isinya.  Setelah berpakaian muslim/muslimah, setahap demi setahap yang bersangkutan menyadari bahwa perilakunya harus sesuai pakaiannya.  Walaupun mungkin melaksanakan umroh masih lebih didorong ikut trend atau bahkan show off, tetapi setelah melakukan ibadah maraton di tanah suci yang bersangkutan merasa harus melakukan ibadah dengan lebih baik.  Saya masih ingat cerita Zamzawi Imron, si penyair celurit emas tentang Rendra. Katanya suatu saat, dalam sebuah drama Rendra memerankan seorang tokoh Islam dan sebagai dramawan tentu Rendra berusaha menghayati perannya itu.  Saat seperti itu hati Rendra terpanggil masuk Islam.  Semoga jama’ah umroh (termasuk saya) juga terpanggil hatinya menjadi muslim yang sebenarnya, setelah melakukan serangkaian ibadah di tanah suci. Semoga.  

Senin, 13 Januari 2020

MERDEKA BELAJAR-2

Sungguh beruntung saya diundang dalam pertemuan tanggal 10-11 Januari 2020, karena dapat bertemu dengan Pak Iwan (Iwan Shahril, PhD, staf khusus Mendikbud).  Mengapa?  Karena Pak Iwan menjelaskan apa yang dimaksud dengan merdeka belajar, sehingga pertanyaan yang sebelumnya menggelayut di benak saya dapat terjawab.  Mudah-mudahan saya tidak salah dalam memahami penjelasan beliau.  Berikut ini saya ingin berbagi hasil renungan, setelah mendapat pencerahan tersebut.

Menurut beliau, merdeka belajar adalah sebuah filosofi yang ditandai dengan lima prinsip: Pertama, berdaya memberdayakan.  Artinya pendidikan harus membuat siswa berdaya dan mampu memberdayakan orang lain.  Juga harus membuat guru berdaya dan mampu memberdayakan orang lain, khususnya siswa.  Juga harus membuat kepala sekolah berdaya dan mampu memberdayakan orang lain, misalnya guru dan tenaga kependidikan, siswa dan bahkan orangtua siswa.


Pemikiran ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan yang intinya ingin membantu anak menjadi merdeka, mampu mandiri dan tidak tergantung orang lain.  Tentu tetap harus diingat bahwa mandiri dan merdeka itu tetap dalam koridor bahwa manusia itu bagian dari komunitas dimana dia berada.  Juga sebagai makhluk Sang Pencipta (Al Khaliq), sehingga harus mengikuti koridor keyakinannya yang bersumber dari Sang Pencipta.  Keharmonisan penerapan antara manusia merdeka, bagian dari komunitas dan makhluk Sang Pencipa itulah yang ingin ditumbuhkan dalam pendidikan.

Kedua, fokus pada output dan bahkan outcome dan bukan sekedar proses.  Pak Iwan menggunakan istilah yang sering digunakan oleh Pak Jokowi, tidak sekedar sent tetapi delivered.  Dalam konteks ini, jujur saya belum memahami secara baik, karena memang saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut. Kalau menggunakan metaphor WA, sent itu ditandai oleh satu cawang (v) artinya terkirim, sedangkan delivered ditandai oleh dua cawang berwarna hitam (vv) artinya diterima.  Namun jika pesan itu dibaca ditandai dua cawang berwarna biru (vv).  Saya menduga yang dimaksud sebenarnya dibaca dan bukan sekedar dikirim atau diterima.

Jika dikaitkan dengan process approach dalam teori pembelajaran yang secara konsep mirip dengan scientific approach yang digunakan dalam Kurikulum 2013, saya menduga yang dimaksud merdeka belajar bukan proses berpikir dalam process approach maupun K-13, tetapi proses pembelajaran.  Artinya pembelajaran tidak boleh berhenti pada apa yang dilakukan guru tetapi harus sampai apa yang diperoleh siswa.  Jadi yang dimaksud bergeser dari proses ke hasil, sama dengan prinsip shifting paradigm from teaching to learning. Mengapa demikian?  Karena dalam teori pembelajaran “modern”, justru proses berpikir itulah yang lebih penting. Dan itulah yang ingin dikembangkan dalam pendidikan.  5 M yang dalam K-13, mengamati, mempertanyaan apa yang diamati, menalar mengapa itu terjadi, mencoba mereplikasi dan memodifikasi, dan mengkomikasikan apa yang dilakukan, sejalan dengan pemikiran tersebut.

Ketiga, begeser dari konten ke kompetensi dan karakter. Menurut P Iwan yang lebih penting bagi anak-anak kita adalah menguasai kompetensi critical thinking, creativity, communication, collaboration, compassion, computational logic dan sebagainya, yang sangat diperlukan di era disrupsi.  Sedangkan konten itu nomor dua, karena dapat dipelajari sendiri. Untuk karakter, P Iwan tidak sempat menjelaskan secara detail atau saya yang tidak dapat menangkap penjelasan beliau.

Jika dikaitkan dengan process approach, menurut saya antara konten dan kompetensi tidak dapat dipisahkan secara total. Bukan mutually exclusive tetapi memiliki interseksi. Mengapa?  Ada dua argumentasi. (1) ketika belajar critical thinking, creativity dan sebagainya, kita memerlukan wahana dan wahana yang paling tepat adalah kompetensi.  Misalnya anak SD belajar berpikir kritis saat mencermati ayam dalam matapelajaran IPA.  Dengan begitu, anak sekaligus belajar menguasasi kompetensi sekaligus juga konten.  Jadi yang diperlukan bagaimana merancang pembelajaran topik (konten) tertentu, tetapi yang ingin dituju tidak hanya penguasaan kontennya tetapi juga kompetensi tertentu.  Jadi mirip dengan keinginan agar anak-anak belajar untuk mencapai HOT (high order thinking) yang menurut Bloom, mulai dari melakukan analisis-sintesis, evaluasi dan kreativitas.  Dugaan saya keinginan menggeser dari konten ke kompetensi itu didorong dari fakta lapangan bahwa anak-anak kita cenderung belajar di level LOT (low order thinking). Dan memang itu menjadi kerisauan yang harus segera dicarikan solusinya.

 (2) Ada konten yang sifatnya sekuen, sehingga tidak dapat melompat.  Matematika merupakan salah satu contoh. Anak tidak akan dapat belajar perkalian sebelum menguasai konten penjumlahan.  Anak tidak akan dapat belajar pembagian sebelum mengusasi pengurangan. Bahwa ketika belajar penjumlahan anak harus berpikir kritis sangat betul, tidak hanya hafal tetapi paham mengapa begini dan begitu. 

Dalam menggandengkan konten dan kompetensi mungkin Kurikulum Hong Kong dalam dijadikan bahan banding.  Matapelajaran (konten) disebut sebagai learning areas, sedangkan konten dan karakter disebut sebagai learning goals.  Misalnya, ketika anak SMP belajar IPA salah satu tujuannya adalah siswa dapat menguasai dan memanfaatkan pengetahuan tentang magnet untuk memencahkan probelma kehidupan sehari-hari secara kreatif.

Ke-empat, sekolah sebagai unit inovasi, bukan seperti birokrasi. Pak Iwan sempat memberi ilustrasi, jangan sampai statement Mendikbud tentang RPP 1 lembar lantas mucul templet RPP 1 lembar dan wajib ditiru oleh semua guru.  Guru harus menggunakan kemerdekaan dalam mengajar untuk melakukan inovasi pembelajaran, agar hasil belajar siswa maksimal.  Prinsip ini sejalan dengan temuan Abu Dohuo bahwa hasil belajar siswa itu fungsi dari inovasi praktis yang dilakukan guru dalam pembelajaran.

Ketika guru didorong melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ataupun lesson study tujuannya mirip dengan itu, yaitu terus menerus melakukan continuous improvement dalam pembelajarannya.  PTK tidak perlu menjadi dokumen penelitian yang justru membebani guru.  Yang lebih penting guru melakukan refleksi, “hari ini pembelajaran yang saya lakukan seperti ini, apa yang kurang baik untuk diperbaiki besuk dan seterusnya”.  Bahwa ketika melakukan refleksi harus didasari berpikir analisis-sintesis dan ketika merancang perbaikan didalam kreativitas itu suatu kewajaran.  Bukankah guru juga harus melakukan HOT sebagaimana yang diajarkan kepada siswa.

Hasil-hasil inovasi pembelajaran seperti itu akan sangat baik dijadikan bahan berbagi pengalaman dalam forum KKG dan MGMP.  Yang disebut hasil, tidak harus berupa kesuksesan tetapi juga kegagalan dan hambatan ketika melakukan suatu inovasi.  Dengan demikian KKG dan MGMP menjadi tempat saling belajar bagi para guru.  Kalau menggunakan konsep problem driven iterative adaptation (PDIA), maka KKG/MGMP akan menjadi tempat berbagi berbagai pengalaman memecahkan masalah berdasarkan kondisi real di lapangan.

Kelima, Dinas Pendidikan dan Kemdikbud sebagai unit enabler.  Bagaimana Dinas Pendidikan dan Kemdikbud tidak bertindak sebagai pihak yang memerintah dan mengontrol, tetapi justu membantu dan memfasilitasi sekolah agar dapat melaksanakan proses pendidikan dengan baik.  Mungkin mirip dengan konsep total quality management (TQM) in education yang diajukan oleh Sallis.  Konsep ini juga yang digunakan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).   Pada konsep ini, tugas guru adalah membantu dan menfalitiasi siswa agar dapat belajar dengan optimal.  Tugas kepala sekolah adalah membantu dan memfalitasi guru agar dapat bekerja dengan baik.  Tugas Dinas Pendidikan dan Kemdikbud adalah membantu sekolah agar dapat melaksanakan proses pendidikan dengan baik.  Jadi bergeser dari to govern menjadi to empower and to enable.

Jika pemahaman saya benar, merdeka  belajar merupakan wahana mengarusutamakan konsep yang selama ini diinginkan tetapi belum berjalan dengan baik di lapangan. Bukankah berdaya dan memberdayakan itu memang hakekat dasar pendidikan.  Bukankah kita sedang mengupayakan bergeser dari teaching ke learning yang mengutamakan hasil belajar dan bukan hanya proses pembelajaran.  Bukankah kita sedang mendorong hasil belajar siswa harus sampai HOT.  Bukankah melalui PTK kita ingin mendorong para guru terus menerus melakukan inovasi, sehingga sekolah merupakan unit inovasi dan bukan lembaga birokrasi.  Bukankah dalam konsep MBS, pendidikan merupakan sebuah layanan. Tugas kepala sekolah adalah membantu guru dapat bekerja dengan baik dan tugas Dinas Pendidikan serta Kemdikbud adalah membantu sekolah agar mampu melaksanakan

Jumat, 10 Januari 2020

MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER SELALU GAGAL?


Kemarin sore sekitar pukul 16.30 saya naik taksi dari bandara Halim Perdana Kusuma menuju daerah Darmawangsa Jakarta Selatan.  Macet?  Pasti. Waktunya pulang kantor. Apalagi proyek jalan layang atau LRT disitu juga belum selesai-selesai.  Nah, dalam situasi seperti itu beberapa kali terdengar klakson mobil patwal meminta mobil lain minggir, karena ada mobil “orang penting” mau lewat.  Biasanya plat mobilnya berindeks RFS atau semacam itu.  Tetapi sepanjang jalan dari Halim ke Darmawangsa kemarin, juga ada mobil berplat TNI dan Polri yang juga membunyikan klakson untuk minta mendahului.

Menikmati situasi seperti itu, saya jadi teringat ketika sedang naik taksi dari bandara Soetta ke kota.  Maksudnya ke lokasi di daerah tengah Jakarta dan melalui tol.  Sering juga ada mobil “orang penting” meminta jalan seperti itu dan yang lucu biasanya menggunakan bahu jalan.  Secara kebetulan, saya juga sedang membuka HP untuk mencari berita di detik.com dan menemukan heading “Ditilang karena lampu motor tak menyala, mahasiswa: kemapa Jokowi tak ditilang?”.  Saya baca, ternyata ada mahasiswa FH UKI ditilang karena lampu motornya tidak menyala. Yang bersangkutan tidak terima dan menggugat UU Lalu Lintas.  Nah dalam gugatan itu, dia berdalih Presidem Jokowi juga pernah melakukan hal yang sama (tidak menyalakan lampu saat naik motor) tetapi tidak ditilang. Saya tersenyum membacanya.


Seingat saya almarhun Cak Nur (Nucholis Majid) pernah mengatakan, perilaku kita di jalan raya itu menggambarkan karakter bangsa ini.  Ungkapan yang sejalan dengan itu juga pernah disampaikan oleh Pak Rum (Prof Rum Rowi, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya), katanya kita sering naik motor ngebut, nyalib kiri-kanan, bahkan menyerempet orang karena takut terlambat Jum’atan.  Yang punya moge (motor gede) konvoi dan meminta kendaraan lain minggir. Yang menyopir becak melaju terus walaupun lampu merah atau bahkan melawan arus.

Ada baiknya kita merenungkan mengapa fenomena seperti itu terjadi.  Tampaknya kita merasa diri kita atau urusan kita lebih penting dibanding orang lain.  Kita ingin tidak terlambat sholat jum’at, sehingga minta orang lain mengalah.  Kita tidak ingin terlambat rapat, sehingga meminta orang lain faham dan memberi jalan mobil kita. Kita ingin cepat sampai rumah, karena anak isteri sudah menunggu, sehingga minta orang lain memberi jalan mobil kita.  Kita ingin touring moge kita lancar, sehingga meminta pengguna jalan lainnya minggir.  Dan seterusnya.  Apa itu bawaan dari kecil atau menunjukkan kita masih berjiwa anak-anak ya?


 Almarhum Mbah Ti (ibu saya) mengatakan anak usia 2-4 tahun itu “kemratu-ratu” atau merasa dirinya seperti raja, sehingga menganggap dirinya paling penting dan semua keinginannya harus dipenuhi.  Oleh karena itu, anak-anak seusia itu akan merengek, seakan memaksa orang lain memenuhi keinginannya.  Jika tidak dipenuhi akan merengek sampai orangtuanya bingung.

Lantas, apa hubungannya dengan pendidikan karakter?  Dugaan saya, semua atau paling tidak sebagian besar yang saya sebutkan meminta orang lain minggir tersebut pernah sekolah.  Atau bahkan sarjana, tetapi kalau “ilmunya Mbak Ti” itu valid, berarti mereka itu masik “kemratu-ratu”.  Sikapnya masih seperti anak usia 3-4 tahun.  Jadi pendidikan karakter yang diharapkan dapat mengubah sikap anak-anak agar menghargai hak orang lain, “saya punya hak, tetapi orang lain juga punya hak yang tdak boleh saya langgar”, tidak berhasil. Pada hal penanaman pengetahuan dan sikap seperti itu sudah dilakukan sejak SD sampai perguruan tinggi.  Bahkan di jaman Penataran P4 era Pak Harto, hal seperti itu juga ditumbuhkan.

Mengapa pendidikan karakter tidak berhasil atau kasarnya gagal?  Pada hal sikap “kemratu-ratu” itu bisa merembet ke sikap koruptif, yang menganggap dirinya punya hak untuk mengambil hak komunitas atau hak rakyat atau hak negara.  Itulah yang perlu kita temukan, agar pendidikan karakter yang oleh Mendikbud saat ini (Nadiem Makarim) ditekankan lain.  Seingat saya, di era Mendikbud Prof Malik Fajar, upaya mengarusutamakan pendidikan karakter sudah dimunculkan melalui konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills), di era Mendikbud Prof M. Nuh, juga dimunculkan lagi bahkan sampai disusun Buku Pedoman Pendidikan Karakter.  Jika penyebab kurang berhasilnya pendidikan karakter di masa lalu tidak ditemukan, saya khawatir kita akan “terantuk batu yang sama”, mengulangi kegagalan yang sudah dialami sebelumnya.

Dahlan Iskan pernah bercerita karakter itu tidak dapat diajarkan tetapi harus ditularkan.  Penelitian yang dilakukan oleh Tim Kemdikbud tahun 2010 menemukan pendidikan karakter yang paling efektif dilakukan melalui “modeling”, sehingga pimpinan sekolah, guru dan tenaga kependidikan harus menjadi contoh bagaimana berperilaku dalam kehidupan keseharian.  Penelitian tersebut juga menemukan budaya sekolah sangat menentukan, karena anak-anak akan menyesuaikan diri dengan budaya sekolah, dimana-mana orangnya berperilaku yang baik.  Pertanyaannya, apakah kegagalan pendidikan karakter karena kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah belum mampu menjadi contoh bagaimana berperilaku yang baik.  Apakah budaya di sekolah tidak menggambarkan perilaku yang berkarakter?  Jujur, saya tidak tahu.

Namun kita memahami pada proses belajar, termasuk bersikap dan berperilaku, tidak hanya terjadi di sekolah.  Seperti kata Peter Senge dalam buku School That Learn, siswa  berinterkasi juga dengan siswa atau teman lain di luar sekolah, dengan orangtua di rumah, dan juga media sosial yang mereka tonton dan baca.  Dengan demikian perilaku siswa tidak hanya dipengaruhi oleh budaya sekolah dan orang-orang disekolahnya, tetapi juga oleh lingkungan keluarga dan orang-orang disitu, serta teman-teman lainnnya maupun media sosial yang di luar rumahnya. Apalagi, rentang waktu anak-anak di sekolah juga pendek dibanding di luar sekolah.  Jadi, karakter siswa tidak hanya dipengaruhi oleh keteladanan orang-orang di sekolah, tetapi juga oleh keteladanan orang-orang di luar sekolah, termasuk di televisi dan media sosila lainnya.  Pertanyaannya nambah lagi, apakah perilaku orang dewasa, apalagi orang-orang penting dan juga film-film ditelevisi tidak dapat menjadi contoh berperilaku yang baik ya?

Dari cerita di atas, berarti pendidikan karakter tidak dapat diserahkan kepada sekolah saja.  Pendidikan karakter harus menjadi tugas semua pihak.  Yang harus menjadi contoh berperilaku yang baik, tidak hanya guru, tetapi juga orangtua, dan tokoh-tokoh yang menjadi panutan masyarakat.  Masyarakat kita sangat patronistik, sehingga meniru patronnya.  Film, sinetron, youtube juga harus dikendalikan agar sesuai dengan karakter yang ingin dikembag]ngkan.  Jadi rumit ya?  Mungkin itulah mengapa pendidikan karakter belum berhasil, walaupun sudah dijalankan sekian lama.

Rabu, 08 Januari 2020

MEMAKNAI LIFE LONG LEARNING


Life long learning atau belajar sepanjang hayat telah menjadi mantra yang sering diucapkan oleh orang yang bergerak dalam pendidikan.  Tulisan ini juga dipicu oleh tulisan Lant Pritchett berjudul Schooling but not Learning. Namun tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau sebaliknya menyalahkan tulisan Lant Pritchett atau tulisan lain yang selama ini sudah mengemuka. Tulisan pendek ini semata-mata ingin mendudukkan konsep life long learning terkait dengan pendidikan dan persekolahan.

Kita mulai dengan membahas apa makna learning atau belajar.  Dalam bahasa Inggris, learning sering diartikan sebagai  the process or experience of gaining knowledge or skill, sedangkan dalam bahwa Indonesia belajar sering dimaknai sebagai terjadinya perubahan perilaku yang merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat permanen.  Dengan demikian belajar berbeda dengan bersekolah.  Belajar dapat diterjadi dimana saja dan kapan saja, sepanjang seseorang memperoleh pengetahuan atau sikap atau keterampilan baru.

Pengetahuan atau sikap atau keterampilan itu dapat diperoleh ketika diajarkan oleh guru di sekolah, atau didalam permainan bersama kawan atau bahkan dari kejadian yang ditemui ketika seseorang sedang sendirian. Ketika kita tanpa sengaja berjalan dengan telanjang kaki di jalan aspal di siang hari dan merasakan panas, sebenarnya saat itu telah terjadi proses belajar.  Yaitu, mendapatkan pengetahuan bahwa jalan aspal di siang hari panas. Ketika melihat TV yang menayangkan berita bahwa Tsunami yang terjadi saat Anak Krakatau meletus dikarenakan adanya dinding gunung yang runtuh, maka saat itu juga terjadi proses belajar.  Ketika seorang ini mencoba-coba memasukkan benang ke jarum dan menemukan cara yang tepat, pada saat itu juga terjadi belajar.  Ketika melihat pengendara sepeda motor menerobos lampu merah dan kita mengatakan itu perbuatan berbahaya dan jangan ditiru, maka saat itu juga terjadi proses belajar.  Yang ingin ditekankan disini bahwa proses belajar dapat terjadi tanpa adanya guru dan tanpa ada seseorang yang mengajari.  Bukankah ada kata-kata bijak “apapun yg kita jumpai itu merupakan pelajaran dari Allah swt. Jika itu baik harus kita tiru, sebaliknya jika jelek harus kita hindari”.


Berarti belajar sepanjang hayat dapat dilakukan oleh setiap orang?  Menurut saya “ya”.  Hanya saja, ada yang by design (dengan sengaja) dan ada yang by chance (secara kebetulan, tidak disengaja).  Disinilah masalahnya.  Ketika seseorang yang dengan sengaja mengamati suatu fenomena dan ingin mengetahui dengan lebih dalam, maka yang bersangkutan dengan sengaja ingin belajar.  Misalnya, kita baru membeli HP dan membaca buku manual dan mencoba menerapkannya, maka kita dengan sengaja belajar.  Lantas seperti apa contoh belajar tanpa sengaja?  Tadi, ketika tanpa sengaja kita berjalan di jalan aspal di siang hari.  Kita tidak sengaja ingin mengetahui jalan aspal itu panas di siang hari.  Pengetahuan itu kita dapatkan tanpa sengaja.

Jika proses belajar dapat terjadi secara alamiah pada siapapun, kapanpun dan dimanapun, lantas apa gunanya sekolah?  Lantas apa bedanya dengan pendidikan?  Untuk membahas itu kita perlu fahami dahulu apa pengertian pendidikan (education).  Dalam bahasa Inggris kata education sering dimaknai sebagai the process of facilitating learning, sedang dalam bahasa Indonesia pendidikan dimaknai dengan upaya membantu peserta didik dalam belajar.  Pada UU Sisdiknas pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran Jadi pendidikan terjadi jika ada seseorang (guru/orangtua/tutor dsb) membantu orang lain (murid atau siapapun) untuk mempelajari sesuatu. Dengan kata lain, pendidikan dilakukan agar terjadi proses belajar by design, bukan by chance.

Lantas apa kaitannya dengan sekolah atau school?  Dalam bahasa Inggris, school diartikan sebagai an educational institution designed to provide learning spaces and learning environments for the teaching of students, sedang dalam bahasa Indonesia sekolah diartikan sebagai  lembaga pendidikan yang dirancang secara khusus untuk mendidik siswa dalam pengawasan para guru.  Jadi sekolah adalah lembaganya.  Pendidikan adalah proses fasiltasi atau pemberian bantuan oleh guru/pengajar kepada siswa agar dapat belajar dengan baik. Sedangkan belajar adalah proses memperoleh pengetahuan dan atau keterampilan baru. 

Mengaitkan ketiganya (belajar, pendidikan dan sekolah) kita dapat menemukan makna belajar sepanjang hayat atau life long learning.   Di sekolah diharapkan terjadi proses pendidikan untuk membiasakan anak-anak belajar (by design) dan kebiasaan terus dibawa setelah mereka lulus dan menjalani kehidupan di masyarakat dan bekerja.  Dengan demikian yang bersangkutan secara sengaja terus belajar, baik dari fenomena yang dialami ataupun pelatihan.  Maka sekolah diharapkan menjadi tempat penyemaian life long learning. Itulah sebabnya saya mendukung Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik 5 M (mengamati, mempertanyakan, menalar, mencoba dan mengkomunikasikan).  Anak dibiasakan mengamati fenomena di sekitarnya dan mempertanyakan mengapa itu terjadi, mengapa begini dan begitu.  Setelah itu mencoba menalar (membuat dugaan-dugaan atau bahasa ilmiahnya mengajukan hipotesis sesuai dengan tingkatan pendidikannya), apakah itu karena ini atau itu.  Setelah itu mencoba untuk menguji apakah dugaannya itu benar atau salah.  Terakhir mengkomunikasikan atau menyampaikan apa yang dialami dan dipikirkan kepada orang lain.

Apakah life long learning merupakan konsep baru?  Jawabnya “tidak”.  Dalam Islam dikenal hadis: “tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat”.  Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat”. Jika ucapan Ali bin Abi Thalib itu dikaitkan dengan kepandaian, maka bermakna setiap orang diminta untuk belajar terus sepanjang hayat.

Jika kaitannya seperti itu, apa yang dimaksud oleh Lant Pritchett schooling but not learning?  Tentu itu bukan makna harafiah, sekolah tetapi tidak belajar.  Bukankah setiap saat orang belajar, apalagi di sekolah yang tentu ada guru yang tugasnya membantu siswa agar dapat belajar dengan baik.  Dalam buku tersebut, Pritchett menunjukkan data bahwa pada sekolah-sekolah di beberapa negara, kompetensi siswa jauh dari standar yang ditetapkan oleh negara tersebut.  Anak-anak sekolah tetapi hasil belajar mereka jauh di bawah standar yang seharusnya dicapai, sehingga Pritchett menyebutkan di sekolah-sekolah tersebut tidak terjadi proses belajar (seperti yang seharusnya).

Walaupun diungkapkan dengan kalimat sarkastis, tetapi fenomena itu perlu mendapat perhatian kita.  Walaupun penelitian Pritchett tidak di Indonesia, kita perlu merenungkan apakah kejadian seperti itu juga terjadi di sekolah kita.  Jangan-jangan ada atau bahkan banyak anak-anak kita yang naik kelas atau lulus sekolah tetapi tidak mencapai standar kompetensi yang seharusnya.  Kita tentu pernah mendengar ada anak lulus SD tetapi belum lancar membaca.  Anak lulus SMA tetapi belum pandai menyelesaikan soal-soal pecahan sederhana.  Jika hal itu terjadi, tentu kita harus bahu membahu mengatasinya. Semoga.