Selasa, 01 Desember 2020

MISKONSEPSI PTK

 

PTK atau penelitian tindakan kelas yang diadopsi dari CAR) (classroom action research) tentu sudah dikenal oleh guru bahkan oleh mahasiswa calon guru di LPTK. Setahu saya mahasiswa calon guru baik di jenjang S1 maupun PPG sudah belajar tentang PTK.  Pada laporan penelitian, baik di jurnal maupun dokumen lainnya, PTK juga banyak dijumpai.  Sayangnya, menurut saya PTK sudah bergeser dari tujuan semula saat awal PTK (CAR) itu digagas dan dikembangkan.

Bagaimana awalnya PTK berkembang dapat dibaca di beberapa referensi, antara lain tulisan Fang Qi (2007) yang menjelaskan perbedaan Research (dengan R besar) dan research (dengan r kecil). Agar mudah difahami kita anggap Research (dengan R besar) itu sebagai bentuk penelitian khusus, yang salah satunya PTK, sedangkan research (dengan r kecil) itu bentuk penelitian umum yang lazimnya dilakukan oleh para ahli.  Nah PTK atau CAR termasuk penelitian dengan R besar, yang tidak tepat sama dengan penelitian pada umumnya, katakanlah tidak menggunakan metoda yang canggih, teori yang canggih, seperti penelitian “ilmiah” para ilmuwan.

PTK itu sebagai upaya para guru untuk terus menerus meningkatkan kualitas pembelajaran yang diampu.  Jadi menggunakan filosofi continuous improvement atau kaizen dalam istilah di Jepang.  Jadi tujuan utamanya bukan menemukan “sesuatu teori baru atau sesuatu yang baru” seperti pada penelitian ilmiah. Kalau toh kemudian hasilnya diolah menjadi karya ilmiah, anggap saja sebagai “bonus” dan bukan tujuan utama.  

Apakah dengan begitu PTK tidak didukung oleh teori dan metode penelitian yang canggih?  Merujuk pendapat beberapa ahli, Fang Qi (2007) menyatakan teori pada tataran tertentu itu identik dengan logika. Mungkin ingat konsep “logiko-hipotektika-verificative” yang dikenalkan oleh Jujun Suriasumantri (2009) dalam buku Filsafat Ilmu.  Dan PTK  lebih mendasarkan logika dibanding harus mencari rujukan kemana-mana.  Oleh karena itu dalam melaksanakan PTK, guru lebih mengandalkan logikanya.  Toh, yang diteliti adalah pekerjaan yang sehari-hari dilakukan.


Bagaimana dengan metoda pelitiannya?  Yang diandalkan PTK adalah kelogisan, keruntutan dan kejujuran dalam melakukan.  Artinya tahapan yang dilakukan harus logis, dilakukan secara runtut dan dengan jujur.  Pada awalnya PTK mengadopsi prinsip PDC (plan-do-check) yang biasa dilakulan dalam manajemen. Kemudian disempurnakan menjadi DIOR (design-implementation-observation-reflection) atau perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi. Dengan melaksanakan empat tahapan secara runtut dan terus menerus diyakini akan terjadi peningkatan mutu pembelajaran.

Observasi selama proses pembelajaran, tanya jawab dengan siswa dan mengecek hasil belajar siswa itu yang lazim disebut dengan assessment for learning atau di kita disebut tes formatif.  Mengetahui proses dan hasil belajar siswa untuk memperbaikinya.  Atas dasar data tersebut dilakukan refleksi yaitu analisis untuk mempertanyakan “apa yang menyebabkan hasil belajar siswa belum maksimal dsb”.  Disebut refleksi karena arahnya lebih mempertanyakan apa yang perlu dilakukan guru agar siswa dapat belajar lebih baik.  Nah jika refleksi dapat menemukan jawaban “seharusnya begini dan begitu”, kemudian disusun skenario pembelajaran berikutnya.   Itulah tahap perencanaan pada siklus berikutnya.

Ketika pemikiran itu saya obrolkan dengan teman dokter, yang bersangkutan mengatakan “lho pola pikir itu yang dilakukan dokter dalam bekerja”.  Pasien datang dengan keluhan tertentu, didiagnona dan diberi obat dan perlakuan tertentu.  Setelah itu diobservasi perkembangannnya, jika belum sempurna dilakukan perubahan obat dan atau perlakuannya, namun jika perkembangannya bagus, obat dan perlakuan dilanjutkan.  Teman tadi berseloroh “kalau begitu saya juga melakukan PTK namun kepanjangannya “penelitian tindakan klinik”.


Apa hanya dokter yang menggunakan pola pikir itu dalam bekerja?  Menurut saya tidak. Juru masak dan bahkan ibu-ibu ketika memasak juga menggunakannya. Ngicipi masakan itu mirip dengan assessment for cooking, karena tujuannya untuk mengetahui apakah ada yang perlu ditambahkan agar masakannya enak.  Setiap kali masak ibu-ibu akan selalu ngicipi dulu sebelum “difinalkan”, walupun masakannya sama dengan kemarin.  Bahkan bisa jadi beberapa kali ngicipi, jika rasanya belum pas. 

Lantas, dimana terjadinya miskonsepsi? Pertama, tujuan PTK bukan untuk menghasilkan karya ilmiah tetapi untuk memperbaiki proses pembelajaran.  Anehnya banyak guru dan juga dosen melakukan PTK dengan tujuan menghasilkan karya ilmiah. Apakah mengolah hasil PTK menjadi karya ilmiah itu salah?  Sama sekali tidak.  Itu bagus. Namun itu bonus, bukan tujuan utama.  Yang keliru adalah kalau itu dijadikan tujuan dan kemudian setelah beberapa siklus dan hasilnya cukup untuk bahan karya ilmiah, PTK “dihentikan”.  Pada hal, masalah pembelajaran akan terus muncul, karena topiknya berganti, situasinya berganti, tuntutan juga berganti, sehingga idealnya PTK dilakukan terus menerus sebagaimana konsep Kaizen atau continuous improvement program.

Jika PTK dilakukan secara terus menerus, berarti guru harus melakukan observasi secara terus menerus, mengumpulkan berbagai data secara terus menerus?  Itulah yang semestinya dimuat di catatan guru (teacher note) atau jurnal mengajar. Tentu tidak perlu panjang lebar seperti dalam penelitian kualitatif yang nantinya dimuat sebagai data saat artikelnya dimuat di jurnal atau untuk tesis S2.  Cukup beberapa baris sebagai pengingat. Toh yang menulis di jurnal mengajar ya guru sendiri, yang nanti membaca dan menggunakannya untuk melakukan refleksi juga guru sendiri. Jadi cukup satu dua kalimat sebagai pengingat. Kalau data tersebut didiskusikan dengan guru lain untuk mendapatkan masukan (second opinion dalam istilah kedokteran) tentu lebih bagus.  Dan itulah sebenarnya tujuan dibentuknya KKG/MGMP, baik secara mini di sekolah maupun yang lebih besar skalanya di gugus.

Kedua, karena tujuannya untuk membuat karya ilmiah maka harus ada rujukan teori yang canggih dan jika tidak ada tidak boleh diteruskan. Alias PTK harus dihentikan.  Apa mencari rujukan teori yang bagus itu salah?  Sama sekali tidak, tetapi yang keliru adalah PTK dihentikan karena belum memperoleh rujukan teori.  Seperti disebut oleh Fang Qi dan juga secara tersirat diungkap oleh Jujun Suriasumantri, dalam tataran sederhana teori itu akal sehat (comment sense) atau logika. Jadi jika belum ada rujukan teori, guru dapat menggunakan logika untuk melakukan refleksi maupun membuat perencanaan.

Ketiga, untuk melaksanakan PTK harus ada proposal, ada perangkat pembelajaran, ada instrument untuk mengukur hasil belajar.  Jika tidak PTK tidak boleh dilaksanakan.  Tentu sangat bagus jika semua yang disebut di atas ada, tetapi yang tidak tepat adalah  PTK tidak boleh dilakukan jika itu tidak ada.  Bukankah proposal, perangkat, instrument itu dibuat oleh guru yang melakukan PTK.  Tentu yang dituangkan menjadi proposal, perangkat, instrument itu sesuatu yang ada di pikiran yang bersangkutan. Jadi seandainya guru tidak punya waktu cukup, mungkin catatan-catatan pendek dapat mewakili proposal, perangkat, instrument tersebut.  Yang pokok PTK harus berlangsung secara terus menerus seiring dengan proses pembelajaran.

Jadi simpulannya, PTK itu sebenarnya melekat (embedded) dengan proses pembelajaran, sehingga begitu proses pembelajaran berjalan, maka PTK juga berjalan. Semoga.