Senin, 16 November 2020

FENOMENA HRS

Saya termasuk orang yang tidak menduga  begitu banyak orang yang menyambut kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS).  Dari layar TV maupun rekaman youtube kita dapat melihat ribuan orang menyemput kedatangan beliau, sehingga wajar kalau kemudian membuat jalan menuju bandara sempat macet beberapa jam. Fenomena yang sama terjadi saat HRS memberikan pengajian di Megamendung daerah Puncak.  Orang rela berdiri ditepi jalan mulai dari Ciawi sampai lokasi untuk menyambutnya.  Ketika beliau menikahkan putrinya sekaligus acara Maulid Nabi, ribuan orang juga hadir di Petamburan, tempat kediaman beliau.  Sungguh luar biasa. Sampai Pemda DKI mendenda panitian sebesar 50 juta rupiah karena dinilai melanggar protokol kesehatan.

Bahwa HRS adalah iman besar FPI saya yakin semua orang tahu.  Bahwa beliau yang menjadi tokoh sentral acara 212 pernah dimuat TV dan media sosial. Bahwa beliau pernah tersangkut masalah dengan pihak kepolisian dan kemudian umroh dan berdiam di Saudi Arabia selama 3,5 tahun juga banyak disebut media sosial.  Namun begitu gegap gempita masyarakat menyambut beliau pulang “kampung” betul-betul diluar dugaan saya.  Antusiasme masyarakat menyambutnya seakan melebihi penyambutan pejabat tinggi negara.

 

Fenomena apa itu ya?  Jujur, saya tidak punya kapasitas menjawab.  Mungkin teman-teman yang mendalami psikologi sosial yang dapat memberikan penjelasan secara akademik.  Namun sebagai guru, saya khawatir suatu saat akan ditanya oleh murid.  Itulah yang menjadi beban pikiran.  Apalagi media TV dan media sosial sangat gencar memberitakan dan para analis juga banyak mengulasnya di media sosial.  Repotnya, guru kan tidak bebas seperti para analis dalam memberikan penjelasan, karena terikat dengan kaidah paedagogik maupun kaidah pendidikan secara umum.

Ada analis yang mengatakan ketika masyarakat dihimpit oleh berbagai masalah kehidupan, akan merindukan “sosok” yang diharapkan dapat memberikan harapan.  Nah apakah itu yang terjadi pada fenomena HRS, karena saat ini masyarakat sedang dilanda pandemik covid yang berdampak kepada segala aspek kehidupan.  Belum lagi berbagai informasi di media sosial yang sangat gencar memberitakan demonstrasi yang memprotes UU Omnibuslaw dan sebagainya.  Betulkah karena kondisi itu kemudian HRS dianggap sebagai “dewa penolong” yang mampu mengeluarkan mereka dari himpitan hidup?

Ada juga analis yang mengatakan bahwa fenomena HRS terkait dengan “psikologi kasihan”.  Ketika HRS dilaporkan oleh beberapa pihak terkait dengan beberapa masalah, sampai yang bersangkutan harus mengungsi muncul rasa kasihan dari masyarakat.  Rasa kasihan itu kemudian bercampur dengan berbagai masalah lain dan akhirnya mengkristal menjadikan HRS sebagai orang yang “teraniaya” dan harus dibela.  Bahkan ada analis yang termasuk kelompok kedua ini berpendapat kemunculan Bu Mega dan Pak SBY sedikit banyak juga ditopang oleh fenomena “kasihan”.  Bu Mega dianggap teraniaya pada akhir-akhir Orde Baru.  Pak SBY dianggap teraniaya ketika awal mendirikan Parta Demokrat dan kemudian mencalonkan diri sebagai presiden.

Analis lain mengatakan ketokohan HRS sudah diawali ketika pilkada DKI, dimana HRS merupakan salah satu tokoh yang gencar melawan Ahok.  HRS-lah dibalik tuntutan hukum ke Ahok yang berbuah penjara itu.  Apalagi kemudian dikaitkan dengan peristiwa 212 yang mampu menghimpun ribuan masyarakat tumpah ruah di monas dan dihadiri banyak tokoh.  Ketika kemudian HRS terbelit kasus hukum yang oleh beberapa pihak disebut kriminalisasi ulama, ketokohan HRS justru melonjak.  Terakhir ketika HRS tinggal di Saudi Arabia dan oleh media sosial dikabarkan dihambat untuk pulang, ketokohan lebih melejit dan akhirnya dirindukan banyak orang.  Apakah seperti itu?

Masih banyak analisis lainnya.  Namun sekali lagi, secara jujur saya tidak memahami masalah itu.  Sebagai guru, saya berharap ada ahli yang melakukan riset tentang fenomena HRS ini sehingga menjadi pelajaran sejarah yang sangat berharga di masa depan.  Jika Bung Karno memunculkan sloga Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), saya yakin yang dimaksudkan adalah sejarah sebagai pelajaran untuk menyiapkan diri di masa depan.  Sejarah bukan sekedar hafalan peristiwa apa, kapan terjadi, siapa yang terlihat dan bagaimana kronologinya.  Belajar sejarah bukan seperti menonton ketoprak atau mendengarkan sandiwara radio terus selesai, tetapi menganalisis “mengapa peristiwa itu terjadi” dan apa korelasinya dengan fenomena sekarang ada prediksi kita untuk masa depan.

Di media sosial berseliweran informasi tentang HRS dan seringkali saling bersilang.  Ada yang mengatakan begini ada yang mengatakan begitu.  Ada yang memuji tetapi juga ada yang mencemooh, dengan argumentasi masing-masing. Itu yang membuat guru menjadi serba salah.  Semoga saja ada penelitian akademik terhadap fenomena HRS, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru jika ada murid yang bertanya.

Selasa, 03 November 2020

RESEARCH UNIVERSITY vs TEACHING UNIVERSITY

 

Saya tidak tau kapan kedua istilah itu mulai digunakan dan kapan populer di Indonesia.  Seingat saya istilah itu kemudian banyak dibicarakan ketika ada kebijakan untuk mendorong universitas di Indoensia menjadi word class university (WCU).  Seakan-akan untuk menjadi WCU haruslah menjadi research university (RU).  Pemaknaan itu dapat difahami karena WCU selalu dikaitkan dengan perankingan yang dilakukan oleh Times Higher Education dan kadang-kadang oleh Shanghai Jia Tong.  Nah universitas yang menduduki peringkat atas ke kedua perankingan itu konon tergolong RU.

 Apa sih definisi RU?  Biasanya orang mengatakan RU adalah universitas yang misi utamanya melakukan riset (a research university is a university that is committed to research as a central part of its mission).  Mungkin akan lebih jelas kalau dikontraskan dengan teaching university (TU) yang biasanya dimaknai sebagai universitas yang fokus utamanya mendidik mahasiswa agar menjadi orang sukses setelah lulus (a teaching university is focused on students and strives to make their success a top priority).  Jadi RU dan TU memiliki misi yang berbeda, sehingga fokus programnya juga berbeda. 

 Karena RU dan TU tidak dapat dibandingkan, maka seharusnya dibuat perankingan terpisah.  Katakankah ada urutan RU dari yang sangat baik ke yang kurang baik, dengan cara yang sama  dapat dibuat urutan TU dari yang sangat baik sampai yang kurang baik. Tentu indikator yang digunakan untuk metranking RU berbeda dengan yang digunakan untuk meranking TU.  Sejauh yang saya ketahui belum ada perangkingan universitas yang khusus untuk TU. Jika ada perankingan TU dugaan saya akan mengerem universitas untuk berbondong-bondong menamakan dirinya RU, walaupun sebenarnya lebih cocok menjadi TU.

 Mana yang lebih hebat antara RU dan TU? Menurut saya tidak dapat dibandingkan, karena memiliki misi yang berbeda dan program yang berbeda, tentu kegiatan utamanya berbeda.  Jika kegiatan utamanya berbeda tentunya sumber daya dan sarana-prasarana yang diperlukan juga berbeda. Mungkin mirip antara toko sayur dan toko buah. Karena dagangannya berbeda, tentu memerlukan SDM dan sarana-prasarana yang tidak sama. Memang toko sayur juga menyediakan beberapa jenis buah tetapi tentu hanya sedikit porsinya.  Demikian pula toko buah, mungkin juga menyediakan sayur tetapi juga sedikit porsinya.  Mungkin juga ada toko besar yang memang sebagai toko buah sekaligus toko sayur, sehingga menyediakan keduanya secara “lengkap”, namun yang seperti ini tentu memerlukan SDM dan sarana-prasarana yang besar.  Memang juga ada toko kecil tetapi menyedikan sayur dan buah sekaligus.  Namun yang seperti itu biasanya bukan toko buah yang lengkap dan juga bukan toko sayur yang lengkap.

Mirip dengan analagi itu, RU juga memiliki mahasiswa dan melaksanakan proses pendidikan, tetapi juga bukan fokus utamanya. Atau bahkan hanya untuk mendukung riset yang menjadi fokus utamanya. Pada universitas seperti itu biasanya mengutamakan program pendidikan S2 dan S3 karena dapat dikaitkan langsung dengan riset yang dilakukan oleh para dosennya. Lulusannya diharapkan juga akan menjadi peneliti yang handal, sehingga proses pembelajaran lebih banyak berupa “nyantrik” kepada peneliti handal yang menjadi dosen di RU tersebut. Sebaliknya, TU tentu juga memiliki kegiatan riset, namun itu bukan fokus utamanya dan riset-riset yang dilakukan lebih banyak diarahkan untuk mendukung proses pendidikannya. Dari mana pengembangan kelimuan untuk updating para dosen di TU?  Diperoleh dari RU yang memiliki bidang keilmuan sejenis.  Jadi tugas utama dosen di TU bukan menemukan dan atau mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi menggunakannya untuk menyiapka SDM yang siap memasuki lapangan kerja. Mungkin ada universitas yang mampu sebagai RU dan TU, tetapi tentu memerlukan SDM yang banyak dan bagus untuk keduanya dan juga memiliki sarana-prasarana yang mumpuni untuk keduanya.  Mungkin juga ada universitas “kecil” yang ingin menangani keduanya, namun sangat mungkin tidak dapat menjadi RU yang baik dan juga tidak dapat menjadi TU yang baik.

 Mungkin muncul pertanyaan, seperti apa contoh TU?  Sebenarnya banyak.  Akademi di kalangan TNI dan Polri lebih cocok disebut TU.  Karena fokusnya menghasilkan perwita TNI dan Polri yang baik.  Semua perguruan tinggi kedinasan atau “kementerian di luar Kemdikbud menurut saya termasuk TU, karena fokusnya menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan kementerian tersebut. Lantas dimana letak risetnya?  Di lembaga litbang yang dimiliki kementerian tersebut.

Apakah semua universitas/perguruan tinggi dibawah Kemdikbud termasuk RU?  Menurut saya tidak dan sebaiknya setiap universitas/perguruan tinggi tersebut memastikan diri sebagai RU atau sebagai TU.  Boleh juga menjadi RU dan TU tetapi dengan kesadasaran bahwa untuk itu diperlukan SDM dan sarana-prasarana yang besar.  Yang perlu dihindari adalah ketidakjelasan misi, sehingga membuat programnya juga tidak jelas. RU bukan,TU juga bukan.  Atau ingin menjadi RU sekaligus TU tetapi tidak memiliki SDM dan sarana-prasarana yang memadai sehingga mustahil tercapai.

Pada konteks Indonesia rasanya diperlukan lebih banyak TU dibanding RU.  Indonesia memerlukan sangat banyak SDM bidang operasional berbagai jenis industri, baik manifaktur, pertanian, perikanan, perdagangan, pariwisata, jasa dan sebagainya.  Bukan berarti kita tidak memerlukan hasil-hasil penelitian untuk mempercepat perkembangan industri tetapi tentu tidak sebanyak SDM bidang operasional.

Karena baik RU dan TU sama-sama diperlukan dan tidak dapat diperbandingkan, maka keduanya memerlukan penghargaan yang setara.  Artinya universitas yang memutuskan menjadi TU dan berhasil baik harus diberi penghargaan yang setara dengan universitas yang memutuskan menjadi RU dan berhasil baik.  Dengan demikian tidak harus semua universitas menjadi RU dan sebaliknya juga tidak semuanya menjadi TU. Bagaimana komposisi antara RU dan TU memerlukan kajian yang mendalam. Konon Malaysia pada awalnya hanya menunjuk empat universitas yang kemudian menjadi enam buah menjadi RU.  Menurut saya Indonesia juga perlu merumuskan berapa buah universitas yang ditugasi menjadi RU dan dalam bidang ilmu apa saja, yang sesuai dengan kebutuhan negara.  Sedangkan lainnya lebih baik menjadi TU untuk menghasilkan SDM yang diperlukan pembanguna negara ini.

Bagaimana dengan LPTK?  Menurut saya LPTK itu perguruan tinggi “semi kedinasan”, karena dibawah pembinaan Kemdikbud dan lulusannya berupa guru juga bekerja di sekolah yang berasa di bawah pembinaan Kemdibud.  Kemdikbud tentu tahu kualifikasi dan kompetensi guru yang diperlukan, berapa jumlahnya dan apa saja jenisnya.  Dengan begitu dapat dilakukan perancangan berapa LPTK yang diperlukan dan apa saja program studinya, bahkan di mana lokasi yang tepat terkait dengan geografis Indonesia.  Tentu diperlukan beberapa LPTK yang didorong menjadi RU untuk melakukan penelitian berbagai hal yang terkait dengan kependidikan.   Semoga.