Sabtu, 25 Desember 2021

KEBERSAMAAN, KEPEMILIKAN, KEBERLANJUTAN

Tanggal 22 Desember 2021 saya diundang Ditjen GTK Kemendikbudristek untuk presentasi tentang Peran Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Pendidikan untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan.  Sebenarnya tema seminarnya tentang Program Organisasi Penggerak.  Mungkin saya diminta untuk menyampaikan pandangan bagaimana agar Ormas Pendidikan meningkatkan perannya dalam upaya meningakatan mutu pendidikan.  Melalui tulisan ini saya ingin berbagi apa yang saya sampaikan di forum tersebut.

Dalam pandangan saya, pendidikan di Indonesia itu mirip rumah Bentang di masyarakat Dayak. Rumahnya besar dan dihuni oleh banyak orang dengan profesi sangat beragam.  Ada yang baru tinggal di situ tetapi juga banyak yang sudah lama, dan bahkan ada yang ikut membangun.  Semua penghuni merasa ikut memiliki, merasa harus memelihara dan melakukan perbaikan agar tetap nyaman dihuni dan cocok untuk kebutuhan hidup di zamannya.

Karena memiliki pengalaman hidup yang berbeda, tentu saja memiliki perpektif yang tidak sama dalam memandang pendidikan. Oleh karena itu sangat wajar jika selalu ada perbedaan pendapat bagaimana mengelola pendidikan agar semakin baik dan cocok dengan perkembangan zaman.  Namun, seperti halnya kehidupan di suatu RT yang setiap warga memiliki hak mutlak di rumahnya. Namum untuk hal-hal yang bersifat umum pastilah dapat ditemukan kesepakatan dalam wilayah RT tersebut.  Yang penting semua warga diajak berunding dan dihargai pendapatnya.  Dengan demikian kebersamaan dalam kehidupan di RT atau rumah Bentang tetap terjaga.

Lantas apa kaitan dengan Ormas Kependidikan?  Pertama, Tabel sebelah menunjukkan jumlah sekolah swasta sangat besar dan lebih banyak dibanding sekolah negeri.  Tentu sekolah swasta tersebut dikelola Ormas Kependidikan. Ormas tersebut ada yang sudah berdiri dan mengelola pendidikan sebelum kemerdekaan.  Ormas semacam itu seringkali mengelola pendidikan di daerah terpencil dan belum ada sekolah negeri.  Dan seringkali sekolah semacam itu menampung anak-anak dari keluarga kurang mampu. Seringkali sarananya sangat terbatas dengan guru yang juga sangat  terbatas. Oleh karena itu dapat difahami jika mutunya belum baik.

Apakah sekolah swasta mutunya selalu rendah. Tidak. Banyak sekolah swasta yang mutunya bagus. Data 8 SMA terbaik dari UTBK, 3 diantaranya SMA swasta. Jumlah sekolah yang mutunya baik juga semakin banyak akhir-akhir ini.  Bahkan ada fenomena menarik.  Banyak SD negeri yang kekurangan murid baru, sementara SD swasta yang menarik SPP cukup besar justru kebanjiran murid.  Yang juga lebih menarik, putra-putri keluarga terdidik yang masuk kesekolah seperti itu.  Termasuk putra-putri pejabat di Kemdikbud dan Dinas Pendidikan.  Berarti dapat disimpulkan pejabat tersebut mengakui bahwa sekolah swasta tertentu memiliki mutu yang lebih baik dibanding sekolah negeri.

Belajar ke negara lain, tampaknya fenomena sekolah di Indonesia tersebut wajar.  Sekolah yang top banyak sekolah swasta dan biasanya berada di perkotaan dan menampung anak-anak dari keluarga menengah ke atas.  Di tengah adalah sekolah negeri, karena semuanya dipenuhi oleh pemerintah sehingga tidak akan sangat kekurangan sumberdaya. Sekolah yang mutunya rendah juga sekolah swasta yang biasanya berada di daerah terpencil atau daerah kumuh dan biasanya menampung anak-anak dari keluarga menengah ke bawah.  Sekolah kelompok terakhir biasanya dikelola oleh Ormas Kependidikan “tua” yang memang sejak awal berdiri berniat untuk melayani masyarakat kurang mampu.

Mungkin banyak yang bertanya jika suatu Ormas memiliki sekolah bagus dan sekaligus memiliki sekolah kurang bagus, mengapa sekolah-sekolah mereka tidak saling membantu?  Karena walaupun berada di naungan Ormas yang sama, biasanya sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh Yayasan terpisah atau Badan Pengelola yang otonom, sehingga Ormas tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengaturnya.   Apalagi, walaupun bermutu bagus sekolah tidak memiliki kelebihan sumberdaya untuk “disumbangkan” ke sekolah lain.

Bertolak dari pemahaman bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang baik, maka pemerintah perlu secara khusus mengupayakan agar sekolah yang berada di kiri (bermutu rendah) dapat bergeser ke kanan (menjadi sekolah yang bermutu bagus).  Artinya Yayasan atau Badan Pengelola sekolah tersebut perlu dibantu dan diberdayakan. Jika hal itu dapat dilakukan sangat mungkin dapat memotong lingkaran kemiskinan yaitu karena orangtuanya miskin kemudian anaknya bersekolah di sekolah yang tidak baik, akibatnya tidak pandai dan akhirnya tidak dapat memperoleh pekerjaan yang baik dan akhirnya miskin lagi.

Mengapa Yayasan dan Badan Pengelola harus diikutsertakan dan tidak langsung ke sekolah?  Pengalaman menunjukkan, Yayasan dan Badan Pengelola semacam ini memiliki pengaruh sangat kuat dalam pengembangan sekolah. Sebagai “pemilik” sekolah, Yayasan dan Badan Pengelola memiliki kewenangan menentukan arah pengembangan sekolah, pengangkatan guru dan pimpinan sekolah, pengadaan sarana-prasarana dan sebagainya. Membantu langsung sekolah, tanpa melibatkan Ormas Pendidikan (Yayasan atau Badan Pengelola) dapat menimbulkan kontraproduktif.

Dalam kaitan dengan upaya tersebut perlu dipertimbangan dua hal. Pertama, setiap Ormas Kependidikan tentu memiliki prinsip dan nilai-nilai tertentu yang digunakan dalam melaksanakan pendidikan, bahkan ditumbuhkembangkan kepada anak didik. Sebagai negara kesatuan yang menunjung tinggi keberagaman nilai-nilai seperti itu diakui eksistensinya. Kedua, tentu bantuan khusus yang diberikan pemerintah tentu tidak dapat selama-lamanya.  Keberlanjutan setelah  bantuan khusus tersebut selesai harus menjadi pertimbangan penting.

Oleh karena itu, meminjam istilah yang sering digunakan Pak Mark Heyward (Direktur Program Inovasi), kebersamaan-kepemilikan-keberlanjutan sangat layak untuk diterapkan.  Kebersamaan diterapkan saat merancang program bantuan sehingga Ormas Kependidikan yang sekolahnya mendapat bantuan merasa memiliki program tersebut.  Dan ketika bantuan khusus telah selesai Ormas yang bersangkutan dapat melanjutkan dengan mencari dukungan dari sumber lain atau bahkan dari kekuatan sendiri.  Semoga.

Rabu, 01 Desember 2021

PEMBELAJARAN DARING TIDAK SAMA DENGAN PEMBELAJARAN JARAK JAUH

 Senin lalu saya ikut diskusi tentang rancangan pembelajaran daring di Yayasan Al Hikmah Surabaya.  Yayasan tersebut mengelola lembaga pendidikan mulai KB, TK, SD, SMP, SMA dan STKIP.  Sekolah-sekolah Al Hikmah merupakan sekolah swasta favorit di Surabaya dengan akreditasi A.  Para siswa umumnya juga dari keluarga kelas menengah atas, sehingga mobil-mobil pengantarnya sering membuat jalan di sekitar sekolah macet pada jam-jam masuk dan pulang sekolah.  Yayasan tersebut juga mendirikan Al Hikmah Boarding School di Batu Malang, dengan fasilitas yang sangat bagus dengan siswa juga dari keluarga menengah ke atas. Jadi kalau menggunakan hasil penelitian Inovasi Bersama Kemdikbud (2021), memang pandemic covid 19 yang memaksa siswa belajar dari rumah, tidak berdampak sangat parah di sekolah Al Hikmah, karena sekolah menyediakan fasilitas zoom dan modul, sedangkan di rumah siswa memiliki fasilitas IT yang bagus.  Ditambah orangtua pada umumnya terdidik, sehingga dapat mendampingi anaknya belajar.

Berangkat dari “sukses” melaksanakan pola Belajar Dari Rumah (BDR) tersebut, Al Hikmah ingin meneruskan walaupun nanti pandemi covid 19 sudah berakhir.  Tentu dalam bentuk yang berbeda dan sangat mungkin blended, yaitu campuran antara BDR dengan Belajar Tatap Muka (PTM).   Untuk itulah diskusi dilakukan untuk mencari bentuk.  Bagaimana mengintergasikan BDR dan PTM.  Dalam diskusi tersebut, kesan saya, kita masih mengaburkan pembelajaran daring (online) dengan pembelajaran dari rumah (jarak jauh).  Sangat mungkin itu dipengaruhi oleh pengalaman melaksanakan model Belajar Dari Rumah (BDR) yang memang dilaksanakan secara daring.  Walaupun sebenarnya banyak sekolah yang melaksanakan BDR tetapi tidak dengan daring karena tidak di daerah tersebut tidak ada sinyal.  Dalam kasus seperti itu, banyak guru menerapkan pola Guru Kunjung didukung oleh bahan ajar tercetak.

Kesan tersebut muncul ketika kami diskusi bagaimana pembelajaran pasca pandemi covid-19.  Dengan pengalaman melaksanakan BDR secara daring yang dianggap cukup berhasil dan efisien, Al Hikmah ingin mengadopsi pola BDR walaupun pandemic covid 19 sudah berakhir. Namun teman-teman juga menyadari bahwa pola BDR tidak dapat sepenuhnya menggantikan pola Pembelajaran Tatap Muka (PTM), khususnya untuk aspek pembentukan karakter dan pendidikan di level awal (TK dan SD).

Nah ketika mendiskusikan bagaimana peralihan dari PTM ke BDR itulah kelihatan bahwa sebagian besar teman-teman menganggap belajar daring berarti siswa tidak datang ke sekolah.  Artinya BDR atau dalam istilah lain Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), sedangkan jika siswa datang ke sekolah berarti PTM “murni” tidak ada daring.  Ketika saya bercerita ada kemungkinan siswa datang di sekolah tetapi pembelajarannya daring, teman-teman kaget.  Mereka baru faham ketika saya memberi contoh, siswa berada di dalam kelas, guru memberikan tugas dan untuk mengerjakannya siswa harus mencari informasi di internet.  Jadi pembelajaran daring tidak sama dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan juga tidak sama dengan belajar dari rumah (BDR).

Menurut saya pola seperti itulah yang akan menjadi trend ke depan. Seperti dicontohkan oleh Bernie Trilling dan Thomas Fadel (2009), para siswa mengerjakan proek tertentu secara berkelompok di sekolah.  Namun berbagai hal untuk mendukung pengerjaan proyek tersebut diperoleh siswa secara daring.  Guru berada di sekolah tetapi lebih berfungsi mendampingi dan menunjukkan dimana informasi dapat diperoleh.  Ketika diperlukan diskusi antara kelompok, bisa saja kelompok lain berbeda di lain tempat dan diskusi dilakukan secara online.

Dalam diskusi dibahas pentingnya pembinaan karakter, khususnya di TK dan SD, sehingga PTM sangat penting untuk memberikan keteladanan.  Menurut saya pola bertahap seperti gambar samping dapat diterapkan.  Di TK dan SD Kelas awal, pembelajaran dilakukan secara tatap muka penuh dan guru masih menjadi sumber informasi dominan.  Dalam tahap itu pendidikan diutamakan untuk membentuk karakter melalui pembiasaan, sedangkan aspek-aspek akademik dimulai secara setahap demi setahap.  Ketika bekal kognitif sudah memadai, siswa mulai dibimbing mencari informasi di internet sehingga pembelajaran online sebagai bagian pembelajaran blended bisa dimulai.

Walaupun siswa sudah memiliki bekal kongnifif cukup baik dan kemampuan mencari informasi telah dikuasai, menurut saya pertemuan tatap muka antara siswa dengan guru (PTM) tetapi diperlukan.  Mengapa?  Karena pemantapan dalam pembentukan karakter tetap diperlukan.  Disamping itu, untuk mataelajaran tertentu yang mengembangkan keterampilan (praktik/praktikum) rasanya PTM tetap diperlukan. Bagaimaa komposisi atara tatap buka dan daring untuk setiap jenjang dan kelas, diperlukan studi mendalam untuk menemukan yang pas.  Walaupun sangat mugkin setiap sekolah tidak sama.