Rabu, 22 September 2021

VISITASI DAN WAKUNCAR

 Hari rabu kemarin, saya mendapat tugas mengikuti rapat validasi dan verifikasi (verval) hasil akreditasi tahap 1 di BAN SM Jawa Timur.  Saya senang, karena acaranga luring dan di kantor BAN SM Jawa Timur di daerah Jl. Adityawarman Surabaya.  Jadi sambil ke kampus Lidah.  Juga senang karena Ketua BAN SM Jawa Timur, Prof Rosminingsih itu teman lama.  Sejak tahun 1990an awal sudah akrab ketika sama-sama ditugasi untuk ikut Tim LSLD di daerah Lamongan.  Biasanya saya memanggih beliau “non” panggilan kepada beliau sejak jaman itu.

Jalannya verval berjalan lancar tidak hal-hal yang menarik.  Memang intinya hanya mengecek apakah hasil visitasi lapangan ketika akreditasi berjalan dengan baik dan hasilnya dapat dipertaggungjawabkan.  Yang menarik justru hal-hal di luar verval, khususnya ketika diskusi tentang sisa dana. Di BAN SM Jatim memang ada siswa dana cukup besar, karena visitasi yang semula dirancang secara luring harus dilaksanakan secara daring. Jadi dana perjalanan tidak terpakai.

Sisa dana itu dimanfaatkan untuk apa?  Diputuskan untuk menambak sasaran visitasi.  Jadi sekolah-sekolah yang semula tidak mendapat kesempatan divisitasi karena keterbatasan dana, akan divisitasi. Jumlahnya masih sangat banyak, dan sisa dana tidak mencukupi untuk semuanya.  Jadi harus dipilih. Nah, ketika memilih inilah diskusi jadi menarik.

Pak Rudi dan Pak Miskan, dua anggota BAN SM Jatim yang senior menyampaikan bahwa biasanya sekolah “kelabakan” jika pemberitahuan akan divistasi mendadak.  Pengalaman di tahap 1 dan 2, sekolah yang menolak divisitasi itu adalah sekolah yang merasa tidak dapat menyiapkan berbagai hal yang akan dilihat saat asesor datang visitasi. Mendengar cerita itu, saya jadi teringat kebiasaan di Jurusan saya, yang semua dosen pontang-panting, kerja lembur ketika saatnya menggunggah dokumen akreditasi dan juga saat menjelang visitasi.  Tampaknya candakaan SKS diplesetkan “sistem kebut semalam” ketika dahulu menjadi mahasiswa juga terjadi di akreditasi, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi.

 Mendengar cerita itu, saya berseloroh tentang anak laki-laki saya.  Suatu saat saya tanya dia, punya pacar atau tidak dan dijawab punya.  Lantas saya tanya pernah ke rumahnya, dijawab ya sering. Saya tanya lagi, biasanya kapan ke rumah pacarmu?  DIjawab, biasanya malam minggu.  Oh, masih seperti jaman dulu itu ya.  Malam minggu itu wakuncar, waktu kunjung pacar. Lantas saya bilang, jangan begitu nak. Agak kaget dia bertanya, kenapa?  Saya jawab, kalau seperti itu, jam 5 sore pancarmu sudah mandi bersih, dandan secantik mungkin, kalau perlu ke salon.  Coba, sesekali kali datang ke rumahnya jam 6 pagi dan tidak usah memberitahu.  Waktu itulah kamu dapat melihat wajah aslinya.  Bukankah kamu ingin tahu wajah dan perilaku sehari-harinya seperti apa kan.

Lantas apa hubungan cerita di atas dengan akreditasi sekolah atau universitas?  Sebenarnya akreditasi itu merupakan external quality assurance (penjaminan mutu eksternal).  Mutu itu merupakan proses panjang dan merupakan hasil kegiatan keseharian sekolah dan universitas. Idealnya akreditasi itu ingin memotret berbagai aspek dalam keadaan natural.  Ibarat pacar tadi yang ingin dilihat wajar sehari-hari, bukan wajah ketika pulang dari salon.  Jadi idealnya, sekolah dan universitas tidak perlu melakukan lembur untuk menyiapkan.  Ya, apa yang ada dalam keseharian itulah yang ditunjukkan, baik saat unggah dokumen maupun saat visitasi.

Bukankah visitasi dilakukan hanya dalam waktu 2-3 hari, apakah asesor dapat memperoleh data tentang “wajah asli” sekolah atau universitas?   Ya, seperti pada penelitian kualitatif, kecanggihan asesor untuk melihat “angle”, dokumen dan “bertanya/bekomuniasi” dengan berbagai pihak akan menentukan keberhasilannya.  Itulah sebabnya asesor sudah mempelajari berbagai data sebelum berangkat visitasi.  Dengan demikian, saat visitasi dengan waktu terbatas itu dapat menemukan data-data yang obyektif dan komprehensif.  Jadi dalam visitasi, asesor harus canggih untuk mendapatkan data yang natural, mirip dengan anak muda yang wakuncar harus pandai menemukan data natural pancarnya.