Sabtu, 19 Maret 2022

ANTARA SUMBER DATA – DATA – INFORMASI

Tanggal 10-12 Maret dan 17-19 Maret saya terlibat dalam P3A (Pelatihan Penguatan Pelatih Asesor) yang dilaksanakan oleh BAN SM (Badan Akeditasi Sekolah/Madrasah) Jakarta bagi anggota BAN SM di propinsi seluruh Indonesia.  P3A dibagi menjadi 7 kelas, dengan peserta di setiap kelas sekitar 20 orang agar proses pelatihan berjalan dengan baik.  Setiap kelas diampu 2 orang nara sumber dan saya berpartner dengan Pak Pranata, yang dahulu menjadi Dirjen GTK.  Pada angkatan pertama, 10-12 Maret, kami berdua mengampu kelas 7 yang pesertanya dari BAN SM Sumatra Utara, sedangkan pada angkatan kedua, 17-19 Maret, kami mengampu kelas 6 dengan peserta dari BAN SM Kalimantar Timur, Bangka Belitung dan Lampung.  Saya dengan Pak Pranata berbagi tugas dan saya kebagian sesi tentang Penggalian Data, yang terdiri dari 3 modul, yaitu Dokumen, Observasi dan Wawancara.

Anggota BAN SM Propinsi umumnya pengawas, dosen, dan widyaiswara di LPMP.  Jadi mereka sudah berpengalaman tentang sekolah.  Mereka umumnya juga sudah cukup senior. Bahkan beberapa orang diantaranya profesor.  Oleh karena itu P3A ini sebenarnya pemantapan saja, sebelum mereka melatih calon asesor.  Paling jauh belajar mengaitkan antara pengalaman penelitian kualitatif dengan situasi sekolah.  Katakanlah diskusi bagaimana melakukan penelitian tentang kualitas sekolah dengan pendekatan kualitatif.  Oleh karena itu, sejak awal saya menggunakan pendekatan adragogi.  Saya mengawali P3A dengan bertanya “mengapa beras yang digiling menjadi putih?”.  Maksudnya, beras digiling menjadi putih karena terjadi gesekan antar butiran beras.  Tugas mesin giling hanya membuat butiran beras saling bergesek.  Jadi tugas nara sumber dalam P3A hanya seperti mesin giling tadi, agar peserta saling bergesek dan menjadi pandai.

Memandu diskusi selama 4 hari, saya menemukan hal menarik untuk dibagi.  Nasehat Sherwood (2002) agar dalam bekerja menerapkan prinsip “seeing the forest for the trees” tidak terjadi.   Pada hal melakukan akreditasi sekolah sangat mirip dengan penelitian kualitatif.  Dengan demikian kita harus faham betul apa yang ingin dijawab sebelum bekerja.  Komponen yang kemudian dijabarkan dalam butir-butir instrument dapat dianalogkan dengan pertanyaan penelitian, yang dicari jawabnya ketika melakukan visitasi ke sekolah.

Yang terjadi dalam diskusi, peserta terjebak membahas data yang ada di dokumen, hasil bagaimana melakukan obervasi serta wawancara.  Diskusi berkutat membahas data tanpa mengaitkan dengan informasi yang harus dicari untuk menjawab butir instrument.  Pada hal di instrument sudah dicantumkan indikator bahkan sub indikator capaian sekolah.  Saya membayangkan alur berpikir yang seharusnya dilakukan jika menggunakan saran Sherwood sebagai berikut.

Jadi relevansi data dengan pernyataan butir, kecukupan data untuk membuktikan benar-tidaknya pernyataan pada butir itulah yang pertama harus dikejar.  Tentu keabsahan (validitas) data juga harus diuji.  Data yang tidak relevan dibuang, atau dalam teori sering disebut reduksi data atau kondensasi data.  Artinya hanya data yang relevan saja yang diperhatikan.  Data yang relevan tersebut harus diuji apakah valid (absah) yang biasanya dengan triangulasi.  Yaitu mengadu data yang satu dengan yang lain, sampai kita yakin mana yang benar (abash/valid).  Setelah itu dianalisis apakah informasi yang dikandung oleh data tersebut telah dapat membuktikan benar-tidaknya penyataan butit.  Juga apakah sudah dapat menggambarkan pada level mana capaikan sekolah untuk butir yang bersangkutan.

Rabu, 16 Maret 2022

MASUKAN UNTUK NASKAH AKADEMIK RUU SISDIKNAS

Rabu 16 Maret 2022, saya ikut dalam FGD untuk memberikan masukan terhadap RUU Sisdiknas di Unesa.  Hasil FGD tersebut akan disampikan ke DPR.  Peserta RDP diberi draft RUU Sisdiknas yang di dalamnya tertulis “DRAf RUU – BK DPR RI”.  Di kanan atas atas tulisan “RANCANGAN TERBATAS UNTUK TIDAK DISEBARLUASKAN”.  Sayang sekali peserta tidak mendapatkan naskah akademik yang menjadi landasan penyusunan RUU tersebut.  Konon naskah akademik-nya masih dalam proses penyusunan.

Bagi orang yang tidak pengalaman dalam penyusunan undang-undang, seperti saya, sebenarnya lebih tertarik membaca naskah akademik.  Masalah bagaimana menunangkan pemikiran di naskah akademik menjadi draft RUU, teman-teman bidang hukum yang lebih faham.  Karena itu,  saya ingin berbagi pendapat apa yang seharus melandasi pemikiran dalam menyusun RUU Sisdiknas.

01.Undang-undang Sisdiknas akan menjadi “payung” berbagai kebijakan dalam melaksanakan pendidikan ke depan.  Jika kita menggunakan prinsip outcome based education (OBE), maka performance lulusan setelah mereka terjun bermasyarakat itu yang menjadi bidikan pertama.  Menurut Moller (2012) pendidikan ke depan, yang penting bukan berapa lama dan apa jenisnya, tetapi yang pokok kalau sudah lulus peserta punya performance seperti apa. Oleh karena itu Trilling and Fadel (2009) menganjurkan desain pendidikan harus memperhatikan kemampuan apa yang diperlukan pada era 20 tahun ke depan, saat lulusan sudah terjun bekerja dan bermasyarakat.

02.Di era great shift (Kasali, 2018) yang dipicu oleh perkembangan itpek yang sekin cepat, Kondratic Cycle (2019) menunjukkan era pendidikan saat ini banyak dipertanyakan apakah masih relevan ke depan. Bahkan Clifton (2013) mempertanyakan apakah universitas seperti yang saat ini ada masih diperlukan.  Ketika apa yang dipelajari siswa/mahasiswa ternyata segera usang atau bahkan sudah usang saat mereka terju ke lapangan, maka kemampuan pokok yang diperlukan adalah “solving problems that do not exist yet, using technology that is not invented yet” (Samani, 2014). Tesis tersebut diperkuat oleh studi World Economic Forum (2019) yang menyebutkan bahwa  anara tahun 2015-2020 (lima tahun), 35% core skills yang saat ini digunakan di dunia kerja akan hilang dan digantika  core skills baru yang belum ada sebelumnya.  Bukan mustahil proporsi tersebut semakin bertambah, karena seringkali terjadi discontinuity dalam penemuan teknologi (Thagard, 2012).

03.Jika tesis pada butir 02 digunakan, maka pola pendidikan akan menuju transdisiplin yang luwes.  Pola pemisahan jalur yang kaku antara pendidikan formal non formal dan informal tidak cocok lagi.  KKNI dan Qualification Framework di berbagai negara sudah memberikan sinyal ke arah tersebut.  Pola pendidikan double track yang selama ini digunakan di Indonesia, sehingga memisahkan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi juga perlu dipertanyakan apakah masih relevan. Konsep heutagogy yang menganggap siswa/mahasiswa sebagai perancang kurikulum bagi dirinya akan lebih cocok untuk digunakan, khususnya di universitas.  Bahkan sudah harus diperkenalkan di SLTA.  Konsep Kurikulum Berdiferensiasi yang diperkenalkan oleh Prof. Conny Semiawan tahun 1990an dapat dilacak kembali konsepnya.

04.Manusia adalah makhluk sosial, yang hidup dalam komunitas, baik di pekerjaan ataupun dalam kehidupan sehari-hari di luar pekerjaan.  Sementara kemampuan “solving problems that do not exist yet, using technology that is not invented yet” itu barulah personal skills yang masih memerlukan tambahan berupa social skills, yaitu “living together in a harmony”.  Artinya pendidikan juga harus menumbuhkan sikap dan kemapuan bagaimana dapat hidup dan atau bekerja secara hamonis dengan orang lain. 

05.Terkait dengan social skills tersebut harus diingat bahwa Indonesia adalah negara dengan heterogenitas tinggi, baik dari suku, budaya, agama dan sebagainya.  Oleh karena pendidikan harus dapat menumbuhkan budaya kebersamaan dengan orang lain yang berbeda suku, berbeda budaya, berbeda agama dan sebagainya.  Apalagi ke depan, borderless country semakin nyata, orang dari berbagai negara akan bekerjasama dan hidup bertetangga.

06.Pendidikan nasional di samping mengembangkan potensi peserta didik untuk masa depannya yang lebih baik, juga mengemban amanah UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan sekedar mencerdaskan pribadi, orang demi orang.   Jadi tesis pada butir 02 dan 04 (solving problems that do not exist yet, using technology that is not invented yet dan living together in a harmony), harus ditambah berjiwa Indonesia.  Pendidikan harus menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur budaya budaya bangsa kepada peserta didik.  Pendidikan memang harus vioner, menyiapkan peserta didik untuk menyongsong masa depan, tetapi juga harus tetap menjaga dan menumbuhkan nilai-nlai luhur bangsa.  Dalam konteks inilah, konsep Pendidikan yang Berkebudayaan yang dlontarkan Yudi Latif (2020) dapat menjadi salah satu rujukan.

07.Pendidikan merupakan tangga mobilitas vertikal (vertical mobility ladder) yang sangat efektif. Oleh karena itu pendidikan yang bermutu harus dapat diperoleh seluruh lapisan masyarakat.  Dengan kenyataan bahwa kesejangan sosial yang masih cukup tinggi, maka pendidikan harus mampu mempersempit gap tersebut.  Keberpihakan kepada masyarakat yang belum mampu mengakses pendidikan secara mandiri harus dijamin undang-undang.

08.Tidak ada pendidikan yang baik tanpa adanya guru yang baik.  McKensie (2018) menyebutkan mutu pendidikan tidak akan pernah melampaui mutu guru. Oleh karena itu penyiapan dan pemberdayaan guru harus menjadi perhatian dalam RUU Sisdiknas.  Negara yang memiliki mutu pendidikan yang baik juga memiliki pendidikan calon guru yang baik. Di Finlandia profesi guru sangat bergengsi, pendidikan guru sangat bagus dan hanya top 5% lulusan SLTA yang berhasil diterima menjadi mahasiswa calon guru (Sahlberg, 2011).  Pola tersebut tampaknya juga ditiru oleh Singapore (Liu, 2022). Oleh karena itu LPTK sebagai lembaga yang sejak awal dirancang untuk menghasilkan guru harus mendapat perhatian khusus dalam  RUU Sisdiknas.   

09.Pendidikan itu ibarat “rumah besar” yang dihuni oleh banyak keluarga dengan latar belakang beragam dan profesi yang beragam pula.  Di antara penghuni tersebut ada yang sudah tinggal sangat lama bahkan ikut mendirikan rumah besar tersebut.  Semua penghuni itu merasa bertanggungjawab bagaimana memelihara dan bahkan merevovasi rumah tersebut agar lebih nyaman buat keluarganya.  Di negara tercinta ini banyak organisasi yang membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan, berupa sekolah swasta.  Jumlah sekolah swasta ternyata lebih banyak dibanding sekolah negeri.  Banyak sekolah tersebut sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka.  Diantara sekolah-sekolah tersebut juga banyak yang melayani masyarakat di daerah terpencil, yang belum terjangkau oleh layanan sekolah negeri.  Oleh karenanya pendidikan nasional tidak dapat menegasikan peran sekolah swasta dan organisasi pendirinya.  UU Sisdiknas harus menyatukan enersi berbagai organisasi semacam itu bersama pemerintah. 

10.Dalam konteks menyatukan enersi dan mensinergikan kekuatan tersebut, pemikiran Ki Hajar Dewantara harus menjadi pedoman.  Ki Hajar Dewantara (1977) berpesan bahwa sekolah swasta tentulah memiliki misi sesuai dengan prinsip yang diyakini kebaikannya. Prinsip tersebut dapat bersumber dari agama, nilai-nilai budaya dan sebagainya.  UU harus memberikan kebebasan kepada sekolah swasta untuk menumbuhkan nilai-nilai yang diyakini kebaikannya tersebut kepada anak didik, sepanjang tidak bertentangan dengan falsafah bangsa Pancasila.

Kamis, 03 Maret 2022

BELAJAR SEJARAH

Bahwa sejarah itu dibuat oleh penguasa, saya sudah sering mendengar.  Bahwa sejarah itu tergantung perspektif yang membuat saya juga sudah sering mendengar.  Jika Pangeran Diponegoro itu dianggap sebagai pahlawan oleh bangsa Indonesia, konon oleh Belanda Pangeran Diponegoro dianggap sebagai pemberontak.  Apa memang begitu, jujur saya belum tahu dan memang belum pernah membaca buku sejarah yg digunakan di Belanda. Namun bahwa ada sejarah diluruskan belum lama saya mengerti.

 

Baru-baru ini ada kabar kalau sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 yang disimbulkan dengan Monjadi (Monumen Jogya Kembali) di ring road utara Jogyakarta konon diluruskan.  Saya tidak mengetahui secara jelas apa yang diluruskan. Di media sosial hanya disebut ada pelurusan siapa yang sebenarnya punya gagasan serangan tersebut dan bagaimana peran Pak Harto dalam peristiwa tersebut.  Sepertinya pelurusan tersebut juga memunculkan tanggapan yang berbeda perspektif.

 

Sekian tahun lalu, kalau tidak salah juga pernah ada diskusi di media tentang hari lahirnya Pancasila dan bagaimana peran Bung Karno dan siapa sebenarnya yang berkontribusi terhadap kelahiran Pancasila tersebut.  Mungkin itu mengapa baru sekian tahun berikutnya hari kelahiran Pancasila itu ditetapkan sebagai hari libur.

 

Siapa yang memutuskan keabsahan peristiwa sejarah ya?  Apakah pemerintah atau sejarawan?  Atas dasar apa penetapan itu dilakukan?  Jujur saya tidak tahu.  Mungkin teman-teman sejarahwan atau hukum ketatanegaraan yang dapat menerangkan.  Yang saya bayangkan tentunya ditentukan atas dasar bukti-bukti yang kuat, komprehensif dan tidak atas dasar pandangan kelompok atau pandangan politik.  Saya kawatir jika penetapan itu atas atas dasar pandangan kelompok atau politik, ketika zaman berubah nanti akan diubah atau bahasa lainnya diluruskan.

 

Merenungkan fenomena tersebut, saya jadi teringat istilah bumi hangus yang disampaikan seorang senior sekian tahun lalu.  Teman tadi khawatir kita mengidap kebiasaan bumi hangus.  Pada awalnya teman tadi membahas peninggalan sejarah.  Mengapa Majapahit, Sriwijaya dan kerajaan era lalu yang konon sangat besar dan bahkan menguasai nusantara tidak memiliki peninggalan bangunan megah. Bahkan lokasinyapun diperdebatkan. Teman tadi lantas berhipotesis, sangat mungkin kerajaan itu dibumihanguskan oleh rezim berikutnya yang tidak ingin dibayang-bayangi pendahulunya.  Teman tadi lantas menunjuk, ketika rezim pemerintahan berganti semua yang dilakukan oleh rezim sebelumnya dinegasikan.  Istilah yang digunakan juga dihilangkan dan kalau akan dilanjutkan diganti dengan nama baru.

 

Mendengar uraian teman itu, saya lantas menimpali bukankah kata Einstein “kita berdiri di atas pundak pendahulu”, artinya ilmu/teori/konsep yang dikembangkan dilandasi oleh ilmu/teori/konsep yang telah dikembangkan oleh para ahli terdahulu.  Berbagai teori/peralatan kehidupan tidak mungkin berkembang jika tidak ditemukan api oleh pendahulu kita. Penemuan listrik menjadi landasan bagi berbagai ilmu/teori/konsep/produk yang sekarang kita nikmati.  Senior tadi menimpali dengan agak kecut dengan mengatakan itulah bedanya ilmu-ilmu keras (hard sciences) seperti matematika, fisika dan keteknikan dengan sejarah.

 

Teman lain yang hadir pada saat ini lantas mengeluarkan kelakar.  Dia ingin menuliskan cerita bahwa sebagai raja dengan berbagai atributnya. Kalau perlu diberi gambar atau foto.  Lantas digulung dimasukan ke dalam tabung dan tabung tersebut dibungkus dengan semen kemudian ditaman dalam tanah.  Nanti 1000 tahu lagi akan ditemukan orang dan dikira itu beneran.  Kami semua ketawa.