Minggu, 15 Januari 2023

APAKAH BER-DWIBAHASA TIDAK MENJADI MASALAH BAGI ANAK KECIL?

Saat ini saya memiliki cucu yang tinggal serumah. Panggilannya Juna. Usianya lima tahun dan sekolah di TK-A.  Sejak usia empat tahun, orangtuanya ingin menyekolahkan.  Namun karena masa pandemi dan sekolah (termauk TK dan KB) menggunakan pola belajar daring, keinginan itu belum dilaksanakan.  Ketika kami berdiskusi menyimpulkan anak masuk KB itu terutama belajar bersosilasi saja.  Kalau belajarnya daring menjadi tidak efektif.  Oleh karena itu, orangatuanya memutuskan tidak jadi masuk KB, tahun berikutnya saja masuk TK.  Konskwensinya mengajari sendiri di rumah. Tahun 2022 baru Juna masuk TK.

Saya sering memperhatikan tingkah laku cucu kecil itu, khususnya cara berbicara dan permaninan kesukaannya.  Menurut saya agak khas.  Orangtuanya membiasakan menggunakan bahasa Inggris ditambah lagi sering melihat film Blibi (kalau tidak keliru) dan juga film di TV lainnya yang sepertinya khusus untuk anak-anak kecil.  Akhirnya komunikasi sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Inggris.  Mungkin dapat disebut “bahasa ibunya” bahasa Inggris.


Nah, ketika sudah ada keinginan memasukan ke KB/TK mulailah dibiasakan berbahasa Indonesia.  Akhirnya berbahasa “ campuran”.  Namun tetap bahasa Inggris lebih dominan. Mungkin karena banyak istilah yang Juna lebih tahu dalam bahasa Inggris. Saat Juna ikut tidur di kamar saya.  Mula-mula bermain kemudian ikut tidur.  Ketika bangun, kalimat yang pertama diucapkan ternyata berbahasa Inggris.  Ketika kami tanggapi, sampai cukup lama dia terus saja berbahasa Inggris.  Bahkan ketika kami tanggapi dengan bahasa Indonesia tetap saja dia berbahasa Inggris.  Baru setelah agak lama mulai menggunakan bahasa Indonesia dan campuran.

Saya jadi bertanya-tanya.  Apakah bahasa ibu Juna itu bahasa Inggris, walaupun di anak orang Indonesia dan tinggal di Surabaya? Memang oleh orangtuanya dibiasakan berbagasa Inggris, tetapi orang-orang sekitar berbahasa Indonesia, Apakah bahasa ibu itu “tercetak” dibawah sadar sehingga ketika tanpa sadar berbicara menggunakan bahasa ibu?  Saya jadi teringat cerita almarhum kerabat yang saat kecil dan termasuk sekolah menggunakan bahasa Belanda.  Karena memang beliau lahir dan sekolah di jaman penjajahan Belanda dan kebetulan orangtuanya “pejabat pemerintahan” di jaman itu, yang konon harus pandai berbahasa Belanda.  Suatu saat beliau bercerita, kalau harus menjelaskan sesuatu yang rumit, yang terpikir di benak adalah uraian dalam bahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia.  Tentu proses penterjamah berlangsung di otak.  Mungkin sama dengan kita, jika harus berbicara bahasa Inggris, yang awal terpola di benak adalah dalam bahasa Indonesia baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Merenungkan itu, muncul pertanyaan “apakah Juna tidak mengalami kesulitan ketika masuk TK”.  TK yang dipilih oleh orangtuanya TK yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.  Memang Juna sudah “pandai” berbahasa Indonesia, namun jika harus menjelaskan sesuatu yang agak sulit, biasanya menggunakan bahasa Inggris.  Apalagi untuk nama-nama benda, warna dan sejenisnya Juna lebih sering menggunakan istilah Inggris.  Jika nonton video, juga selalu film dengan pengantar bahasa Inggris. 

Kerisauan saya muncul karena pernah mendapat cerita kalau anak seringkali mengalami masalah ketika harus ber-dwibahasa (bilingual) dalam kehidupan sehari-hari. Isteri saya yang kebetulan dosen bahasa Inggris juga tidak dapat meyakinkan kalau Juna tidak akan mengalami masalah jika harus ber-dwibahasa.  Oleh karena itu, sejak Juli lalu mencermati bagaimana Juna sehari-hari, termasuk mencari info kalau di sekolah. Kebetulan saya kenal petinggi TK tempat Juna sekolah.

Hasil saya mengamati selama sekitar 6 bulan, ternyata Juna tidak mengalaman masalah yang berarti.  Bahkan akhir-akhir ini lebih sering berbicara bahasa Indonesia dibanding bahasa Inggris.  Memang untuk beberapa istilah Juna tetap menggunakan istilah Inggris, misalnya menyebut airport dan bukan bandara, swimming bukan berenang dan sebagainya.  Bahkan ketika ada temannya isteri saya datang ke rumah dan oleh isteri saya dikenalkan dengan bahasa Inggris, Juna ingin berbahasa Indonesia.  Informasi yang saya dapat dari gurunya, Juna juga tidak mengalami kesulitan bergaul dengan teman-temannya menggunakan bahasa Indonesia.

Bagaimana dengan bahasa Inggrisnya?  Apakah tergerus?  Ternyata tidak. Buktinya saat diajak ngomong dengan bahasa Inggris tetap lancar.  Saya beberapa kali mencoba ngajar ngobrol berpindah bahasa.  Misalnya semula ngobrol dengan bahasa Indonesia, kemudian pindah dengan bahasa Inggris atau sebaliknya.  Ternyata tidak apa-apa.  Memang seperti perlu waktu “pindah bahasa”.  Jadi ketika awalnya ngobrol dengan bahasa Inggris dan kemudian saya akan pindah dengan bahasa Indonesia, beberapa saat awal Juna tetap menggunakan bahasa Inggris walaupun saya menggunakan bahasa Indonesia.  Tetapi itu tidak lama. Mungkin hanya dua atau tidak kalimat, berikutnya menggunakan bahasa Indonesia.

Benarkah Juna tidak mengalami hambatan?  Ada hambatan, tetapi tidak signifikan. Apa itu? Istilah.  Mungkin terlanjur terbiasa menggunakan nama-nama benda atau kegiatan dengan istilah Inggris, maka walaupun berbahasa Indosia tetapi menggunakan istilah tersebut.  Namun setelah dikenalkan istilah Indonesianya, Juna juga tidak kesulitan.  Artinya, ber-dwibahasa ternyata tidak menjadi masalah bagi anak kecil.

Jumat, 13 Januari 2023

ANWAR IBRAHIM

Tadi malam saya mendapatkan kirim video pidato Anwar Ibrahim di CT Crop  Leadership Forum. Saya memutarnya beberapa kali, lebih dari tiga kali, karena jujur saya kagum.  Memang beliau baru beberapa bulan menjadi Perdana Menteri sehingga belum tahu bagaimana implementasi dari apa yang disampaikan pidato tersebut.  Namun kalau diingat bahwa Anwar Ibrahim sudah pernah menjadi menteri dan wakil perdana menteri, juga pernah menjadi pimpinan organisasi kepemudaan dan pimpinan organisasi politik, rasanya yang diucapkan itu berasal dari hatinya.

Mengapa saya kagum?  Menurut saya pengetahuan Anwar Ibrahim sangat luas, mungkin melebihi pada akademisi di kampus kita.  Beliau fasih berbicara tentang perdebatan Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd, mengkritisi konsep Spengler tentang kemerosotan dunia Barat (the decline of the west), pemikian Fukuyama tentang akuntabilitas demokrasi dan sebagainya.  Anwar Ibrahim sepertinya juga membaca tulisan tokoh dari Indonesia, karena menyebut Soekarno, Hatta, Natsir, Sutan Syahrir, Soedjatmoko dan sebagainya.  Beliau juga menyebut buku Manusia Indonesia  yg ditulis Mochtar Lubis dan puisi Taufiq Ismail yang berjudul Aku Malu Jadi Orang Indonesia.  Semua itu disampaikan dengan mengalir tanpa teks, sehingga dapat diduga itu semua sudah dikuasainya.

Beberapa hal-hal penting yang dapat saya catat. Pertama, perhatian beliau terhadap demokrasi dan keadilan yang substantial.  Bukan di permukaan.  Anwar Ibrahim mengatakan demokrasi itu harus akuntabel. Pemilu tidak hanya dilihat dari kertelaksanaan, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan apakah yang orang yang terpilih itu benar terpilih dengan cara yang benar dan apakah setelah terpilih benar-benar mengemban amanah rakyat pemilihnya.  Walaupun tidak menyebutkan, tampaknya Ibrahim menengarai selama ini ada pemilu yang tidak jujur dan suara dapat “dibeli”, sehingga yang terpilih sebenarnya bukanlah yang dikendaki oleh rakyat banyak.  Akhirnya setelah terpilih juga tidak mengemban amanah rakyat. 

Berkali-kali Anwar Ibrahim menyampaikan bahwa pembangunan politik dan ekonomi ujungnya adalah keadilan sosial.  Pertumbuhan itu penting tetapi jika tidak disertai dengan keadilan justru akan menimbulkan kesenjangan dan jika itu terjadi sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan bernegara.  Anwar juga menyebutkan tidak setuju jika semua hanya dilihat dari data statistik.  Diberikan contoh, bahwa orang bangga karena angka kemiskinan tinggal 15% tanpa melhat apa di dalam 15% itu.  Coba kita berada di kelompok yang 15% itu, pasti akan memberikan simpulan yang berbeda.

Kedua, beliau sangat memperhatikan kemanusiaan (humanity) dan kerendahhatian (humility).  Ketika menyinggung saat di penjara, beliau mengataan penderitaan yang dialami dalam penjara itu relatif lebih ringan dibanding yang dirasakan rakyat banyak.  Memang mereka tidak dipenjara tetapi kemiskinan yang dialami mereka menyebabkan tidak dapat makan secara baik, dan anak-anak mereka tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik.

Mengutip Eliot, Anwar Ibrahim mengatakan bahwa kerendahhatian tidak pernah berhenti (humility is endless).  Mengambil contoh bagaimana seorang pejabat juga harus merasa tidak tahu semua hal, sehingga harus mau mendengar pendapat dan nasehat dari orang lain. Beliau memberi contoh bagaimana merasa mendapat pengetahuan saat Presiden Jokowi menyampaikan konsep hilirisasi dan penguatan UMKM.  Walaupun telah membaca sangat banyak buku, Anwar merasa mendapat pengetahuan baru dari Pak Jokowi. Anwar Ibrahim mengundang teman-teman untuk memberi nasehat apa yang sebaiknya dilakukan sebagai perdana Menteri.

Ketiga, Anwar Ibrahim ternyata sangat faham tentang konsep dasar pendidikan.  Dia mengingatkan spesialisasi memang penting, tetapi jangan sampai melupakan konsep dasar pendidikan yang utuh yang tujuannya untuk meningkatkan martabat manusia.  Pendidikan harus dapat menumbuhkan kemanusian (humanity), kasih sayang kpd orang lain (compassion), dan prinsip-prinsip keadilan (principle of justice).

Anwar Ibrahim juga menyebutkan pentingnya kemampuan berpikir kritis (critical thinking) dalam pendidikan.  Dengan ilustrasi perdebatan antara Al Ghazali dan Ibnu Rusyd, bagaimana sebarusnya orang Islam berpikir kritis. Jika mengutip Al Qur’an harus jelas surat apa, ayat berapa dan apa maknanya.  Jika mengutip hadits harus jelas sanatnya dan sebagainya.  Dengan begitu orang tidak mudah terperangkat dalam pemahaman sempit yang kemudian menjadi ekstrim.