Rabu, 21 Desember 2022

GILI TRAWANGAN

Walaupun sudah sering ke Lombok, baru kali ini saya menyeberang ke Gili Trawangan, setelah mengelilingi Gili Air dan melintas di dekat Gili Menu.  Menurut saya sungguh indah dan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata skala internasional. Memang saya sudah sering mendengar bahwa di Gili Trawangan tidak ada mobil dan motor dan tidak ada kendaraan bermotor lainnya. Di samping untuk menjaga polusi bahan bakar, konon supaya “situasi alam” tetap terjaga. Ternyata itu benar.  Sudah ada scoter listrik. Mungkin ini jalan tengah.

Setelah ada pemekaran, tiga pula Gili tersebut di atas masuk wilayah Kabupaten Lombok Utara, sehingga dari dermaga kecil-tradisional sebelah utara Malaka itu kami, rombongan LAMDIK menyeberang.  Oleh pemandu, sebelum menyeberang kami ditanya, siapa yang akan snorkling, siapa yang akan manja – hanya melihat ikan dan karang dari kaca perahu, dan siapa yang akan langsung Goli Trawangan.  Tampaknya perahunya berbeda.  Anak-anak muda banyak yang memilih snorkling, sementara semua yang tua, termasuk saya, memilih manja.

Karang yang terlihat di sekitar Gili Air ternyata tidak seindah yang saya bayangkan.  Saya membayangkan ujung-ujung karang itu berwarna-warni, cerah dan bergerak-gerak bagai daun ditiup angin sepoi-sepoi.  Karang di sekitar Gili Air tampak kusam dan tidak banyak yang punya ujung berwarga cerah. Sangat sedikit yang bergerak mengikuti ombak.  Saya tidak tahu dan memang bukan ahlinya, apakag itu tanda-tanda karang yang rusak atau memang aslinya seperti itu.  Jika itu rusak, mungkinkah karena terlalu banyak polusi akibat banyaknya perahu yang lalu lalang membawa wisatawan?  Tampaknya perlu ahli yang meneliti agar ditemukan solusi yang terbaik.

Bagaimana dengan ikannya?  Melalui kaca di perahu, saya melihat ikan kecil-kecil berwarna warni. Cukup indah.  Ikan-ikan tersebut sepertinya sudah “jinak”, karena ketika kami melempar potongan roti kecil-kecil, mereka memakannya.  Jadi tidak takut dengan orang.  Apakah pemberian makanan (roti) seperti baik untuk kelestarian ikan atau justru sebaliknya, saya tidak tahu.  Seandainya berakibat kurang baik, mungkin perlu pengumuman dan para pemandu wisata memberitahukan kepada para tamu.

Kami tidak sempat singgah (naik ke pulau) baik di Gili Air maupun Gili Menu.  Memang fokusnya wisata air dan waktunya tidak cukup kalau mendarat ke kedua pulau tersebut. Oleh karena itu setelah puas menikmati pemandangan air di sekitar Gili Air, langsung menuju Gili Trawangan untuk makan siang dan wisata di daratannya.  Dalam perjalanan, termasuk saat keliling di Gili Air kami menjumpai banyak sekali wisatawan yang sedang snorkling. Kebanyakan wisata asing (bule) yang melakukan snorkling secara rombongan dan agak jauh dari pantai. Tampaknya perahu yang mengantarkan juga berjaga disekitar para snorkler itu.  Mungkin jaga-jaga yang kalau ada sesuatu yang harus ditolong.

Sampai di Gili Trawangan, sungguh saya kagum.  Pulau itu dikelilingu jalan paving selebar sekitar 4 meter. Tidak ada bangunan diantara jalan dengan pantai. Yang ada kursi-kursi untuk wisatawan yang makan atau minum, sedangkan warung atau restorannya di seberang jalan.  Di antara jalan paving dengan pantai atau jalan khusus untuk pejalan kaki dengan ketinggian sekitar 15 cm di atas jalan paving.  Di bibir pantai ditumbuhi pepohonan besar-besar, sehingga pejalan kaki maupun wisawatan yang makan atau minum berada di keteduhan.  Sungguh nyaman.

Yang menarik ada Balai Pengobatan yang di papannya tertulis melayani BPJS dan ada dokter on call.  Di samping resoran dan café juga ada hotel.  Ada juga tempat untuk belajar snorkling dan diving.  Juga ada masjid yang cukup besar dengan halaman cukup luas,  luayan bersih dengan air wudhu yang melimpah.  Saat kami ikut sholat dhuhur jama’ah juga cukup banyak.  Di beranda masjid akan tempat yang infonya untuk mengaji. Tidak ada penjaja souvenir seperti di tempat wisata lain, sehingga wisatawan tidak terganggu oleh mereka.  Memang ada penjual souvenir, tetapi di beberapa kios di tepi jalan.

Karena tidak ada kendaraan bermotor, yang lalu lalang di jalan adalah cidomo dan sepeda.  Memang banyak speda yang dapat disewa. Juga da beberapa scoter listrik yang juga dapat disewa. Namun sepertinya yang paling banyak disewa adalah speda.  Naik cidomo berkeliling Gili Trawangan bertaif 150 ribu.

Pengamatan saya jumlah wisatawan asing dan domestik sebanding.  Mungkin sedang awal liburan sekolah, sehingga banyak anak-anak yang dibawa orangtuanya berwisata ke Gili Trawangan.  Seperti di daerah lain, wisatawan banyak yang hanya memakai celana pendek dan yang wanita banyak memakai bikini.  Sementara wisatawan domestik umumnya memakai kaos dan celana Panjang.

Gili Trawangan cukup bersih.  Namun masih perlu dirapikan.  Karena cuaca panas dan di pantai, akan sangat baik jika di beberapa tempat di tepi jalan ada tempat cuci tangan dan cuci kali setelah wisatawan bermain air di pantai. Tempat sampah juga perlu ditambah dengan dipilah untuk sampah organik dan non organik.  Terlepas dari kekurangan itu, pengaturan di antara jalan dengan pantai tidak ada bangunan dan tidak ada kendaraan bermotor, juga tidak ada pedagang asongan merupakan awal kebijakan yang sangat baik.

Senin, 05 Desember 2022

SEKOLAH MASA DEPAN (2)

Di penghujung bulan November 2022, saya berkesempatan ikut acara LAM Kependidikan di Jakarta. Acara yang bertema Arah Perkembangan Pendidikan Tinggi Di Era Digital, dihadiri oleh Prof. Dr. Mohammad Nuh - mantan Menteri Pendidikan, Prof. Intan Ahmad, PhD – mantan Dirjen Belmawa Kemristekdikti, Bahrul Hayat, PhD – mantan Sekjen Kementerian Agama, dan Prof Ganefri, PhD – Rektor Univ Negeri Padang sekaligus Ketua ALPKNI. Acara dikemas dalam bentuk FGD, sehingga terjadi diskusi yang menarik.  Saya ingin berbagi catatan saya dalam acara tersebut yang ternyata gayut dengan tulisan saya di blog ini beberapa hari lalu.

Yang dimaksud “sekolah” pada tulisan ini bukan SD, SMP, SMA, SMK saja tetapi juga mencakup pendidikan formal lainnya, termasuk perguruan tinggi.  Memang yang dibahas pada acara tersebut fokus pada pendidikan tinggi, tetapi menurut saya juga berlaku di dunia persekolahan (SD,SMP, SMA, SMK, MI, MTs, MA dan sejenisnya).  Pokok semua jenis pendidikan formal.  Berikut ini catatan saya:


 1.   Sekolah adalah persiapan bekerja dan mengarungi kehidupan kehidupan bermasyarakat.

 

Problem kehidupan tidak dapat difahami dan dipecahkan dengan pendekatan monodisplin.  Oleh karena ini pola pikir disciplined mind harus dilengkapi synthesizing mind, yaitu mensintesiskan dua atau lebih disiplin ilmu untuk memahami dan memecahkan masalah. Untuk mensintesiskan dua atau lebih displin ilmu diperlukan kemampuan berpikir kritis, agar mampu mengaitkan satu dengan lainnya. 

 

Dalam kehidupan selalu muncul problem baru, oleh karena itu pola pikir harus dilengkapi dengan creative mind, sehingga berpikir kreatif harus ditumbuhkan kepada siswa.  Namun karena kreativitas akan memunculkan hal-hal baru dan itu memungkinkan timbulnya perbedaan pandangan, maka respectful mind sangat diperlukan.  Pada akhirnya semua itu harus memperhatikan norma dan etika yang berlaku, sehingga ethical mind menjadi landasannya.  Kelima pola pikir yang dikembangkan oleh Howard Gardner tersebut (disciplined mind - synthesizing mind - creative mind - respectful mind - ethical mind) harus ditumbuhkembangkan pada siswa secara utuh dan seimbang.

 

2.   Dari hind sight ke in sight dan terus ke fore sight untuk memecahkan masalah.

Dalam menerapkan lima pola pikir untuk memecahkan masalah diperlukan pergeseran pola pikir dari hindsight ke insight dan selanjutnya ke foresight. Tahap berpikir hindsight yang berusaha mendeskripsikan fenomena yang terjadi memang dapat menjelaskan fenomenanya, namun tidak dapat menjelaskan mengapa itu terjadi. Dalam kecelakaan lalu lintas, pola pikir hindsight menjelaskan kejadian itu secara rinsi, tetapi tidak menjelaskan mengapa kecelakaan itu bisa terjadi. Untuk itu diperlukan pola pikir insight yaitu menganalisis dengan synthesizing mind mengapa itu terjadi.

 

Jika sudah menemukan penyebab terjadinya kecelakaan tentu perlu dicari cara mencegahnya secara kreatif dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku di daerah setempat.  Sebaliknya jika fenomena yang terjadi diharapkan terulang kembali, misalnya siswa yang antusias mengikuti pelajaran, maka harus dicari Langkah agar itu terulang kembali.  Itulah yang disebut foresight.  Hindsight- insight – foresight itulah yang harus ditumbuhkan kepada siswa/mahasiswa sesuai dengan konteksnya.

3.   Borderless Eduaction.

 

Dua puluh tahun lalu Kenichi Ohmae menulis buku Borderless World, dan kini untuk pendidikan sudah terbukti.  Dengan penduduk sangat besar dan merupakan negara berkembang dengan mutu pendidikan belum bagus, Indonesia seakan menjadi pasar pendidikan bagi sekolah/universitas dan negara maju.  Iklan, seminar, dan agen pendidikan yang membantu anak Indonesia menempuh pendidikan di negara lain terus bermunculan.  Jika itu dianggap mahal, kemudian sekolah/universitnya “dipindah” ke Indonesia, sehingga sekolah luar negeri “membuka cabang” di Indonesia dengan berbagai nama.

 

Yang tertarik untuk membuka sekolah luar negeri di wilayah Indonesia ternyata tidak hanya pemilik sekolah di negara maju.  Banyak orang Indonesia yang juga menginginkan. Karena ini biayanya terjangkau, maka yang dikembangkan adalah sekolah Indonesia tetapi menggunakan kurikulum dari luar negeri dan atau sistem pendidikannya.  Teknologi digital ternyata juga menjadi pendukung fenomena ini karena memudahkan penerapan sistem tersebut.

 

Jumlah sekolah luar negeri yang membukan cabang di wilayah Indonesia dan sekolah Indonesia yang menggunakan kurikulum asing terus betambah , sehingga borderless education sudah terjadi di negeri ini.  Tentu ada plus-minusnya.  Plusnya, anak Indonesia dapat lebih mudah mendapatkan pendidikan berkelas luar negeri. Minusnya terjadi segmentasi, karena sekolah-sekolah tersebut mahal sehingga hanya anak dari keluarga kaya yang dapat menjangkaunya.  Segmentasi memang sesuatu yang alamiah. Namun itu harus diminimalkan. Tugas pemerintah dan kita semua untuk mencari cara meminimalkan gap tersebut.

 

4.      Personalized Digital Learning

Generasi Z ternyata sangat percaya diri, punya kemandirian dan aspirasi yang sangat kuat. Mereka cenderung ingin menentukan sendiri apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara belajarnya. Oleh karena itu pola pendidikan seperti sekarang ini sudah lagi tepat bagi mereka.  Personalized digital learning akan menjadi alternatifnya.  Mereka diberi kesempatan menentukan apa yang ingin dipelajari dan bagaimana cara belajarnya. Tentu diperlukan guru sebagai pendamping, mulai dari pemilihan materi dan mempelajarinya.  Heutagogy dengan self-determined merupakan pola yang cocok.

Personalized digital learning diyakini para ahli mampu menumbuhkan motivasi belajar siswa, karena mereka mempelajari sesuatu yang diinginkan. Namun, di sisi lain memerlukan persiapan yang matang.  Sekolah harus menyediakan guru yang mampu menangani. Bukan sekedar menguasai materi ajar, lebih dari itu dapat memahami bahwa tujuan pembelajaran bukan untuk penguasan materi kurikulum, tetapi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.

Senin, 28 November 2022

SEKOLAH MASA DEPAN

Sembilan tahun lalu, sekitar Maret 2013 saya mengunggah tulisan di blog ini dengan judul “Segala Info ada di Google, Terus Tugas Sekolah Apa Ya?”.  Artikel pendek tersebut kemudian oleh Mas Adriono digabung dengan tulisan lainnya disatukan menjadi buku dengan judul “Semua Di-handle Google, Tugas Sekolah Apa?”.  Buku yang pertama terbit Tahun 2016 tersebut mengalami cetak ulang karena banyak peminatnya. E-book-nya sekarang sudah diunggah di internet dan semua dapat mengunduh dengan gratis. Sebagai penulis saya banyak diprotes oleh teman guru, dianggap menegasikan peran mereka karena dapat digantikan oleh Google. Guru juga takut jika siswa dibebaskan membuka internet, moralnya akan rusak karena terpengaruh oleh konten yang kurang baik..

Artikel tersebut tidak berasumsi bahwa tugas guru dapat digantikan oleh Google.  Yang ingin ditunjukkan adalah bahwa informasi tentang suatu konsep atau teori dengan mudah dapat diperoleh di Google.  Jika siswa dapat memperolehnya, tentu tugas guru menjadi ringan bahkan semestinya berubah. Seperti kata Charles Handy, Ketika siswa dengan mudah mendapatkan informasi dari dunia maya, maka peran guru harus berubah.  Dalam artikel tersebut saya mengajukan gagasan, tugas guru berubah dari menjelaskan konsep (teaching) menjadi mendampingi siswa mecari dan memilih informasi yang tepat, menganalisis guna memahami suatu fenomena dan atau memecahkan masalah. 

Pandemi covid 19 dan pemerintah memutuskan pembelajaran mulai dari TK sampai perguruan tinggi dilakukan secafa daring, pola pembelajaran berubah total. Sedikit banyak, artikel pendek yang semua ditanggapi negatif mulai “dibenarkan”.  Karena pembelajaran dilakukan daring, tentu siswa membuka platform tertentu, seperti zoom, google meet dan sejenisnya.  Tentu siswa juga berkesemapatan membuka situs lainnya.  Guru juga mulai “membiarkan” dan bahkan meminta siswa berselancar di internet untuk mencari tulisan tertentu.  Seorang rekan berkelakar bahwa tulisan saya menjadi kenyataan.

 

Nah, ketika pandemi berjalan justru muncul fenomena baru yang lebih mengejutkan dan perlu dicermati.  Dengan pengalaman melaksanakan pembelajaran daring, beberapa universitas, sekolah dan lembaga pelatihan mengembangkan pembelajaran dan atau pelatihan yang dilaksanakan secara daring sepenuhnya.  Bukan karena tidak dapat dilaksanakan secara luring, tetapi memang dirancang secara daring penuh. Mungkin Coursera merupakan salah satu pioneer melakukan kursus secara daring, dengan bekerjasama dengan universitas ternama di bebagai negara.  Coursera mirip Tokopedia, Traveloka, RB&B dan sejenisnya. Hanya yang “dijual” adalah kursus.  Beberapa universitas juga mulai menawarkan prodi dengan perkuliahannya dilaksanakan secara daring seluruhnya. UT yang dahulu menggunakan modul tercetak, kini bertranformasi menjadi daring.

Kemdikbudrsitek sekarang mem-back up pendirian ICEI (Indonesia Cyber Education Institute) yang sangat mirip dengan Coursera dan bekerjasama denga sejumlah universitas.  Melalui ICEI peserta dapat menempuh matakuliah yang ditawarkan oleh universitas tertentu. Jika peserta merupakan mahasiswa suatu universitas, dapat saja hasil kuliah melalui ICEI tersebut diakui oleh universitas tempat kuliahnya.  Jadi mahasiswa universitas “X” dapat menempuh matakuliah tertentu di universitas “Y”.  Jika itu berjalan mulus, maka akan terjadi perubahan fundamental dalam pendidikan di perguruan tinggi.  Jika Kemdikbudristek meluncurkan program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), maka ICEI dapat menjadi wahana pelaksanaannya dan bahkan lebih jauh dari itu, karena “menjebol dinding” universitas dalam pelajanan perkuliaan.

Bagaimana dengan sekolah?  Maksudnya di level pendidikan dasar dan menengah?  Sampai saat ini saya belum mendengar ada sekolah yang melaksanakan pembelajaran daring secara penuh. Bahkan pemerintah agaknya mendorong sekolah melaksanakan pembelajaran secara luring, setelah pandemi mereka. 

Namun mulai ada sekolah swasta yang merancang terobosan bahkan sudah mulai mencoba melaksanakan. Mungkin karena sekolah swasta jadi memiliki “ruang gerak” lebih lebar dibanding sekolah negeri, sehingga “berani melakukan”.  Terobosannya juga tidak main-main. Bukan sekedar mengubah moda pembelajaran, tapi justru melakukan transformasi kurikulum secara substantif.  Memang masih dalam taraf awal, tetapi melihat track record tersebut bukan mustahil akan menjadi trend setter.  Apalagi sekolah tersebut memang membebaskan pola yang dikembangkan untuk diadopsi sekolah lain. Bahkan rela membantu sekolah yang mengadopsinya.

Materi yang berupa konsep dan teori dilaksanakan secara daring dengan melibatkan guru-guru dan ahli yang menguasai materinya.  Para ahli berasal dari kalangan pendidikan maupun praktisi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.  Sekolah tersebut mengandeng guru-guru terbaik dan berbagai sekolah, termasuk dari luar nageri.  Apakah siswa tidak ke sekolah?  Tetap ke sekolah, tetapi bukan untuk menerima mendengarkan penjelasan guru ataupun mendiskusikan materi tertentu. Bagian itu sudah diselesaikan secara daring.  Saat di sekolah, siswa mengerjakan proyek tertentu yang merupakan akumulasi dari materi yang telah dipelajari yang kemudian diterapkan dalam kehidupan.   Jadi di sekolah siswa menerapkan project based learning (PjBL).

Bagaimana dengan pengembangan karakter?  Bukankah sekolah tersebut sangat peduli dengan pendidikan karakter?  Sungguh menarik.  Setiap konsep dan teori yang dibahas secara daring selalu dikaitkan dengam nilai-nilai dan norma kehidupan.  Saya termasuk kagum, topik tentang Matematika dan Fisika ternyata dapat dikaitkan dengan nilai-nilai social-keagamaan.  Nilai-nilai tersebut kemudian by design diintegasikan kedalam proyek yang dikerjakan di sekolah.

Bagaimana hasilnya?  Tampaknya kita masih harus menunggu, karena program tersebut baru dimulai. Namun, melihat kesungguhan dan trach record sekolah tersebut rasanya probabilitas keberhasilan cukup tinggi. Dan jika ternyata berhasil juga diterapkan di Indonesia, sangat mungkin akan menjadi model sekolah di masa depan.

Sabtu, 26 November 2022

INSPIRASI PIALA DUNIA BAGI DUNIA PENDIDIKAN

Sebenarnya saya bukan pecandu bola, namun karena Piala Dunia (World Cup) pertandingan tingkat dunia saya perlukan untuk menonton.  Dan Piala Dunia yang baru beberapa hari ini memberi kejutan yang membuat sata bingung.  Nalar saya sulit memahami bagaimana Tim Saudi Arabia dapat mengalahkan Tim Argentina yang dikomandani oleh Lionel Messi-pemain top dunia yang semua pecandu sepak bola pasti mengenalnya.  Kekagetan bertambah lagi Ketika Tim Jepang menekuk Tim Jerman.  Kenapa kaget? Karena setahu saya kampiun sepak bola itu negara-negara di Eropa atau Amerika Latin.

Apa yang terjadi kali ini?  Walaupun tidak ahli sepak bola, saya terdorong untuk mencari tahu dengan bertanya ke teman-teman dari Fakultas Ilmu Olahraga yang tentunya tahun tentang hal itu.  Sayangnya saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.  Yang muncul justru kelakar yang sudah biasa kita dengan “bola itu bundar”.  Akhirnya saya mencoba mencari berbagai informasi dan yang paling mudah yang melalui internet.

Pertanyaan yang pertama muncul di benak saya, apakah dalam Piala Dunia suatu negara dapat “mengimpor” pemain dari negara lain?  Pertanyaan itu muncul, karena dalam klub bola jual-beli pemain itu biasa.  Klub yang kaya dapat membeli pemain top, sehingga dapat meningkatkan mutu permaninan timnya.   Untuk itu saya mencoba melacak siapa saja pemain Tim Saudi Arabia saat menekuk Argentina.  Dari nama-namanya, saya yakin mereka orang Saudi. Seorang teman juga menjelaskan dalam Piala Dunia hanya warga setempat yang boleh mewakili negaranya.

Jika semua pemain Saudi Arabia adalah warga negara setempat, bagaimana bisa mengalahkan Tim Argentina?  Untuk mencari jawaban itu saya mencoba mencari video atau tulisan tentang bagaimana Tim Saudi berlatih.  Sayang sekali saya tidak dapat menemukan.  Saya justru menemukan video tentang Ronaldo dan Messi berlatih. Saya terkejut melihat video tersebut.  Ternyata pemain bola sekelas Ronaldo dan Messi itu mau berlatih fisik dan teknis, seperti lari meliuk-liuk diantara tiang dan atau cone.  Mereka juga latihan melompat-lompat dan mendribel bola. Bayangan saya itu bentuk latihan bagi pemain pemula.

Informasi tersebut saya tanyakan ke teman yang faham tentang sepak bola dan mendapat jawaban yang lumayan meyakinkan.  Pemain bola professional sekelas Ronaldo dan Messi, seperti juga pemain olahraga professional lainnya, selalu berlatih keras karena tidak mau performance-nya turun.  Jika performance-nya turun, tidak akan dipakai lagi oleh klub dan itu yang ditakuti oleh para pemain sepak bola professional.  Teman tersebut juga menjelaskan, para pelatih Piala Dunia jauh hari sudah memikirkan strategi latihan dan strategi permainan dengan menggunakan pemain setempat.  Mereka memutar otak bagaimana caranya agar dengan pemain setempat tersebut performance tim dapat maksimal sehingga memenangkan pertandinggan.  Dengan mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan, para pelatih akan BERINOVASI mencari strategi yang diyakini membuat tim-nya bermain bagus.  Dan ternyata INOVASI yang dilaksanakan oleh Tim Suadi Arabia dan Jepang berhasil.

Mendengarkan penjelasan teman tersebut membuat saya merenung, apakah pola pikir tersebut dapat diadaptasi dalam dunia pendidikan ya.  Bukankah menurut Abu Dohuo hasil belajar siswa itu sangat dipengaruhi oleh INOVASI guru dalam mengajar.  Bukankah dalam berinovasi, guru harus memanfaatkan sarana yang ada dan bukan meminta tambahan sarana yang tidak mungkin dipenuhi oleh sekolah. Tetapi guru itu setiap hari mengajar, sehingga kapan punya waktu berlatih?  Pemain sepak bola paling bertanding 1 bulan sekali atau katakanlah 2 minggu sekali, sehingga punya waktu cukup untuk berlatih.

Saya jadi teringat tulisan Allwright (1983) yang menjelaskan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) itu adaptasi dari Classroom Centered Research (CCR) yang tujuan awalnya bukan untuk karya ilmiah tetapi untuk memperbaiki proses pembelajaran di kelas.  Mungkinkah PTK “dikembalikan” seperti asalnya yaitu CCR dan digunakan sebagai wahana INOVASI pembelajaran untuk menggantikan latihan yang memang guru tidak memiliki kesempatan untuk itu?  Dan itu dilaksanakan secara berkelanjutan karena inovasi harus terus dilakukan?  Sebutlah PTK Berkelanjutan (PTK-B).  Jadi meniru pemain bola yang terus menerus berlatih dan berinovasi agar menang dalam pertandingan.

Karena tidak dimaksudkan untuk karya ilmiah, maka kaidah penelitian ilmiah dapat “dilonggarkan”.  Agar lebih mudah memahami, kita tiru pola kerja dokter dalam menangani pasien.  Data rekam medis merupakan andalan dokter saat menangani pasien. Dari rekam medis diketahui riwayat sakit pasien dan pengobatan serta treatment yang pernah diberikan.  Jika pasien diberi obat tertentu dan ternyata belum sembuh akan dianalisis apa yang kurang tepat dan apa obat yang lebih cocok. Mungkinkah itu diadaptasi dalam PTK-B?  Guru memiliki catatan tentang apa yang dilakukan, bagaimana respons siswa dan bagaimana hasil belajarnya.  Catatan tersebut didokumentasikan menjadi Catatan Kelas (CK) yang memuat riwayat inovasi pembelajaran di kelas tertentu. Dengan mencermati CK guru dapat memperbaiki pembelajaran agar respons siswa dan hasil belajarnya lebih baik.

Apakah data pada CK dapat dijadikan bahan menyusun karya tulis ilmiah?  Tentu saja bia. Namun dengan mensistematisasi agar memenuhi kaidah karya ilmiah.  Namun tetap harus diingat bahwa tujuan pokok PTK-B dan CK adalah untuk memperbaiki proses pembelajaran. Karya tulis yang dihasilkan hanyalah bonus bukan tujuan utama.  Semoga.

Jumat, 11 November 2022

MISKONSEPSI TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER

Pagi ini saya mendengarkan diskusi tentang kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang menghilangkan PR bagi siswa SD dan SMP.  Diskusi terbuka itu dilaksanakan oleh sebuah radio Swasta ternama di Surabaya.  Sebagai ganti PR yang dihilangkan itu, setiap hari disediakan 2 jam pelajaran yang dikhususkan untuk Pendidikan Karakter.  Mendengarkan diskusi tersebut, saja jadi ingat suatu tulisan di suatu papan besar di pinggir jalan raya bertuliskan “ANDA MEMASUKI DAERAH TERTIB LALU LINTAS”. 

Apa pemahaman Anda membaca tulisan tersebut?  “Oh, saya harus berkendaraan secara tertib di wilayah tersebut, kalau tidak sangat mungkin ditilang.  Mungkin tafsir itu betul dan sangat mungkin memang begitu yang dimaksudkan oleh di pembuat papan peringatan tersebut.  Namun muncul pertanyaan, apakah berarti DI LUAR WILAYAH TERSEBUT KITA BOLEH TIDAK TERTIB DALAM BERLALU LINTAS?  Bukankah Undang-undang Lalu lintas berlaku di seluruh Indonesia?

Pikiran itu juga yang terlintas di benak saya Ketika mendengarkan diskusi di radio tersebut.  Jadi Pendidikan karakter hanya dilakukan di dua jam pelajaran tersebut?  Jadi di luar dua jam tersebut tidak terjadi pendidikan karakter?  Jika itu yang dimaksud, menurut saya terjadi miskonsepsi terhadap pendidikan karakter.  Pendidikan karakter itu berlangsung setiap saat. Semua matapelajaran mengajarkan karakter. Semua guru adalah guru karakter.  Pendidikan karakter yang paling efektif melalui teladan, karena anak lebih mempercayai apa yang kita lakukan dibanding apa yang kita omongkan.  Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pendidikan karakter di sekolah yang paling efektif jika dilakukan melalui budaya sekolah. 

Manusia itu memiliki fitrah ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jika sekolah bersih dan tertib, guru yang staf sekolah ramah, guru dan staf bekerja keras, maka secara bertahap siswa akan menirunya.  Jika itu dilakukan terus menerus akan menjadi kebiasaan dan jika itu disertai kesadaran akan makna positifnya, akan menjadi budaya. Tidak percaya?  Kalau kita pergi ke mal atau kantor yang bersih, tentu kita tidak mungkin membuang sampah sembarangan.  Jika kita akan datang ke kantor yang kita tahu karyawannya berpakaian rapi, tentu kita tidak akan berpakaia sembarangan.  Orang Indonesia kalau di negara maju juga akan ikut tertib.  Mengapa demikian?  Karena ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan. Nah, demikian juga yang terjadi pada pendidikan karakter.

Apa maksudnya semua matapelajaran mengajarkan karakter dan semua guru adalah guru karakter?  Pertama, perlu difahami karakter tidak hanya terkait dengan sopan-santun dan baik kepada orang lain, tetapi juga mencakup jujur, disiplin, kerja keras, mandiri, suka membantu dan sebagainya.  Bahkan juga mencakup kesadaran akan eksistensi diri, baik sebagai makhluk Allah swt dan  sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat.  Bukankah hal-hal seperti disiplin, kerja keras, senang membantu orang lain juga penting diterapkan di semua matapelajaran.  Misalnya, guru Matematika tentu ingin siswa jujur dan tidak menyontek, siswa kerja keras dan pantang menyerah saat mengerjakan tugas, punya disiplin waktu sehingga tidak terlambat datang ke sekolah maupun mengerjakan tugas.

Apa yang dimaksud semua guru adalah guru karakter?  Seingat saya, dalam Kurikulum 2013 ada Kompetensi Inti (KI) yang terkait dengan karakter dan itu berlaku bagi semua matapelajaran.  Jadi guru secara sengaja harus memasukkan aspek karakter tertentu setiap mengajar.  Misalnya memasukkan aspek disiplin, madiri dan kerja keras.  Lebih dari itu, karena pendidikan karakter itu harus dengan teladan, maka semua guru harus menjadi teladan bagi muridnya.  Jika tidak ingin muridnya terlambat datang, ya guru juga tidak boleh terlambat datang.  Jika ingin siswa kerja keras, guru harus menunjukkan selalu kerja keras. Dan sebagainya.

Bagaimana dengan gagasan menghilangkan PR?  Dalam konteks ini harus difahami dulu isi PR itu apa?  Kalau PRnya hanya mengerjakan soal-soal latihan yang dapat dikerjakan di sekolah, mungkin saja dihilangkan. Tetapi kalau PR itu terkait dengan mencari data atau informasi untuk tugas tertentu dan data atau informasi itu adanya di luar sekolah, tentu tidak dapat begitu saja dihilangkan.  Apakah siswa perlu mengerjakan tugas yang datanya di luar sekolah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya dibahas Life Based Learning (LBL) yang menurut saya cocok untuk diterapkan di era digital dan siswa generasi Z.  Inti dari LBL adalah anak belajar memecahkan masalah dari kehidupan sehari-hari.  Untuk memecahkan masalah tentu diperlukan data atau informasi yang cukup. Nah, karena yang dipecahkan adalah masalah sehari-hari yang kontekstual dengan lingkungan, tentu ada data yang hanya dapat diperoleh di luar sekolah.  Misalnya dalam penerapa LBL atau Project Based Learning (PjBL), siswa SD Kelas 5 diminta membahas Program RT yang meminta semua warganya membeli beras ke RT dengan memberi keuntungan Rp 10,- per kilogram untuk biaya kebersihan lingkungan.  Bukankah siswa harus datang ke RT untuk menanyakan berapa jumlah warganya.  Bukankah harus mencari informasi beras jenis apa yang biasa digunakan warga RT tersebut.  Berapa kebutuhan beras per orang per hari dan berapa harga beras mungkin dapat dicari di internet, tetapi jumlah warga dan jenis beras yang biasa dikonsumsi harus mencari di sekitar rumah.  Contoh di atas menunjukkan memang ada jenis-jenis PR yang tidak dapat dihilangkan.

Jadi bagaimana sekolah harus merespons kebijakan Pemkot Surabaya tersebut?  Saya usul, pendidikan karakter dilakukan setiap saat dan di setiap tempat di sekolah. Baik waktu pelajaran maupun pada jam istirahat. Baik di dalam kelas maupun di luar kelas, misalnya di kantin, di mushola, di lapangan olahraga dan sebagainya.  Waktu dua jam pelajaran tersebut digunakan untuk mengerjakan tugas proyek yang dikerjakan secara kelompok.  Tugas tersebut dirancang untuk menumbuhsuburkan aspek karakter tertentu, dan juga menerapkan materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Semoga.

 

Kamis, 06 Oktober 2022

KENA COVID

 Minggu tgl 2 Oktober pagi, ketika bangun saya merasa tidak fit.  Tidak seperti biasanya, saya mandi dengan air hangat.  Namun karena Lala dan Bim (anak saya yg tinggal di Jakarta) datang, badan yang kurang fit itu tertutup rasa gembira. Siang hari kami bercengkerama, cerita ini dan itu.  Bahkan sore hari masih mengatar mereka ke stasiun Pasar Turi untuk balik ke Jakarta.

Nah, minggu malam demam mulai terasa dan oleh isteri diberi paracetamol.  Senin pagi demam makin terasa, tetapi saya memaksa ke kantor LAMDIK karena ada hal yang harus ditangani, walaupun sejak berangkat memutuskan tidak akan lama di kantor.  Kebetulan siang itu juga ada tamu dari Poltek Penerbangan. Pak Andra (direktur) dan Pak Irfansyah (salah satu pengajar) datang untuk diskusi tentang terobosan yang dapat dilakukan oleh Poltek Penerbangan.  Ternyata itu atas perintah Pak Heri, Kepala BSDM di Ditjen Perhubungan Udara.  Memang ketiganya pernah ikut kuliah saya di S3 Pendidikan Vokasi. Pak Heri sudah lulus, karena memang angakatan lebih awal. Pak Andra dan Pak Irfansyah masih sedang menyusun disertasi.

Selasa pagi saya tes PCR dan hasilnya positif.  Saya mencoba mengingat-ingat dimana ya saya terkena. Memang satu minggu sebelumnya saya cukup sibuk.  Hari minggu tgl 25 September saya terbang dari Surabaya ke Pekanbaru karena tgl 26 memberi kuliah umum di Pascasarjana UIN Suska Riau.  Selama 27 September pagi2 terbang ke Jakarta untuk ke kantor LAMDIK.  Semula saya ingin sorenya terbang ke Surabaya karena Rabu jam 09.00 janjian dengan mahasiswa S2 BK untuk kuliah luring. Namun mendadak ada undangan RDPU dari Komisi X DPR RI pada jam 14.00.  Akhirnya bermalam di Jakarta  dan terbang ke Surabaya Rabu pagi.  Dari bandara Juanda langsung ke kampus untuk mengajar dan dari mengajar langsung ke hotel Sangrila untuk membuka Asesmen Kecukupan (AK) yg dilaksanakan secara luring dan terus menunggui sampai sholat Jum’at. Sabtu pagi berikutnya mengisi orientasi mahasiswa PPH Unusa.

Rasanya saya sudah terbiasa dengan jadwal seperti itu, sehingga merasa aneh saat isteri bilang ayah kecapekan. Apa saya lengah tidak rapi menggunakan masker ya?  Rasanya itu yang menurut saya menjadi penyebabnya.  Saat di Pekanbaru, diajak makan malam oleh Direktur Pascasarjana dan tentu saat makan melepas masker.  Demikian juga saat makan siang setelah selesai kuliah umum.  Apalagi hampir semua yang hadir tidak memakai masker.  Ketika pagi-pagi akan terbang ke Surabaya, di bandara Soetta saya sarapan soto.  Pertama kali saya makan di bandara sejak pandemi.  Saya memaksakan diri sarapan, karena akan langsung mengajar sesampai di Surabaya. Selama di Hotel Sangrila, rasanya saya juga tidak begitu tertib memakai masker.  Mungkin merasa yang berada di sekitar saya adalah teman-teman dekat dan sudah berkerja bersama sehari-hari. Apalagi selalu makan pagi, siang dan malam bersama-sama.  Yang mana yang membuat saya tertular saya belum tahu.  Apakah karena badan capek, sehingga daya tahan menurun dan mudah tertular, juga tidak tahu.

Karena positif, sesuai dengan anjuran dokter mulai hari Selasa 4 Oktober saya isolasi mandiri (isoman). Selama isolasi, khususnya hari Selasa dan Rabu, saya pusing, demam, batuk, pilek, serta sakit tenggorokan. Mulai Kamis semua sudah membaik. Jika Selasa dan Rabu saya minum paracetamol agar bisa istirahat, mulai Kamis tidak lagi memerlukan lagi.  Jika ada yang bercerita kena covid itu badan sakit semua, alhamdulillah saya tidak.  Makan juga tetap enak seperti biasa. Rabu tgl 5 Oktober siang juga masih dapat mengajar secara daring. Jum’at tgl 7 Oktober pagi juga masih ikut pengajian daring yang dipimpin Prof. Room Rowi.

Lantas apa yang membuat saya sedih?  Tentu banyak. Tetapi yang paling menyedihkan, karena tidak bebas keluar kamar, kecuali untuk berjemur.  Mungkin saya termasuk orang tidak senang sendirian, sehingga dahulu pernah menjadi pimpinan dan punya ruang sendiri, sering keluar ruang untuk ketemu dan ngobrol dengan staf.  Moga2 mbak covid segera pergi dan saya bisa beraktivitas seperti biasanya. Wass

Sabtu, 24 September 2022

LIFE BASED LEARNING

Saat menjadi pembicara di Global Conference on Teaching, Assessment dan Learning in Education (GC-TALE) tanggal 12 Agustus 2022 yang diadakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksa) saya menawarkan konsep Life Based Learning (LBL) untuk diadaptasi dan digunakan dalam pembelajaran di era digital ini.  Saya tidak menyangka kalau respons peserta sangat tinggi, sehingga beberapa universitas meminta saya untuk menjelaskan di kampusnya.

LBL pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh Maret Staron pada tahun 2011.  Jadi sudah 11 tahun lalu dan sebenarnya sudah dijadikan bahasan perkuliahan di beberapa universitas.  Beberapa teman menterjemahkan menjadi Pembelajaran Berbasis Kehidupan (PBK).  Juga sudah banyak artikel yang membahas dan bahkan melaporkan ketika diterapkan pada matapelajaran/ matakuliah tertentu.

Ketika terjadi banjir informasi (information overloaded) seperti sekarang ini, sehingga siswa/mahasiswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber secara mudah dan murah, maka pola integrated learning yang ditawarkan LBL sangat relevan.  LBL memahami bahwa siswa/mahasiswa dapat memperoleh informasi atau pengetahuan dari berbagai sumber, misalnya saat bermain, saat bekerja, dari berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya. Siswa SD dapat saja mendapatkan konsep “supply-demand” saat ikut ibunya berbelanja. Siswa SD dapat saja mendapatkan pengetahuan tentang gaya sentrifugal saat naik motor bersama teman-temannya. Nah, Staron lewat konsep LPM mengajukan gagasan agar informasi dari berbagai sumber itu diintegrasikan dalam proses pembelajaran.  Guru dan dosen dapat memanfaatkan berbagai sumber informasi tersebut untuk pembelajaran sisw/mahasiswanya.  Bahkan akan lebih baik itu dirancang untuk menumbuhkan kemampuan menggali informasi dan kemudian mesintesanya.

Dengan cara itu, pembelajaran akan mengembangkan kapabilitas (capability) karena siswa/mahasiswa terbiasa belajar secara mandiri dan setiap siswa/mahasiswa dapat mepertanggungjawabkan simpulanya secara sendiri-sendiri. Tentu setiap siswa/mahasiswa memiliki keunggulan sekaligus kekurangan masing-masing, sehingga kerjasama yang dialogis perlu ditumbuhkan, misalnya melalui kerja kelompok. Menggali informasi sendiri, mensintesakan sendiri dan guru/dosen “hanya” sebagai pembimbingnya.  Kebiasaan itu akan membentuk kemampuan siswa/mahasiwa secara utuh (the whole person). 

Apakah konsep itu dapat diterapkan pada jenjang SD.  Menurut saya bisa, tetapi secara bertahap.  Jika belum diterapkan setiap hari, konsep LBL dapat diterapkan dapat bentuk project work, misalnya satu minggu sekali.  Misalnya siswa SD kelas IV untuk menghitung kebutuhan dana untuk membeli beras bagi seluruh warga di RT dimana yang bersangkutan tinggal.  Dari pelajaran IPA siswa bisa tahu berapa rata-rata kebutuhan beras untuk makan per orang per hari.  Siswa dapat mengetahui jumlah warga di RT-nya dengan mendatangi Ketua RT dan meminta informasi tersebut.  Siswa juga dapat mencari informasi harga beras melalui internet atau bertanya kepada ibunya.  Dengan mengolah data tersebut siswa akan memperoleh jawaban, berapa kebutuhan dana untuk membelikan beras bagi seluruh warga di RTnya.

Sebenarnya kosep LBL yang diajukan oleh Staron tidaklah benar-benar baru.  Dalam buku Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education) (2003), Kemdikbud juga mengajukan konsep yang mirip.  Dalam konsep tersebut disebutkan bahwa tujuan akhir orang belajar adalah untuk memahami fenomena dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan.  Oleh karena itu kemampuan yang perlu ditumbuhkan adalah kemampuan menggali infomasi, melakukan analisis-sintesis untuk mehami fenomena dan atau problem yang dihadapi, kemudian memecakannya secara kreatif.  Bukankan keduanya mirip?

Kamis, 22 September 2022

ICE Institute dan Coursera

Rabu pagi saya ketemu dengan Prof. Paulina Panen, teman lama, di lobi Gedung Rektorat Unesa.  Prof. Paulin adalah dosen UT (Universitas Terbuka) yang dikenal sebagai ahli pembelajaran daring (online learning). Pernah menjadi Dekan FKIP UT, Dekan FKIP Sampurna University, dan Staf Ahli di KemristekDikti.  Beliau datang ke Unesa untuk memperkenalkan ICE Institute (Indonesia Cyber Learning Institute) dan mengajak Unesa untuk bergabung.

Seperti lazimya teman lama yang bertemu, kami ngobrol bebas walaupun hanya sebentar. Prof. Paulin menyelaskan tentang ICE Institute apa isinya dan kemana arah pengembangannya.  Mendengar itu, saya bertanya apakah akan seperti Coursera dan dijawab “ya”.  Coursera asli Indonesia, begitu kira-kita jawaban beliau.  Saya mendukung gagasan tersebut dengan memberi beberapa usulan.

Apa itu Coursera?  Kita dapat mencari informasi lengkap di webb-nya.  Mudahnya, Coursera itu mirip dengan Tokopedia, Bukalapak, Beli-beli, OLX, Shoppy dan sejenisnya.  Dagangannya matakuliah atau matalatih.  Penyedia “barangnya” adalah universitas terkenal di berbagai negara dan penyelenggara kursus top dan juga kalangan industri besar. Mahasiswa atau orang umum dapat mengambil matakuliah atau pelatihan melalui Coursera.  Jika selesai peserta akan mendapatkan semacam sertifikat.  Jika yang bersangkutan sedang kuliah, dapat saja hasil kuliah atau pelatihan dengan bukti sertifikat tersebut diajukan untuk mendapat pengakuan dari universitas dimana yang bersangkutan kuliah.  Seperti biasa menggunakan jalur credit transfer atau RPL (recognition of prior learning).  Konon Coursera menjamin mutu kuliah dan kursus yang ditawarkan.  Jadi sangat mungkin mudah diakui oleh universitas lain.

Jadi kalau Kemendikbudristek meminta universitas menerapkan MBKM dan mahasiswa menempuh sekian kredit dari universitas lain atau dunia kerja, maka Coursera sudah menawarkan itu sejak sekian tahun lalu.  Apakah yang mengikuti Coursera hanya mahasiswa?  Ternyata tidak. Banyak orang yang sudah bekerja mengikuti kursus atau matakuliah di Coursera untuk mendukung pekerjaannya. Anak saya mengambil matakuliah tentang Penelitian Kualitatif untuk mendukung pekerjaannya. Juga ada orang yang ikut untuk sekedar tahu tentang sesuatu.  Ada teman anak saya, seorang pensiunan, mengambil pelatihan di Coursera karena ini tahu tentang cara kerja panel sel surya.  Jadi bukan untuk kuliah dan juga bukan untuk bekerja.

Mengapa saya mendukung pengembangan ICE Institute yang mirip Coursera?  Karena menurut saya, pola kuliah atau kursus seperti itu akan menjadi tren ke depan.  Dilihat dari sudut kepentingan mahasiswa, dengan cara itu mahasiswa dapat mudah memperoleh kuliah dari ahli yang diinginkan dengan mutu yang terjamin.  Dari sudut manajemen perguruan tinggi juga lebih efisien, karena perguruan tinggi tidak perlu menyediakan dosen untuk seluruh matakuliah yang diperlukan mahasiswa.  Saya pernah memberikan contoh, jika mahasiswa Unair atau Unesa atau ITS ingin menempuh matakuliah ke-Islaman yang “dalam” dan ahlinya hanya ada di UIN Sunan Ampel, yang bersangkutan melalui ICE Institute.  Sebaliknya jika mahasiswa  UIN ingin memperdalam matakuliah tentang Fisika dan dosen untuk itu hanya ada di ITS, mahasiswa dapat menempuhnya melalui ICE Institute.

Apa bedanya dengan yang selama ini sudah terjadi. Bukankah selama ini sudah ada MBKM dan perguruan tinggi diwajibkan menerima mahasiswa dari luar universitasnya.  Konon Coursera tidak begitu saja menerima jika ada universitas, lembaga pelatihan dan industri ingin menawarkan melalui Coursera.  Dilakukan penelusuran atau cara lain untuk memastikan yang ditawarkan tersebut memenuhi mutu minimal yang ditentukan.  Saya mimpi ICE Institute juga melakukan seperti itu, sehingga mahasiswa atau orang biasa yang mengambil matakuliah atau kursus mendapatkan layanan mutu yang bagus.

Sampai saat ini yang ditawarkan oleh Coursera baru kuliah dan kursus secara online.  Pada hal tidak semua matakuliah dan kursus yang memerlukan keterampilan dapat dilaksanakan secara online.  Mudah-mudahan pada saatnya ICE Institute dapat juga menyediakan matakuliah matakuliah atau kursus yang juga ada keterampilannya. Semoga.

RUMAH BESAR PENDIDIKAN

 Akhirnya Baleg (Badan Legislasi?) tidak memasukkan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas yang diketok beberapa hari lalu.  Dari youtube yang beredar luas, pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM juga menyetujui dan mengatakan memang RUU tersebut masih harus dirapikan dan disosialisasikan lebih baik. Dengan ungkapan yang hampir sama, pimpinan Baleg berharap agar RUU tersebut dirapikan dengan melibatkan banyak stakeholders. Konon DPR tidak ingin terjadi kegaduhan dan kemudian merembet ke DPR.

Memang sejak RUU itu muncul terjadi “kegaduhan” yang lumayan menyita perhatian dan energi masyarakat, khususnya kalangan pendidik.  Seperti biasa tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Untungnya kegaduhan tidak menjelma menjadi bentuk fisik, seperti demonstrasi yang biasa terjadi jika masyarakat tidak setuju dengan kebijakan pemerintah.  Namun kegaduhan terjadi dalam bentuk tulisan, podcast, video youtube dan media sosial lainnya.  Juga terjadi di ruang diskusi di kampus maupun organisasi kemasyarakatan. 

Berbagai organisasi masyarakat yang selama ini telah menyelenggarakan pendidikan, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Al Ma’arif NU, teman-teman dari Katolik dan Kristen, PGRI, ISPI sepertinya kurang mendukung RUU yang diajukan oleh pemerintah.  Tentu mereka memiliki argumentasi masing-masing yang sangat mungkin terkait dengan pengalaman maupun visi organisasinya.  Seperti biasanya, bagi yang pro mengatakan RUU Sisdiknas diyakini dapat menjadi landasan untuk memperbaiki mutu pendidikan sekarang ini.  Sebaliknya yang kontra mengatakan RUU Sisdiknas justru akan membawa pendidikan Indonesia kea rah yang salah. Saya merasa tidak punya kapasitas untuk membahasnya.

Seperti yang pernah saya tulis di blog ini sekian bulan lalu dan juga pernah saya sampaikan di berbagai kesempatan, bahwa pendidikan itu ibarat rumah besar yang dihuni oleh banyak orang dengan latar belakang yang beragam.  Semua penghuni merasa memiliki rumah tersebut, merasa tahu bagaimana sebaiknya rumah tersebut dirawat dan dikelola.  Ada penghuni yang sudah lama tinggal di situ atau bahkan ikut dalam proses pembangunannya.  Tentu mereka relatif sudah senior (tua).  Mereka itu seringkali merasa lebih tahu bagaimana seharus merawat rumah yang dihuni, karena merasa faham mengapa rumah dibuat begini dan begitu, mengapa bahannya ini dan bukan yang lain.  Di lain pihak ada penghuni baru yang usianya relatif muda dengan pengalaman modern yang merasa lebih tahu bagaimana seharusnya rumah dirawat dengan cara modern dan sebagainya dan sebagainya.

Apa maksudnya?  Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Al Ma’arif NU, Taman Siswa, Pengelola Sekolah Katolik, Pengelola Sekolah Kristen, Taman Siswa dan ormas lainnya sudah menyelenggarakan pendidikan sangat lama dan bahkan sebelum Indonesia mereka.  Tentu mereka sudah makan garam bagaimana menyelenggarakan pendidikan di lapangan.  Data menunjukkan jumlah sekolah yang diselenggaran ormas-ormas tersebut lebih banyak dibanding sekolah negeri.  Dari sekolah-sekolah tersebut juga telah lain tokoh-tokoh yang ikut berjuang mendirikan NKRI.  Jadi dapat difahami, jika secara psikologis mereka merasa berhak ikut menentukan arah pendidikan ke depan.

Sebaiknya pemerintah, khususnya Kemendikbudristek yang secara sah bertugas menangani urusan pendidikan juga merasa wajib berupaya meningkatkan mutu pendidikan.  RUU Sisdiknas diyakini sebagai upaya memenuhi kuwajiban tersebut.  Sangat mungkin yang duduk di Kemendikbudristek memiliki latar belakang yang berbeda dengan yang mereka yang ada di ormas kependidikan, sehingga pandangannya tentu berbeda.  Mungkin juga yang duduk di Kemendikbudristek merasa lebih berhak mengatur pendidikan, karena memang itu tugasnya.

Kembali kepada penghuni rumah besar tadi.  Bagaimana jika Pak RT ingin merenovasi rumah?  Sebaiknya semua penghuni diajak berembuk, dimintai pandangan, dicari kesepakatan.  Konsep renovasi yang ideal dipertemukan dengan pendapat para penghuni sehingga dihasilkan konsep dan pola renovasi yang disepakati bersama dan nantinya dilaksanakan secara gotong royong. Tentu harus ada “take and give” dan rembugan tersebut. Toh memang itu rumah milik bersama dan setelah direnovasi akan dihuni dan dipelihara bersama.

Jadi menurut saya, jika RUU Sisdiknas akan dilanjutkan diperlukan “rembugan” dengan melibatkan sebanyak mungkin stake holders pendidikan. Di samping masalah substansi, saya menduga kegaduhan yang terjadi selama ini karena kurang lancarnya komunikasi antara pemerintah dengan stake holders pendidikan.  Jika komuniasi dapat dijalin saya yakin semuanya dapat diselesaikan.  Memang dalam rembugan tersebut harus bersedia saling menghormati, saling menerima pandangan yang berbeda. Take and give juga harus diberi peluang.  Toh jika sudah menjadi UU Sisdiknas, akan diimplementasikan bersama.  Baik pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek dan ormas kependidikan yang akan melaksanakan.  Bagaimana agar RUU itu menjadi “milik bersama” itulah yang harus diupayakan. Semoga.

Sabtu, 03 September 2022

Senggigi, Pantai Indah yang Belum Dioptimalkan

Tanggal 19 Agustus 2022 saya diundang oleh Majelis Akreditasi BAN PT untuk ikut rapat di Denpasar Bali, kemudian besuknya diundang oleh Asosiasi Prodi Manajemen Pendidikan Islam di Mataram. Disamping kedua acara tersebut penting, tempat rapatnya menarik. Rapat MA BAN PT di sebuah hotel di Sanur, sedangkan tempat rapat APMPI di sebuah hotel di Senggigi.  Saya sudah sangat lama tidak ke Sanur, yang konon tempat wisata “bule berkantong tebal”, bukan seperti Kuta, tempat wisata “bule kantong tipis”.  Oleh karena itu saya sempatkan hadir dan mengajak isteri.

Karena Sanur merupakan pantai timur Bali, logikanya pemandangan yang bagus adalah pagi hari saat matahari terbit.  Oleh karena itu saya datang tanggal 18 Agustus sore dengan harapan besuk pagi bisa jalan-jalan di pantai.  Karena sudah lama sekali tidak ke Sanur, saya khawatir pagi-pagi tidak tahu alur jalan-jalan yang bagus.  Oleh karena itu, begitu datang sore itu saya sempatkan melihat alur jalan di pantai.  Dan memang sudah tidak seperti sekian tahun lalu. Jalan sepanjang pantai sudah di paving dan di pinggirnya dipenuhi oleh café-café.  Beberapa café membuat semacam halaman di bibir pantai, sehingga pengunjung dapat minum-minum di bibir pantai.

Seperti info yang selama ini beredar, sebagian besar atau hampir semua yang duduk-duduk di café dan yang jalan-jalan sore itu bule yang sudah berumur alias tua.  Hampir tidak ada turis lokal dan yang ada dapat dihitung dengan jari, termasuk saya dan isteri. Juga tidak tampak bule muda seperti yang banyak dijumpai di Kuta. Pakaian mereka umumnya  relative sopan.  Beberapa orang yang tampak sudah sangat tua, berjalan pelan-pelan ditemani anjingnya.

Seperti direncanakan, besuknya pagi-pagi saya dengan isteri jalan menyusuri pantai sambil melihat matahari terbit.  Situasi masih sepi. Mungkin bule-bule masih pada tidur, karena mereka tidak biasa bangun pagi seperti kita.

Pagi itu lumayan cerah, walupun memang ada awan menggantung yang sedikit menghalagi pemandangan matahari saat terbit.  Karena masih sepi, kami dapat berjalan santai dan beberapa kali mengambil foto, sekedar untuk kenangan.  Menurut saya tidak ada yang istimewa.  Sanur ya memang seperti itu. Ombak di tepi pantai tidak besar seperti Kuta, karena memang bagian yang dangkal cukup jauh. Jadi benturan ombak tampak agak jauh dari pantai.  Pantainya memang bersih, mungkin karena turis yang datang orang tua-tua da jumlahnya tidak terlalu banyak  Di pagi itu para pekerja café pada membersihkan jalan dan pantai di depannya.  Tidak banyak sampah yang terkumpul, dan umumnya  dari dedaunan dari pohon yang ada di sekitar.  Para pekerja café juga “menggaruk” pasir di pinggi pantai biar tampak bergaris-garis bagus.

 

Di Senggugi, kami sengaja memperpanjang menginap.  Ingin meniknati pantai Senggigi karena memang belum pernah kesana.  Kebetulan hotel tempat kami menginap berada tepat di seberang tempat untuk menikmati sun set, sehingga kami dapat menikmati sun set dengan leluasa.  Menurut saya, sun set di Senggigi lebih indah dibanding di Kuta.  Ombaknya tidak terlalu besar, sehingga banyak anak-anak muda main jet ski sore itu.  Ada juga semacam mangkok sangat besar dari pelampung yang dinaiki beberapa orang, kemudian ditarik oleh jet ski. Ketika jet ski yang menarik berbelok tajam, anak-anak yang naik mangkok menjerit. Jadinya sangat meriah.

Pantai Senggigi sangat indah. Sayangnya belum ditata dengan baik dan fasilitas juga masih sangat minimal. Sebenarnya sudah mulai ada fasilitas untuk turis. Ada KFC, ada beberapa café dan juga Alfa Mart/ Indomart, tetapi masih sangat sedikit.  Di sekitar pantai tempat kami jalan-jalan ada beberapa rumah rusak dan dibiarkan tidak terurus, sehingga menjadi pemandangan yang kurang baik untuk daerah wisata.  Jika ditangani dengan baik, rasanya pantai Senggigi dapat menjadi tujuan wisata yang tidak kalah dengan Kuta.

Pagi besuknya menjelang pulang saya menyempatkan jalan-jalan menyusuri jalan di sekita hotel. Kebetulan ada fun bike dan di depan hotel ada gamelan Bali yang ditabuh untuk menyemangati peserta fu bike.  Jalan di Senggigi naik turun, berkelok-kelok mengikuti pantai.  Itu justru menjadi indah.  Sayangnya lahan antara jalan tersebut dengan pantai banyak yang masih belum terurus.  Diperlukan uluran tangan Pemerintah Daerah dan pihak swasta untuk mempercepat pengolahan wisata Senggigi. Semoga.

Minggu, 26 Juni 2022

LULUSAN S3 ITU BUKAN TEKNISI AHLI

 Kemarin, salah satu grup WA yang saya ikuti mendapat posting tulisan Gundula Bosh, seorang dosen di John Hopkins Bloomberg School of Public Health in Baltimore Maryland Amerika Serikat.  Tulisan tersebut dimuat di Nature 15 Februari 2018 dengan judul “Train PhD Students to be Thinkers not just Specialists”. Tulisan lama tetapi menurut saya relevan untuk direnungkan untuk melihat perkembangan pendidikan jenjang S3 di negara kita.

Tulisan itu menceritakan inovasi yang dilakukan untuk menguatkan berpikir filosofis mahasiswa S3, sehingga setelah lulus cocok dengan gelar yang disandangnya yaitu PhD (doctor of philosophy).  Bosh tidak sepakat dengan program S3 yang sangat spesialis dan kurang mengembangkan berpikir kritis dan interdispliner.  Untuk mengubahnya, Bosh melakukan inovasi yang diberinama R3.  Intinya mahasiswa S3 harus mengkritisi berbagai artikel ilmiah dengan pendekatan interdispliner.

Membaca tulisan tersebut, saya jadi ingat gagasan Prof Amin Abdullah, guru besar filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang pentingnya berpikir transdisiplin.  Menurut Prof Amin problema kehidupan tidak dapat difahami dengan monodisplin, sehingga pendekatan transdisiplin harus digunakan.

Mengapa tulisan Bosh tersebut relevan untuk direnungkan?  Pengamatan saya, pendidikan S3 sekarang mengarah ke pragmatis. Kajian yang dilakukan mahasiswa cenderung ke hal-hal yang teknis dan kurang menumbuhkan kemampuan analisis.  Program studi S3 menjadi sempit, sehingga berpikir transdisiplin yang digagas oleh Prof Amin Abdullah sulit untuk berkembang.  Apalagi waktu dan mungkin juga kemauan membaca referensi sangat kurang, sehingga telaah literatur yang menjadi salah satu tugas mahasiswa S3 seringkali tidak maksimal.

Kalau kita membaca disertasi yang sudah terpampang di perpustakaan, tampak sekali kalau pembahasa teori yang biasanya di bab II kurang tajam.  Yang sering terjadi bagian tersebut seakan merupakan kompilasi kutipan teori dan hasil penelitian yang tidak dikaji secara mendalam.  Pada hal idealnya bagian tersebut memuat kajian secara mendalam berbagai konsep, teori, hasil penelitian, sehingga menemukan “teori atau gabungan teori atau konsep baru” yang akan digunakan sebagai landasan penelitian.

Bagian yang mendiskusikan temuan yang biasanya termuat di Bab V seringkali juga sangat kering. Seringkali bagian tersebut hanya mengulang bab II, membandingkan temuan dengan kutipan referensi yang sudah dimuat sebelumnya.  Kadang-kadang membandingkan dengan penelitian lain tanpa pembahasan secara kritis.

Apakah prodi S3 yang sekarang ini relatif sempit harus diubah?  Menurut saya tidak harus.  Yang mendesak adalah bagaimana agar mahasiswa S3 mampu berpikir transdispliner  dalam menganalisis secara kritis berbagai fenomena, artikel, hasil penelitian terdahulu. Meminjam istilah Prof Yuyun S. Suriasumantri, bagaimana agar mahasiswa mampu berpikir filosofis dan bukan sekedar teknis.  Lulusan S3 adalah doktor atau dan bukan teknisi tinggi. Artinya lulusan S3 bukan hanya faham bagaimana sesuatu itu terjadi atau dikerjakan, tetapi juga dapat menjelaskan mengapa itu terjadi, mengapa harus dikerjakan seperti itu, serta apa dampak dan manfaat bagi kehidupan.  Meminjam istilah Prof Conny Semiawan, kemengapaan itulah yang harus ditumbuhkan kepada mahasiswa S3.

Di era cyber yang semua informasi dapat diperoleh di dunia maya, penerapan berpikir transdisiplin sebenarnya mendapat pintu lebar.  Kita dapat memperoleh informasi dan bahan bacaan dengan mudah.  Yang diperlukan adalah kemampuan memilih, memilah, memetakan dan menganalisis informasi tersebut sehingga menjadi suatu simpulan konsep yang valid,  komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Rabu, 22 Juni 2022

PARADOKS PENDIDIKAN DI JATIM

 

Minggu 17 April 2022, saya menghadiri acara pengukuhan Dewan Pendidikan Jawa Timur Periode 2022 – 2026.   Ternyata Panitia Seleksi (panel) dalam pemilihan dijadikan Penasehat, sehingga Pak Nuh, Pak Mas’ud, Pak Nasih, Pak Joko, Pak Nurhasan dan saya saat pemilihan bertugas sebagai pansel ikut dilantik sebagai Dewan Penasehat.  Pengurus Dewan Pendidikan Jawa Timur dengan jumlah anggota 13 orang diketuai oleh Prof. Warsono, mantan rektor Unesa.

 

Yang menarik selama pelantikan adalah sambutan Gubernur Jawa Timur, Kofifah Indarparawangsa yang menyampaikan hal-hal yang menurut saya perlu mendapat perhatian serius.  Pertama, ketidaknyambungan antara IPM dengan berbagai prestasi Pendidikan.  Gubernur menyampaikan bahwa IPM Jawa Timur masih tergolong “di belakang” dibanding propinsi lain, kalau tidak salah masih ranking belasan. Pada hal siswa-siswa Jatim dua tahun berturut-turut (2020 dan 2021) menjadi juara umum lomba sains nasional.  Jawa Timur juga selalu menjadi propinsi yang memiliki jumlah peserta yang diterima dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN).  Jawa Timur juga memiliki perpustakaan terakreditasi terbanyak di Indonesia.

Mengapa paradoks tersebut terjadi? Mungkinkah karena di dalam IPM terkadung kemampuan membaca dan lama pendidikan masyarakat?  Sebagaimana diketahui kemampuan membaca (literasi) dilihat dari kemampuan membaca “huruf latin”,  sedangkan di Jawa Timur banyak masyarakat yang sudah berusia, ketika masih anak-anak tidak “bersekolah” tetapi mengaji di pondok pesantren yang memang cenderung mengajarkan membaca dan menulis huruf  Arab.  Dengan demikian, jika mereka itu diukur kemampuan membaca huruf latin mungkin termasuk yang illiterate (tidak pandai membaca) walaupun mungkin sangat lancar membaca dan menulis Arab.

Masyarakat Jawa Timur juga banyak yang mengirim anaknya ke podok pesantren, setelah tamat SD/MI.  Pondok pesantren memang tidak terstruktur SD, SMP, SMA, Universitas. Jadi sangat mungkin mereka yang mondok tidak dikategorikan sekolah. Kecuali yang dalam pondok ada madrasah MI/MTs/MA.  Seperti pada kasus membaca, Jawa Timur dirugikan karena pengukuran aspek IPM, khususnya dalam aspek membaca dan lama pendidikan. 

Apakah Jawa Timur perlu protes dengan pola pengukuran IPM tersebut?  Monggo saja kalau memberi masukan. Namun Jawa Timur sebaiknya tidak mengubah pola pendidian dan inovasi yang selama ini berjalan, sekedar untuk mengejar IPM. Dalam konteks pendidikan, Jawa Timur memang khas. Masyarakat Jawa Timur punya keyakinan sendiri mana pendidikan yang baik.  Pemerintah Jawa Timur juga termasuk sangat berani berinovasi dalam bidang pendidikan.  Beberapa diantaranya adalah: (1) SMA double track, yaitu yang memiliki program vokasi seperti SMK karena lulusannya banyak yang bekerja setelah lulus, (2) BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) untuk SMK agar dapat mendayagunakan sarana-prasarana yang dimiliki sekaligus sebagai teaching factory, (3) SMK membuka kursus untuk mengoptimalkan sarana pembelajaran di luar jam sekolah, (4) pemberian tunjangan kepada ustadz/ustadzah.  Walaupun dalam konteks IPM dan semacam itu, inovasi tersebut di atas tidak mendapat penilaian, namun sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan. Bahkan beberapa diantaranya kemudian diadopsi oleh pemerintah pusat.

Paradoks kedua, Gubernur menceritakan saat ketemu ibu-ibu di suatu daerah dan melakukan dialog secara bebas.  Gubernur menyimpulkan ibu-ibu di daerah tersebut seperti “tidak punya harapan ke depan, tidak punya cita-cita termasuk untuk anaknya”.  Pada hal, harapan masa depan itulah yang menjadi salah satu motivator utama dalam menjalani kehidupan. Bung Karno pernah mengatakan gantungkan cita-citamu di langit.  Tentu maksudnya agar menjadi pendorong untuk belajar dan berusaha.  Di lain pihak, Jawa Timur memiliki banyak perguruan tinggi bagus-bagus, baik negeri maupun swasta.  Juga banyak tokoh nasional, termasuk Bung Karni, yang berasal dari Jawa Timur.

Mengapa masih banyak ibu-ibu yang seakan-akan tidak tahu peluang masa depan yang cerah bagi anaknya?  Itulah yang perlu dicari.  Merenungkan itu, saya jadi teringat saat diskusi dengan Anis Baswedan (saat itu sebagai penggagar program Indonesia Mengajar), bahwa pengiriman anak-anak muda yang cemerlang ke daerah terpencil itu, salah satu tujuannya membukan wawasan bagi anak-anak daerah agar punya cita-cita tinggi. Toh yang datang juga berasal dari daerah yang sekarang menjadi “orang terkenal”.  Mungkinkah, Jawa Timur mengadopsi program Indonesia Mengajar dengan mengirim anak-anak muda cemerlang ke daerah yang masyarakatnya masih “hopeless”.  Saya yakin bisa.