Kamis, 14 Agustus 2025

IKN PERLU MELTING POT

Sejak tahun lalu saya dan beberapa teman membantu OIKN (Otorita Ibu Kota Negara) untuk menyusun Peta Jalan Pendidikan. Sampai saat belum final, karena berbagai kendala.  Untuk menyusun itu beberapa kali saya mengunjungi IKN, yang terletak di Kecamatan Sepaku.  Konon nantinya wilayah IKN mencakup dua atau tiga kabupaten, karena memang lokasinya ada di perbatasan. Bahkan nanti IKN punya wilayah yang merupakan laut.

Dalam Rencana Induk IKN dan beberapa dokumen lainnya, tampak sekali IKN dirancang menjadi kota modern, green city, green energy dan sebagainya.  Bangunan yang sekarang sudah berdiri cukup banyak dan memang dirancang sebagai bangunan sangat-sangat modern-futuristik, tertata sangat bagus dan sangat indah. Kalau besuk sudah jadi, mungkin lebih indah dari ibukota negara lain, misalnya Putrajaya Malaysia, bahkan lebih indah dibanding London ataupun Paris.

Di kompleks KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan – kalau tidak salah begitu), cukup banyak apartemen untuk hunian untuk ASN/karyawan yang akan boyongan dari Jakarta.  Logis, karena ASN dari Jakarta tentu memerlukan tempat tinggal ketika harus pindah ke IKN.  Bangunan apartemen, termasuk mebeleir dan perlengkapan lain juga sangat modern.  Sudah lengkap, ibaratnya ASN cukup membawa koper kalau pindah ke IKN.  Saya pernah masuk ke salah satu apartmen untuk Eselon II (setara direktur), sangat luas, dengan tiga kamar tidur yang sudah lengkap.

Namun ketika kita keluar dari KIPP, masuk ke pedesaan asli atau bahkan ibukota Kecamatan Sepaku, kondisinya njomplang.  Kondisi rumah, lingkungan masih sangat mirip dengan pedesaan yang belum banyak tersentuh pembangunan.  Wajar, karena memang sebelum ada IKN daerah tersebut merupakan daerah yang jauh dari kota, walaupun sebenarnya merupakan lintasan Banjarmasin-Samarinda.  Mungkin kondisi Pasar Sepaku dapat merupakan satu gambaran, seperti apa tingkat kemajuan sebelum ada IKN.

Di KIPP sedang dibangun kompleks sekolahan baru. Saya belum pernah melihat desainnya, tetapi kalau melihat bangunan sekitar dan mendengarkan penjelasan para pimpinan IKN, sekolah tersebut akan merupakan sekolah modern, yang disiapkan untuk anak-anak ASN yang datang dari Jakarta.  Wajar, karena untuk mendorong ASN mau pindah ke IKN dan membawa keluarga, agar dapat bekerja dengan tenang, harus disediakan sekolah untuk anak-anaknya. Nah, sekolah tersebut harus setara dengan sekolah-sekolah di Jakarta.

Bagaimana keadaan sekolah di luar KIPP, tempat masyarakat  Sepaku menyekolahkan anak-anaknya?  Rasanya masih belum maju, baik kondisi fisik maupun proses pembelajaran.  Masih seperti layaknya sekolah di daerah pedesaan atau pinggiran kota kabupaten. Merurut saya, yang memang begitu umumnya pendidikan di luar kota kabupaten.

Sebagai orang yang menekuni pendidikan dan diminta bantuan untuk menyusun Peta Jalan Pendidikan IKN, yang bergelayut di benak saya, bagaimana memperkecil gap pendidikan antara anak-anak setempat dengan anak-anak ASN yang pindah dari Jakarta.  Anak-anak ASN berbudaya Jakarta dan bersekolah di sekolah yang modern di KIPP. Sementara anak-anak setempat berbudaya lokal yang mungkin sangat berbeda dengan budaya Jakarta dan bersekolah di sekolah yang jauh lebih sederhana.

Memikirkan itu, saya jadi teringat kejadian sekitar tahun 2011. Saat itu, saya mengamati fenomena di Surabaya Barat yang menurut saya tidak sehat secara sosiologis.  Di masa lalu, kampung di Surabaya Barat, tepatnya Surabaya Baratdaya, hanya di pinggir jalan dari Kedurus ke Menganti.  Di sebelah utara kampung merupakan tegal milik orang kampung yang kering yang biasanya ditanami Singkong saat musin hujan. Di sebelah Selatan kampung merupakan sawah milik orang kampung yang ditanami padi. Nah di tahun 2011, daerah tegal berubah menjadi kompleks perumahan mewah plus sekolah modern, bahkan adan universitas swasta yang bergengsi. Sawah di sekolah selatan juga menjadi kompleks perubahan baru yang bagus walaupun tidak semewah yang utara.

Tentu penghuni perumahan sebelah utara maupun selatan, umumnya merupakan pendatang baru secara ekonomi lebih baik, secara sosial juga lebih baik dibanding penduduk asli kampung. Bagaimana agar kedua masyarakat tersebut tidak terjadi kecemburuan?  Pertama, bagaimana anak-anak kampung mendapatkan pendidikan yang baik dan bagaimana caranya agar ada wahana untuk dapat bertemunya anak-anak dari dua masyarakat tersebut. Itulah sebabanya Unesa membangun Lan School di kampus Lidah Wetan yang dapat menjadi tempat belajar anak-anak kampung dengan pendidikan yang baik.  Disamping itu di kampus dibuat hutan kota dengan berbagai ragam tanaman agar dapat menjadi tempat belajar Biologi bagi anak-anak perumahan dan anak-anak kampung, dengan harapan mereka dapat bertemu dalam situasi belajar yang lebih rileks.

Nah, rasanya gagasan tersebut dapat diadaptasi di IKN.  Sekolah-sekolah di pedesaan di luar IKN perlu ditingkatkan mutunya dengan cepat, agar tidak terlalu njomplang dengan sekolab haru di KIPP.  Mungkin juga perlu dibuat semacam Science Center di IKN agar menjadi tempat bertemunya anak-anak dari masyarakat lokal dengan anak-anak dari ASN dari Jakarta, dalam situasi belajar dan lebih rileks.  Science Center akan menjai Melting Pot yang bagus bagi mereka. Semoga

Rabu, 02 April 2025

SIKLUS KEHIDUPAN

 

Sebagai orangtua, lebaran ini saya dikunjungi banyak kerabat, mulai anak-cucu sendiri (kandung), keponakan dan teman-teman muda, Kebanyakan membawa anak-anaknya, mulai yang sudah mulai bekerja, sedang sekolah atau kuliah dan banyak juga anak-anak kecil. Suasana rumah menjadi ramai dan sungguh menyenangkan. Mungkin karena jarang ketemu, mereka saling ngobrol dan bercanda. Sepertinya pada mengelompok dengan saudara atau teman yang sebaya. Mungkin karena memiliKi bahasa atau interes yang sama.

Didorong rasa ingin tahu, saya mencoba nguping (diam-diam mendengarkan) pembicaraan mereka, khususnya anak-anak muda yang kuliah dan atau mulai bekerja.  Ternyata saya susah memahami apa yang mereka diskusikan. Mungkin karena mereka menggunakan terma (istilah-istilah) anak muda yang bagi saya asing. Topik diskusipun sulit saya fahami. Mendengarkan diskusi yang tampak hangat, saya merasa menjadi “orang asing”.

Namun demikian saya mencoba bertahan mendengarkan dengan harapan menangkap apa yang mereka bicarakan, walaupun tentu tidak utuh.  Salah satu yang menarik untuk difahami adalah bagaimana mereka merespon tantangan pekerjaan dan kehidupan yang dihadapi. Di tengah ekonomi yang kurang baik, tidak mudahnya mendapatkan pekerjaan mereka banyak mengeluh. “Sulit mencari pekerjaan”.  “Mau bisnis tidak punya modal”. “Lowongan selalu diisi yang punya koneksi”.  Yang sudah bekerja juga mengeluh “kerjaan berat tetapi gaji kecil, hanya cukup makan dan bayar kost”. Yang kuliah juga banyak yang mengeluh, karena banyaknya tugas. “Dosen se-enaknya sendiri”. “Sarana perkuliahan amburadul, tapi tidak boleh telat bayar SPP”. Dan sebagainya.

Saya tidak berani menyela, karena takut bahasa saya “tidak nyambung”.  Hanya, pas makan siang rame-rame saya tanya siapa yang sedang kuliah nyambi kerja?  Hanya seorang yang menjawab, menjadi fotografer freelance.  Ketika saya tanya hasilnya besar, dijawab hanya bisa untuk nambah uang jajan dan beli pulsa.  Bagaimana untuk uang kuliah? Ternyata masih diberi orangtuanya.  Kerabat lain, menggoda “nggak masalah tekor yang penting glamor”.

Sore hari ketika mereka sudah pulang dan rumah kembali sepi, saya merenung. Mengapa anak-anak banyak mengeluh ya. Pada hal, hampir semua kuliah dan lulusan universitas negeri yang ternama. Orangtuanya relative juga berpendidikan baik dan secara sosial ekonomi lumayan mapan. Apakah itu yang disebut GENERASI STRABERI yang mudah penyok, tidak tahan kena panas dan tidak tahan kena benturan?

Saya jadi teringat buku berjudul CAN SINGAPORE FALL tulisan Lim Siong Guan yang menjadi topik pembicaraan di tahun 2018an. Mantan Head of Civil Service itu merisaukan masa depan Singapore karena generasi mudanya yang tidak setangguh orangtuanya. Ketika membahas fenomena itu, Lim Menyitir filsafat siklus kehidupan yang menyatan Kehidupan yang Berat (Hard Time) akan menghasilkan orang-orang yang tangguh (Strong Man), orang yang tangguh akan menumbuhkan Kehidupan yang Sejahtera (Good Time), kesejahteraan yang Sejahtera menghasilkan orang-orang yang lemah (Weak Man), dan orang-orang yang lemah akan menghasilkan Kehidupan yng Berat (Hard Time). Jadi perjalan kehidupan di masyarakat akan merupakan siklus berulang.

Bertolak dari itu, Lim mengajak para pendidikm pemikir pendidikan dan pemilik kebijakan pendidikan, termasuk oragtua, bagaiman caranya mendidik anak-anak, walaupun kehidupan mereka sangat sejahtera.  Lim tampak sungguh-sungguh, karena menurut dipelajari, dia menyimpulkan bahwa kemunduran suatu negara juga merupakan siklus berulang dengan penyeban utamanya lemahnya bangsa yang bersangkutan.  Sudah saatnya kita kaum pendidik di Indonesia memikirkannya juga. Semoga.

Senin, 31 Maret 2025

SEKOLAH RAKYAT

 

Pertama mendengar istilah tersebut, saya teringat jaman dahulu saya juga sekolah di Sekolah Rakyat (SR) Carat 2. Jadi saya merupakan lulusan SR.  Dalam perkembangannya SR berubah menjadi Sekolah Dasar (SD) sampai sekarang.  Mendengan berita tentang sekolah rakyat, dalam hati saya bertanya-tanya, apakah SD akan kembali berubah menjadi SR?  Ternyata bukan.  Oleh karena itu, saya mencoba mencermati kebijakan tersebut. Apa tujuannya dan bagaimana mekanisme kerjanya.


Sekolah rakyat yang sekarang diluncurkan adalah “sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak keluarga miskin ekstrim” yang diyakini tidak sesuai jika harus masuk sekolah “biasa” seperti yang ada saat ini.  Keluarga yang “miskin ekstrim”, istilah yang digunakan bagi masyarakat yang termasuk desil pertama (keluarga miskin yang tergolong 10% terbawah).

Muncul pertanyaan, mengapa anak-anak mereka tidak sesuai jika masuk sekolah biasa?  Karena orangtuanya tdak dapat membiayainya.  Bukankah sekolahnya gratis?  Memang gratis, tetapi tetap memerlukan biaya untuk seragam, buku, uang jajan dan sebagainya. Nah, keluarga miskin ekstrim tidak mampu menyediakan biaya tersebut. Selain itu, anak-anak mereka seringkali harus membantu orangtuanya bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di samping itu pengalaman menunjukkan anak-anak dari keluarga miskin ekstrim dan biasanya tinggal di lingkungan yang tidak hirau, tidak memiliki motivasi bersekolah. Oleh karena itu jika mereka bersekolah di sekolah biasa seringkali putus sekolah,tidak hanya karena tidak dapat mengikuti pelajaran tetapi juga karena sulit berbaur dengan temannya dari “keluarga biasa” apalagi keluarga berada.

Berapa sih anak-anak dari keluarga miskin yang tidak sekolah? Saya tidak langsung percaya dengan info yang mengatakan masih banyak. Saya mencari data ke BPS (Biro Pusat Statistik) yang biasanya mengurus data.  Saya menemukan data APM (angka partisipasi murni), yaitu perbandingan jumlah anak SD/MI dengan anak usia SD, jumlah anakSMP/MTs dengan anak usia SMP. Jumlah SMA/MA/SMK dengan anak usia SMA. Tahun 2024 APM SD sebesar APM SD sederajat = 97,94%, SMP sederajat = 81,73%, SMA sederajat = 64,32%.  Artinya masih ada 2,06 % atau sekitar 495.000 anak usia SD yang  tidak bersekolah, ada 18,27% atau sekitar 1.821.000 anak usia SMP yang tidak bersekolah dan ada 35,68% atau sekitar 2.550.000 anak usia SMA yang tidak bersekolah. Ternyata masih cukup banyak anak yang belum sekolah. Andaikan saja separuh dari jumlah tersebut yang dapat ditampung di sekolah rakyat, tentu sangat bagus.

Apakah program sekolah sangat strategis sehingga menjadi program unggulan Indonesia?  Saya teringat dengan program Bidik Misi yang diluncurkan pemerintah era Presiden SBY tahun 2009an. Waktu itu terpikir bagaimana dapat mengentas kemiskinan secara sustain. Teringat pengalaman kita yang dahulu pernah menjadi keluarga miskin. Jika di keluarga miskin ada satu saja anaknya yang berpendidikan tinggi dan kemudian bekerja dengan baik, maka akan mengangkat adiknya dan juga kerabatnya.  Sementara untuk menjadikan seorang anak muda menjadi sarjana cukupdana 48 juta, terdiri dari SPP 6 juta per tahun (di perguruan tinggi negeri yang diharuskan menyediakan kursi untuk anak bidik misi) dan 6 juta biaya hidup setahun (waktu itu).  Saat ini lulusan Bidik Misi telah tersebar menjadi idola anak-anak mudah dari keluarga miskin karena umumnya mendapatkan pekerjaan yang mentereng. Dan yang penting dapat mengentas kemiskinan struktural keluarganya plus menginspirasi kerabat dan tetangganya.

Bagaimana mengupayakan anak-anak dari keluarga miskin dapat belajar dengan semangat tinggi?  Itu akan menjadi tantangan bagi pengelola sekolah rakyat.  Anak-anak dari keluarga miskin ekstrim sangat mungkin biasa hidup kurang bersih, kebiasaan hidup kurang sehat, tidak disiplin dan seringkali memiliki pola pikir mix mindset (meminjam istilah Carrol Dweck). Oleh karena itu diperlukan perlakukan khusus, jika diperlukan semacam “brain wash” untuk menumbuhkan growth mindset. Diperlukan pembiasaan dan kemudian pembudayaan hidup sehat dan displin diri. Untuk itu memang tepat jika pola pendidikan di sekolah rakyat dilaksanakan dengan asrama, sehingga pembinaan karakteri dapat dilaksanakan secara intensif. Semoga.

Sabtu, 25 Januari 2025

Apa Pola Pendidikan Saat ini Kompatibel dengan Era Great Shift?

Tanggal 22 Januari 2025 saya diundang sebagai pembicara pada Konggres Pendidikan-PB NU di Hotel Bidakara Jakarta, bersama Prof Ali Ramdhani (Guru Besar UIN Bandung dan Sekjen Kemenag), Bu Kofifah Endarparawansa (Gubernur Jatim Terpilih 2024), dan Bu Najela Shihab (pendiri PSPK dan Sekolah Cikal). Saya tidak tahu mengapa saya diundang. Yang mengirim undangan Prof Ainun Na’im (Guru Besar UGM dan mantan Sekjen Kemdikbud).  Bahkan besuknya Prof Kacung Marijan (Guru Besar Unair dan mantan Dirjen Kebudayaan Kemdikbud) juga mengirim undangan yang sama.  Ketika saya tanyakan ke Prof Kacung, tanya dijawab agar menyampaikan pemikiran tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Di acara tersebut Ternyata juga hadir Prof Biyanto (Guru Besar UIN Surabaya dan Staf Ahli Menteri Dikdasmen, mewakili Kementerian).

NU memiiki sangat banyak lembaga pendidikan, baik itu berupa sekolah, madrasah maupun pondok pesantren.  Sekolah, madrasah, pondok pesantren tersebut sudah berdiri jauh sebelum Indonesia Merdeka dan sudah menghasilkan banyak tokoh di negeri ini.  Bersama Muhammadiyah, Taman Siswa dan organisasi lainnya, harus diakui bahwa organisasi penyelenggara pendidikan itu telah berkontribusi besar terhadap kemajuan bangsa Indonesia.

Yang hadir dalam koggres itu pada umumnya pimpinan lembaga penyelenggara pendidikan di NU, antara lain dari Ma’arif, Pondok Pesantren, Universitas yang berafiliasi dengan NU dan juga pengurus NU di berbagai tingkatan. Oleh karena itu, saya mengajak peserta untuk melakukan refleksi “apakah pola pendidikan yang selama ini digunakan masih relevan dengan era teknologi yang berkembang sangat cepat dan mengubah pola kehidupan dan pekerjaan”.   Saya bermaksud mengajak para penyelenggara pendidikan, khususnya di kalangan Nahdliyin, untuk mengkaji ulang pola pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Mengapa? Karena perkembangan iptek telah merasuk ke segala aspek kehidupan, sehingga berbeda jauh dengan kondisi ketika sekolah/madrasah dahulu dirancang. Pada hal pendidikan pada dasarnya menyiapkan anak-anak untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Banyak ahli memprediksi  bank akan segera mengurangi kantor dan karyawan karena menerapkan e-banking. Pabrik kertas akan segera menciut karena kita berubah ke e-book dan koranpun menjadi digital paper. Seorang kawan pengusaha di bidang kosmetik bercerita baru membeli filling machine dan dengan alat tersebut dapat mengurangi 150 orang karyawan.  Teman-teman dosen pada sibuk bagaimana dapat menditeksi apakah makalah yang dikirim mahasiswa itu buatan sendiri atau dibuatkan oleh aplikasi AI (artificial intelligence).  Kita tahu sekarang banyak aplikasi yang dapat membuatkan paper secara canggih.

WEF (World Economic Forum) pernah menyampaikan hasil kajiannya yang menyimpulkan dalam beberapa tahun ke dapan akan ada sekian ribu jenis pekerjaan hilang dan sebaliknya akan muncul sekiar ribu jenis pekerjaan baru.  Sementara itu Kondatris Cycle menujukkan kemajuan teknologi semakin cepat, sehingga perubahan pola kerja dan pola hidup akan semakin cepat terjadi.  Bukan mustahil apa yang dipelajari siswa/mahasiswa saat seseorang sekolah sudah usang dan diganti dengan teknologi baru, ketika mereka lulus.  Saya menggambarkan jika seorang anak masuk Kelas 1 SD di 2025, akan lulus tahun 2031, lulusan SMP tahun 2034, lulus SMA tahu 2037 dan jika kuliah S1 baru akan lulus tahun 1041. Bukan mustahil apa yang dihadapi dalam bekerja dan bermasyakat saat itu jauh berbeda dengan saat ini.

Pada hal, sekian abad lalu Ali bin Abi Thalib berpesan, “didiklah anakmu sesuai dengan jamannya karena mereka tidak hidup di jamanmu”.  Artinya pendidikan harus dilakukan sesuai jaman yang akan dialami anak nantinya.  Pertanyaannya, bagaimana jaman yang akan dihadapi anak-anak 15 atau 20 tahun ke depan.  Kata orang tidak mudah untuk melakuka prediksi, karena kita berada era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

Jadi apa yang harus diajarkan atau kemampuan apa yang harus ditumbuhkembangkan kepada anak-anak kita?   Menurut saya, yang harus dikembangkan apakah apa yang sekarang disebut capability dan individual learning. Anak harus memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri, beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan mengembangkan kemampuannya.  Tentu untuk itu diperlukan kemampuan dasar yang kuat, yaitu kemampuan bernalar yang kuat dan kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Orang menyebutnya keterampilan abad 21 (21st century skills).  Beberapa ahli menggunakan istilah lain, misalnya generic skills, transferable skills dan soft skills.

Ksterampilan abad 21 telah banyak dibahas, tetapi implementasinya di sekolah/madrasah praktis belum terasa. Guru masih terikat oleh materi ajar yang harus dituntaskan, karena itulah tuntutan kurikulum. Bagaimana kaitan antara keterampilan abad 21 dengan isi matapelajaran masih menjadi pertanyaan. Mirip ketika Kemdikbud mengarusutamakan pendidikan karakter, guru juga bingung bagaimana menggandengkan aspek-aspek karakter dengan topik pelajaran.

Apa itu sulit? Sebenarnya tidak, asalkan guru mau keluar dari “trap” yang selama ini dilaksanakan bertahun-tahun, yaitu seakan tujuan pendidikan adalah “menguasai isi matapelajaran, titik”. Dan tidak diteruskan dengan “menggunakannya untuk memahami dan memecahkan problem kehidupan”.  Misalnya bagaimana Matematika bersama Biologi dan Ekonomi untuk merancang makan siang bersama di sekolah.  Bagaimana menggunakan Biologi, bahasa Indonesia dan Ilmu Sosial untuk merancang pemberantasan nyamuk yang menularkan demam berdasar.   Jadi matapelajaran difahami sebagai “alat” dan “bukan tujuan” akhir dari pendidikan. Semoga.

Selasa, 07 Januari 2025

MAKAN BERGISI GRATIS

 

Senin tanggal 6 Januari dimulai program Makan Bergisi Gratis (MBG) di berbagai daerah di Indonesia. Dari berita di TV dan media sosial, program tersebut disambut dengan suka cita oleh berbagai kalangan.  Sebagai seorang pendidik yang pernah mengalami hidup pas-pasan, saya termasuk senang dengan program tersebut, walaupun sampai saat ini belum pernah membaca bagaimana dampaknya terhadap kualitas pendidikan.

John Hettie menyebutkan bahwa faktor individu siswa (nature) berkontribusi 51% terhadap hasil belajar, sedangkan faktor pendidikan (dalam arti luas) (nurture) berkontribusi 49%.  Nah, apakah program MBG tersebut dapat meningkatkan faktor individu siswa, misalnya lebih sehat, lebih tahan dalam belajar, jujur saya belum pernah membaca penjelasan ilmiahnya.  Memang dari rabaan saya sebagai orang awam, semesterinya begitu. Bahkan semestinya program semacam MGB itu dimulai sejak bayi lahir atau bahkan buatvilmu hamil agar bayi yang dikandungnya lebih sehat.

Program MBG akan lebih baik jika dibarengi dengan program olahraga kesehatan. Jangan sampai siswa menjadi “gemuk” dan kurang sehat, karena makannya banyak dan kurang gerak. Konon pada skeolah unggulan di China, setiap hari siswa harus lari mengelilingi sekolahnya.  Artinya setiap hari siswa harus ringan agar badannya bugar.

Agar program MBG dapat dilihat dampaknya secara ilmiah, sebaiknya saat ini dibuat base line data ketika program belum dimulai atau baru saja dimulai.  Nanti secara periodic, misalnya setiap semester dilhat dampaknya.  Mungkin saja dalam satu sementer dampaknya belum terlihat dengan jelas, namun jika itu dilakukan pengukuran setiap sementer dalam waktu 3 tahun, mudah-mudahnya sudah dapat disimpulkan hasilnya.

Apa indikator perubahan dan bagaimana mengukurnya diserahkan saja pada ahlinya.  Sebaiknya mereka berasal dari lembaga independent yang kredibel, sehingga hasilnya dipercaya oleh publik. Pemerintah juha harus menerima apapun hasilnya dan memperbaiki jika ternyata ada sesuatu bagian yang perlu diperbaiki.

Saya ingin juga melihat dari sisi lain, yaitu manfaat ekonomi bagi masyarakat kecil. Jika proses masak dan pengadaan bahannya diserahkan kepada masyarakat lokal di sekolah sekolah dan dibarengi dengan supervise  oleh ahlinya, program MBG mungkin dapat membantu menghidupkan ekonomi daerah.  Misalnya di suatu desa terdapat 400 siswa TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, berarti setiap hari disediakan 400 porsi MBG dan jika satu prosi senilai10 rb, berarti setiap berputar uang 4 juta rupiah atau atau 20 juta rupiah setiap minggu atau 80 juta ruiah setiap bukan atau sekitar 1 milyar dalam satu tahun.

Makanan yang sehat, logikanya mengandung nasi, sayur, protein hewani dan muah. Mungkin juga susu. Nah, jika bahan tersebut diproduksi oleh masyarakat sekitar sekolah, tentu akan berdampak sangat positif  terhadap perekonomian daerah.

Memang adan satu hal yang perlu dijelaskan, yaitu dari mana anggaran untuk MBG tersebut. Semoga tidak diambilkan dari dana pendidikan yang konon sudah sangat terbatas. Jika ternyata diambilkan daru dana pendidikan, sangat mungkin akan mengurangi anggaran untuk layanan pendidikan dan dampaknya dapat menurunkan mutu pembelajaran.