Kamis, 03 Maret 2011

BUDAYA SEKOLAH SEBAGAI KUNCI PENDIDIKAN

Buku karangan Bernie Trilling dan Charles Fadel berjudul “21st Century Skills: Learning for Life in Our Times” (Jossey-Bass, 2009) diberi sebuah prolog yang sangat menarik. Prolog itu menceritakan ada tamu para pejabat penting dari Kementerian Pendidikan China yang mengunjungi Napa New Tech High School di Northern California, sebuah sekolah yang terkenal dengan inovasi project approach dalam pembelajaran. Tamu tersebut melihat sebuah ruang kelas yang mirip perpaduan antara ruang konferensi di perusahaan dan studio produksi media. Di ruang tersebut, mereka mendapat penjelasan beberapa inovasi yang dikerjakan siswa.

Dalam pertemuan setelah itu, Mr. Zheng salah satu delegasi bertanya: “Dimana di sekolah ini Anda mengajarkan kreativitas dan inovasi?” “Saya ingin tahu bagaimana Anda mengajarkan itu”. “Kami ingin siswa kami belajar hal itu”. Direktur sekolah tersebut, Mr Paul, menarik napas panjang, menyusun jawaban, kemudian tersenyum dan menjawab dengan pelan: “Saya mempunyai beberapa berita tidak bagus dan juga beberapa berita bagus”. “Berita yang kurang bagus, bahwa hal itu tidak ada dalam kurikulum kami”. “Itu terkandung dalam udara yang kita hirup atau mungkin terkandung dalam air yang kita minum”. “Itu ada dalam budaya kami, dalam kewirausahaan, dalam keinginan kami untuk menemukan sesuatu yang baru, dalam kemauan kami menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan………”. “Seperti di China, sekolah kami juga harus fokus ke materi ajar yang nanti diujikan pada ujian akhir sekolah yang dapat menentukan masa depan siswa”. “Namun sekolah kami dapat menumbuhkan semangat inovasi dan kreativitas melalui project yang dikerjakan siswa”. “Kami yakin, kemampuan itu sangat penting untuk dapat sukses memecahkan permasalahan di era teknologi dan global”.

“Lantas, apa isi berita yang menggembirakan?”, lanjut Mr. Zheng. Mr. Paul: “Berita baiknya, dengan diberi peluang dan dorongan yang tepat, ternyata siswa kami dapat belajar dengan penuh kreativitas dan inovasi”. “Dan itu memerlukan guru yang bagus, untuk menemukan keseimbangan antara belajar fakta, prinsip, teori untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi”.

Apa yang dapat dipetik dari prolog buku tersebut, khususnya bagi pendidikan di Indonesia? Ternyata sekolah di Amerika juga terjebak kepada keharusan menyelesaikan kurikulum yang untuk mengerjakan soal-soal pada ujian akhir sekolah. Mirip dengan di Indonesia, sekolah juga mengeluh karena harus berpacu menyelesaikan kurikulum yang nanti akan diujikan pada Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah. Namun, Napa New Tech High School yakin bahwa sekolah harus dapat menumbuhkan kreativitas dan daya inovasi siswa, kemampuan yang sangat diperlukan di era mendatang. Oleh karena itu, Napa New Tech High School mencari cara agar siswa tetap belajar materi yang ada di kurikulum, tetapi juga tumbuh kreativitas dan inovasinya.

Melalui pola pembelajaran project approach ternyata keinginan tersebut dapat tercapai. Melalui pembelajaran project approach, siswa dapat belajar isi kurikulum dan sekaligus mengembangkan daya kreativitas dan inovasi. Dalam setiap matapelajaran, siswa mendapat tugas kelompok untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep dan teori yang telah dipelajari. Nah, dalam mengerjakan tugas tersebut, siswa didorong untuk menyelesaikan masalah secara kreatif dan menemukan inovasi baru. Karena setiap matapelajaran memberikan tugas kelompok untuk memecahkan masalah kehidupan keseharian secara kreatif dan inovatif, maka penumbuhan kreativitas dan inovasi seakan telah menjadi budaya di Napa New Tech High School. Melalui pola tersebut, kurikulum dapat diselesaikan dan siswa dapat mengerjakan ujian akhir dengan baik, dan bersama dengan itu, kreativitas dan inovasi siswa juga berkembangan dengan baik.

Di Indonesia sebenarnya juga ada beberapa sekolah yang menerapkan pola project work, walaupun tidak tepat sama dengan di Napa New Tech High School. Setahu saya, Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) dan SMP Muhammadiyah Gresik Kota Baru (GKB) menerapkan project work walaupun tidak untuk setiap matapelajaran, tetapi merupakan tugas gabungan untuk seluruh matapelajaran. Prestasi kedua sekolah tersebut dalam UASBN dan UN juga sangat bagus, berarti isi kurikulum dapat terselesaikan dengan baik. Dari pengematan saya, kreativitas siswa di kedua sekolah tersebut juga tumbuh dengan baik.

Jadi kreativitas dan inovasi dapat ditumbuhkan lewat pola pembelajaran yang dilakukan secara konsisten sehingga menjadi budaya sekolah. Pola itu ternyata tidak mengganggu penyelesaian isi kurikulum dan bahkan membantu pencapaiannya. Yang diperlukan adalah kreativitas guru untuk menemukan pola pembelajaran yang tepat. Siswa ternyata cukup cerdas, sehingga tidak semuanya harus dijelaskan oleh guru. Project dapat dirancang sedemikian rupa agar mendorong (mungkin juga memaksa) siswa belajar sendiri. Project dapat dirancang untuk mengaitkan materi kurikulum dengan kehidupan sehari-hari, sehingga pemahaman siswa lebih baik. Project dapat dirancang untuk mengaitkan isi satu matapelajaran dengan matapelajaran lain, sehingga pemahaman siswa menjadi lebih utuh. Yang penting, tugas project untuk memecahkan masalah keseharian secara kreatif, jika dilakukan secara terencana dan konsisten dapat menumbuhkan daya kreativitas dan inovasi siswa. Semoga.

1 komentar:

PakArisFisika mengatakan...

Terimakasih atas saran untuk membaca "21st Century Skills". Walaupun disajikan dengan bahasa yang pops, pesan yang disampaikan betul-betul sangat krusial untuk dunia pendidikan kita. Perihal Budaya Sekolah, sebenarnya kita sudah memilikinya walaupun masih pada tataran "general-values", dan belum menyentuh "real needs in real lives". Sebagai guru, saya bertanya pada diri sendiri, "Where do I begin?" seperti lirik lagu jadul itu...