Sabtu, 09 Juli 2016

IDUL FITRI 1: BIMBO-TAUFIK ISMAIL



Idul Fitri tahun ini sangat istimewa bagi keluarga saya, karena semua anak sudah pada menikah dan ada cucu yang baru berusia 15 bulan.  Kiki, anak sulung yang tinggal di Edinbrugh tidak dapat pulang, karena baru pulang awal tahun ini.  Reza, anak nomer dua, ingin sholat Idul Fitri di Malang, sehingga sehari sebelum lebaran sudah meluncur ke rumah mertuanya di daerah Kemirahan Blimbing Malang.  Lala, anak bontot yang tinggal di Jakarta sudah mudik ke rumah kami sejak Sabtu bersama Bim, suaminya dan anaknya Freya yang berusia 15 bulan.  Jadinya rumah terasa lebih semarak.  Apalagi Freya yang mulai berceloteh memanggih anggota keluarga dengan panggilan lucu karena baru mulai belajar bicara.

Pengalaman macet di perjalanan membuat keluarga saya dan keluarga adik bungsu yang tinggal di Malang sepakat menunda mudik ke Ponorogo sampai arus mudik menyusut.  Menterengnya, ingin mengurangi kemacetan atau sebenarnya “takut” terkena macet karena membawa anak yang masih kecil.  Keponakan, anak adik yang sulung juga masi sulit mencari hari kosong, karena baru lulus S1 Kedokteran dan mulai pendidikan profesi di RSU Saiful Anwar.  Sebenarnya Camel, isteri Reza ingin mudik ke Ponorogo, karena semenjak menikah September tahun lalu pernah ke Ponorogo.  Apalagi saya sering mengatakan “kamu harus ke Ponorogo to see my root”.

Akhirnya kami memutuskan akan berlebaran di rumah ibu mertua di Malang.  Kebetulan Bulik yang dulu saya tumpangi (bahasa Jawanya saya dereki) saat kuliah sekarang juga tinggal di Malang, sehingga kami juga akan silaturahim ke beliau.  Biasanya di rumah ibu mertua dan di rumah Bulik banya keluarga yang datang, sehingga dapat bertemu dengan saudara-saudara yang lain.  Rumah Bulik di Arjosari Malang memang selalu menjadi jujukan silaturahmi Idul Fitri, karena beliau satu-satunya generasi beliau yang tertua dan tinggal di Surabaya, Malang dan sekitarnya.

Kami berangkat agak siang, karena nunggu cucu “pupy” dulu.  Lala khawatir kalau Freya sulit pupy di Malang.  Akhirnya kami baru berangkat jam 10an, dengan Bim yang menyopir dan saya duduk di sampingnya.  Di kursi belakang Lala dan ibunya anak-anak, sedangkan Freya di car seat.  Seperti biasanya Freya tenang di car seat sambil mainan.  Sepertinya Freya gembira karena nyanyi-nyanyi sambil jalan dan akirnya tertidur.

Sampai menjelang pertigaan Purwosari perjalanan lancar, namun mulai merayap sejak pertigaan arah ke Pasuruan sampai di Karanglo.  Tampaknya hanya karena volume kendaraan saja, karena sampai di Malang tidak ada kejadian yang menonjol.  Satu-satunya yang khusus adalah mobil carry yang ngadat pas naik flyover Lawang.  Tampaknya terlalu berat muatan dan panas.  Untungnya pengemudinya masih muda dan cekatan, sehingga tidak sampai menggaggu lalu lintas.

Ketika sampai di rumah ibu, pas TV menyiarkan panggung Bimbo dengan lagu-lagu religinya.  Namun yang justru menarik perhatian saya adalah wawancara dengan Taufik Ismail yang ternyata penulis syair lagu Sajadah Panjang dan Rindu Rasul.   Bahwa Taufik Ismail adalah penyair, walaupun pendidikan formalnya konon dokter hewan, tentu orang sudah faham.  Beberapa bulan lalu, beliau juga diwawancarai TV sebagai penulis lagu Panggung Kehidupan yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar.  Tetapi hari Idul Fitri itu saya benar-benar tercenung mendengar uraian beliau tentang makna Sajadah Panjang dan Rindu Rasul.  Sajadah yang dimaksud ternyata bukanlah sekedar sajadah untuk sholat, tetapi sajadah kehidupan.  Mungkin, sekali lagi mungkin Pak Taufik mengaitkan ayat yang sering diterjenagkan “Tiada Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.........”. Nah, karena kehidupan pada hakekatnya ibadah maka memerlukan sajadah yang panjang, yaitu pekerjaan, kemasyarakatan dan segala aktivitas yang semuanya diniati sebagai ibadah.

Selesai tayangan TV saya agak lama merenungkan Bimbo dan Taufik Ismail, khususnya setelah Sang Penyair menjelaskan makna kedua lagu itu.  Bahwa menuliskannya sulit karena melodi lagu sudah jadi, sehingga panjang pendeknya kata harus pas, saya dapat memahami.  Namun bagaimana Taufik Ismail dapat merangkai kata-kata yag sarat makna “dakwah” saya sunggugh sangat kagum.  Bahwa puisi dan lagu adalah bahasa universal sudah sering saya dengar.  Bahwa puisi dan lagu adalah media ungkapan hati yang terdalam juga pernah saya dengar.  Namun sekali lagi, menurut saya dua lagu itu bentuk dakwah dengan bahasa universal.  Apapun agama seseorang, rasanya dapat menerima dakwahnya.  Itu terbukti ada orang Amerika yang ditanya oleh Najwa, sang host, dan menyatakan senang dengan lagu-lagu itu.

Apakah Bimbo dan Taufik Ismail dapat disebut da’i, karena dalam lagu-lagu yang dibawakan berisi dakwah?  Saya merasa tidak memiliki kapasitas untuk menjawab.  Namun saya teringat oleh ungkapan da’i muda dalam acara Pelita Hati yang dipandu oleh Mas Pri GS.  Da’i itu mengatakan bahwa dakwah itu merangkul dan bukan memukul, dakwah itu mengajak dan bukan menyepak.  Apakah syair Taufik Ismail dan lagu-lagu Bimbo itu tidak tergolong ajakan dan rangkulan?

Di hari Idul Fitri itu saya meralat simpulan saya sendiri tentang lagu-lagu saat ini.  Sebelumnya saya sering berkeluh kesah dengan isteri, mengapa lagu-lagu sekarang tidak memiliki makna dalam seperti lagu dahulu.  Lagu-lagu sekarang sekedar rangkaian kata-kata keseharian yang seringali kering.  Itulah sebabnya saya lebih senang mendengarkan musik instrumentalia yang tanpa syair.  Dengan begitu saya dapat fokus menikmati melogi lagunya dan tidak terganggu oleh syair yang seringkali tanpa makna.

Tembang zaman dahulu, walaupun jenis tembangnya terbatas, tetapi syairnya syarat makna.  Bahkan banyak falsafah kehidupan yang diungkapkan dalam bentyk tembang. Yang paling populer di Jawa Timur adalah temang Ilir-ilir. Ingat saya serat Centini juga diwujudkan dalam bentuk tembang.  Nah, simpulan saya bahwa lagu sekarang tanpa makna menjadi tidak tepat ketika menyadari makna lagu-lagu Bimbo, khususnya yang ditulis oleh Taufik Ismail.

Mudah-mudahan Pak Taufik dan personal Bimbo (Acil, Sam dan Jaka) berumur panjang sehingga dapat terus berkarya dengan puisi dan lagu-lagu “dakwahnya”.  Semoga lahir Taufik muda dan Bimbo muda, sehingga dapat melanjutkan dakwah universal yang saya yakin ditunggu banyak orang.

Tidak ada komentar: