Minggu, 25 Agustus 2019

MISKIN INFORMASI DI ERA INFORMASI


Bahwa informasi merupakan sesuatu yang sangat penting dan telah menjadi komoditi yang bernilai uang, tidak ada yang meragukan.  Mungkin Anda pernah ditelepon seseorang yang menawarkan ini dan itu.  Dari mana di penelepon tahu nomor hp Anda?  Jangan kaget, bisa saja si penelepon memperoleh nomer itu dari isian Anda saat menginap di hotel atau isian saat Anda melakukan mengikuti di acara tertentu.  Bukankah kita tidak pernah mengatakan bahwa nomer hp kita rahasia, sehingga bisa saja nomer tersebut dicatat orang.  Kata teman ahli IT, salah satu keuntungan yang diperoleh Google adalah memiliki informasi penggunanya.  Tahun 2014 saya diundang USAID Washington untuk menyampaikan pemikiran tentang peningkatan kompetensi guru di Indonesia. Sebelum saya berbicara, moderator menyampaikan siapa saya dengan detail.  Pada hal, saya tidak pernah mengisi data apapun sebelum itu.  Dari mana dia tahu?  Sangat mungkin melalui isian saya di Google atau di acara-acara lain.

Berangkat dari kerangka pikir bahwa informasi itu sangat penting, menurut saya mencari informasi, mengolah informasi menjadi suatu simpulan sangat penting dikuasai.  Oleh karena itu, kemampuan tersebut harus diajarkan dan ditumbuhkembangkan pada anak-anal kita, khususnya melalui jalur pendidikan.  Bukankah salah satu kompetensi pokok di era digital adalah solving problem creatively (memecahkan masalah secara kreatif).  Tentu untuk memecahkan masalah diperlukan informasi yang cukup untuk dianalisis dan kemudian dicari solusinya yang paling tepat.

Di era digital internet telah menjadi sarana komunikasi yang semakin digemari orang.  Internet juga telah menjadi tempat mengirim data serta menjadi sumber informasi.  Namun harus dicatat, ibarat sungai yang ke dalam alirannya segala jenis air masuk, maka data di internet berbaur antara informasi yang benar dan akurat, informasi yang benar tetapi tidak akurat, dan bahkan data bohong atau yang sekarang dikenal dengan hoax.  Oleh karena itu, kita harus hati-hati menggunakannya.  Internet tetap menjadi sarana mencari informasi yang cepat dan murah, tetapi harus divalidasi kebenaran dan keakuratannya.

Sayangnya, kemampuan mencari dan mengolah informasi belum tumbuh baik di sekolah dan universitas.  Sebagai guru, saya mencoba menumbuhkan kesadaran dan mendorong siswa, mahasiswa dan rekan guru untuk melakukannya.  Ketika mengajar, mengisi pelatihan dan seminar saya mencoba mendorong mahasiwa/peserta, namun tampaknya kurang berhasil. Mereka tahu kalau di internet terdapat banyak data/informasi tetapi belum terbiasa memanfaatkan. Itu terjadi tidak hanya di kampus Unesa tempat saya mengajar, juga di beberapa kampus lain.  Tidak hanya terjadi pada seminar di Surabaya tetapi juga di kota lain.

Tanggal 23 Agustus 2019 saya memberi kuliah umum di FKIP Universitas Mulawarman Samarinda, yang diikuti oleh mahasiswa perwakilan dari berbagai program studi.  Saat itu saya menanyakan: “Jika  rektor Unmul memutuskan untuk memberi beras untuk makan sebulan dan gula untuk membuat kopi atau the dua kali sehari juga selama sebulan, berapa uang yang diperlukan?” Jawaban yang muncul ternyata lucu.  Ada mahasiswa yang menjawab: “Diberi saja uang 50 ribu per hari, dan disuruh mahasiswa mengaturnya”.  Ada juga yang menjawab: “Beras satu kilo 15 ribu dan gula satu kilo sekian ribu”.  Ketika saya tanya berapa jumlah mahasiswa Unmul, ada peserta menjawab 35 ribu.  Saya tanya dari mana didapat, dijawab “kata Pak Dekan”.   Akhirnya saya pandu, ambil hp dan bukan google dan browsing berapa jumlah mahasiswa Unmul.  Saya minta browsing berapa konsumsi beras seorang per hari, berapa gula untuk buat satu cangkir kopi, dan sebagainya.  Setelah itu, saya tanya apakah bisa menghitung berapa uang yang diperlukan Pak Rektor?  Hampir semua menjawab “bisa”.

Tanggal 24, besuknya saya mengisi seminar yg dikuti oleh para guru, mahasiswa dan juga beberapa dosen. Pada sesi tanya jawab, ada seorang guru SMP Negeri 1 Samarinda yang bertanya bagaimana mengubah diri dari guru era lama menjadi guru millennial. Terpicu pertanyaan itu, saya bertanya peserta kepada semua peserta: “Jika walikota Samarinda memutuskan memberi subsidi beras kepada seluruh warganya selama 1 minggu, berapa uang yang diperlukan?”.  Ternyata, mirip dengan sehari sebelumnya.  Tidak ada peserta yang dapat dengan cepat menemukan jawaban.  Ketika saya pandu, dengan mencari data di internet baru mereka mengatakan: “Ooooooo”.

Apa yang dapat disimpulkan data fenomena seperti itu?  Apalagi fenomena seperti itu juga terjadi di beberapa tempat.  Tampaknya di era informasi ini, yang kata beberapa ahli ini zaman “information overloaded” ternyata kita belum pandai memanfaatkannya.  Kita miskin informasi di era informasi.  Walaupun masyarakat Indonesia dikenal paling banyak punya hp, tetapi belum memanfaatkan sebagai alat mencari informasi.  Semoga kita dapat belajar lebih cepat dan lebih baik ke depan. 

Tidak ada komentar: