Kamis, 21 Oktober 2021

KITA PERLU GRAND DESIGN PENDIDIKAN

Tiga tahun lalu, Oktober 2018,  saya diberi oleh oleh penulisnya.  Buku dengan judul Education: Singapore Chronicles yang ditulis oleh Professor Saravanan Gopinathan, adjunct professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy NUS.  Saat itu kami terlibat dalam sebuah workshop di Head Foundation Singapore yang diadakan oleh World Bank. Jujur saya baru membaca intens setelah ikut diskusi tentang ISPI tentang pendidikan Indonesia ke depan, walaupun begitu menerima buku itu saya membaca juga tetapi tidak serius, karena mengira itu buku cerita biasa.

Lantas apa yang membuat saya membaca buku tersebut secara intens?  Dalam diskusi tentang pendidikan, ternyata kita belum memiliki grand design sehingga seringkali “berbelok-belok”.  Bahkan seorang kawan mengatakan, seringkali kita “bolak-balik”, setiap saat dimuali dari awal lagi sehingga tidah majuaaa-maju.  Ketika itu saya jadi teringat buku tulisan Prof Gopinathan, alhamdulillah bukunya ketemu. Ketika membaca dengan intens saya terkejut dan kagum.  Ternyata Singapore memiliki tahapan pengembangan pendidikan yang jelas arahnya dan tahapannya. 

Dalam buku tersebut dimuat 6 tahapan pembangunan pendidikan di Singapore, yaitu:

(1)   Tahun 1945 – 1959: Laying Strong Foundations.

(2)   Tahun 1959 – 1978: Expanding Opportunity, Building Cohesion.

(3)   Tahun 1978 – 1990: Planning for Diversity.

(4)   Tahun 1990 – 2004: Responding to Globalization.

(5)   Tahun 2004 – 2014: Changing Pedagogy, Broadening Outcomes.

(6)   Towards a New Spring Source for Singapore Education.

Membaca buku itu, jujur saya kagum.  Ternyata Singapore memiliki grand design pendididikan sejak awal kemerdekaan.  Pastilah grand design itu bukan dibuat sekali jadi mulai awal kemerdekaannya, tetapi telah mengalami revisi sesuai dengan perkembangan zaman.  Namun jika dicermati secara jernih, tampak sekali kesinambungannya dari waktu ke waktu.  Juga tampak jelas pendidikan di Singapore digunakan sebagai wahana rekayasa social.  Dengan kesadaran sebagai negeri pulau yang diapik negara dengan komunitas Melayu kental, sementara warganegaranya multi etnik, pendidikan digunakan untuk membangun kohesi bangsanya dan mengembangan kesadaran keberagaman.

 

Yang juga sangat mengherankan di tahun 1990, Singapore sudah menyadari dan menggunakan pendidikan untuk menyiapkan warganya merespons globalisasi.  Dan ketika kita di Indonesia baru memulai menerapka konsep heutagogi dengan tergagap karena tidak dipersiapkan dengan baik, Singapore sudah memulainya pada tahun 2004.   Bahkan sejak 2012 Singapore telah merasa cukup kuat sehingga bergerak mencari sumber penguat pendidikannya, yang konon telah menjadi kiblat berbagai negara lain untuk belajar.  NUS dan NTU telah bertengger ke kelompok atas universitas kelas dunia.  NIE, satu-satu LPTK di Singapore telah menjadi tempat belajar banyak negara dalam pendidikan guru.

Belajar dari buku tersebut, rasanya sudah mendesak bagi Indonesia memiliki grand design pendidikan yang menjadi pegangan pemerintah dalam bekerja.  Dengan grand design itu, ketika terjadi pergantian pemerintahan, menteri baru harus tetap berpegang pada grand design yang sudah ada.  Bukan berarti menteri tidak boleh mengubah atau menyempurnakan, tetapi perubahan atau penyempurnaan itu haruslah merupakan kesinambungan dari desain sebelumnya dan juga atas atas kajian yang matang.  Dengan begitu kesan setiap periode pemerintahan ingin membuat sesuatu yang “baru” dengan “membuang” semua yang lama dapat dihindari. Konon sejak tahun 2016 Singapore telah melakukan kajian untuk reformasi pendidikannya yang akan dimulai tahun 2025. Jadi hampir 10 tahun persiapannya.  Tentu kajian itu dilakukan oleh pemerintahan sekarang dan sangat mungkin yang melaksanakan pemerintahan berikutnya. Jadi sangat masuk akal kalau program-program pendidikannya merupakan kesinambungan dan bukan potongan-potongan yang terpisah.

Tidak ada komentar: