Senin, 07 Februari 2022

AGAMA DATA

 Judul tersebut merupakan bab terakhir dari buku Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, tulisan Yuval Noah Harari.  Buku aslinya terbit tahun 2015 dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 2015. Sampai pertengahan tahun lalu telah mengalami 8 kali cetakan.  Artinya buku tersebut dibeli dan dibaca banyak orang.

Sebagai profesor sejarah, tampaknya Harari ingin mengungkapkan renungannya tentang manusia.  Tentu berdasarkan pemikirannya dan kita boleh saja tidak setuju, setelah membacanya.  Pada bukunya yang terdahulu yang berjudul Sapiens, Harari menganalisis dari mana kita (manusia), pada buku Homo Deus ini dia mengajukan analisis masa depan manusia.  Sekali lagi, kitab oleh setuju dan boleh juga tidak.

Harari mengawali bab Agama Data dengan menguraikan bahwa orchestra, lolongan anjing, perilaku bisnis, bahwa proses pemilu sebenarnya merupakan alogaritma dari aliran data yang terangkai.  Penganut “faham data” (dataisme) menyatakan ke depan alogaritma dapat menyatukan berbagai disiplin ilmu, misalnya ekonomi, psikologi, biologi dan sebagainya. Bahkan organisme juga dapat difahami sebagai alogaritma biokimia. Bagaimana jarapah tumbuh dan bahkan berperilaku juga merupakan alogaritma biokimia. 

Alogaritma seperti tersebut juga dapat menjangkau pemahaman terharap kesadaran atau perasaan seseorang.  Biro jodoh yang memasangkan dua calon yang diyakini saling cocok akan menggunakan cara tersebut, yaitu menggandengkan

Dengan menggunakan alogaritma, pelaku bisnis dapat melakukan prediksi tentang perkembangan ekonomi, pergeseran perilaku konsumen dan sebagainya, sehingga dapat melakukan investasi secara baik.  Bursa saham, oleh Harari dianggap contoh alogaritma yang menggambungkan berbagai aliran data dalam dunia bisnis, sehingga setiap detik orang dapat melakukan prediksi terhadap bisnis yang diincar.

Menggunakan logika tersebut, Harari menjelaskan perbedaan perilaku di negara kapitalis dan negara komunis yang keduanya juga merupakan alogaritma.  Di negara komunis alogaritma dikendalikan secara terpusat, sedangkan di negara kapitalis pengendalian alogaritma terdistribusi.  Bahkan tidak jelas lagi siapa yang mengendalikan.  Dengan alogaritma yang dikendalikan secara terpusat, maka pengambilan keputusan menjadi lambat.  Dengan terdistrubusinya pengendali alogaritma, maka pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cepat.  Juga dapat saling mengoreksi. Itulah yang menurutkan Harari menjadi kunci mengapa kapitalis “menang” sebenarnya bukan karena masalah ideologi, tetapi karena pengambilan keputusan yang lebih cepat dibanding komunis.

Harari juga menyampaikan kecenderungan keterbukaan informasi.  Dengan slogan “rekam, unggah, bagikan” dengan menggunaan Wikipedia sebagai contoh bagaimana manusia ingin pendapatnya atau pemikirannya dibagi kepada banyak pihak.  Harari juga mencotohkan kasus anak muda di Amerika Serikat yang bunuh diri karena diadili karena “menjebol” beberapa web jurnal dengan tujuan agar dapat dibaca oleh semua orang.  Yang bersangkutan bersikukuh informasi mestinya milih public, sehingga tidak boleh “ditutup” dan hanya boleh dibaca oleh yang membayar.

Karena perilaku manusia, termasuk dalam pemilu juga merupakan alogaritma, jika sudah ditemukan machine learning yang canggih, mungkin pemilu tidak lagi diperlukan.  Perangkat canggih tersebut sudah memprediksi dengan akurat pilihan orang, sehingga pemilu seperti saat ini dilakukan menjadi tidak perlu.  Logika semacam itu bisa diterapkan dalam kehidupan yang lain dan Harari yakin pada saatnya akan digunakan.

Dengan menggunakan film fiksi, Harari membayangkan pada saatnya akan muncul robot canggih yang dapat berkembang mandiri (self developed), sehingga tidak tergantung pada manusia yang mengembangkan.  Robot seperti itu akan “lepas” dari yang mengembangkan dan berperilaku dan berkembang berdasarkan data yang masuk dan diolah dengan logika logaritma.  Dengan logika itu, Harari mempertanyakan, jika dimana lalu pola pikir homo sentris sangat mungkin ke depan bergeser ke data sentris. Dan itulah yang oleh Harari disebut Agama Data.

Di akhir buku ternyata Harari sendiri masih ragu terhadap renungan tersebut di atas sehingga meminta pembaca mempertanyakan 3 hal yaitu:

1.  1. Apakah organisme memang benar-benar alogaritma, dan kehidupan ini hanya benar-benar hanya pemrosesan data?

2.      2. Apa yang lebih berharga kecerdasan atau kesadaran.

3.  3. Apa yang akan terjadi pada masyarakat, politik dan kehidupan sehari-hari ketika alogaritma non kesadaran tetapi sangat pintar mengenal kita lebih baik dibanding kita sendiri?

Sekali lagi kita boleh setuju atau tidak setuju dengan tulisan Harari di atas.  Mari kita juga merenung berdasar keyakinan kita dengan bertanya kepada diri sendiri, dari mana kita berasal dan kemana akhirnya kita akan pergi.

Tidak ada komentar: