Rabu, 14 Februari 2024

ANTARA KONTEN DAN LEVEL BERPIKIR

Tanggal 1 Februari 2024, saya diundang oleh Prof Emil Salim untuk diskusi tentang pendidikan.  Hadir saat itu “tokoh-tokoh” pendidikan, antara lain Prof Fasli Jalal (mantan Wamendikbud), Prof Syawal Gultom (Mantan Dirjen GTK dan Rektor Unimed), Dr. Totok Suprayitno (mantan Ka Balitbangdikbud), Dr. Bahrul Hayat (mantan Sekjen Kemenag), Dr. Abdul Malik (mantan Sestama Kemenristek), Dr. Sudarno (tokoh Semeru Institute), dua orang dari BRIN, tiga orang dari Bank Dunia dan beberapa lagi yang saya tidak ingat.  Sekitar dua minggu sebelumnya, beliau sudah mengundang diskusi via daring.  Hari itu sebagai pendalaman apa yang dibahas saat diskusi secara daring.

Saya kagum dengan Prof Emil Salim, dengan usia hampir 94 tahun masih konsern dengan pendidikan anak bangsa.  Dengan usia itu beliau relatif sehat.  Walaupun menggunakan tongkat, berjalan masih tegak dan lancar.  Meskipun menggunakan alat bantu pendengaran tetapi masih dapat menangkap apa yang dibahas dalam diskusi dengan baik.  Pikirannya juga masih sangat tajam, mungkin lebih tajam dari saya.


Diskusi dimulai pukul 14.00 WIB dengan paparan Tim Bank Dunia yang menjelaskan “kemajuan” pendidikan Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara.  Indonesia dianggap sukses meningkatkan angka partisipasi, artinya proporsi anak sekolah meningkat signifikan.  Tetapi Indonesia dianggap kurang berhasil meningkatkan mutu pendidikan. Dibanding negara lain, skor PISA anak-anak Indonesia tertinggal dengan negara tetangga.  Ketika terjadi pandemi covid-19 kemerosotan mutu belajar (learning losses) juga lebih besar dibanding rata-rata dunia.

Setelah Tim Bank Dunia pulang, Prof Emil Salim minta teman-teman tetap tinggal dan mendiskusikan dua hal. Pertama, mengapa mutu pendidikan kita tertinggal, paling tidak dilihat dari skor PISA.  Kedua, bagaimana pendidikan mengisi bonus demografi yang sekarang dialami, agar SDM muda berkualiasnya bagus, sehingga mampu mengisi kebutuhan pembangunan. Jangan sampai SDM muda tidak berkualitas dan malah menjadi beban negara.

Diskusi dipimpin oleh Prof Fasli Jalal dan setiap yang hadir diminta menyampaikan pemikirannya secara singkat, karena waktunya sangat singkat. Waktu diskusi lanjutan hanya sekitar 45 menit, karena diskusi harus berakhir pukut 17.00.  Saya dan Prof Syawal mendapat kesempatan di akhir, karena menurut Prof Fasli biar sekaligus dapat merespons gagasan teman-teman yang lain.

Merespons rendahnya skor PISA, saya menyampaikan karena pola pembelajaran kita kurang tepat dengan fokus ke konten dan kurang memperhatikan level berpikir.  Pada hal dengan bekal kemampuan berpikir yang baik atau dalam istilah sekarang berpikir tingkat tinggi, seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baru dan dapat mencerna (memahami) fenomena yang dihadapi.  Kalau menggunakan taksonomi Bloom, jika siswa mampu dan terbiasa berpikir analisis-sintesis, maka dia akan dapat mencerna dan memahami hal-hal baru yang belum dipelajari sebelumnya.  Itulah yang sekarang banyak dibicarakan agar anak-anak dilatih high order thinking (HOT).

Jika dicermati, soal-soal di PISA pada umumnya kontennya cukup sederhana dan terkait dengan kehidupan sehari-hari, tetapi menuntut kemampuan berpikir tinggi.  Biasanya menggunakan fenomena keseharian, dan peserta diminta menganalisinya.  Oleh karena itu wajar kalau anak-anak Indonesia tidak mampu menjawabnya dengan tepat, karena tidak terbiasa mengerjakan masalah seperti itu. Apa itu hanya untuk anak SD dan SMP kelas awal?  Ternyata tidak.  Prof Wasis bersama tim dari Unesa pernah menganalisis jawaban Ujian Nasional (UN) siswa SMA.  Hasilnya menunjukkan untuk soal yang berbasis hafalan dan penerapan rumus, umumnya siswa dapat mengerjakan. Namun pada soal yang sifatnya analisis-sintesis, misalnya memahami tabel dan kemudian mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari, banyak siswa yang gagal menjawabnya.

Memang mengajarkan atau lebih tepatnya mengembangkan kemampuan berpikir level tinggi memerlukan waktu lebih lama. Jika guru harus mengabiskan semua  materi ajar yang tercantum dalam kurikulum dan harus membimbingnya sampai kemampuan analisis-sintesis, mungkin waktunya tidak cukup.  Oleh karena itu kemudian guru mengambil pilihan, yang pentingnya materinya terselesaikan, walaupun kemampuan berpikir siswa tidak mencapai level analisis-sintesis.

Bagaimana praktik di negara maju?  Sepanjang yang saya tahu, di sana lebih mementingkan level berpikir daripada konten.  Argumentasinya, dengan kemampuan berpikir tinggi diyakini anak-anak akan mampu belajar secara mandiri untuk mempelajari hal-hal baru.  Memang pada awalnya pembelajaran, pembahasan materi berjalan lambat tetapi ketika siswa sudah mampu dan terbiasa berpikir analisisi-sintesis, pembelajaran dapat berjalan lebih cepat.

Berdasar kondisi tersebut, kita dihadapkan dua pilihan.  Konten materinya banyak, artinya siswa memperlajari banyak hal, tetapi kemampuan berpikirnya berada pada tingkat rendah. Atau materi yang dipelajari siswa tidak terlalu banyak, tetapi mereka mampu berpikit tingkat tinggi. Semoga kita punya pilihan yang tepat.

Tidak ada komentar: