Senin, 02 Desember 2013

ANALISIS PENDIDIKAN WAPRES

Di hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne, Wapres Boediono mengakui bahwa pendidikan di Indonesia tertinggal (Kompas 16 Nopember 20013).  Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar ketertinggalan.  Indonesia kekurangan guru bermutu sedangkan guru bermutu yang ada tidak terdistribusi dengan baik, fasilitas pendidikan sangat kurang khususnya di daerah yang jauh dari kota, serta isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan standar.

Kalau dicermati, analisis Wapres akhirnya terfokus kepada guru. Isi dan penyampaikan materi ajar yang tidak sesuai dengan standar karena gurunya kurang bagus.   Apapun kebijakan mutu pendidikan, pada akhirnya guru yang melaksanakan di lapangan.  Jadi wajar kalau  mantan Perdana Meteri China Li Lanqing (2003) menyatakan semua pejabat pemerintah, apapun tingkatannya harus menghormati guru.

Analisis Wapres sejalan dengan simpulan Thomas Friedman terhadap kemajuan pendidikan di Shanghai.  Menurut Friedman, rahasia peningkatkan mutu pendidikan di Shanghai terletak pada: a deep commitment to teacher training, peer-to-peer learning and constant professional development, a deep involvement of parents in their children’s learning, an insistence by the school’s leadership on the highest standards and a culture that prizes education and respects teachers (The New York Times, 22 October 2013).

Untuk mendapatkan guru bermutu tentu diperlukan calon yang pandai, proses pendidikan di LPTK harus bermutu dan pembinaan yang bagus setelah mereka mengajar.  Studi Wang dkk (2003) berjudul Preparing Teachers Around the World mengonfirmasi argumen tersebut. Belanda, Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Singapura adalah negara yang dinilai bagus dalam menyiapkan calon guru dan juga membinanya setelah bekerja di sekolah.  Dan ternyata pendidikan di negara-negara tersebut bermutu baik.

Kesesuaian dengan kajian Friedman dan Wang dkk, menunjukkan bahwa analisis Wapres tersebut valid.  Pertanyaannya, bagaimana langkah untuk menggunakan analisis itu untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita.

Data SNMPTN dua tahun terakhir memberikan harapan untuk memperoleh calon guru yang bagus.  69,4% pendaftar SBMPTN 2013 ingin menjadi guru dan masuk ke LPTK.  Dengan peminat yang banyak, seleksi menjadi ketat dan akhirnya mendapat calon mahasiswa yang bagus. 

Jika mahasiswa baru pandai-pandai, pertanyaan berikutnya apakah proses pendidikan di LPTK cukup bagus.  Belum ada studi yang menggambarkan kualitas pendidikan di LPTK.  Yang pasti mutu LPTK sangat bervariasi.  Dan yang mencemaskan, ketika  minat menjadi guru naik, jumlah LPTK juga naik tajam.  Tahun 2008 jumlahnya sekitar 270an, kini sudah mencapai 415 buah dengan mahasiswa mahasiswa sekitar 1,2 juta orang, dengan lulusan sekitar 250.000 orang per tahun.  Peningkatan jumlah LPTK tersebut sangat mengkawatirkan, karena menyebabkab mutu pendidikan tidak terjaga.   

Pendidikan di LPTK sebenarnya semi kedinasan, karena lulusannya dipersiapkan menjadi guru.  Jika kebutuhan guru setiap tahun hanya sekitar 70.000 orang, sudah saatnya dilakukan pengaturan agar jumlah LPTK dan jumlah mahasiswanya dikendalikan.   Sekaligus diberdayakan agar mampu menghasilkan guru yang bermutu. 

UU Guru dan Dosen, yang mewajibkan guru berpendidikan S1 plus pendidikan profesi (PPG), dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian jumlah LPTK.  Hanya LPTK yang memenuhi syarat tertentu yang boleh membuka PPG dan jumlah mahasiswanya juga ditentukan.  Lebih baik kalau mahasiswa PPG diberikan dinas, sebagaimana diamanatkan pasal 23 ayat (1) UU Guru dan Dosen.  Pola pendidikan guru di China yang merekrut calon dari berbagai daerah, diasramakan dan diberi beasiswa merupakan contoh baik bagi Indonesia.  Diambil dari daerah dan diberi beasiswa akan memudahkan penempatan mereka setelah lulus.  Dengan diasrama proses pendidikan dapat dilakukan 24 jam, sehingga efektif untuk pembinaan karakter.

Distribusi guru merupakan masalah yang pelik. Secara agregat jumlah guru kita sangat cukup.  Rasio guru kita lebih baik dibanding Singapura dan Thailand, namun banyak sekolah di pedesaan yang kekurangan guru (Jalal, 2010).  Guru baru enggan ke daerah terpencil, sedangkan guru yang sudah ada di daerah cenderung ingin pindah ke kota.

Tahun 1999 pernah ada program redistribusi guru dengan batuan Bank Pembangunan Asia.  Namun program tersebut tidak berhasil, karena kepindahan guru ke sekolah di pedesaan dimaknai sebagai hukuman.  Oleh karena itu, diperlukan pola karier guru yang mengaitkan perpindahan mengajar di daerah terpencil merupakan bagian dari pembinaan karier. 

Ketidaksesuaikan isi dan metoda pembelajaran tampak juga terkait dengan pembinaan profesionalisme guru.  Secara jujur harus diakui kita belum punya pola yang mapan.  Di negara maju, guru wajib mengikuti pelatihan setiap tahun.  Mereka juga punya Professional Learning Community (PLC) sebagai wahana berdiskusi tentang problem-problem yang dihadapi.

Kita punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang mirip dengan PLC.  Hanya saja kegiatan MGMP dan KKG bisanya hanya untuk menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).  Pada hal PLC dan MGMP dan KKG merupakan wahana bagus bagi guru untuk berbagai pengalaman dan gagasan.  Bahkan juga wahana untuk mendatangkan ahli untuk memberikan pencerahan. 

Kita juga pernah punya sanggar MGMP dan KKG yang dikembangkan melalui proyek Bank Dunia.  Sayang sanggar tersebut sekarang tidak ada lagi.  MGMP, KKG dan sanggar tersebut perlu diaktifkan kembali.  Dengan teknologi modern,  kegiatan MGMP/KKG/sanggar tersebut dapat dihubungkan dengan Pusat Sumber Belajar (PSB) di universitas, sehingga dapat saling berbagi pengalaman dan keahlian.  Apalagi sekarang guru sudah mendapatkan tunjangan profesi yang didalamnya ada bagian dana untuk pengembangan profesionalime.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

thanks gan infonya !!!

www.bisnistiket.co.id