Jumat, 25 April 2014

DEMOKRASI MAKIN DEWASA DI UNESA

Tanggal 23 April 20014 dilaksanakan pemilihan Rektor Unesa periode 2014-2018.  Alhamdulillah berjalan lancar, dengan dihadiri Dr. Patdono Suwignyo, Sekretaris Ditjen Dikti, sebagai kuasa Mendikbud dan Ibu Ani Nurdiani Azizah, SH. MSi, Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemdikbud.  Memang ada riak-riak kecil, tetapi menurut saya masih dalam taraf kewajaran.  Apalagi jika diingat sejarah pemilihan rektor empat tahun lalu yang cukup panas.

Meskipun yakin pilihan rektor akan lancar dan aman, secara jujur saya deg-degan sejak pendaftaran calon ditutup dan menghasilkan tiga calon, yaitu Prof Nurhasan, Prof Warsono dan Prof Yatim Riyanto.  Mengapa?  Karena empat tahun lalu, ketika saya ikut kompetisi, konon situasi cukup mencekam.  Bahkan menjelang pemilihan dilaksanakan ada keributan antar kelompok mahasiswa. Saya mengatakan konon, karena sehari-hari saya di Jakarta melaksanakan tugas sebagai Direktur Ketengaan Ditjen Dikti, sehingga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. 

Sepertinya sudah menjadi pola, jika ada kelompok elit yang berbeda pendapat, kemudian melibatkan oranh awam yang dapat disuruh-suruh.  Sebagai contoh, jika dalam pilkada dan ada peserta yang tidak puas, kemudian  terjadi demonstrasi yang kadang-kadang anarkhis.  Hal yang sama juga terjadi jika ada perselisihan antara dua kelompok elit.  Sepertinya, sang elit yang tidak puas atau sedang bersengketa, kemudian mendorong atau menggerakkan masyarakat untuk berdemo.  Yang disuruh atau diprovokasi untuk berdemo biasanya masyarakat awam yang kadang-kadang tidak faham apa yang didemokan. 

Di perguruan tinggi (secara umum, tidak hanya di Unesa), mahasiswa adalah bagian sivitas akademika yang paling mudah diprovokasi.  Jadi dapat difahami kalau demonstrasi mahasiswa biasanya diwarnai oleh pemikiran kelompok elit yang sedang berkompetisi atau berbeda pendapat.  Saya tidak mengatakan mereka disuruh, mahasiswa kok disuruh-suruh, tetapi diwarnai pemikirannya.  Artinya, diberi atau mendapat informasi sehingga berpikiran sejalan dengan elit yang sedang berkompetisi atau berbeda pendapat.

Memahami fenomena seperti itu, sejak awal saya mendorong mahasiswa untuk belajar berdemokrasi yang sehat dan matang.  Kompetisi adalah keniscayaan, karena setiap hari kita berkompetisi.  Bahkan kata para ahli, awal pertumbuhan manusia juga melalui proses kompetisi, yaitu ketika ribuan sel sperma berkompetisi mencapai ovum untuk dibuahi (mohon maaf kalau istilahnya keliru). 

Yang penting berkompetisi secara sehat dan bersamaan dengan itu tidak lupa melakukan sinergi dan bekerjasama.  Dalam satu kelompok kerjasamapun harus terjadi kompetisi.  Misalnya ketika sekelompok mahasiswa mengerjakan tugas kelompok, mereka juga berkompetisi untuk mengerjakan tugasnya masing-masing, agar hasilnya paling baik.  Juga berkompetisi dalam bersinergi.  Maksudnya berkompetisi bagaimana menemukan cara bekerjasama yang paling efektif.

Saya juga mendorong mahasiswa untuk belajar berpikir kritis dan konseptual.  Maksudnya agar mahasiswa dapat berpikir jernih dan tidak mudah digiring pemikiran tertentu.  Bukan berari yang menggiring pemikirannya keliru.  Mahasiswa juga tidak boleh begitu saja menolak pemikiran yang disodorkan.  Tetapi mahasiswa harus menelaah dan mengkritisi konsep atau pemikiran yang disodorkan, sebelum menerima atau menolak pemikiran tokoh tertentu.  Sering saya menggunakan kelakar, jangan sampai mahasiswa “menerima atau menolak pemikiran sebelum membaca konsepnya”.  Kita pelajari pemikiran orang lain dengan kritis dan jernih, kemudian kita merumuskan pemikiran sendiri.  Pemikiran kita dapat sama namun juga dapat pula berbeda dengan pemikiran yang sedang kita pelajari.

Orang yang berdemo karena disuruh-suruh, biasanya dilupakan atau dipinggirkan setelah demo selesai dan mendapatkan hasil.  Hasil demonstrasi biasanya dinikmati kalangan elit yang menjadi actor intelektualnya.  Yang rame-rame di lapangan biasanya hanya pelengkap atau bahkan menjadi penonton, ketika semuanya sudah selesai dan berjalan normal.  Cerita itu sering saya sampaikan kepada para aktivis mahasiswa.

Sebelum penjaringan calon rektor dimulai, sebaiknya dirumuskan kriteria untuk rektor 2014-2018.    Jika kriteria sudah dirumuskan dan disepakati, biarlah para dosen berkaca apakah cocok dengan kriteria tersebut.  Jika merasa cocok, silahkan mulai mempersiapkan diri menjadi calon.   Jika kurang cocok sebaiknya menyadari bahkan tidak cocok untuk Rektor Unesa 2014-2018.

Tidak cocok bukan berarti kurang kompeten, tetapi memiliki kompetensi yang berbeda dengan yang diperlukan.  Mungkin yang bersangkutan lebih cocok menjadi dirjen, menteri, gubernur, dekan dan sebagainya.  Tidak cocok untuk Rektor Unesa 2014-2018, tetapi mungkin cocok untuk posisi yang lain dan mungkin lebih tinggi.  Bukankah setiap jabatan memerlukan kompetensi yang berbeda-beda.

Saat diundang disksui oleh BEM UNesa, saya mengajukan tiga kriteria, yaitu (1) standing akademik, (2) integritas, dan (3) kemampuan menjalin kerjasama internasional.  Tentu orang lain boleh memiliki kriteria berbeda dengan yang saya ajukan.  Nah, jika ajuan-ajuan kriteria itu dapat didiskusikan dan disepakati, kriteria itu disodorkan kepada semua pihak untuk bercermin sebelum memutuskan untuk mencalonkan diri.  Juga dapat disodorkan kepada berbagai pihak untuk dijadikan pertimbangan ketika mengikuti proses polling maupun oleh anggota Senat Unesa ketika harus memilih calon rektor.

Namun tampaknya tradisi itu belum terbangun.  Mahasiswa sebenarnya sudah memulai itu dengan serangkaian diskusi.  Namun belum berani merumuskan menjadi ajuan.  Di kalangan dosen justru yang belum tumbuh.  Saya belum mendengar ada diskusi untuk merumuskan kriteria calon rektor.  Mungkin masih memerlukan waktu untuk membiasakan bahwa setiap seleksi memerlukan kriteria. 

Sebenarnya hal itu dapat dianalogikan dengan lomba lukir, lomba nyanyi, lomba tari  dan sebagainya.  Juri lomba-lomba tersebut selalu memegang kriteria penilaian yang biasanya dalam bentuk format yang dibakukan oleh panitia. Mengapa?  Jika tidak ada format penilaian, juri akan melakukan penilaian berdasarkan feeling-nya masing-masing.  Nah, dapat dibayangkan kalau mahasiswa, dosen dan karyawan mengikuti polling tanpa faham kriteria seperti apa hasilnya.  Demikian pula jika anggota senat melakukan pemilihan dengan memahami kriteria calon rektor, seperti apa hasilnya.

Namun saya juga percaya kalau dosen Unesa semakin rasional, sehingga tidak mudah digiring dalam pemikiran tertentu.  Apalagi hampir semua dosen Unesa minimal berpendidikan S2 dan juga sudah banyak yang S3.   Apapun bidang ilmunya, saya yakin seseorang yang berpendidikan S2 apalagi S3, pasti mampu berpikir rasional, kritis dan jernih.  Jika toh masih ada penggiringan dan dosen tidak berani menolak, saya menduga dalam hati mereka  mengatakan “ya” tetapi sebenarnya “tidak setuju”.

Menurut seorang teman yang mendalami ilmu politik, demokrasi akan berjalan baik jika masyarakatnya well educated dan well informed.  Dengan pendidikan yang baik, orang akan dapat berpikir kritis dan jernih, sehingga tidak mudah digiring oleh pemikiran tertentu.  Akhirnya orang dapat memiliki pemikiran dan pilihannya sendiri.  Dengan dimilikinya informasi yang bagus, berarti orang memiliki bahan pertimbangan dalam menganalisis atau memilih.

Masyarakat Unesa, khususnya dosen tentunya termasuk orang-orang yang well educated (berpendidikan baik).  Mahasiswa juga sudah memiliki bekal pendidikan yang memadai dan sedang memperkuat basis ilmu pengetahuannya, sehingga saya yakin mereka telah memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan jernih.  Jadi yang diperlukan adalah tersedianya informasi yang cukup dan mutakhir.  Tantangan Unesa ke depan dan kriteria calon rektor yang cocok memimpin untuk menghadapi situasi tersebut merupakan informasi penting yang harus dimiliki dosen, karyawan dan mahasiswa.

Banyak teman dan mahasiswa yang bertanya diantara tiga calon rektor, mana yang menurut saya paling cocok.  Saya selalu menjawab, sebagai rektor saya harus netral.  Ketiga calon adalah “adik-adik” saya dan semuanya guru besar yang tentu sudah teruji. Oleh karena itu saya tidak pernah hadir ketika diundang pertemuan yang terkait dengan percalonan rektor.  Bukan berarti saya golput.  Saya tetap akan memilih sesuai kriteria yang saya percayai, tetapi saya tidak boleh menggiring orang lain untuk memilih calon tertentu.

Dengan posisi sebagai rektor, sebenarnya saya menghadapi problem yang melekat dalam proses pemilihan rektor mendatang.  Jika yang terpilih calon A, sangat mungkin calon B dan C marah.  Jika yang terpilih calon B, calon A dan C yang marah.  Jika calon C yang terpilih, calon A dan B yang marah.  Mengapa?  Karena yang tidak terpilih menduga, saya mendorong Mendikbud memberikan suaranya kepada calon yang terpilih.  Beberapa teman-teman dekat berkomentar itu risiko jabatan. 

Pemilihan rektor sudah berjalan dengan lancar.  Saya yakin dan tetap berharap semua pihak menerima hasil itu dengan lapang dada.  Dalam demokrasi, kita boleh berbeda pendapat, berdiskusi dan bahkan berdebat.  Namun jika yang berwenang sudah mengambil keputusan, kita harus mengikuti keputusan tersebut.  Kita boleh punya pilihan yang berbeda, namun ketika proses pemilihan sudah berlangsung sesuai ketentuan dan sudah ada calon rektor terpilih, maka kita harus menerima hasil tersebut dengan lapang dada.

Saya mengenal baik Pak Nurhasan dan Pak Yatim, sehingga saya yakin beliau berdua menerima baik hasil pilihan rektor.  Bahkan sebelum pemilihan saya sering melihat para calon berkelakar dan mengatakan, siapapun yang nanti terpilih akan yang lain akan mendukung.  Saya juga yakin para anggota Senat Unesa adalah para guru besar dan dosen terpilih yang selalu berpikir rasional dan dewasa dalam berdemokrasi, sehingga menerima hasil pilihan rektor dengan lapang dada.

Sambutan Pak Patdono menjelang pemberian suara sangat bagus dan cocok untuk direnungkan. Beliau mengatakan, setelah pemilihan dilakukan dan hasilnya diketahui, semua pihak harus dapat menerimanya.   Setelah itu semua pihak harus mendukung siapapun yang terpilih untuk melanjutkan pengembangan Unesa.  Jangan sampai timbul ketegangan dan gangguan yang dapat menyebabkan pengembangan Unesa stagnan apalagi mundur.

Oleh karena itu setelah calon terpilih dilantik, sebaiknya kita semua mendukung dengan membantu menyusun konsep program apa sebaiknya untuk empat tahun mendatang.  Kondisi empat tahun ke depan tentu berbeda dengan empat tahun lalu, sehingga rektor baru memerlukan program baru sebagai kelanjutan program sebelumnya.

Seperti yang sudah sampaikan di berbagai kesempatan, tantangan empat tahun ke depan tidak lebih ringan.  Unesa sudah pasti mendapatkan bantuan IDB sebesar 392 juta dolar atau sekitar 430 milyar rupiah (1 dolar = 11 ribu rp).  Dengan demikian masalah dana untuk membangun tidak lagi menjadi kendala.  Tantangan utama menurut saya adalah pengembangan budaya akademik yang sampai saat ini belum tumbuh dengan baik.  Kedua, kerjasama internasional yang masih harus dipacu, untuk mendukung Unesa “naik kelas”.   Semoga.

Tidak ada komentar: