Minggu, 27 April 2014

FEONEMA LAIN DARI JIS

Mingu-mingu ini kita disuguhi berita tentang peristiwa pelecehan seksual di Jakarta International School (JIS).  Pada awalnya hanya seorang siswa TK yang mengalami, tetapi kemudian muncul pengakuan lain.  Yang dijadikan tersangka, semua hanya 3 orang petugas kebersihan, tetapi kemudian bertambah menjadi 5 orang.  Media juga memberitakan bahwa JIS pernah memiliki guru yang menjadi buronan FBI karena masalah pedofilia.  Bahkan ada yang menduga Wakil Kepala Sekolah JIS juga terlibat.  Namun yang bersangkutan keburu pulang ke negaranya.

Tulisan ini tidak akan membahas, peristiwa itu tetapi akan mencermati sisi lainnya.  Menurut lama resminya, diketahui kalau JIS merupakan sekolah internasional yang tua, bahkan mungkin tertua di Indonesia.  JIS didirikan tahun 1951 oleh para pekerja PBB dengan nama JES (Joint Embassy School).  JES pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak expatriate (orang asing yang bekerja di Indonesia).  Sepertinya pendirian JES didukung oleh Kedubes Amerika Serikat, Inggris, Australia dan kemudian menyusul Yugoslavia.  Baru pada tahun 1978 namanya berubah menjadi Jakarta International School (JIS).

Saat ini JIS memiliki TK, SD, SMP dan SMA, dengan jumlah siswa sekitar 2.400 orang dengan guru 250 orang.  Dengan bangga lama JIS menyebutkan bahwa siswanya berasal dari 60 warga negara. Tentu ada orang Indonesianya.  Untuk tingkat SMA (High School) JIS memiliki 906 orang siswa, yang terdiri dari 20% dari Amerika Serikat, 18% dari Korea Selatan, 16 % dari Indonesia, lainnya berasal dari 45 negara.  Juga tidak ada informasi pasti berapa siswa SMP, kecuali daya tampung yang disebutkan SMP 600 siswa dan SMA 900 siswa.  Jika totalnya 2400 siswa dapat diduga siswa SD sekitar 900 orang dan TK sekitar 100 orang.

Laman JIS menyebutkan bahwa bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Inggris dan untuk jenjang SMA siswa dapat menembuh IB (International Baccalaureate) Diploma. JIS diakreditasi oleh Council of International School dan Western Association of Schools and Colleges.

Membaca penjelasan di laman tersebut dapat disimpulkan bahwa pada awalnya, JIS adalah Sekolah Perwakilah Negara Asing, sebagaimana dimaksud oleh pasal 64 UU Sisdiknas.  Mungkin tidak efisien kalau masing-masing mendirikan, akhirnya tiga negara (Amerika Serikat, Inggris dan Australia) mendirikan bareng-bareng dan kemudian Yugoslavia bergabung.   Sangat mungkin pada awalnya siswa JIS (mungkin masih bernama JES) adalah anak-anak WNA.

Kita tidak tahu sejak kapan JIS menerima siswa orang Indonesia.  Mungkin setelah berganti nama dari JES menjadi JIS, jadi sejak tahun 1978.  Karena menerima siswa WNI, maka sangat mungkin JIS berubah status menjadi Lembaga Pendidikan Asing yang menyelenggarakan pedidikan di Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh pasal 65 ayat (1) UU Sisdiknas.

Jika dugaan itu betul, maka JIS seharusnya bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia dan mengikutsertakan pendidik dan pengelola WNI (ayat 3).  Disamping itu JIS harus memberikan matapelajaran Agama dan Kewarganegaraan bagi siswa WNI (ayat 2).

Berangkat dari data-data diatas, paling tidak ada beberapa fenomena yang menarik terkait dengan JIS.  Pertama, tampaknya JIS diminati oleh masyarakat kalangan atas.  Dari informasi yang ada, sebagian besar siswa JIS yang WNI adalah anak-anak keluarga kaya dan banyak yang keturan campuran (ayahnya orang asing dan ibunya orang Indonesia atau sebaliknya).   Nama “besar” JIS sepertinya menjadi magnet atau seakan-akan menjadi jaminan mutu pendidikannya.

Sangat mungkin JIS menjadi contoh sekaligus pemicu munculnya sekolah bertaraf internasional lainnya di Indonesia.  Sebagaimana diketahui, sebelum pemerintah memunculkan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), sebenarnya sudah banyak sekolah-sekolah swasta yang menyatakan diri bertaraf internasional.  Umumnya menggunakan kurikulum asing, berbiaya mahal dan siswanya berasal dari keluarga kaya.  Dan sekolah seperti itu memiliki banyak peminat, sehingga muncul di berbagai kota besar.

Kedua, tampaknya pemerintah “kecolongan”.  Walaupun tidak tahu kapan JIS mulai menerima siswa WNI tetapi saya yakin itu sudah lama.  Seingat saya pada akhir tahun 1990an sudah ada anak-anak WNI (biasanya keluarga berada) yang sekolah di JIS.  Dengan demikian, semestinya sejak itu atau sejak terbinta UU Sisdiknas (2003) JIS terkena aturan pasal 65 ayat (2) dan ayat (3).  Namun tampaknya pemerintah belum sempat mengevaluasinya.

Dari laman resmi, tidak tampak kalau pengelolaan JS melibatkan WNI. Kepala Sekolah JIS adalah Timothy Carr, Head of Business Development: Vivien Brelsford, Deputy Head of School:  Stephen Druggan.  Dari nama tersebut, termasuk nama-nama Kepala Sekolah SD, SMP dan SMA tidak tampak nama orang Indonesia.   Laman JIS tidak memuat nama-nama guru, sehingga kita tidak tahu apakah melibatkan guru WNI atau tidak.

Laman JIS tidak memuat kurikulum yang digunakan.  Namun kalau kita perhatian bahwa ada pilihan IB untuk SMA dan akreditasinya mengikuti Council of International School dan Western Association of Schools and Colleges, dapat diduga kalau JIS tidak menggunakan kurikulum nasional Indonesia.  Apakah siswa WNI mendapat pelajaran Agama dan Kewarganegaraan sebagaimana diamanatkan pasay 65 ayat (2) UU Sisdiknas.

Ketika diwawancarai, Kepala Pusat Informasi Kemdikbud juga tidak dapat memastikan dan masih akan mengecek.  Kita belum tahu apakah secara periodik JIS dievaluasi atau tidak.  Terungkapnya TK JIS tidak memiliki ijin semakin memperkuat dugaan bahwa pemerintah kecolongan, paling tidak lupa tidak melakukan evaluasi secara periodik.

Ketiga,  tampaknya negara besar dibalik JIS juga menjadi salah satu faktor.   Laman JIS memang tidak menjelaskan, sebenarnya JIS itu “induknya” dimana.  Kalau mengacu pasal 65 ayat (1) yang boleh menyelenggarakan pendidikan di Indonesia adalah Lembaga Pendidikan yang diakui atau terakreditasi di negaranya.  Semestinya JIS punya lembaga induk yang diakui atau terakreditasi di negaranya. Informasi yang beredar “lembaga induk” JIS ada di Amerika Serikat.  Dan itu diperkuat ketika Dubes Amerika untuk Indonesia ikut memberi komentar tentang kasus JIS.  Nah, karena JIS dari Amerika membuat masyarakat yakin mutunya bagus dan membuat pemerintah juga yakin tidak perlu melakukan pemantauan secara ketat.

Belajar dari itu, mari kita gunakan prinsip “jangan melihat buku dari sampulnya”.  Dapatnya sampulnya bagus tetapi ternyata isinya kurang bagus.  Semoga peristiwa JIS menjadi pelajaran bagi kita semua.

Tidak ada komentar: