Rabu, 10 Februari 2016

KREATIVITAS, KEBEBASAN DAN ETIKA



Pernahkan Anda berkunjung ke perguruan tinggi seni, misalnya Sekolah Tinggi Seni atau Akademi Seni atau Institut Seni?  Atau Jurusan atau Program Studi Seni di Universitas tertentu, misalnya Senirupa ITB atau bahkan yang berbau pendidikan seperti program studi Seni di Unesa?  Jika pernah, apa perbedaan dengan perguruan tinggi lain atau dengan program studi lain di ITB dan di Unesa?

Pengalaman saya, yang segera membedakan adalah gaya mereka dalam berpakaian atau katakanlah berpenampilan.  Mungkin saya yang tidak faham tentang seni dan tidak terbiasa dengan situasi itu, sehingga segera merasakan.  Biasanya mahasiswa (atau ada dosennya) yang menurut saya berpenampilan nyentrik.  Banyak diantara mereka yang berambut panjang dengan berbagai model, celama jean belel, seringkali berkaos yang juga belel, bersandal dan sebagainya.

Apakah itu aneh?  Bagi seniman ( dan mahasiswa seni), teman-teman yang sudah terbiasa bergaul dengan mereka tentu tidak aneh.  Aneh hanya bagi mereka yang belum faham, seperti saya.   Apakah itu salah? Menurut saya tidak, wong berpakaian itu hak masing-masing.  Apakah seniman (mahasiswa seni) harus berpenampilan begitu?  Saya tidak faham.  Saya pernah menanyakan hal itu kepada Pak Budi Darma (budayawan dan mantan Rektor Unesa) juga tidak mendapatkan jawaban yang jelas.  Kesan saya beliau menyerahkan kepada masing-masing.

Pada tulisan pendek ini saya tidak ingin mendiskusikan itu.  Tetapi justru apa yang saya dengarkan dalam diskusi tentang hubungan kreativitas dan kebebasan.  Diskusi itu diawali dengan keinginan untuk menemukan bagaimana model pembelajaran yang mampu mengembangkan kreativitas.  Keinginan itu dipicu oleh hasil studi yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan salah satu kemampuan yang sangat penting di abad 21. Nah, konon seniman adalah profesi yang menuntut kreativitas tinggi.  Mungkinkah ada kaitan cara berpenampilan dengan kreativitas?

Beberapa literatur menyebut kreativitas mencakup empat dimensi yaitu fluency, flexibility, originality dan elaboration.  Dari ke empat itu aspek yang  paling sulit dikembangkan adalah oroginaliy.  Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Namun seorang teman mengatakan hal itu terkait dengan kehidupan kita yang penuh dengan aturan dan kurang memberi kebebasan untuk berpikir beda.  Aturan-aturan yang ketat konon menyebabkan kreativitas sulit berkembang. Teman tadi mengatakan, kreativitas khususnya aspek orisinalitas memerlukan ruang kebebasan yang cukup.

Apakah kebebasan itu yang diterapkan di perguruan tinggi seni, sehingga cara berpakaian mahasiswa yang khas?  Apakah kebebasan itu memang sengaja dirancang agar kreativitas mahasiswa seni tumbuh baik?  Apakah mahasiswa jurusan lain yang juga memerlukan kreativitas tinggi, misalnya desain produk, multimedia dan sebagainya tidak memerlukan kebebasan seperti mahasiswa seni?  Jujur saya tidak tahu jawabnya.

Merenungkan itu, saya jadi teringat dua pertanyaan.  Pertama, pertanyaan mengapa banyak pedagang hebat tidak berlatar belakang sarjana ekonomi, penulis novel handal tidak berlatar belakang sarjana sastra, banyak guru yang hebat bukan lulusan LPTK.  Seorang teman mengatakan, jangan-jangan perkuliahan S1 Ekonomi, S1 Sastra, S1 LPTK terlalu banyak aturan, sehingga mahasiswa terbelenggu aturan dan tidak tumbuh kreativitasnya.  Apa itu betul?  Saya tidak tahu, mungkin pembaca yang dapat menjawabnya.

Kedua, apakah kebebasan harus diberikan tanpa batas?  Jika harus ada, apa pembatasnya? Menurut saya, tidak ada kebebasan tanpa batas, karena kita hidup bermasyarakat.  Kebebasan kita dibatasi oleh kebebesan orang lain.  Artinya, jangan sampai kebebasan kita menabrak kebebasan orang lain.  Misalnya, kita bebas merokok, tetapi jangan sampai hal itu mengganggu orang lain yang juga punya kebebasan tidak ditanggu oleh asap rokok.  Jadi etika merupakan pembatas kebebasan kita.  Kita bebas melakukan apapun tetapi janga sampai melanggar etika yang berlaku di masyarakat dimana kita berada.

Tidak ada komentar: