Rabu, 21 Desember 2016

KUE DONAT TERBALIK



Charles Handy, seorang ekonom dari Inggris pernah mengenalkan teori kue donat terbalik (inverted doughnut theory) untuk dunia pendidikan.  Kita tentu tahu bentuk kue donat, yang mirip gelang.  Sebuah bundaran dengan tengahnya berlubang.  Nah, maunya Charles Handy yang isi justru bagian tengah dari kue donat itu.  Mungkin kita sulit membayangkan seperti apa bentuknya.  Jadinya ya, mirip bentuk kue biasa yaitu bentuk kue bundar degan ketebalan sekitar 1 cm.

Charles Handy membayangkan bagian tengah itu yang merupakan inti, core atau bagian paling mendasar.  Sementara bagian pinggir itu adalah periperal, kembangan atau orang Jawa menyebutnya sebagai emperan.  Ibarat rumah, mungkin bagian pokok itu termasuk kamar tidur, dapar dan kamar mandi, yaitu bagian rumah yang harus ada agar rumah dapat  berfungsi sebagai tempat tinggal.  Yang termasuk bagian periperal itu mungkin teras, gudang dan halaman yang memang dapat menambar cantik rumah tetapi dalam keadaan kepepet dapat dihilangkan atau ditunda pembangunannya.

Nah, menurut Charles Handy, diskusi atau bahkan kebijakan pendidikan seringkali hanya “menyentuh” atau “mengotak-atik” bagian periperal dan tidak sampai menelaah bagian ini.  Orang kampung saya bilang, yang dibahas itu hanya kembangannya dan bukan pokok permasalahannya. Akhirnya perbaikan yang dilakukan tidak sampai menyelesaikan permasalahan mendasar pendidikan.  Yang terjadi tambal sulam, karena tidak menyentuh hakekat dibalik masalah yang terjadi.

Apakah sinyalemen Charles Handy juga terjadi di Indonesia?  Apakah fullday school yang kapan hari rame itu inti atau periperal?  Apakah UN yang sempat menunjukkan ketidakkompakan Kabinet itu inti atau periperal?  Apakah revitalisasi pendidikan vokasi itu inti atau periperal?  Apakah pemindahan kewenangan pendidikan menengah dari kabupeten/kota ke propinsi yang sempat membuat Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur “umek” itu inti atau periperal?

Untuk menjawab itu, ada baiknya kita mencermati fenomena berikut ini.  Beberapa bulan lalu, saya terlibat dalam satu diskusi di BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dihadiri oleh utusan dari Astra dan Carefour sebagai wakil DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk menggali kompetensi yang diperlukan DUDI.  Dua orang utusan DUDI itu sama-sama menyebutkan bahwa yang paling utama bagi DUDI adalah karakter.  Dari 100% prasyarat, minimal 60% itu terkait dengan karakter, 25% kemampuan berpikir logis dan belajar dan 15% terkail dengan keterampilan.  Ungkapan itu sangat mirip dengan apa yang disampaikan seorang teman HRD dari sebuah perusahaan raksasa di Bontang.  Teman tadi mengatakan, kalau soal keterampilan, perusahaan dapat melatih dengan cepat.  Namun kelakuan dan kemampuan bernalar harus sudah dimiliki ketika seseorang mulai bekerja.

Tanggal 13 Desember lalu, Reinald Kasali menyajikan tulisannya di Jawa Pos, kalau tidak salam berjudul “Job on Demand”.  Tulisan itu menunjukkan perubahan yang sangat besar di dunia kerja dan ternyata itu tidak mampu diikuti oleh sekolah/universitas.   Ketika saya mendiskusikan tulisan itu dengan beberapa kawan, Pak Shakib dari Al Hikmah bercerita kalau anaknya yang lulusan Teknik Elektro di ITS, saat mengikuti Manajemen Trainee di sebuah perusahaan besar justru diarahkan menekuni bidang marketing.  Manajemen trainee selama sekitar 1 tahun itu ternyata digunakan oleh perusahaan untuk menemukan potensi peserta dan kemudian mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan perusahaan.   Sering sekali, calon karyawan itu justru didorong untuk menekuni bidang yang jauh dari ijasah S1nya.

Fenomena seperti itu mungkin yang meyebabkan Tony Wagner komplain melalui bukunya “The Global Achievement Gap” yang intinya mengatakan sekolah-sekolah terbaikpun tidak dapat menyiapkan lulusannya untuk memiliki kompetensi yang diperlukan oleh DUDI. Akibatnta DUDI harus melakukan pelatihan yang mahal.  Mungkin fenomena itu yang merisaukan Jorgen Moller, dalam bukunya “How Asia Can Shape the World”.  Dalam buku itu Moller secara khusus membedah pendidikan di Asia dan mengatakan pendidikan dapat menjadi kartu as tetapi juga dapat menjadi kartu mati (aces or duds) ketika Asia akan menjadi lokomotif perkembangan dunia.

Nah, apakah saat ini kita sudah membahas inti pendidikan?  Atau kita baru membahas hal-hal yang periperal?  Mari kira renungkan.

Tidak ada komentar: