Jumat, 23 Desember 2016

SIAPA YANG INDIVIDUALIS?



Pagi ini, sekitar pukul 04.45 saya mengatar anak laki-laki ke terminal bus Purabaya.  Dia mau ke Malang menjemput isterinya yang sudah beberapa hari berlibur di Malang.  Mumpung long weekend, jadi berangkat Sabtu dan akan kembali ke Surabaya Senin mendatang.  Sepagi itu belum ada angkot atau bus kota yang lewat, sementara mau naik taksi mahal.  Jadinya, yaa terpaksa sebagai ayah saya mengantarkan.

Sesampai di terminal banyak sekali mobil yang mengantar.  Sayangnya ada beberapa mobil pegantar yang parkir seenaknya sehingga mengganggu mobil yang datang, termasuk mobil kami.  Sepertinya sang sopir dan kerabatnya ngobrol di depan mobil sambil merokok. Anak laki-laki nggerundel “dasar nggak punya otak, tidak merasa mengganggu orang lain”.  Saya diam saja, karena sudah tahu perilaku keseharian dia.  Mungkin terlalu lama dia tinggal di Auatralia, sehingga terbiasa berkehidupan teratur.  Kalau menyopir dia sangat taat aturan, tidak pernah menggunakan bahu jalan saat di jalan tol, tidak pernah nyerobot lampu lalu lintas, tidak pernah parkir di tempat yang dilarang dan kalau akan parkir selalu nengok kanan-kiri untuk melihat apakah mengganggu orang lain.

Sambil nyopir pulang, saya berpikir siapa yang lebih individualis, orang Barat atau kita?  Apa ya definisi individualis itu?  Orang yang tadi parkir mobil sembarangan itu karena induvialis atau kurang mengerti aturan?  Kita seringkali mengatakan orang Barat itu individualis, sedangkan orang Indonesia tidak gotong royong.  Apakah itu betul ya?

Jika indivialis itu dimaknai ketidakmuan urusan pribadi diganggu atau bahkan diketahui orang lain, memang orang Barat itu individualis.  Jangan menanyakan umur kepada orang Barat.  Jangan menanyakan isteri atau suami kepada orang Barat. Kecuali kita sudah akrab atau dia bercerita lebih dahulu.  Mengapa?  Mereka menganggap itu urusan pribadi.  Kalau kita menanyakan dan dia merasa terganggu dengan pertanyaan kita, dia akan menjawab “that’s not your business” (itu bukan urusanmu).  Bahkan nilai ujian itu dimaknai sebagai urusan pribadi, sehingga hanya yang bersangkutan yang boleh tahu.

Jika individualis dimaknai sebagai ketidakmuan hak pribadinya diganggu, maka orang Barat tergolong individualis.  Jangan menyerbot antrean di Barat, karena itu dianggap mengganggu hak pribadi orang lain.  Jangan merokok di sembarang tempat, karena itu dianggap mengganggu hak oarng yang tidak mau terganggu kita merokok.  Jangan berbicara keras di dalam bus umum atau tram umum, karena dianggap mengganggu mereka yang ingin membaca atau tidur.

Tetapi cobalah minta bantuan kepada orang Barat, mereka akan senang hati membantu.  Tentu yang ringan-ringan, misalnya menanyakan alamat, membantu memegangkan barang ketika kita akan menggendong anak, membantu ketika kita turun bus atau kereta dan sebagainya.  Hanya saja kita harus minta tolong, karena jika kita tidak minta tolong mereka tidak akan membantu, takut dianggap menganggap kita tidak mampu.

Itulah sedikit gambaran perilaku orang Barat yang saya ketahui dan terkait dengan individualis atau bukan.  Nah bagaimana dengan perilaku orang Indonesia pada umumnya?  Kita merasa senang kalau dibantu ketika kerepotan. Apalagi jika ada orang yang langsung membantu tanpa kita minta.  Kita merasa orang seperti itu orang yang perhatian kepada orang lain.  Kita juga senang jika ada orang yang menanyakan keadaan keluarga, anak dan isteri kita.  Kita tidak merasa terganggu oleh pertanyaan seperti itu.  Jadi kita tidak merasa punya urusan pribadi yang begitu “tertutup” seperti orang Barat.

Gambaran di atas menunjukkan, sepertinya pemisahan domain privat (urusan pribadi) dengan domain publik (urusan umum) tidak terlaku ketat bagi orang Indonesia.  Dan itu mungkin merembet ke hal-hal lain.  Misalnya banyak orang Indonesia enak saja merokok di lingkungan orang banyak. Kita juga sering menyaksikan adanya orang nerombol antrean.  Kita hampir setiap hari mendengar Radio SS yang menyiarkan adanya mobil yang menggunakan bahu jalan tol.  Kita juga menyaksikan banyaknya mobil berhenti pada tempat yang ada larangan berhenti (tanda S disilang).

Apakah itu karena mereka tidak tahu aturan harus antre?  Apakah itu karena tidak tahu dilarang berhenti di lokasi dengan tada huruf S disilang?   Saya menduga mereka tahu, tetapi tidak merasa harus mematuhinya.  Mungkin juga merasa itu harus dilakukan demi ini dan itu.  Dan merasa itu wilayah publik yang dia juga punya hak.  Tampaknya dan ini dugaan saya, indivualis atau tidak ternyata terkait dengan bagaimana pemahaman yang bersangkutan tentang hak dan kuwajiban.

Tidak ada komentar: