Senin, 19 Juni 2017

GAGASAN DAN CARA MENGKOMUNIKANNYA



Beberapa riset tentang 21st Century Skills menempatkan kemampuan komunikasi (communication skill) sebagai salah satu kemampuan penting, disamping critical thinking, problem solving, creativity dan collaboration.  Mengapa demikian?  Bukankah berkomunikasi merupakan aktivitas biasa yang kita lakukan sehari-hari?

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian.  Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lain, sehingga kemampuan komunikasi sangat berpengaruh dalam interaksi seperti itu.  Ketika kehidupan masih sederhana dan manusia berinteraksi dengan rekannya yang sama budaya serta adat istiadatnya, mungkin saja kemampuan komunikasi tidak banyak merepotkan.  Namun ketika, kehidupan makin kompleks, orang harus berinteraksi dengan rekannya yang berbeda budaya, berbeda keyakinan, bereda kepentingan dan sebagainya, maka kemampuan bekomunikasi sangat penting.

Orang bijak mengatakan, gagasan yang baik dan atau tujuan yang mulia harus dikomunikasi dengan tepat.  Jika tidak dapat terjadi gagasan yang baik dan atau tujuan yang mulia itu ditolak orang lain, karena cara mengkomunikannya kurang pas.  Kalau ingin meyakinkan anak-anak SD juga harus menggunakan bahasa yang dimengerti oleh anak SD.  Jika berdiskusi dengan petani, yang harus menggunakan bahasa yang difahami oleh petani.  Jangan mengajukan gagasan ketika orang yang diajak diskusi lagi sumpek.  Pepatah Jawa mengatakan “kudu weruh empan papan”.  Terjemahan bebasnya kita harus tahu kapan menyampaikan gagasan itu.

Mungkin itu juga yang terjadi dengan polemik tentang Lima Hari Sekolah (LHS).  Ketika membaca Kemendikbud tentang LHS, saya menangkap lima hari sekolah itu lebih tepat disebut lima hari belajar.  Nah, belajarnya dapat di satu sekolah, dapat di sekolah dan madrasah, dan sebagainya.  Pelaksanaan LHS juga dapat bertahap sesuai dengan kemampuan sekolah.  Tujuan pokoknya agar pendidikan karakter berjalan lebih efektif.

Mungkin sekali cara mengkomunikasikan Permendikbud itu yang kurang efektif.  Saya sendiri baru tahu setelah terjadi rame-rame di koran.  Yang diramaikan adalah Full Day School, pada hal Permendikbud itu sama sekali tidak tercantum istilah itu.  Keluwesan pelaksanaan LHS juga tidak banyak dibahas dalam polemik yang muncul.

Memang masih ada ganjalan yang tampaknya belum sempat dipikirkan ketika merancang Permendikbud tersebut.  Misalnya bagaimana dengan makan siang anak-anak.  Anak-anak di pedesaan tidak lazim makan di sekolah dan orangtua juga tidak biasa menyediakan anggaran untuk itu.  Bagaimana dengan sekolah yang sekolah yang lahannya sempit, sehingga tidak memiliki tempat untuk bermain.  Bagaimana dengan udara siang yang sangat panas, sementara sekolah tidak menggunakan AC.

Problem LHS dapat menjadi pelajaran berharga untuk kita semua.  Pelajaran bagaimana mengkomunikasikan gagasan agar orang lain dapat memahami.  Pelajaran bahwa gagasan yang baik memerlukan cara mengokumunikasikan baik pula. Semoga.

Tidak ada komentar: