Jumat, 23 Juni 2017

PAK SOLIKIN



Perawakannya kurus tinggi, berkulit coklat kehitaman. Senyumnya selalu mengembang menampakkan giginya yang ompong satu.  Pekerjaan utamanya satpam di perumahan Tamandayu Pandaan.  Namun diminta tolong juga untuk merawat halaman rumah anak saya.  Oleh karena itu saya sering ketemu kalau pas berkunjung ke rumah itu dan kebetulan beliau sedang merawat halaman.

Kalau tidak salah, Pak Solikin mulai merawat halaman itu sekitar dua tahun lalu. Halaman yang merupakan hamparan rumpun gajah mini sangat rapi, pohon jambu, rambutan, mangga dan kelengkeng juga tampak terawat.  Bahkan sederet kamboja juga tampak terawat rapi.  Ada juga jambu biji yang ditanam di pot besar, buah naga yang merambat di tembok dapur dan kalau tidak keliru ada pohon pinang yang biasanya untuk makan sirih.  Semuanya tampak subur dan terawat dengan baik.  Tampaknya Pak Solikin bekerja sangat baik.

Beberapa kali bertemu, saya jadi akrap dengan beliau. Biasanya Pak Solikin naik motor protolan tanpa plat nomor polisi.  Saya tidak pernah bertanya tentang motornya.  Katanya rumah Pak Solikin tidak jah dari daerah itu, jadi sangat mungkin motor itu hanya dipakai di sekitar kampung dan kompleks perumahan Tamandayu, sehingga tidak memerlukan pelat nomor polisi.  Apalagi motornya sangat tua yang tentu tidak dapat untuk ngebut.

Dari penampilan, pekerjaan dan cerita beliu tentang keluarganya, saya menduga Pak Solikin bukanlah orang kaya.  Bahkan sangat mungkin hidupnya pas-pasan saja.  Namun yang saya kagum dan bahkan sulit untuk memahami adalah semangat untuk memberi.  Saya beberpa kali diberi sesuatu oleh beliau.

Saya ingat betul, suatu saat saya dan isteri mampir kerumah anak saya dan melihat Pak Solikin menata anggrek di teras rumah.  Isteri saya berguman bagus ya anggreknya.  Langsung Pak Soliki menyahut “monggo bu dibawa saja ke Surabaya, nanti saya bawakan lagi dari rumah untuk rumah ini”.  Setengah memaksa agar anggrek dibawa oleh isteri saya dan betul akhirnya dibawa pulang ke Surabaya.

Suatu saat ketika akan ke Malang saya bertemu dengan Pak Solikin.  Beliau bertanya apa tidak mampir ke rumah anak, dan saya jawab nanti pulangnya saja.  Kapan?  Saya jawab hari “X”.  Karena urusan di Malang belum selesai, saya pulang ke Surabaya terlambat dua hari (atau “X+2”).   Ketika sampai di rumah anak, ternyata sudah ada pisang emas satu tandan dan ternyata pemberian Pak Solikin.

Menjelang bulan Romadhon saya ini saya mampir ke rumah anak dan kebetulan ketemu Pak Solikin.  Beliau minta alamat rumah saya. Tentu saya beri, dengan pikiran siapa tahu pas ke Surabaya beliau berkenan mampir.  Nah, minggu lalu pas dengan isteri dari Malang dan perjalanan santai saya mampir ke rumah anak.  Kebetulan Pak Solikin sedang membersihkan taman.  Saya kaget, ketika tidak lama Pak Solikin pulang dan datang lagi membawa pisang susu masak 4 sisir dan pisang hijau mentah satu tandan yang sangat besar.  Beliau bilang sebenarnya ingin mengantar pisang itu ke Surabaya, namun belum sempat dan saya datang. Katanya, biar bisa untuk camilan pas buka atau sahur.

Sungguh luar biasa.  Saya sungguh kagum dengan Pak Solikin, dalam keadaan ekonomi yang saya duga pas-pasan tetapi semangat memberi sangat besar.  Saya merasa kalah dengan beliau.  Semoga Allah membalas dengan yang berlipat dan lebih dari itu semoga amal itu menjadi bekal beliau besuk ke sorga.

Sambil menyopir pulang membawa pisang itu, saya berpikir “mungkin inilah cara Allah memberi pelajaran kepada saya dan isteri, bahwa memberi sesuatu kepada orang lain itu tidak usah menunggu kaya”.  Ternyata “guru untuk memberi itu dapat berasal dari satpam yang hidupnya pas-pasan”.  Bukankah harta kita yang sesuangguhnya itu adalah harta yang kita berikan kepada orang lain dengan niat ibadah.  Semoga.

Tidak ada komentar: