Minggu, 30 Juli 2017

KELUHAN GURU PPKn



Beberapa hari lalu saya mendengarkan keluh kesah teman guru PPKn.  Beliau datang silaturahim dengan beberapa teman lain ke rumah.  Seperti lazimnya teman lama, kami ngobrol “ngalor-ngidul” sambil melepas rindu.  Pada suatu bagian, beliau mengeluhkan repotnya menjadi guru PPKn.  Walapun, dengan adanya program pendidikan karakter, semua guru wajib menjadi pendidikan karakter dan sekaligus menjadi model berperilaku yang baik, namun tetap saja guru PPKn selalu menjadi tumpuan kalau ada masalah yang terkait dengan karakter.

Lantas apa yang dikeluhkan?  Teman tadi bercerita, hari-hari ini siswa SMA yang diajar sering mengajukan pertanyaan yang beliau sulit menjawab dan serba salah.  Mau menjawab sejujurnya, kawatir dampak yang terjadi.  Mau berbohong, lha guru PPKn kok bohong.  Pertanyaan itu terkait dengan umeg di tingkat pusat, yang Pak Guru PPKn itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Beliau menjelaskan, dalam konteks umeg perpolitikan, ada yang disebut fenomena di muka panggung dan ada yang disebut fenomena di belakang panggung.  Yang kita lihat di TV, kita baca di koran maupun di media sosial lainnya itu kebanyakan fenomena di muka panggung dan seringkali itu penuh kepura-puraan.  Sementara kejadian apa di balik panggung itulah yang sebenarnya dan kita tidak pernah tahu, seperti apa itu.

Teman itu memberi banyak contoh yang membuat saya geleng-geleng kepala.  Konon kejadian yang kita lhat di TV dan baca di koran, seperti perdebatan sengit atau bahkan saling bentak atau tinju, hanyalah fenomena di muka panggung.  Belum tentu di balik panggung seperti itu.  Mungkin juga kejadian itu sengaja dirancang dilakukan anak buah, sesuai skenario tertentu.  Sementara yang membuat skenario itu justru duduk minum kopi bareng.

Mendengar cerita panjang lebar itu, saya lantas ingat lagunya Ahmad Albar.  Panggung Sandiwara:
Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Peran yang kocak bikin kita terbahak bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara

Karena tidak faham, saya bertanya “Lantas kita itu berperan sebagai apa?”.  Teman tadi menjawab sekenanya: “sampeyan sih sebagai penontog, sampeyan sebagai figuran, sampeyan sebagai asisten sutradara, sampeyan yang sutradara, dan sampeyan itu yang memesan lakon”.  Jawaban sulit dimengerti itu, diucapkan sambil tertawan ngikik terus ngeloyor ke kamar kecil.

Setelah gerombolan teman-teman tadi pulang saya merenung.  Yang datang silaturahim memang teman-teman lama, yang profesinya macam-macam. Ada guru-ada yang masih aktif ada yang pesiunan, dosen, pensiunan TNI, pensiunan BUMN, pengusaha dan politisi.  Benarnya kami ini bagian dari “panggung sandiwara” yang dilukiskan oleh Ahmad Albar?  Saya ini sebagai penonton yang tidak terlibat sama sekali dengan lakon yang sedang berjalan atau secara tidak sadar menjadi figuran yang diskenario orang?  Atau bahkan sebagai pemain?

Mungkinkah “panggung” yang dimaksud Ahmad Albar itu jumlahnya banyak.  Ada panggung besar dan ada pula panggung kecil, ada panggung nasional dan ada panggung lokal, yang masing-masing punya sutradara, pemain dan penonton sendiri-sendiri.  Entahlah, saya merasa tidak punya kapasitas untuk mengurai itu.  Mudah-mudahan teman guru PPKn main kerumah lagi, sehingga dapat menjelaskan. 

Tidak ada komentar: