Minggu, 21 Oktober 2018

KEJEPIT-BELAJAR DARI PROF GOPINATAN


Prof Gopinatan adalah penasehat akademik di The Head Foundation Singapore dan adjunct professor pada Lee Kuan Yew of Public Policy NUS.  Dia mantan Dean School of Education Nanyang Institute of Education NTU.  Dari tampilan fisik, maupun nama, saya menduga beliau keturunan India.  Saya mengenal beliau belum lama.  Pertama ketemu sambil sarapan padi di hotel Century sekitar 3 bulan lalu.  Kesan pertama saya, Prof Gopinatan banyak pengalaman dalam bidang pendidikan guru.

Tanggal 15-18 Oktober 2018, saya mendapat kesempatan berpartisipasi dalam workhop di The Head Foundation, bahkan saya diberi kesempatan mengisi acara itu bersama dengan Prof Gopinatan.  Berinteraksi seharian pada tanggal 15 Oktober, termasuk makan malam di restoran vegetarian, saya mendapat kesan mendalam.  Bicaranya pelan tetapi menunjukkan kesugguhan serta bijak, yang menggambarkan pengalamannya yang panjang, mulai sebagai guru sampai menjadi dekan di NIE, pensiun dan sekarang aktif sebagai adviser The Head Foundation, sebuah NGO yang bergeran dalam bidang pendidikan dan peningkatan SDM.

Salah satu yang sangat berkesan, ketika beliau bercerita tentang keluarganya.  Beliau bercerita memulai karir sebagai guru Kimia dengan kehidupan pas-pasan, dan setahap demi setahap membaik.  Anak-anaknya tidak mengalami itu, sehingga pandangannya berbeda dengan beliau.  Tampaknya beliau ingin mengatakan, daya juang anak sekarang berbeda dengan generasi beliau karena tidak mengalami susahnya kehidupan.

Pola itu tampaknya disadari oleh pemerintah Singapore, sehingga secara terprogram menumbuhkan keyakinan kepada anak-anak Singapore bahwa Singapore itu “tidak punya apa-apa”, sehingga hanya dapat mengandalkan “kepandaian”.  Orang Singapore harus pandai agar bisa “bersaing” dengan negara lain yang memiliki sumberdaya alam lebih baik.  Kesadaran itu tampaknya telah menjadi program nasional, sebagaimana diuraikan oleh LIM siong Guan, dalam bukunya berjudul “Can Singapore Fall: Making the Future for Singapore”.

Mendengar cerita itu, saya jadi ingat “filosofi kejepit”.  Orang rantau pada umumnya lebih sukses dibanding orang lokal.  Orang Jawa yang dikenal “malas” ternyata menjadi rajin dan pekerja keras ketika merantau keluar Jawa.  Sebaliknya orang Banjar yang konon juga malas ketika tinggal di Kalimantan ternyata menjadi pekerja keras ketika hidup di Jawa.

Mengapa demikian?  Tampaknya “rasa tidak aman”, takut kelaparan, takut tidak punya apa-apa menyebabkan mereka kerja keras, memutar otak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.  Sementara ketika tinggal di kampung halaman, mereka merasa aman, toh sudah punya ini dan itu, banyak keluarga di sekitarnya.  Nah, karena merasa aman tidak tumbuh jaya juang dalam kehidupan sehari-hari.

Saya juga ingat sebuah lagu yang dibawakan oleh Koes Plus, yang menyebutkan “bukan lautan hanya kolam susu..........”, yang seakan mengatakan kalau Indonesia sangat makmur.  Semuanya ada, sehingga kita tidak perlu risau dan secara tidak sadar terselip pesan kita tidak perlu kerja keras, toh tongkat dan kayu bisa jadi tanaman yang bisa dimakan.   Toh, dengan kail saja orang sudah bisa hidup dengan cukup.

Saya juga ingat konon, sekali lagi konon, dalam keluarga pengusaha, generasi pertama dan kedua memiliki daya juang sangat kuat.  Generasi pertama yang memulai, generasi kedua yang membantu generasi pertama sehingga tahu susah payahnya mengelola usaha.  Tiba pada generasi ketika, mereka lahir ketika usaha sudah besar, sehingga tidak mengalami sulitnya kehidupan bahkan tinggal menikmatinya.  Nah, konon mulai generasi ketiga inilah daya juang menurun.

Jadi, rasa aman, tidak pernah mengalami kesulitan hidup dan kondisi seperti itu dapat membuat daya juang orang tidak kuat.  Pertanyaannya, lha kalau memang kondisi nyatanya seperti itu bagaimana?  Misalnya, memang terlahir sebagai anaknya orang kaya.  Memag, terlahir di negara makmur seperti di Indonesia.  Nah, mereka yang menamakan diri sebagai ahli pendidikan, praktisi pendidikan dan pemerhati pendidikan, yang harus memikirkan.  Bagaimana menciptakan situasi belajar yang dapat menumbuhkan daya juang.  Semoga.

Tidak ada komentar: