Minggu, 14 Oktober 2018

HOTEL BINTANG LIMA MAKAN KAKI LIMA


Saya yakin pembaca mengenal restoran De Cost, yang tersebar di berbagai kota.  Restoran tersebut punya slogan, kalau tidak salah “Rasa Bintang Lima, Harga Kaki Lima”.  Slogan itu dipasang di name board restoran, seakan menunjukkan ke orang lewat “makanlah di Restoran De Cost, karena rasanya top tetapi harganya murah.

Nah, hari ini saya mengalami mirip slogan itu, tepatnya “Hotel Bintang Lima Makan Kaki Lima”.  Ceritanya, saya mengikuti acara workshop yang diadakan The Head Foundation bersama Word Bank di Singapore.  Keberangkatan saya diatur oleh World Bank, sehingga saya tidak banyak mengurus.  Saya hanya berpesan, dari Surabaya ingin naik Garuda via Jakarta.  Via Jakarta, karena memenuhi pesan beberapa teman yang ingin bareng, sehingga bisa bertemu di bandara Cengkareng dan terbang sama-sama ke Changi Singapore.  Mengapa naik Garuda, semata-mata karena maskapai milik pemerintah Indonesia.  Dari Surabaya ada dua peserta, yaitu Bu Lutfi dan Bu Rooselyne, keduanya dari Unesa.

Saya mengingap di Hotel Grand Park City Hall.  Mbak Petra,staf World Bank,  yang memilihkan hotel tersebut.  Saya tidak tahu mengapa dipilihkan hotel itu, mungkin dicarikan yang dekat tempat acara.  Saat Mbah Dyah, staf World Bank, yang biasa mengurus tiket pesawat dan hotel mengurusnya, ternyata tidak dapat menggunakan vocher seperti biasanya di dalam negeri.  Oleh karena itu, menggunakan cara reimbers, yaitu saya harus membayar sendiri terlebih dahulu nanti diganti oleh World Bank.  Mbah Dyah mengatakan nanti travel agent BCD (travel agent langganan World Bank) akan minta nomor kartu kredit.

Ketika Mbak Lidia dari Travel Agent BCD mengirim email, saya menanyakan apakah room rate hotel tersebut tidak melampai plafon World Bank.  Maksudnya jangan sampai saya nombok. Aturan Wolrd Bank itu aturan besi, tidak bisa ditawar sama sekali. Jadi kalau kita nginap di hotel yang tarifnya diatas plafon harus nomboki kekurangannya. Mbak Lidia meyakinkan bahwa harga itu masih dalam plafon Word Bank.  Akhirnya saya bilang OK, tanpa melihat berapa harganya.

Saya berangkat dan menginap di Hotel Grand Park City Hall bersama dengan Bu Lutfiah dan Bu Rooselyne dari Unesa.  Teman-teman dari Indonesia lainnya menginap di Hotel Robinson. Semula saya tidak tahu mengapa. Namun, setelah tiba di hotel dan kedua ibu menanyakan room rate (tarif kamar), saya baru sadar bahwa ternyata sangat mahal.  Dan ternyata hotel tersebut bintang lima, sehingga room ratenya sangat mahal untuk ukuran orang seperti saya.  Untunglah, saya dibayari oleh World Bank, sehingga mungkin untuk ukuran mereka harga itu masih normal.

Bu Lutfi dan Bu Rooselyne risau apakah Unesa mae membayari hotel yang tarifnya mahal.  Saya berkelakar, kan ibu satu kamar untuk berdua, jadi Unesa tentu mau. Kan bisa dianggap separuh tarif per orang.  Memang agak repot, jika kemudian dibandingkan dengan tarif di Indonesia.  Apaagi di Singapore yang terkenal semua mahal.  Toh, banya orang Unesa yang sering ke luar negeri yang tarif hotelnya juga sangat mahal, misalnya di Jepang.  Moga-moga saja Unesa mengerti, apalagi WR 1 yang menugasi kedua ibu tersebut, alumni Jerman yang pasti faham tentang tarif hotel di negara lain.

Ketika, sore hari harus mencari makan malam, saya dengan Bu Lutfi dan Bu Rooselyne menjalankan slogan pada judul tulisan ini. Ketika keluar dan melihat kiri-kanan, saya baru faham mengapa tarif hotel tersebut mahal. Karena lokasinya di daerah elit dan di sekitar hotel-hotel kelas atas. Kemana-mana dekat dan mudah, karena dekat dengan jalur MRT.  Juga banyak mal di dekat hotel.

Keluar dari hotel bintang lima, tetapi mencari tempat makan yang yang murah, sehingga terjangkau oleh saku kami. Itu menjadi tidak mudah, karena di area pusat kota Singapore tidak mudah menemukan restoran halal dengan harga murah.  Pertama kami menemukan food court di basement sebuah mall dan ramai sekali.  Kami masuk dan ternyata tidak menemukan makanan yang “aman”.  Akhirnya kami keluar mencari yang lain.

Bu Lutfi dan Bu Rooselyne yang sibuk googling mencari rumah makan yang halal.  Ditemukan ada Indonesian Halal Food tetapi jauh.  Untungnya ada orang yang membawa gelas McDonald, sehingga Bu Rooselyne menanyakankan dimana McDonald yang terdekat.  Ternyata cukup dekat, sehingga kami memutuskan makan malam di McDonald saja.  Jalan kaki sekitar 15 menit.  Sampai di Mc Donal, kami memilih menu yang cocok yang kira-kira dapat membuat perut kenyang.  Tidak ada nasi, sehinga akhirnya memilih menu kentang goreng plus chiken wing dan minuman coklat panas dengan harga 6 dolar satu porsi atau sekitar 70 rb rupiah.  Harga kali lima untuk ukuran Singapore.  Jadilah tidur di Hotel Bintang Lima tetapi Makan di Kaki Lima.

Tidak ada komentar: