Senin, 10 Juni 2019

MIT Amaanatul Umah Kauman Ponorogo


Idul Fitri ini saya memaksakan diri untuk pulang kampung.  Sebenarnya waktu mepet-mepet, karena anak saya, Lala bersama suami dan anak-anaknya pulang ke Surabaya via Solo dan sudah singgah di kampung saya di Ponorogo sebelum Idul Fitri. Hari Kamis, lebaran kedua mereka balik ke Solo terus ke Jakarta.  Dengan demikian saya baru punya waktu pulang kampung hari Jum’at, sementara hari Minggu ada rencana mau berkunjung ke tante Fitri, satu-satunya saudara Ibu mertua yang masih hidup.

Ketika lebaran pertama berkumpul di Malang, saya berunding dengan adik, Sidho Hantoko, untuk pulang kampung dan disepakati hari Jum’at terus Sabtunya balik.  Dia yang ngalahi mampir ke Surabaya sebelum sama-sama bermobil ke Ponorogo.  Mungkin dia berpikir kakaknya sudah tua, sehingga perlu dikawal ketika nyopir sendiri Surabaya-Ponorogo. Jadilah kami bermobil ria, berangkat jam 09.15 dari Surabaya.  Semua lancer termasuk mampir makan pecel di Madiun.

Keinginan pulang kampung tahun ini tidak hanya untuk ber-Idul Fitri bersama keluarga, tetapi juga ada acara dengan MIT Amanatul Ummah, sekolah kecil yang kami bina. Madrasah itu berdiri 3 tahun lalu dan menempati gedung SMA Somoroto yang telah lama tutup.  Tahun 1980 kami, saya bersama banyak teman di kampung mendirikan SMA swasta bernama SMA Somoroto tetapi karena berbagai hal akhirnya tutup.  Salah satunya, karena di jarak beberapa ratus meter berdiri SMA Negeri.  Dan mutu SMA Somoroto tidak begitu bagus sehingga tidak mampu bertahan ketika di sekitarnya banyak pilihan.

MITAU (singkatan Madrasah Ibtida’iyah Terpadu Amanatul Ummah) berdiri didorong dan ditopang adik-adik yang bersemangat tinggi untuk membuat sekolah/madrasah dengan menggunakan gedung bekas SMA Somoroto tersebut.  Pilihan jatuh pada bentuk madrasah dan dimulai dari level terendah yaitu MI. Mengapa? Karena di sekitarnya sudah banyak SD negeri dan kami sadar bahwa masyarakat cenderung memilih sekolah yang bernuasa agama.

Bahwa masyarakat sudah tidak membedakan antara sekolah negeri dan swasta, saya sudah faham. Bahwa sekolah bermuatan agama lebih diminati orangtua dibanding sekolah umum, saya sudah mengerti.  Bahwa orangtua lebih senang memilih sekolah yang harus membayar dibanding sekolah yang gratis, saya sudah memahami.  Namun fenomena yang saya temua di MITAU lebaran ini sungguh di luar dugaan.

Ketika Jum’at sore saya sillaturahim kepada kerabat, saya diberitahu sepupu yang mengatakan: “sekolah pak puh yang daftar banyak, sedangkan SD negeri yang di dekatnya tidak dapat murid sehingga digabung dengan SD negeri sebelahnya”.  Saudara yang lain bercerita, guru SD negeri berkeliling ke rumah-rumah mencari murid dengan membawa seragam gratis.  Saudara lainnya lagi bercerita, bahwa SD-nya (maksudnya SD tempat sekolah dahulu) sudah tutup sejak tahun lalu karena tidak mendapatkan murid.

Sabtu pagi pukul 08.30 kami, para pendiri sekolah dan para guru berkumpul untuk ber-Idul Fitria sambil mengobrolkan perkembangan MITAU.  Ada dua hal yang membuat saya kaget.  Pertama, Pak Wito, adik sepupu saya, salah satu pendiri sekolah dan juga mantan lurah, menyampaikan bahwa dari 39 orang yang dahulu bahu membahu mendirikan SMA Somorot tinggal 13 orang.  Artinya yang lain sudah dipanggil menghadap Sang Khalik. Dua bekas ketua Yayasan juga almrahum, yaitu Mas Muhadi Suyono (mantan Bupati Ponorogo) dan Mas Mahfud Wibisono.  Tiga mantan kepala sekolah jugan sudah wafat, yaitu Pak Asiroj, Pak Islam Iskandar dan Pak Iman Surono.

Ketika Pak Widodo, salah satu generasi muda yang menokohi pendirian MITAU, melaporkan perkembangan MITAU membuat kejuatan kedua.  Beliau menyampaikan tahun ini pendafar mencapai 56 orang.  Namun yang 4 orang terpaksa “ditolak” karena guru SD negeri sebelah datang ke MITAU menyampaikan bahwa 4 anak tersebut sudah menerima seragam gratis dari sekolahnya, sehingga mohon tidak diterima di MITAU. Apalagi pendaftar ke SD negeri itu hanya 8 orang, sehingga jika yang 4 orang diterima di MITAU berarti tinggal 4 orang.

Menurut saya fenomena ini sangat baik dan pemerintah yang menangani bidang pendidikan perlu melakukan kajian mendalam.  Mengapa?  Pertama, orangtua termasuk yang tinggal di pedesaan seperti di kampung saya, sudah memilih sekolah yang membayar (karena swasta) dibanding SD negeri yang gratis dan bahkan diberi seragam.  Ini berarti kesadaran akan pentingnya pendidikan yang baik sudah sampai pada akar rumput.

Kedua, mereka lebih memilih sekolah yang bermuatan agama dibanding “sekolah umum” dengan alasan jika anak-anak mendapat pendidikan agama cukup, maka karakter mereka akan lebih baik.  Artinya kesadaran akan pentinya karakter dalam pendidikan sudah sampai ke akar rumput. Bahkan di pedesaan yang bukan daerah santripun kesadaran itu telah tumbuh.

Bertolak dari fenomena tersebut, sudah saatnya dilakukan “reorentasi pendidikan” agar tidak untuk hal-hal akademik, apalagi sekedar memenuhi tuntutan ujian.  Perlu dikaji secara mendalam, apa sebenarnya tujuan pendidikan kita.  Apalagi di era digital yang semuanya berubah dengan cepat.  Google dan EY tidak lagi mensyaratkan ijasah ketika menerima karyawan baru.  Apalagi berbagai penelitian mutakhir menyimpulkan bahwa ke depan dua kemampuan pokok yang diperlukan adalah memacahkan masalah secara kreatif (solving problem creatively) dan hidup dan bekerna sama secara harmonis (living dan working together in a harmony).

Tidak ada komentar: