Kamis, 13 Juni 2019

CATATAN DARI VET INTERNATIONAL CONVERENCE-1


Vocational Education and Training (VET) conference di Valencia University Spanyol 2-3 Mei lalu merupakan konferensi internasional ketiga dan pertama di luar Jerman.  Konferensi pertama di Bremen University dan yang kedua di Rostock University, keduanya di Jerman.  Wajar saja, karena konferensi ini merupakan kreasi IJRVET (International Journal for Research on VET) yang bermarkas di Jerman.

Secara akademik ada beberapa paparan yang menarik untuk dicermati dan kita ketahui bersama.  Sebagaimana kita ketahui bahwa terkait dengan pendidikan vokasi terdapat dua aliran utama di dunia ini.  Aliran pertama sering disebut dengan aliran continental dan Jerman merupakan salah satu pusatnya.  Inti pola ini, pendidikan vokasi disiapkan sejak awal dan betul-betul dicocokkan dengan dunia industri yang nanti menggunakan lulusannya.  Konsep link and match yang pernah populer di era Pak Wardiman menjadi Mendikbud diimpor dari Jerman.  Pola ini sering disebut dengan man-power planning approach.

Aliran kedua sering disebut aliran Anglosakson dan Inggris merupakan sumbernya.  Intinya, sekolah tidak menyiapkan untuk bekerja tetapi menyiapkan agar anak pandai, sehingga cepat belajar ketika memulai bekerja. Hasil pendidikan bukan siap kerja tetapi siap latih. Oleh karena itu, aliran ini tidak memiliki pendidikan vokasi sebagaimana aliran continental.  Yang mereka miliki adalah pendidikan karier (career education) dan itu ditempuh setelah mereka memastikan akan bekerja di bidang apa.  Sedangkan pendidikan sebelumnya itu menggunakan pola human development approach.

Perbedaan filosofi itu tampak sekali ketika mereka menyajikan makalah.  Karena yang mengadakan IJRVET dan nama konferensinya bernama VET International Conference (VETIC), sebagian besar pesertanya memang dari negara-negara yang berorientasi ke continental, misalnya Jerman, Swiss dan Spanyol. Namun demikian juga ada peserta dari Inggris, Amerika dan Australia yang termasuk aliran Anglosakson.  Peserta dari Australia dengan bangga menyajikan hasil pengembangan model TAFE yang sukses menyiapkan tenaga kerja professional. Sementara itu peserta dari Jerman dengan bangga menyajikan penelitian yang terkait dengan pengembangan pendidikan vokasi ala Jerman di Afrika dan Amerikan Latin.  Berikut beberapa makalah yang layak untuk dibahas.

Aschenberger dan Loffler dari Austria memaparkan hasil penelitiannya terhadap peserta pendidikan vokasi di universitasnya (semacam politeknik) tetapi jenjang S2 yang tidak mensyaratkan lulusan S1. Judul makalahnya: Educational pathways of applicants for academic continuing education - The treasure within and its contribution to bridge the gap from "ECVET" to "ECTS". Austria termasuk negara yang menganut pola continental, sehingga sangat memperhatikan pendidikan vokasi.  Mahasiswa yang diterima tanpa memiliki ijasah S1 umumnya mereka yang berpengalaman di dunia kerja dan setelah dilakukan RPL dapat disetarakan dengan S1. Hasil penelitian mereka terhadap tiga angkatan, prestasi mereka tidak berbeda dengan signifikan dengan mereka yang memiliki ijasah S1.  Pendalaman kepada mahasiswa menemukan bahwa pengalaman lapangan justru lebih kaya, sehingga sangat membantu ketika mereka mengerjakan proyek di perkuliahan. Bagi yang ingin membaca makalah lengkapnya dapat membuka di link: https://doi.org/10.5281/zenodo.2641717.

Yang sangat menarik studi dua kawan dari Austria itu sebenarnya sangat sederhana dan cakupannya hanya mahasiswa di fakultasnya.  Namun kajiannya sangat dalam serta detail, sehingga dapat menemukan proposisi yang cukup kokoh.   Analisis terhadap prestasi sangat detail, mencakup berbagai aspek dalam capaian pembelajaran yang ditargetkan.  Dengan demikian pembandingan prestasi antara mahasiswa yang memiliki ijasah S1 dan tidak, dapat dilakukan secara detail.  Temuannya juga sangat menarik.  Kemampuan problem solving mahasiwa yang berlatar belakang industri ternyata lebih baik, karena terbiasa mengerjakan tugas seperti itu di lapangan.

Presentasi yang juga menarik dari aliran  Anglosakson oleh Huddleston dan Ashton dari UK dengan judul makalah Working to get work: Freelance work within the creative and cultural sector.  Dua kawan dari Inggris itu memaparkan hasil penelitiannya tentang bagaimana anak-anak muda di Inggris mendapatkan pekerjaan di bidang seni. Seperti yang saya duga mereka itu tidak melalui pendidikan vokasi tetapi pendidikan umum semacam SMA, kemudian magang untuk mendapatkan keterampilan.  Bagaimana perjalanan mereka dalam magang sampai mendapatkan yang mapan itulah yang diteliti.

Apa temuan mereka yang menarik? Ternyata dalam perjalanan selama magang itulah anak-anak muda menemukan dimana passion mereka.  Dengan begitu akhirnya mereka menemukan pekerjaan yang cocok dengan bakat dan minatnya, sehingga enjoy dalam bekerja.  Nah setelah itu baru mereka mengasah kemampuannya baik melalui belajar mandiri, belajar kepada senior, maupun kursus.  Temua itu seakan ingin menguatkan bahwa pendidikan vokasi seharusnya dilakukan setelah dapat dipastikan anak-anak bakat dan minatnya dimana.  Hanya dengan cara itu, mereka akan enjoy dan akhirnya kinerjanya baik.  Makalah secara lengkap dapat diunduh di link: https://doi.org/10.5281/zenodo.2641705.

Presentasi berikutnya yang  juga sangat menarik adalah oleh Baumann dan Wegener dari Jerman dengan judul The Internationalization of VET: German VET Provider Abroad – Transfer vs Pramagtism.   Makalah ini menjelaskan bagaimana Jerman “mengekspor pola VET di negara lain, misalnya di Afrika dan Amerika Latin.  Proyek ini dibiayai oleh pemerintah Jerman (mungkin juga bekerjasama dengan lembaga internasional) dan tampaknya akan menjadi proyek besar.  Makalah lengkap dapat dibaca di link: https://doi.org/10.5281/zenodo.2641013.

Apa yang menarik dari makalah tersebut?  Menurut saya bukan polanya, tetapi secara tersirat Jerman (dan mungkin juga negera lain) menjadikan pendidikan sebagai komoditi yang diekspor.  Sebagaimana barang yang menjadi komoditi berarti “ada harganya” dan sebagainya.  Jadi kalau di masa lalu komodiri itu selalu berwujud benda, misalnya mobil dan hasil pertanian dan sejenisnya, kemudian teknologi juga menjadi komoditi yang diekspor oleh negera maju, ternyata sekolah pendidikan juga sudah menjadi komoditi yang diekspor dengan harga tertentu.  Apakah Indonesia juga ada menjadi tujuan ekspor mereka?  Itulah pertanyaan yang muncul di benak saya.

Tidak ada komentar: