Sabtu, 21 Desember 2019

MERDEKA BELAJAR


Ungkapan “merdeka belajar” telah menjadi tranding topic sejak sambutan Mendikbud dalam Hari Guru tersebar luas.  Apa yang dimaksud dengan merdeka belajar sedikit terelaborasi dengan kebijakan Mendikbud yang disampaikan pada rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan se Indonesia pada tanggal 11 Desember 2019.  Merdeka belajar ditandai dengan: (1) penyederhanaan RPP yang dibuat guru untuk mengajar, (2) meniadakan UN dan menggantinya dengan USBN dan uji kompetensi di kelas 4, 8 dan 11, serta survei karakter (3) melonggarkan aturan zonasi dalam PPDB.

 Tulisan ini tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju dengan kebijakan tersebut, tetapi ingin mendudukkan dalam konsep pendidikan secara utuh. Jika merdeka belajar dimaksudkan agar siswa dapat mengembangkan potensinya dan belajar sesuai dengan karateristiknya, memang itulah hakekat pendidikan.  Bukankah itu memang hakekat pendidikan, yaitu membantu anak didik untuk mengembangkan potensinya guna menghadapi masa depan.  Bukankah pada hakekatnya pendidikan itu membantu anak didik menjadi orang yang merdeka, sehingga tidak menjadi beban orang lain.

Dalam konteks ini, harus tetap disadari bahwa kemerdekaan diri tidak boleh terlepas dari posisinya sebagai bagian dari komunitas.  Kebebasan yang dimiliki seseorang harus tetap tunduk dalam norma-norma komunitas dimana yang bersangkutan berada.  Keseimbangan hak-hak individu dengan keterikatan terhadap norma-norma komunitas itulah yang menjadi pilar harmoni kehidupan.  Bukankah manusia merupakan makhluk sosial yang selalu hidup dalam komunitas, betatapun kecilnya.

Jika merdeka belajar dikaitkan dengan keberagaman potensi siswa dan keberagaman gaya belajar, Gardner (2010) menyebutkan ada 8 jenis potensi yang mungkin dimiliki oleh anak-anak, sehingga sangat mungkin masing-masing anak dalam kelas kita memiliki potensi yang berbeda-beda.  Ada 3 jenis gaya belajar anak dan masing-masing menyenangi pola pembelajaran yang berbeda. Tentu agar anak berkembang dengan baik, aspek yang dikembangkan harus sesuai dengan potensi yang dimiliki dan gaya belajar yang disenangi.

Pertanyaan, bagaimana wujud nyata merdeka belajar itu.  Conny Semiawan (1983) memperkenalkan istilah Kurikulum Berdifensiasi untuk mengakomodasi perbedaan karateristik siswa.  Sayang sekali, sejauh yang saya tahu belum ada sekolah yang secara jelas menyebutkan menerapkan konsep kurikulum berdiferensiasi itu. Mungkin memang tidak mudah, karena jumlah siswa di Indonesia umumnya besar.  Guru juga terbiasa menjalankan pembelajaran one fit for all. Oleh karena itu saya menduga penerapakan merdeka belajar merupakan tantangan bagi guru di lapangan.

Apakah akan menjadi individualized instruction? Apakah akan menerapkan konsep mastery learning?  Apakah akan menerapkan konsep sks? Apakah akan menerapkan contextual teaching learning (CTL)? Atau gabungan dari berbagai konsep tersebut?  Jujur saya tidak tahu.  Tampaknya merdeka belajar yang disampaikan Mendikbud masih sebagai pemikiran yang mungkin dilandasi pengalaman atau pengamatan terhadap sekolah “sekolah bagus”.  Oleh karena itu, wujudnya nyata merdeka belajar masih dalam bayangan dan belum merupakan suatu kenyataan yang terjadi di sekolah.

Kompetensi guru untuk mampu merdeka juga harus mendapat perhatian. Apapun konsep dan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan, pada akhirnya guru yang melaksanakan di kelas atau ruang belajar lainnya. Jika guru tidak mampu memahami kebijakan dan menerapkan di kelas, maka kebijakan akan menjadi “botol baru tetapi anggurnya lama”.  Gagasan menyiapkan guru penggerak untuk mulai menggelindingkan gagasan merdeka belajar mungkin menjanjikan, dengan catatan tidak mengulangi kebiasaan “hangat-hangat tai ayam”.   Jadi gagasan merdeka belajar masih harus menempuh jalan berliku dan the devil is in detail.

Sebenarnya konsep merdeka belajar dapat dikaitkan dengan Manajemen Berbasis Sekolah.  Abu Duhuo (1999) menyatakan bahwa hasil belajar siswa merupakan fungsi dari inovasi guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, sementara untuk dapat melakukan inovasi guru harus memiliki kompetensi dan kebebasan untuk memilih model pembelajaran yang diyakini cocok dengan konteks siswa dan sekolahnya.  Dan tugas manajemen sekolah untuk memfasilitasi guru agar memiliki kompetensi dan memberi keleluasaan guru untuk berinovasi.

Dalam merdeka belajar diharapkan siswa dapat belajar sesuatu yang diinginkan dan atau diperlukan dan belajar sesuai dengan gaya yang disenangi.  Untuk menjalankan itu, guru juga harus memiliki kemerdekaan memilih metoda yang tepat bagi siswanya, memilih materi ajar yang sesuai dengan keperluan muridnya.  Untuk mendukungnya, kepala sekolah  juga harus memiliki kemerdekaan dalam mengelola dan memajukan sekolahnya.  Jadi sekolah juga harus merdeka, sebagaimana konsep manajemen berbasis sekolah.

Namun demikian perlu dicatat bahwa kemerdekaan atau katakanlah  penerapan kebebasan memerlukan tiga syarat dasar, yaitu: (1) kedewasaan (maturity), sehingga yang menerima kebebasan itu melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.  Dalam konteks merdeka belajar, guru dan sekolah harus menyadari bahwa tujuan akhir merdeka belajar adalah hasil belajar murid yang optimal. (2) kompetensi guru dan kepala sekolah yang baik (well educated), sehingga tahu bagaimana cara melaksanakan konsep merdeka belajar dengan benar dan tidak asal merdeka. (3) guru dan kepala sekolah memiliki informasi yang lengkap (well informed), sehingga tahu koridor yang tidak boleh dilanggar saat melaksanakan konsep merdeka belajar. Semoga.

1 komentar:

eroz072@gmail.com mengatakan...

Sangat mencerahkan untuk direnungkan. Terima kasih Bapak.