Rabu, 08 Januari 2020

MEMAKNAI LIFE LONG LEARNING


Life long learning atau belajar sepanjang hayat telah menjadi mantra yang sering diucapkan oleh orang yang bergerak dalam pendidikan.  Tulisan ini juga dipicu oleh tulisan Lant Pritchett berjudul Schooling but not Learning. Namun tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan atau sebaliknya menyalahkan tulisan Lant Pritchett atau tulisan lain yang selama ini sudah mengemuka. Tulisan pendek ini semata-mata ingin mendudukkan konsep life long learning terkait dengan pendidikan dan persekolahan.

Kita mulai dengan membahas apa makna learning atau belajar.  Dalam bahasa Inggris, learning sering diartikan sebagai  the process or experience of gaining knowledge or skill, sedangkan dalam bahwa Indonesia belajar sering dimaknai sebagai terjadinya perubahan perilaku yang merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat permanen.  Dengan demikian belajar berbeda dengan bersekolah.  Belajar dapat diterjadi dimana saja dan kapan saja, sepanjang seseorang memperoleh pengetahuan atau sikap atau keterampilan baru.

Pengetahuan atau sikap atau keterampilan itu dapat diperoleh ketika diajarkan oleh guru di sekolah, atau didalam permainan bersama kawan atau bahkan dari kejadian yang ditemui ketika seseorang sedang sendirian. Ketika kita tanpa sengaja berjalan dengan telanjang kaki di jalan aspal di siang hari dan merasakan panas, sebenarnya saat itu telah terjadi proses belajar.  Yaitu, mendapatkan pengetahuan bahwa jalan aspal di siang hari panas. Ketika melihat TV yang menayangkan berita bahwa Tsunami yang terjadi saat Anak Krakatau meletus dikarenakan adanya dinding gunung yang runtuh, maka saat itu juga terjadi proses belajar.  Ketika seorang ini mencoba-coba memasukkan benang ke jarum dan menemukan cara yang tepat, pada saat itu juga terjadi belajar.  Ketika melihat pengendara sepeda motor menerobos lampu merah dan kita mengatakan itu perbuatan berbahaya dan jangan ditiru, maka saat itu juga terjadi proses belajar.  Yang ingin ditekankan disini bahwa proses belajar dapat terjadi tanpa adanya guru dan tanpa ada seseorang yang mengajari.  Bukankah ada kata-kata bijak “apapun yg kita jumpai itu merupakan pelajaran dari Allah swt. Jika itu baik harus kita tiru, sebaliknya jika jelek harus kita hindari”.


Berarti belajar sepanjang hayat dapat dilakukan oleh setiap orang?  Menurut saya “ya”.  Hanya saja, ada yang by design (dengan sengaja) dan ada yang by chance (secara kebetulan, tidak disengaja).  Disinilah masalahnya.  Ketika seseorang yang dengan sengaja mengamati suatu fenomena dan ingin mengetahui dengan lebih dalam, maka yang bersangkutan dengan sengaja ingin belajar.  Misalnya, kita baru membeli HP dan membaca buku manual dan mencoba menerapkannya, maka kita dengan sengaja belajar.  Lantas seperti apa contoh belajar tanpa sengaja?  Tadi, ketika tanpa sengaja kita berjalan di jalan aspal di siang hari.  Kita tidak sengaja ingin mengetahui jalan aspal itu panas di siang hari.  Pengetahuan itu kita dapatkan tanpa sengaja.

Jika proses belajar dapat terjadi secara alamiah pada siapapun, kapanpun dan dimanapun, lantas apa gunanya sekolah?  Lantas apa bedanya dengan pendidikan?  Untuk membahas itu kita perlu fahami dahulu apa pengertian pendidikan (education).  Dalam bahasa Inggris kata education sering dimaknai sebagai the process of facilitating learning, sedang dalam bahasa Indonesia pendidikan dimaknai dengan upaya membantu peserta didik dalam belajar.  Pada UU Sisdiknas pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran Jadi pendidikan terjadi jika ada seseorang (guru/orangtua/tutor dsb) membantu orang lain (murid atau siapapun) untuk mempelajari sesuatu. Dengan kata lain, pendidikan dilakukan agar terjadi proses belajar by design, bukan by chance.

Lantas apa kaitannya dengan sekolah atau school?  Dalam bahasa Inggris, school diartikan sebagai an educational institution designed to provide learning spaces and learning environments for the teaching of students, sedang dalam bahasa Indonesia sekolah diartikan sebagai  lembaga pendidikan yang dirancang secara khusus untuk mendidik siswa dalam pengawasan para guru.  Jadi sekolah adalah lembaganya.  Pendidikan adalah proses fasiltasi atau pemberian bantuan oleh guru/pengajar kepada siswa agar dapat belajar dengan baik. Sedangkan belajar adalah proses memperoleh pengetahuan dan atau keterampilan baru. 

Mengaitkan ketiganya (belajar, pendidikan dan sekolah) kita dapat menemukan makna belajar sepanjang hayat atau life long learning.   Di sekolah diharapkan terjadi proses pendidikan untuk membiasakan anak-anak belajar (by design) dan kebiasaan terus dibawa setelah mereka lulus dan menjalani kehidupan di masyarakat dan bekerja.  Dengan demikian yang bersangkutan secara sengaja terus belajar, baik dari fenomena yang dialami ataupun pelatihan.  Maka sekolah diharapkan menjadi tempat penyemaian life long learning. Itulah sebabnya saya mendukung Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik 5 M (mengamati, mempertanyakan, menalar, mencoba dan mengkomunikasikan).  Anak dibiasakan mengamati fenomena di sekitarnya dan mempertanyakan mengapa itu terjadi, mengapa begini dan begitu.  Setelah itu mencoba menalar (membuat dugaan-dugaan atau bahasa ilmiahnya mengajukan hipotesis sesuai dengan tingkatan pendidikannya), apakah itu karena ini atau itu.  Setelah itu mencoba untuk menguji apakah dugaannya itu benar atau salah.  Terakhir mengkomunikasikan atau menyampaikan apa yang dialami dan dipikirkan kepada orang lain.

Apakah life long learning merupakan konsep baru?  Jawabnya “tidak”.  Dalam Islam dikenal hadis: “tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat”.  Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat”. Jika ucapan Ali bin Abi Thalib itu dikaitkan dengan kepandaian, maka bermakna setiap orang diminta untuk belajar terus sepanjang hayat.

Jika kaitannya seperti itu, apa yang dimaksud oleh Lant Pritchett schooling but not learning?  Tentu itu bukan makna harafiah, sekolah tetapi tidak belajar.  Bukankah setiap saat orang belajar, apalagi di sekolah yang tentu ada guru yang tugasnya membantu siswa agar dapat belajar dengan baik.  Dalam buku tersebut, Pritchett menunjukkan data bahwa pada sekolah-sekolah di beberapa negara, kompetensi siswa jauh dari standar yang ditetapkan oleh negara tersebut.  Anak-anak sekolah tetapi hasil belajar mereka jauh di bawah standar yang seharusnya dicapai, sehingga Pritchett menyebutkan di sekolah-sekolah tersebut tidak terjadi proses belajar (seperti yang seharusnya).

Walaupun diungkapkan dengan kalimat sarkastis, tetapi fenomena itu perlu mendapat perhatian kita.  Walaupun penelitian Pritchett tidak di Indonesia, kita perlu merenungkan apakah kejadian seperti itu juga terjadi di sekolah kita.  Jangan-jangan ada atau bahkan banyak anak-anak kita yang naik kelas atau lulus sekolah tetapi tidak mencapai standar kompetensi yang seharusnya.  Kita tentu pernah mendengar ada anak lulus SD tetapi belum lancar membaca.  Anak lulus SMA tetapi belum pandai menyelesaikan soal-soal pecahan sederhana.  Jika hal itu terjadi, tentu kita harus bahu membahu mengatasinya. Semoga.

Tidak ada komentar: