Rabu, 16 Maret 2022

MASUKAN UNTUK NASKAH AKADEMIK RUU SISDIKNAS

Rabu 16 Maret 2022, saya ikut dalam FGD untuk memberikan masukan terhadap RUU Sisdiknas di Unesa.  Hasil FGD tersebut akan disampikan ke DPR.  Peserta RDP diberi draft RUU Sisdiknas yang di dalamnya tertulis “DRAf RUU – BK DPR RI”.  Di kanan atas atas tulisan “RANCANGAN TERBATAS UNTUK TIDAK DISEBARLUASKAN”.  Sayang sekali peserta tidak mendapatkan naskah akademik yang menjadi landasan penyusunan RUU tersebut.  Konon naskah akademik-nya masih dalam proses penyusunan.

Bagi orang yang tidak pengalaman dalam penyusunan undang-undang, seperti saya, sebenarnya lebih tertarik membaca naskah akademik.  Masalah bagaimana menunangkan pemikiran di naskah akademik menjadi draft RUU, teman-teman bidang hukum yang lebih faham.  Karena itu,  saya ingin berbagi pendapat apa yang seharus melandasi pemikiran dalam menyusun RUU Sisdiknas.

01.Undang-undang Sisdiknas akan menjadi “payung” berbagai kebijakan dalam melaksanakan pendidikan ke depan.  Jika kita menggunakan prinsip outcome based education (OBE), maka performance lulusan setelah mereka terjun bermasyarakat itu yang menjadi bidikan pertama.  Menurut Moller (2012) pendidikan ke depan, yang penting bukan berapa lama dan apa jenisnya, tetapi yang pokok kalau sudah lulus peserta punya performance seperti apa. Oleh karena itu Trilling and Fadel (2009) menganjurkan desain pendidikan harus memperhatikan kemampuan apa yang diperlukan pada era 20 tahun ke depan, saat lulusan sudah terjun bekerja dan bermasyarakat.

02.Di era great shift (Kasali, 2018) yang dipicu oleh perkembangan itpek yang sekin cepat, Kondratic Cycle (2019) menunjukkan era pendidikan saat ini banyak dipertanyakan apakah masih relevan ke depan. Bahkan Clifton (2013) mempertanyakan apakah universitas seperti yang saat ini ada masih diperlukan.  Ketika apa yang dipelajari siswa/mahasiswa ternyata segera usang atau bahkan sudah usang saat mereka terju ke lapangan, maka kemampuan pokok yang diperlukan adalah “solving problems that do not exist yet, using technology that is not invented yet” (Samani, 2014). Tesis tersebut diperkuat oleh studi World Economic Forum (2019) yang menyebutkan bahwa  anara tahun 2015-2020 (lima tahun), 35% core skills yang saat ini digunakan di dunia kerja akan hilang dan digantika  core skills baru yang belum ada sebelumnya.  Bukan mustahil proporsi tersebut semakin bertambah, karena seringkali terjadi discontinuity dalam penemuan teknologi (Thagard, 2012).

03.Jika tesis pada butir 02 digunakan, maka pola pendidikan akan menuju transdisiplin yang luwes.  Pola pemisahan jalur yang kaku antara pendidikan formal non formal dan informal tidak cocok lagi.  KKNI dan Qualification Framework di berbagai negara sudah memberikan sinyal ke arah tersebut.  Pola pendidikan double track yang selama ini digunakan di Indonesia, sehingga memisahkan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi juga perlu dipertanyakan apakah masih relevan. Konsep heutagogy yang menganggap siswa/mahasiswa sebagai perancang kurikulum bagi dirinya akan lebih cocok untuk digunakan, khususnya di universitas.  Bahkan sudah harus diperkenalkan di SLTA.  Konsep Kurikulum Berdiferensiasi yang diperkenalkan oleh Prof. Conny Semiawan tahun 1990an dapat dilacak kembali konsepnya.

04.Manusia adalah makhluk sosial, yang hidup dalam komunitas, baik di pekerjaan ataupun dalam kehidupan sehari-hari di luar pekerjaan.  Sementara kemampuan “solving problems that do not exist yet, using technology that is not invented yet” itu barulah personal skills yang masih memerlukan tambahan berupa social skills, yaitu “living together in a harmony”.  Artinya pendidikan juga harus menumbuhkan sikap dan kemapuan bagaimana dapat hidup dan atau bekerja secara hamonis dengan orang lain. 

05.Terkait dengan social skills tersebut harus diingat bahwa Indonesia adalah negara dengan heterogenitas tinggi, baik dari suku, budaya, agama dan sebagainya.  Oleh karena pendidikan harus dapat menumbuhkan budaya kebersamaan dengan orang lain yang berbeda suku, berbeda budaya, berbeda agama dan sebagainya.  Apalagi ke depan, borderless country semakin nyata, orang dari berbagai negara akan bekerjasama dan hidup bertetangga.

06.Pendidikan nasional di samping mengembangkan potensi peserta didik untuk masa depannya yang lebih baik, juga mengemban amanah UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan sekedar mencerdaskan pribadi, orang demi orang.   Jadi tesis pada butir 02 dan 04 (solving problems that do not exist yet, using technology that is not invented yet dan living together in a harmony), harus ditambah berjiwa Indonesia.  Pendidikan harus menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur budaya budaya bangsa kepada peserta didik.  Pendidikan memang harus vioner, menyiapkan peserta didik untuk menyongsong masa depan, tetapi juga harus tetap menjaga dan menumbuhkan nilai-nlai luhur bangsa.  Dalam konteks inilah, konsep Pendidikan yang Berkebudayaan yang dlontarkan Yudi Latif (2020) dapat menjadi salah satu rujukan.

07.Pendidikan merupakan tangga mobilitas vertikal (vertical mobility ladder) yang sangat efektif. Oleh karena itu pendidikan yang bermutu harus dapat diperoleh seluruh lapisan masyarakat.  Dengan kenyataan bahwa kesejangan sosial yang masih cukup tinggi, maka pendidikan harus mampu mempersempit gap tersebut.  Keberpihakan kepada masyarakat yang belum mampu mengakses pendidikan secara mandiri harus dijamin undang-undang.

08.Tidak ada pendidikan yang baik tanpa adanya guru yang baik.  McKensie (2018) menyebutkan mutu pendidikan tidak akan pernah melampaui mutu guru. Oleh karena itu penyiapan dan pemberdayaan guru harus menjadi perhatian dalam RUU Sisdiknas.  Negara yang memiliki mutu pendidikan yang baik juga memiliki pendidikan calon guru yang baik. Di Finlandia profesi guru sangat bergengsi, pendidikan guru sangat bagus dan hanya top 5% lulusan SLTA yang berhasil diterima menjadi mahasiswa calon guru (Sahlberg, 2011).  Pola tersebut tampaknya juga ditiru oleh Singapore (Liu, 2022). Oleh karena itu LPTK sebagai lembaga yang sejak awal dirancang untuk menghasilkan guru harus mendapat perhatian khusus dalam  RUU Sisdiknas.   

09.Pendidikan itu ibarat “rumah besar” yang dihuni oleh banyak keluarga dengan latar belakang beragam dan profesi yang beragam pula.  Di antara penghuni tersebut ada yang sudah tinggal sangat lama bahkan ikut mendirikan rumah besar tersebut.  Semua penghuni itu merasa bertanggungjawab bagaimana memelihara dan bahkan merevovasi rumah tersebut agar lebih nyaman buat keluarganya.  Di negara tercinta ini banyak organisasi yang membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan, berupa sekolah swasta.  Jumlah sekolah swasta ternyata lebih banyak dibanding sekolah negeri.  Banyak sekolah tersebut sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka.  Diantara sekolah-sekolah tersebut juga banyak yang melayani masyarakat di daerah terpencil, yang belum terjangkau oleh layanan sekolah negeri.  Oleh karenanya pendidikan nasional tidak dapat menegasikan peran sekolah swasta dan organisasi pendirinya.  UU Sisdiknas harus menyatukan enersi berbagai organisasi semacam itu bersama pemerintah. 

10.Dalam konteks menyatukan enersi dan mensinergikan kekuatan tersebut, pemikiran Ki Hajar Dewantara harus menjadi pedoman.  Ki Hajar Dewantara (1977) berpesan bahwa sekolah swasta tentulah memiliki misi sesuai dengan prinsip yang diyakini kebaikannya. Prinsip tersebut dapat bersumber dari agama, nilai-nilai budaya dan sebagainya.  UU harus memberikan kebebasan kepada sekolah swasta untuk menumbuhkan nilai-nilai yang diyakini kebaikannya tersebut kepada anak didik, sepanjang tidak bertentangan dengan falsafah bangsa Pancasila.

Tidak ada komentar: