Minggu, 26 Juni 2022

LULUSAN S3 ITU BUKAN TEKNISI AHLI

 Kemarin, salah satu grup WA yang saya ikuti mendapat posting tulisan Gundula Bosh, seorang dosen di John Hopkins Bloomberg School of Public Health in Baltimore Maryland Amerika Serikat.  Tulisan tersebut dimuat di Nature 15 Februari 2018 dengan judul “Train PhD Students to be Thinkers not just Specialists”. Tulisan lama tetapi menurut saya relevan untuk direnungkan untuk melihat perkembangan pendidikan jenjang S3 di negara kita.

Tulisan itu menceritakan inovasi yang dilakukan untuk menguatkan berpikir filosofis mahasiswa S3, sehingga setelah lulus cocok dengan gelar yang disandangnya yaitu PhD (doctor of philosophy).  Bosh tidak sepakat dengan program S3 yang sangat spesialis dan kurang mengembangkan berpikir kritis dan interdispliner.  Untuk mengubahnya, Bosh melakukan inovasi yang diberinama R3.  Intinya mahasiswa S3 harus mengkritisi berbagai artikel ilmiah dengan pendekatan interdispliner.

Membaca tulisan tersebut, saya jadi ingat gagasan Prof Amin Abdullah, guru besar filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang pentingnya berpikir transdisiplin.  Menurut Prof Amin problema kehidupan tidak dapat difahami dengan monodisplin, sehingga pendekatan transdisiplin harus digunakan.

Mengapa tulisan Bosh tersebut relevan untuk direnungkan?  Pengamatan saya, pendidikan S3 sekarang mengarah ke pragmatis. Kajian yang dilakukan mahasiswa cenderung ke hal-hal yang teknis dan kurang menumbuhkan kemampuan analisis.  Program studi S3 menjadi sempit, sehingga berpikir transdisiplin yang digagas oleh Prof Amin Abdullah sulit untuk berkembang.  Apalagi waktu dan mungkin juga kemauan membaca referensi sangat kurang, sehingga telaah literatur yang menjadi salah satu tugas mahasiswa S3 seringkali tidak maksimal.

Kalau kita membaca disertasi yang sudah terpampang di perpustakaan, tampak sekali kalau pembahasa teori yang biasanya di bab II kurang tajam.  Yang sering terjadi bagian tersebut seakan merupakan kompilasi kutipan teori dan hasil penelitian yang tidak dikaji secara mendalam.  Pada hal idealnya bagian tersebut memuat kajian secara mendalam berbagai konsep, teori, hasil penelitian, sehingga menemukan “teori atau gabungan teori atau konsep baru” yang akan digunakan sebagai landasan penelitian.

Bagian yang mendiskusikan temuan yang biasanya termuat di Bab V seringkali juga sangat kering. Seringkali bagian tersebut hanya mengulang bab II, membandingkan temuan dengan kutipan referensi yang sudah dimuat sebelumnya.  Kadang-kadang membandingkan dengan penelitian lain tanpa pembahasan secara kritis.

Apakah prodi S3 yang sekarang ini relatif sempit harus diubah?  Menurut saya tidak harus.  Yang mendesak adalah bagaimana agar mahasiswa S3 mampu berpikir transdispliner  dalam menganalisis secara kritis berbagai fenomena, artikel, hasil penelitian terdahulu. Meminjam istilah Prof Yuyun S. Suriasumantri, bagaimana agar mahasiswa mampu berpikir filosofis dan bukan sekedar teknis.  Lulusan S3 adalah doktor atau dan bukan teknisi tinggi. Artinya lulusan S3 bukan hanya faham bagaimana sesuatu itu terjadi atau dikerjakan, tetapi juga dapat menjelaskan mengapa itu terjadi, mengapa harus dikerjakan seperti itu, serta apa dampak dan manfaat bagi kehidupan.  Meminjam istilah Prof Conny Semiawan, kemengapaan itulah yang harus ditumbuhkan kepada mahasiswa S3.

Di era cyber yang semua informasi dapat diperoleh di dunia maya, penerapan berpikir transdisiplin sebenarnya mendapat pintu lebar.  Kita dapat memperoleh informasi dan bahan bacaan dengan mudah.  Yang diperlukan adalah kemampuan memilih, memilah, memetakan dan menganalisis informasi tersebut sehingga menjadi suatu simpulan konsep yang valid,  komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Tidak ada komentar: