Jumat, 11 November 2022

MISKONSEPSI TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER

Pagi ini saya mendengarkan diskusi tentang kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang menghilangkan PR bagi siswa SD dan SMP.  Diskusi terbuka itu dilaksanakan oleh sebuah radio Swasta ternama di Surabaya.  Sebagai ganti PR yang dihilangkan itu, setiap hari disediakan 2 jam pelajaran yang dikhususkan untuk Pendidikan Karakter.  Mendengarkan diskusi tersebut, saja jadi ingat suatu tulisan di suatu papan besar di pinggir jalan raya bertuliskan “ANDA MEMASUKI DAERAH TERTIB LALU LINTAS”. 

Apa pemahaman Anda membaca tulisan tersebut?  “Oh, saya harus berkendaraan secara tertib di wilayah tersebut, kalau tidak sangat mungkin ditilang.  Mungkin tafsir itu betul dan sangat mungkin memang begitu yang dimaksudkan oleh di pembuat papan peringatan tersebut.  Namun muncul pertanyaan, apakah berarti DI LUAR WILAYAH TERSEBUT KITA BOLEH TIDAK TERTIB DALAM BERLALU LINTAS?  Bukankah Undang-undang Lalu lintas berlaku di seluruh Indonesia?

Pikiran itu juga yang terlintas di benak saya Ketika mendengarkan diskusi di radio tersebut.  Jadi Pendidikan karakter hanya dilakukan di dua jam pelajaran tersebut?  Jadi di luar dua jam tersebut tidak terjadi pendidikan karakter?  Jika itu yang dimaksud, menurut saya terjadi miskonsepsi terhadap pendidikan karakter.  Pendidikan karakter itu berlangsung setiap saat. Semua matapelajaran mengajarkan karakter. Semua guru adalah guru karakter.  Pendidikan karakter yang paling efektif melalui teladan, karena anak lebih mempercayai apa yang kita lakukan dibanding apa yang kita omongkan.  Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pendidikan karakter di sekolah yang paling efektif jika dilakukan melalui budaya sekolah. 

Manusia itu memiliki fitrah ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jika sekolah bersih dan tertib, guru yang staf sekolah ramah, guru dan staf bekerja keras, maka secara bertahap siswa akan menirunya.  Jika itu dilakukan terus menerus akan menjadi kebiasaan dan jika itu disertai kesadaran akan makna positifnya, akan menjadi budaya. Tidak percaya?  Kalau kita pergi ke mal atau kantor yang bersih, tentu kita tidak mungkin membuang sampah sembarangan.  Jika kita akan datang ke kantor yang kita tahu karyawannya berpakaian rapi, tentu kita tidak akan berpakaia sembarangan.  Orang Indonesia kalau di negara maju juga akan ikut tertib.  Mengapa demikian?  Karena ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan. Nah, demikian juga yang terjadi pada pendidikan karakter.

Apa maksudnya semua matapelajaran mengajarkan karakter dan semua guru adalah guru karakter?  Pertama, perlu difahami karakter tidak hanya terkait dengan sopan-santun dan baik kepada orang lain, tetapi juga mencakup jujur, disiplin, kerja keras, mandiri, suka membantu dan sebagainya.  Bahkan juga mencakup kesadaran akan eksistensi diri, baik sebagai makhluk Allah swt dan  sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat.  Bukankah hal-hal seperti disiplin, kerja keras, senang membantu orang lain juga penting diterapkan di semua matapelajaran.  Misalnya, guru Matematika tentu ingin siswa jujur dan tidak menyontek, siswa kerja keras dan pantang menyerah saat mengerjakan tugas, punya disiplin waktu sehingga tidak terlambat datang ke sekolah maupun mengerjakan tugas.

Apa yang dimaksud semua guru adalah guru karakter?  Seingat saya, dalam Kurikulum 2013 ada Kompetensi Inti (KI) yang terkait dengan karakter dan itu berlaku bagi semua matapelajaran.  Jadi guru secara sengaja harus memasukkan aspek karakter tertentu setiap mengajar.  Misalnya memasukkan aspek disiplin, madiri dan kerja keras.  Lebih dari itu, karena pendidikan karakter itu harus dengan teladan, maka semua guru harus menjadi teladan bagi muridnya.  Jika tidak ingin muridnya terlambat datang, ya guru juga tidak boleh terlambat datang.  Jika ingin siswa kerja keras, guru harus menunjukkan selalu kerja keras. Dan sebagainya.

Bagaimana dengan gagasan menghilangkan PR?  Dalam konteks ini harus difahami dulu isi PR itu apa?  Kalau PRnya hanya mengerjakan soal-soal latihan yang dapat dikerjakan di sekolah, mungkin saja dihilangkan. Tetapi kalau PR itu terkait dengan mencari data atau informasi untuk tugas tertentu dan data atau informasi itu adanya di luar sekolah, tentu tidak dapat begitu saja dihilangkan.  Apakah siswa perlu mengerjakan tugas yang datanya di luar sekolah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya dibahas Life Based Learning (LBL) yang menurut saya cocok untuk diterapkan di era digital dan siswa generasi Z.  Inti dari LBL adalah anak belajar memecahkan masalah dari kehidupan sehari-hari.  Untuk memecahkan masalah tentu diperlukan data atau informasi yang cukup. Nah, karena yang dipecahkan adalah masalah sehari-hari yang kontekstual dengan lingkungan, tentu ada data yang hanya dapat diperoleh di luar sekolah.  Misalnya dalam penerapa LBL atau Project Based Learning (PjBL), siswa SD Kelas 5 diminta membahas Program RT yang meminta semua warganya membeli beras ke RT dengan memberi keuntungan Rp 10,- per kilogram untuk biaya kebersihan lingkungan.  Bukankah siswa harus datang ke RT untuk menanyakan berapa jumlah warganya.  Bukankah harus mencari informasi beras jenis apa yang biasa digunakan warga RT tersebut.  Berapa kebutuhan beras per orang per hari dan berapa harga beras mungkin dapat dicari di internet, tetapi jumlah warga dan jenis beras yang biasa dikonsumsi harus mencari di sekitar rumah.  Contoh di atas menunjukkan memang ada jenis-jenis PR yang tidak dapat dihilangkan.

Jadi bagaimana sekolah harus merespons kebijakan Pemkot Surabaya tersebut?  Saya usul, pendidikan karakter dilakukan setiap saat dan di setiap tempat di sekolah. Baik waktu pelajaran maupun pada jam istirahat. Baik di dalam kelas maupun di luar kelas, misalnya di kantin, di mushola, di lapangan olahraga dan sebagainya.  Waktu dua jam pelajaran tersebut digunakan untuk mengerjakan tugas proyek yang dikerjakan secara kelompok.  Tugas tersebut dirancang untuk menumbuhsuburkan aspek karakter tertentu, dan juga menerapkan materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Semoga.

 

Tidak ada komentar: