Senin, 28 November 2022

SEKOLAH MASA DEPAN

Sembilan tahun lalu, sekitar Maret 2013 saya mengunggah tulisan di blog ini dengan judul “Segala Info ada di Google, Terus Tugas Sekolah Apa Ya?”.  Artikel pendek tersebut kemudian oleh Mas Adriono digabung dengan tulisan lainnya disatukan menjadi buku dengan judul “Semua Di-handle Google, Tugas Sekolah Apa?”.  Buku yang pertama terbit Tahun 2016 tersebut mengalami cetak ulang karena banyak peminatnya. E-book-nya sekarang sudah diunggah di internet dan semua dapat mengunduh dengan gratis. Sebagai penulis saya banyak diprotes oleh teman guru, dianggap menegasikan peran mereka karena dapat digantikan oleh Google. Guru juga takut jika siswa dibebaskan membuka internet, moralnya akan rusak karena terpengaruh oleh konten yang kurang baik..

Artikel tersebut tidak berasumsi bahwa tugas guru dapat digantikan oleh Google.  Yang ingin ditunjukkan adalah bahwa informasi tentang suatu konsep atau teori dengan mudah dapat diperoleh di Google.  Jika siswa dapat memperolehnya, tentu tugas guru menjadi ringan bahkan semestinya berubah. Seperti kata Charles Handy, Ketika siswa dengan mudah mendapatkan informasi dari dunia maya, maka peran guru harus berubah.  Dalam artikel tersebut saya mengajukan gagasan, tugas guru berubah dari menjelaskan konsep (teaching) menjadi mendampingi siswa mecari dan memilih informasi yang tepat, menganalisis guna memahami suatu fenomena dan atau memecahkan masalah. 

Pandemi covid 19 dan pemerintah memutuskan pembelajaran mulai dari TK sampai perguruan tinggi dilakukan secafa daring, pola pembelajaran berubah total. Sedikit banyak, artikel pendek yang semua ditanggapi negatif mulai “dibenarkan”.  Karena pembelajaran dilakukan daring, tentu siswa membuka platform tertentu, seperti zoom, google meet dan sejenisnya.  Tentu siswa juga berkesemapatan membuka situs lainnya.  Guru juga mulai “membiarkan” dan bahkan meminta siswa berselancar di internet untuk mencari tulisan tertentu.  Seorang rekan berkelakar bahwa tulisan saya menjadi kenyataan.

 

Nah, ketika pandemi berjalan justru muncul fenomena baru yang lebih mengejutkan dan perlu dicermati.  Dengan pengalaman melaksanakan pembelajaran daring, beberapa universitas, sekolah dan lembaga pelatihan mengembangkan pembelajaran dan atau pelatihan yang dilaksanakan secara daring sepenuhnya.  Bukan karena tidak dapat dilaksanakan secara luring, tetapi memang dirancang secara daring penuh. Mungkin Coursera merupakan salah satu pioneer melakukan kursus secara daring, dengan bekerjasama dengan universitas ternama di bebagai negara.  Coursera mirip Tokopedia, Traveloka, RB&B dan sejenisnya. Hanya yang “dijual” adalah kursus.  Beberapa universitas juga mulai menawarkan prodi dengan perkuliahannya dilaksanakan secara daring seluruhnya. UT yang dahulu menggunakan modul tercetak, kini bertranformasi menjadi daring.

Kemdikbudrsitek sekarang mem-back up pendirian ICEI (Indonesia Cyber Education Institute) yang sangat mirip dengan Coursera dan bekerjasama denga sejumlah universitas.  Melalui ICEI peserta dapat menempuh matakuliah yang ditawarkan oleh universitas tertentu. Jika peserta merupakan mahasiswa suatu universitas, dapat saja hasil kuliah melalui ICEI tersebut diakui oleh universitas tempat kuliahnya.  Jadi mahasiswa universitas “X” dapat menempuh matakuliah tertentu di universitas “Y”.  Jika itu berjalan mulus, maka akan terjadi perubahan fundamental dalam pendidikan di perguruan tinggi.  Jika Kemdikbudristek meluncurkan program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), maka ICEI dapat menjadi wahana pelaksanaannya dan bahkan lebih jauh dari itu, karena “menjebol dinding” universitas dalam pelajanan perkuliaan.

Bagaimana dengan sekolah?  Maksudnya di level pendidikan dasar dan menengah?  Sampai saat ini saya belum mendengar ada sekolah yang melaksanakan pembelajaran daring secara penuh. Bahkan pemerintah agaknya mendorong sekolah melaksanakan pembelajaran secara luring, setelah pandemi mereka. 

Namun mulai ada sekolah swasta yang merancang terobosan bahkan sudah mulai mencoba melaksanakan. Mungkin karena sekolah swasta jadi memiliki “ruang gerak” lebih lebar dibanding sekolah negeri, sehingga “berani melakukan”.  Terobosannya juga tidak main-main. Bukan sekedar mengubah moda pembelajaran, tapi justru melakukan transformasi kurikulum secara substantif.  Memang masih dalam taraf awal, tetapi melihat track record tersebut bukan mustahil akan menjadi trend setter.  Apalagi sekolah tersebut memang membebaskan pola yang dikembangkan untuk diadopsi sekolah lain. Bahkan rela membantu sekolah yang mengadopsinya.

Materi yang berupa konsep dan teori dilaksanakan secara daring dengan melibatkan guru-guru dan ahli yang menguasai materinya.  Para ahli berasal dari kalangan pendidikan maupun praktisi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.  Sekolah tersebut mengandeng guru-guru terbaik dan berbagai sekolah, termasuk dari luar nageri.  Apakah siswa tidak ke sekolah?  Tetap ke sekolah, tetapi bukan untuk menerima mendengarkan penjelasan guru ataupun mendiskusikan materi tertentu. Bagian itu sudah diselesaikan secara daring.  Saat di sekolah, siswa mengerjakan proyek tertentu yang merupakan akumulasi dari materi yang telah dipelajari yang kemudian diterapkan dalam kehidupan.   Jadi di sekolah siswa menerapkan project based learning (PjBL).

Bagaimana dengan pengembangan karakter?  Bukankah sekolah tersebut sangat peduli dengan pendidikan karakter?  Sungguh menarik.  Setiap konsep dan teori yang dibahas secara daring selalu dikaitkan dengam nilai-nilai dan norma kehidupan.  Saya termasuk kagum, topik tentang Matematika dan Fisika ternyata dapat dikaitkan dengan nilai-nilai social-keagamaan.  Nilai-nilai tersebut kemudian by design diintegasikan kedalam proyek yang dikerjakan di sekolah.

Bagaimana hasilnya?  Tampaknya kita masih harus menunggu, karena program tersebut baru dimulai. Namun, melihat kesungguhan dan trach record sekolah tersebut rasanya probabilitas keberhasilan cukup tinggi. Dan jika ternyata berhasil juga diterapkan di Indonesia, sangat mungkin akan menjadi model sekolah di masa depan.

Tidak ada komentar: