Senin, 05 Desember 2022

SEKOLAH MASA DEPAN (2)

Di penghujung bulan November 2022, saya berkesempatan ikut acara LAM Kependidikan di Jakarta. Acara yang bertema Arah Perkembangan Pendidikan Tinggi Di Era Digital, dihadiri oleh Prof. Dr. Mohammad Nuh - mantan Menteri Pendidikan, Prof. Intan Ahmad, PhD – mantan Dirjen Belmawa Kemristekdikti, Bahrul Hayat, PhD – mantan Sekjen Kementerian Agama, dan Prof Ganefri, PhD – Rektor Univ Negeri Padang sekaligus Ketua ALPKNI. Acara dikemas dalam bentuk FGD, sehingga terjadi diskusi yang menarik.  Saya ingin berbagi catatan saya dalam acara tersebut yang ternyata gayut dengan tulisan saya di blog ini beberapa hari lalu.

Yang dimaksud “sekolah” pada tulisan ini bukan SD, SMP, SMA, SMK saja tetapi juga mencakup pendidikan formal lainnya, termasuk perguruan tinggi.  Memang yang dibahas pada acara tersebut fokus pada pendidikan tinggi, tetapi menurut saya juga berlaku di dunia persekolahan (SD,SMP, SMA, SMK, MI, MTs, MA dan sejenisnya).  Pokok semua jenis pendidikan formal.  Berikut ini catatan saya:


 1.   Sekolah adalah persiapan bekerja dan mengarungi kehidupan kehidupan bermasyarakat.

 

Problem kehidupan tidak dapat difahami dan dipecahkan dengan pendekatan monodisplin.  Oleh karena ini pola pikir disciplined mind harus dilengkapi synthesizing mind, yaitu mensintesiskan dua atau lebih disiplin ilmu untuk memahami dan memecahkan masalah. Untuk mensintesiskan dua atau lebih displin ilmu diperlukan kemampuan berpikir kritis, agar mampu mengaitkan satu dengan lainnya. 

 

Dalam kehidupan selalu muncul problem baru, oleh karena itu pola pikir harus dilengkapi dengan creative mind, sehingga berpikir kreatif harus ditumbuhkan kepada siswa.  Namun karena kreativitas akan memunculkan hal-hal baru dan itu memungkinkan timbulnya perbedaan pandangan, maka respectful mind sangat diperlukan.  Pada akhirnya semua itu harus memperhatikan norma dan etika yang berlaku, sehingga ethical mind menjadi landasannya.  Kelima pola pikir yang dikembangkan oleh Howard Gardner tersebut (disciplined mind - synthesizing mind - creative mind - respectful mind - ethical mind) harus ditumbuhkembangkan pada siswa secara utuh dan seimbang.

 

2.   Dari hind sight ke in sight dan terus ke fore sight untuk memecahkan masalah.

Dalam menerapkan lima pola pikir untuk memecahkan masalah diperlukan pergeseran pola pikir dari hindsight ke insight dan selanjutnya ke foresight. Tahap berpikir hindsight yang berusaha mendeskripsikan fenomena yang terjadi memang dapat menjelaskan fenomenanya, namun tidak dapat menjelaskan mengapa itu terjadi. Dalam kecelakaan lalu lintas, pola pikir hindsight menjelaskan kejadian itu secara rinsi, tetapi tidak menjelaskan mengapa kecelakaan itu bisa terjadi. Untuk itu diperlukan pola pikir insight yaitu menganalisis dengan synthesizing mind mengapa itu terjadi.

 

Jika sudah menemukan penyebab terjadinya kecelakaan tentu perlu dicari cara mencegahnya secara kreatif dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku di daerah setempat.  Sebaliknya jika fenomena yang terjadi diharapkan terulang kembali, misalnya siswa yang antusias mengikuti pelajaran, maka harus dicari Langkah agar itu terulang kembali.  Itulah yang disebut foresight.  Hindsight- insight – foresight itulah yang harus ditumbuhkan kepada siswa/mahasiswa sesuai dengan konteksnya.

3.   Borderless Eduaction.

 

Dua puluh tahun lalu Kenichi Ohmae menulis buku Borderless World, dan kini untuk pendidikan sudah terbukti.  Dengan penduduk sangat besar dan merupakan negara berkembang dengan mutu pendidikan belum bagus, Indonesia seakan menjadi pasar pendidikan bagi sekolah/universitas dan negara maju.  Iklan, seminar, dan agen pendidikan yang membantu anak Indonesia menempuh pendidikan di negara lain terus bermunculan.  Jika itu dianggap mahal, kemudian sekolah/universitnya “dipindah” ke Indonesia, sehingga sekolah luar negeri “membuka cabang” di Indonesia dengan berbagai nama.

 

Yang tertarik untuk membuka sekolah luar negeri di wilayah Indonesia ternyata tidak hanya pemilik sekolah di negara maju.  Banyak orang Indonesia yang juga menginginkan. Karena ini biayanya terjangkau, maka yang dikembangkan adalah sekolah Indonesia tetapi menggunakan kurikulum dari luar negeri dan atau sistem pendidikannya.  Teknologi digital ternyata juga menjadi pendukung fenomena ini karena memudahkan penerapan sistem tersebut.

 

Jumlah sekolah luar negeri yang membukan cabang di wilayah Indonesia dan sekolah Indonesia yang menggunakan kurikulum asing terus betambah , sehingga borderless education sudah terjadi di negeri ini.  Tentu ada plus-minusnya.  Plusnya, anak Indonesia dapat lebih mudah mendapatkan pendidikan berkelas luar negeri. Minusnya terjadi segmentasi, karena sekolah-sekolah tersebut mahal sehingga hanya anak dari keluarga kaya yang dapat menjangkaunya.  Segmentasi memang sesuatu yang alamiah. Namun itu harus diminimalkan. Tugas pemerintah dan kita semua untuk mencari cara meminimalkan gap tersebut.

 

4.      Personalized Digital Learning

Generasi Z ternyata sangat percaya diri, punya kemandirian dan aspirasi yang sangat kuat. Mereka cenderung ingin menentukan sendiri apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara belajarnya. Oleh karena itu pola pendidikan seperti sekarang ini sudah lagi tepat bagi mereka.  Personalized digital learning akan menjadi alternatifnya.  Mereka diberi kesempatan menentukan apa yang ingin dipelajari dan bagaimana cara belajarnya. Tentu diperlukan guru sebagai pendamping, mulai dari pemilihan materi dan mempelajarinya.  Heutagogy dengan self-determined merupakan pola yang cocok.

Personalized digital learning diyakini para ahli mampu menumbuhkan motivasi belajar siswa, karena mereka mempelajari sesuatu yang diinginkan. Namun, di sisi lain memerlukan persiapan yang matang.  Sekolah harus menyediakan guru yang mampu menangani. Bukan sekedar menguasai materi ajar, lebih dari itu dapat memahami bahwa tujuan pembelajaran bukan untuk penguasan materi kurikulum, tetapi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.

Tidak ada komentar: