Selasa, 19 April 2011

IBU-IBU: BACK TO THE FAMILY

Dalam beberapa hari ini Radio Suara Surabaya menyiarkan pendapat psikolog Inggris yang menyebutkan adanya kecenderungan baru pada wanita di barat, yaitu kembali mengutamakan rumah tangga dibanding karier. Bagi masyarakat di Indonesia mungkin pendapat atau temuan itu tidaklah istimewa, karena dengan mengacu pada nilai-nilai keagamaan maupun budaya, pada umumnya masyarakat Indonesia berpendapat bahwa tugas pokok ibu-ibu adalah mengurus rumah tangga. Itulah sebabnya para wanita karier-pun, ketika ditanya bagaimana membagi waktu, pada umumnya akan mengatakan bekerja dan berkarier tetapi tidak melupakan kuwajiban sebagai ibu rumah tangga. Ada yang mengatakan harus pandai membagi waktu yang seimbang antara pekerjaan dan rumah tangga. Bahkan akan yang mengatakan tetap mengutamakan rumah tangga.

Adanya kecenderungan ibu-ibu di masyarakat barat untu lebih mengutamakan rumah tangga merupakan fenomena yang menarik. Sepanjang yang saya tahu, dengan argumen emansipasi dan persamaan hak, banyak wanita di barat berpendapat bahwa peranan laki-laki dan wanita seharusnya sama di segala bidang. Menurut mereka bekerja dan mengurus rumah tangga adalah tugas bersama antara ayah dan ibu, masing-masing memiliki kuawajiban yang sama dan pembagian tugas tidak boleh atas nama gender.

Tulisan ini tidak akan membahas soal gender dan tidak terkait setuju atau tidak setuju dengan emansipasi wanita. Tulisan ini juga tidak akan membahas alasan mengapa para ibu-ibu di barat sekarang cenderung lebih mengutamakan rumah tangga dibanding karier. Tulisan ini akan melihat dampak positif dari fenomena itu dari aspek pendidikan anak-anak, khususnya pada anak usia dini.

Mungkin sudah fitrahnya anak-anak, khususnya saat usia sampai sekitar 6 tahun atau biasa disebut balita (di bawah lima tahun) lebih dekat dengan ibunya dibanding dengan bapaknya. Mungkin karena ibunya yang menyusui, sehingga ada dampak psikologis dari itu. Atau mungkin juga karena ibu yang menyusui maka anak lebih lama berinteraksi dengan ibu dibanding dengan bapak. Atau karena sang bayi berada di dalam kandungan ibu selama sekitar 9 bulan, sehingga memiliki “frekuenasi” yang sama dengan ibunya. Yang jelas, sepanjang yang saya tahu anak-anak balita, baik di barat maupun di timur pada umumnya lebih dengan dengan ibunya dari pada bapaknya.

Menurut ahli psikologi bayi lahir sampai usia sekitar 5 tahun adalah masa perkembangan yang sangat penting. Pada usia itu perkembangan otak sangat pesat. Buku-buku neuropsychology sekarang banyak yang membahas hal itu. Oleh karena itu jika pada usia itu anak diberi rangsang yang positif dan maksimal, diharapkan otaknya juga akan berkembang optimal. Tentu saja disamping asupan psikologis sang anak juga memerlukan asupan makanan (dan atau minuman) yang tepat, sehingga mendukung pertumbuhan fisik maupun psikologisnya.

Lingkungan, baik fisik maupun sosial tentu memegang peran penting dalam pertumbuhan psikologis anak. Oleh karena itu para orangtua yang merasa bahwa anaknya “titipan Illahi”, maka perlu mengupayakan tersedianya lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang mampu merangsang pertumbuhan anak-anak. Perlunya interaksi seperti itu sampai kelas-kelas awal SD dimana anak lebih banyak berada di rumah atau sekitar rumah, sehingga interaksi terbesar dengan orang-orang di dalam rumah tangga tersebut.

Nah, karena anak-anak balita pada umumnya lebih dekat dengan ibu, maka akan sangat ideal jika ibu menjadi pemain utama dan atau penskenario interaksi lingkungan sosial bagi anaknya. Anak-anak yang ditinggal ibunya dan kemudian diasuh pembantu dan atau diasuh “televisi” tentu tidak dapat memperoleh lingkungan sosial yang maksimal, sebagaimana seandainya ada ibu di dekatnya. Itulah mungkin yang menjadi alasan di beberapa negara, misalnya Belanda, tidak membolehkan anak TK dan SD kelas awal, tinggal di rumah sendirian tanpa orang tua atau orang dewasa. Disarankan ibu-ibu yang mempunyai anak-anak seumur itu sudah kembali ke rumah, saat anaknya pulang sekolah. Bahkan informasi terakhir yang saya dapat, Jepang meminta ibu-ibu muda yang memiliki anak-anak seperti itu bekerja part-time sehingga dapat menemani (dan tentu mengasuh) anak-anaknya.

Apa dampak seandainya fenomena ibu-ibu di barat (yang cenderung akan mementingkan urusan rumah tangga) itu kemudian membesar dan diikuti negara lain yang justru akan berbuat sebaliknya? Rasanya akan muncul dampak yang menjanjikan. Lingkungan sosial di rumah akan menjadi kondusif karena ditunggui, diskenario dan diperanutamai sang ibu. Saya yakin ibu yang secara sadar mengutamakan keluarga dibanding karier, akan merancang lingkungan fisik dan sosial yang terbaik bagi anaknya. Nah, jika semakin banyak ibu-ibu seperti itu, maka pertumbuhan fisik maupun psikologis anak-anak akan semakin baik di masa datang. Dan itu sebenarnya investasi yang sangat berharga bagi tumbuh kembangnya generasi mendatang.

Karena ibu diharapkan menjadi penskenario dan atau pemegang peran utama dalam interaksi sosial di rumah tangga, maka sangat ideal kalau ibu-ibu tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai atau bahkan bagus tentang merawat dan membimbing anak. Misalnya ibu-ibu tersebut memiliki pengetahuan yang memadai tentang makanan yang bergizi, psikologi perkembangan anak dan juga permaian edukasi. Untuk itu akan sangat bagus, jika para calon penganten diberikan bekal praktis tentang hal-hal tersebut, misalnya kursus singkat sebagai bagian dari persiapan pernikahan di KUA, gereja dan sebagainya. Semoga. (muchlas-universitas negeri Surabaya).

Tidak ada komentar: