Jumat, 22 April 2011

LALU LINTAS ITU CERMINAN BUDAYA

Pagi tadi, rabu 20 April 2001, sebuah stasiun televisi menyiarkan kebiasaan berlalu lintas masyarakat di suatu daerah. Ditunjukkan banyaknya orang yang masuk ke jalur counter flow karena di jalur yang seharusnya dilewati sangat padat. Pengguna jalan yang menuju ke arah tengah kota, mengambil jalur yang diperuntukkan mereka yang dari tengah kota ke pinggiran. Salah seorang pengendara yang melakukan itu diwawancarai dan menjelaskan bahwa kejadian seperti itu terjadi setiap pagi. Dia juga ikut melakukan karena mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di kantor. Penjelasan itu diberikan dengan muka ceria dan tanpa menunjukkan rasa bersalah.

Kejadian seperti itu sebenarnya terjadi di banyak tempat. Ada yang terjadi secara insidental dan dilakukan oleh beberapa orang saja, tetapi juga ada yang terjadi setiap hari dan dilakukan banyak orang secara masif, seperti yang tadi pagi disiarkan oleh televisi. Masyarakat setempat sepertinya juga sudah memahami kondisi itu, cenderung menerima dan bahkan mengikuti. Mungkin pada awalnya menganggap hal itu ganjil dan melawan aturan, tapi lama-lama dapat memahami dan bahkan ikut melakukan. Mirip prinsip kehidupan, apapun yang terjadi secara berulang-ulang pada akhirnya masyarakat mengangap itu sebagai sesuatu yang wajar dan diterima sebagai suatu kebenaran.

Oleh karena itu keadaan lalu lintas dapat merupakan gambaran budaya masyarakat. Lalu lintas merupakan perilaku kita yang oleh masyarakat setempat diterima, dianggap wajar dan dibenarkan seakan-akan sudah sesuai dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dengan logika bepikir itu, kita dapat mencermati keadaan lalu lintas di sekitar kita dan kemudian menarik simpulan sebagai cermin budaya kita. Atau paling tidak sebagai cermin perilaku yang “dibenarkan” oleh masyarakat. Sekarang marilah kita cermati lalu lintas di Surabaya. Berikut ini kesan saya sebagai orang Surabaya mencermati lalu lintas di Surabaya.

Pertama, tampak sekali sebagian besar orang berlalu lintas dengan ketergesaan tinggi. Seakan-akan semua orang ingin sampai di tujuan secepat-cepatnya. Mungkin itu gambaran masyarakat kota besar yang selalu sibuk dan dikejar waktu. Waktu sangat berharga, sehingga waktu perjalanan harus diusahakan sependek mungkin. Seingat saya kecepatan maksimal di dalam kota itu 40 km/jam. Saya tidak tahu apakah kecepatan mobil dan speda motor itu kurang, pas atau melebihi 40 km/jam. Yang jelas masyarakat sudah menganggap biasa dan menerimanya sebagai kewajaran.  

Kedua, mungkin sebagai dampak ketergesaan tadi ada kesan kuat para pengendara mobil dan motor itu saling berebut posisi untuk dapat lebih cepat. Tampak sekali ego masing-masing, seakan-akan ingin mengatakan “saya tergesa-gesa, tolong anda faham dan minggir atau mengalah”. Yang menjadi pejabat penting menggunakan fore raider. Bagi orang kaya dan kebetulan juga ada urusan penting (misalnya mantenan dan rombongan motor gede) juga menyewa fore raider. Bagi bus atau truk besar, seringkali memepetkan bus atau truknya ke kendaraan lain, dengan keyakinan kendaraan lain akan minggir karena takut kesenggol. Bagi mobil kecil juga melakukan hal serupa dengan mobil lain atau kendaraan yang lebih kecil. Pengendara speda motor juga tidak mau kalah, sehingga sering memotong kendaraan lain. Sepeda engkol dan becak juga tidak mau kalah, kalau mau belok mendaplangkan tangan seakan minta semua kendaraan dibelakangnya memberi jalan. 

Ketiga, tampaknya kita tidak taat pada rambu-rambu lalu lintas. Kita dapat mengamati banyak kendaraan parker di lokasi yang ada tanda dilarang parker bagkan tanda dilarang berhenti. Kita juga melihat banyak orang lewat jalan yang semestinya tidak boleh lewat atau hanya untuk yang dari arah sebaliknya (jalan satu arah). Kendaraan umum (bus atau angkutan umum) begitu enak menaikkan dan menurunkan penumpang, bahkan “ngetem” di tempat bertanda dilarang berhenti. Sekali lagi, orang-orang tersebut mengatakan “tolong difahami, saya sedang punya keperluan penting, sehingga melanggar rambu”. Pengemudi angkutan umum seakan ingin mengatakan “tolong dimengerti saya cari penumpang sehingga harus begini”.

Ada cerita, konon ada pengendarav sepeda motor melawati jalan melawan arus (jalan satu arah) dan ditangkap polisi yang sedang berjaga dan berdiri dibawah pohon dipinggir jalan. Ketika dihentukan dan ditanya oleh pak polisi apa tidak tahu ada tanda dilarang masuk (lewat), dengan ringan menjawab “ tahu tetapi tidak tahu kalau ada bapak disitu”. Kelakar itu menunjukkan bahwa pengendara tersebut akan taat pada rambu jika ada polisi. Jadi takutnya pada polisi dan bukan taat pada rambu.

Saya teringat Reader’s Digest edisi Juli 2006 memuat hasil surai tentang kesopanan/kepedulian masyarakat kepada orang (courteous). Hasilnya orang Jakarta menduduki peringkta ke 14 bersama Taipei. Lumayan di atas orang di Moscow dan Singapore (peringkat ke 15) dan Seol (peringkat 16). Yang menjadi pertanyaan mengapa yang menduduki peringkat atas antara lain New York (peringkat 1), Zurich (peringkat 2) dan Toronto (peringkat 3). Apakah orang Jakarta memang kurang sopan dan peduli kepada orang lain dibanding orang Amerika dan Kanada? Bukankah katanya bangsa kita bangsa yang ramah dan suka tolong menolong? Apakah memang perilaku kita sudah berubah? Fenomena dalam kita berlalu lintas, mungkin dapat sedikit menjelaskan.

Tentu tiga fenomena tersebut (dan masih banyak yang lain) tidak kita harapkan terus terjadi. Pertanyaannya, bagaimana mengubahnya menjadi lebih baik. Semoga pendidikan baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat menemukan cara mengubahnya, walaupun setahap demi setahap. Pengalaman Singapore mengubah perilaku masyarakat di saat awal kemerdekaan yang dikenal sebagai masyarakat Tionghoa pinggiran menjadi masyarakat Singapore modern yang kita amati saat ini, dapat dijadikan bahan banding. Semoga (muchlas-universitas negeri surabaya)

Tidak ada komentar: